Pengajian Ketujuhbelas, Jakarta,
8 Oktober 2004
Assalamu’alaikum War. Wab.
“Shirotholladziena an’amta ‘alaihim” : “(Yaitu) Jalan
orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka “; (Al-Fatihah :
7). Ayat ini akan
kita bahas dan kita gali hikmah-nya melalui serangkaian pendekatan histori dan
falsafati serta psikologi, bersifat eklektik untuk memperoleh spektrum kajian
yang luas dan holistis.
Meurut Tafsir Ibnu Katsir “orang-orang
yang telah diberi anugerah nikmat” dimaksud ayat didepan, ialah para nabi, para
shiddiqin, para syuhada dan sholichin.
Herakleitos.
Herakleitos (540-475 SM), merupakan filsuf Yunani
terbesar sebelum Socrates. Herakleitos berpendapat bahwa segala sesuatu
bergerak terus-menerus dalam perubahan yang abadi. Hakekat keberadaan adalah
perubahan. Yang abadi adalah perubahan itu sendiri. Dunia adalah suatu harmoni
yang besar dalam ketegangan dan perlawanan untuk menuju keselarasan yang indah.
Pandangan Herakleitos sejalan pula
dengan pandangan Sidharta Gautama dari India dalam kurun waktu yang hampir
bersamaan. Sidharta yang disebut pula Sakyamuni Buddha mengajarkan pemahaman
hakekat perubahan kehidupan dari sejak lahir, usia muda, usia tua dan kematian.
Pemahaman itu untuk mencapai Nirbana suatu konstansi akhir yang selaras dan
sempurna. Sementara filsuf Tiongkok terbesar Khong Hu Chu percaya bahwa segala pertentangan dan
kontradiksi adalah proses menuju harmonisme.
Apa yang dilakukan Herakleitos adalah
suatu rintisan panggunaan akal pikiran untuk memahami proses atau jalan
kehidupan secara benar. Pemikiran Herakleitos 25 abad yang lalu telah mengatasi
mite-mite dan menjadi azas pemikiran modern yang melihat perubahan sebagai
realitas, yang harus diantisipasi dengan cara-cara terbaik agar manusia survive
dan unggul dalam proses perubahan itu, dan akhirnya manusia itu sendirilah yang
menjadi sumber perubahan. Dengan pemikiran dan cara itulah peradaban manusia
terus berkembang dari zaman ke zaman. Sumber energi perubahan itu disebut logos,
yang diartikan sebagai akal pikiran dan hukum semesta yang menguasai segala
sesuatu.
Hijrah
Betapapun tinggi pemikiran
Herakleitos, tetapi perubahan saja belum menjamin terjadinya proses emansipasi.
11 abad setelah masa Herakleitos, Rasulullah SAW mengajarkan perubahan dengan
prinsip Hijrah. Substansi Hijrah seperti tercermin dalam ajaran tentang
“Niat” bersifat psikologis dan kognitif, menjadi inti proses perubahan. Oleh
karena itu, prinsip “logos” saja belum cukup, diperlukan azas psikologis yang
disebut “ability traits”, yaitu kecakapan ego untuk mencapai suatu
tujuan. Disamping itu diperlukan pula azas kognitif. Tanpa pengetahuan yang
cukup, tidak akan terjadi perubahan yang bersifat progresif dan emansipatif
(maju dan meninggi). Karena perubahan dapat pula bersifat regresif dan demansipatif
(mundur dan merosot). Firman Allah Ta’aala : “Qul hal yastawilladziina
ya’lamuuna, walladziina la ya’lamuun, innamaa yatadzakkaruu ulul-albaab” : “Katakanlah : Adakah sama
orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui ?. Sesungguhnya
orang-orang yang berakal yang dapat menerima pelajaran” (QS : 39 Az-Zumar: 9).
Shirotholladzina an’amta ‘alihim
adalah “Jalan Perubahan, Jalan Hijrah, Jalan Sublimasi menuju transferabilitas
progresif kepada diferensiasi yang lebih tinggi, hingga yang tertinggi, yaitu
suatu kondisi fungsional yang optimum, independen dan hakiki. Itulah yang
disebut an’amta alaihim. Berbeda dengan harmonisme Herakleitos yang bersifat
agnostic dan berpusat di logos, maka an’amta alaihim merupakan kesatuan
harmonis aspek-aspek agnostic dan transcendent berpusat pada kondisi
psikologis, kognitif dan fungsi transenden. Konsepsi Hijrah bahkan melampaui
konsep kesatuan holistis antara organisme dengan lingkungan pemikir abad 20 Andras
Angyal yang disebutnya bioshphere. Konsepsi biosphere hanya terbatas
pada ruang kesadaran belaka. Sedangkan konsepsi hijrah menyangkut
transferabilitas progresif seluruh fungsi organ jiwa dengan semua sisi
lingkungan, hingga aspek transcendent yang menyangkut keimanan alam akherat,
yang berpuncak pada sublimasi cultural dan spiritual yang merubah peradaban
umat manusia. Hijrah adalah sebuah proses perubahan fundamental budaya dan
peradaban umat manusia yang bersifat monotheistis. Itulah Jalan untuk mencapai
kenikmatan yang diridhoi Allah.
Nabi Yusuf.
Kisah Nabi Yusuf, putra Nabi Ya’qub
yang juga disebut Israil, Bapak Bangsa Israil,
adalah contoh dari manajemen perubahan yang tidak tunduk pada perubahan
alam. Melainkan mengantisipasinya dengan skill, kearifan dan manajemen. Tentu
dibutuhkan ability traits dan cognitive, dibutuhkan kecakapan dan
pengetahuan untuk melaksanakannya. Disamping sebuah perencanaan dengan
pandangan jauh kedepan menjadi kuncinya.
Raja Mesir yang kafir namun arif,
telah memungkinkan diangkatnya seorang ahli pada tempatnya, yaitu Yusuf seorang
ahli manajemen perekonomian yang cerdas dan jernih, karena memiliki moral dan
motif transcendent. Berkat perencanaan Raja Muda Yusuf yang akurat dalam
program “pengembangan kemakmuran 7 th” pada masa subur, dan strategi “ketahanan
ekonomi 7 th” pada masa paceklik sesudahnya, telah menjadi jalan untuk
mempertahankan kestabilan perekonomian negara, yang berarti kestabilan seluruh
kehidupan sosial. Itulah Jalan bagi orang-orang yang telah diberikan nikmat
Allah, yakni nikmat kecerdasan, kearifan, pengetahuan dan ketauhidan.
Satu hal yang penting bahwa Allah
Ta’aala dalam kemaslahatan umum lebih mementingkan fungsi manajerial daripada
keyakinan agama seseorang. Dan Allah mengijinkan kerjasama yang kafir dan yang
mukmin untuk kepentingan manajerial yang applicable bagi kepentingan umum.
Prinsip profesionalitas yang sekularistik dalam manajemen ini penting dipahami.
Karena ini berbeda dengan sinkretisme dalam keyakinan spiritual yang dapat
bermakna polytheistis atau kemusyrikan.
Pandangan Herakleitos tentang
perubahan abadi sebagai hakekat keberadaan dapat dianggap sebagai kebangkitan
akal pikiran. Tetapi pandangannya bahwa segala perubahan bersumber pada logos
(akal pikiran dan hukum alam) kurang lengkap. Dalam kasus Yusuf sebuah
perubahan besar berkait dengan fungsi logos, psyche, ability traits,
cognitive, das Ueber Ich dan transcendent function, dengan
menempatkan Ilmu dan iman menjadi azas dari semua tindakan secara totalitas.
Dan dengan jalan itu ia membawa Mesir selamat mencapai kemakmuran dan
mempertahankan kemakmuran. Totalitas fungsional organ-organ jiwa tersebut
menggambarkan keseimbangan fungsi agnostic dan transcendent yang membawa
manusia kepada martabat dan tingkat peradaban yang lebih tinggi. Perhatikan
Firmah Allah Ta’aala : “Yarfa’illahulladziena aamanuu minkum, walladziena
utul-‘ilma darojatin” : Allah mengangkat lebih tinggi derajat orang-orang yang
beriman dan berilmu” (QS : 58 Al-Mujadalah : 11).
Dengan demikian, maka makna “Shirotolladzina an’amta
alaihim” adalah segala upaya manajerial untuk mewujudkan dan mempertahankan
kesejahteraan sosial bagi seluruh ummat manusia, tanpa kecuali, walaupun
berbeda agama dan keyakinan. Artinya bahwa substansi ayat ke-7 Al-Fatiehah
tersebut mengandung makna pluralitas-harmonis, egaliterianism, humanism,
professionalism dan transcendental. Beriman, berilmu dan bekerja dengan benar
adalah prasyarat untuk mencapai nikmat yang diridhoi Allah Azza wa Jalla. Sekian.
Wassalamu’alaikum War. Wab.
Pengasuh,
HAJI AGUS MIFTACH
Ketua Umum
Front Persatuan Nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar