7.7.17

Pengajian Ketujuhbelas, Jakarta, 8 Oktober 2004

 Pengajian Ketujuhbelas, Jakarta, 8 Oktober 2004




Assalamu’alaikum War. Wab.
“Shirotholladziena  an’amta ‘alaihim” : “(Yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka “; (Al-Fatihah : 7). Ayat ini akan kita bahas dan kita gali hikmah-nya melalui serangkaian pendekatan histori dan falsafati serta psikologi, bersifat eklektik untuk memperoleh spektrum kajian yang luas dan holistis.
Meurut Tafsir Ibnu Katsir “orang-orang yang telah diberi anugerah nikmat” dimaksud ayat didepan, ialah para nabi, para shiddiqin, para syuhada dan sholichin.
Herakleitos.
Herakleitos (540-475 SM), merupakan filsuf Yunani terbesar sebelum Socrates. Herakleitos berpendapat bahwa segala sesuatu bergerak terus-menerus dalam perubahan yang abadi. Hakekat keberadaan adalah perubahan. Yang abadi adalah perubahan itu sendiri. Dunia adalah suatu harmoni yang besar dalam ketegangan dan perlawanan untuk menuju keselarasan yang indah.
Pandangan Herakleitos sejalan pula dengan pandangan Sidharta Gautama dari India dalam kurun waktu yang hampir bersamaan. Sidharta yang disebut pula Sakyamuni Buddha mengajarkan pemahaman hakekat perubahan kehidupan dari sejak lahir, usia muda, usia tua dan kematian. Pemahaman itu untuk mencapai Nirbana suatu konstansi akhir yang selaras dan sempurna. Sementara filsuf Tiongkok terbesar Khong Hu Chu  percaya bahwa segala pertentangan dan kontradiksi adalah proses menuju harmonisme.
Apa yang dilakukan Herakleitos adalah suatu rintisan panggunaan akal pikiran untuk memahami proses atau jalan kehidupan secara benar. Pemikiran Herakleitos 25 abad yang lalu telah mengatasi mite-mite dan menjadi azas pemikiran modern yang melihat perubahan sebagai realitas, yang harus diantisipasi dengan cara-cara terbaik agar manusia survive dan unggul dalam proses perubahan itu, dan akhirnya manusia itu sendirilah yang menjadi sumber perubahan. Dengan pemikiran dan cara itulah peradaban manusia terus berkembang dari zaman ke zaman. Sumber energi perubahan itu disebut logos, yang diartikan sebagai akal pikiran dan hukum semesta yang menguasai segala sesuatu.

Hijrah

Betapapun tinggi pemikiran Herakleitos, tetapi perubahan saja belum menjamin terjadinya proses emansipasi. 11 abad setelah masa Herakleitos, Rasulullah SAW mengajarkan perubahan dengan prinsip Hijrah. Substansi Hijrah seperti tercermin dalam ajaran tentang “Niat” bersifat psikologis dan kognitif, menjadi inti proses perubahan. Oleh karena itu, prinsip “logos” saja belum cukup, diperlukan azas psikologis yang disebut “ability traits”, yaitu kecakapan ego untuk mencapai suatu tujuan. Disamping itu diperlukan pula azas kognitif. Tanpa pengetahuan yang cukup, tidak akan terjadi perubahan yang bersifat progresif dan emansipatif (maju dan meninggi). Karena perubahan dapat pula bersifat regresif dan demansipatif (mundur dan merosot). Firman Allah Ta’aala : “Qul hal yastawilladziina ya’lamuuna, walladziina la ya’lamuun, innamaa yatadzakkaruu  ulul-albaab” : “Katakanlah : Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui ?. Sesungguhnya orang-orang yang berakal yang dapat menerima pelajaran” (QS : 39 Az-Zumar: 9).
Shirotholladzina an’amta ‘alihim adalah “Jalan Perubahan, Jalan Hijrah, Jalan Sublimasi menuju transferabilitas progresif kepada diferensiasi yang lebih tinggi, hingga yang tertinggi, yaitu suatu kondisi fungsional yang optimum, independen dan hakiki. Itulah yang disebut an’amta alaihim. Berbeda dengan harmonisme Herakleitos yang bersifat agnostic dan berpusat di logos, maka an’amta alaihim merupakan kesatuan harmonis aspek-aspek agnostic dan transcendent berpusat pada kondisi psikologis, kognitif dan fungsi transenden. Konsepsi Hijrah bahkan melampaui konsep kesatuan holistis antara organisme dengan lingkungan pemikir abad 20 Andras Angyal yang disebutnya bioshphere. Konsepsi biosphere hanya terbatas pada ruang kesadaran belaka. Sedangkan konsepsi hijrah menyangkut transferabilitas progresif seluruh fungsi organ jiwa dengan semua sisi lingkungan, hingga aspek transcendent yang menyangkut keimanan alam akherat, yang berpuncak pada sublimasi cultural dan spiritual yang merubah peradaban umat manusia. Hijrah adalah sebuah proses perubahan fundamental budaya dan peradaban umat manusia yang bersifat monotheistis. Itulah Jalan untuk mencapai kenikmatan yang diridhoi Allah.
Nabi Yusuf.
Kisah Nabi Yusuf, putra Nabi Ya’qub yang juga disebut Israil, Bapak Bangsa Israil,  adalah contoh dari manajemen perubahan yang tidak tunduk pada perubahan alam. Melainkan mengantisipasinya dengan skill, kearifan dan manajemen. Tentu dibutuhkan ability traits dan cognitive, dibutuhkan kecakapan dan pengetahuan untuk melaksanakannya. Disamping sebuah perencanaan dengan pandangan jauh kedepan menjadi kuncinya.
Raja Mesir yang kafir namun arif, telah memungkinkan diangkatnya seorang ahli pada tempatnya, yaitu Yusuf seorang ahli manajemen perekonomian yang cerdas dan jernih, karena memiliki moral dan motif transcendent. Berkat perencanaan Raja Muda Yusuf yang akurat dalam program “pengembangan kemakmuran 7 th” pada masa subur, dan strategi “ketahanan ekonomi 7 th” pada masa paceklik sesudahnya, telah menjadi jalan untuk mempertahankan kestabilan perekonomian negara, yang berarti kestabilan seluruh kehidupan sosial. Itulah Jalan bagi orang-orang yang telah diberikan nikmat Allah, yakni nikmat kecerdasan, kearifan, pengetahuan dan ketauhidan.
Satu hal yang penting bahwa Allah Ta’aala dalam kemaslahatan umum lebih mementingkan fungsi manajerial daripada keyakinan agama seseorang. Dan Allah mengijinkan kerjasama yang kafir dan yang mukmin untuk kepentingan manajerial yang applicable bagi kepentingan umum. Prinsip profesionalitas yang sekularistik dalam manajemen ini penting dipahami. Karena ini berbeda dengan sinkretisme dalam keyakinan spiritual yang dapat bermakna polytheistis atau kemusyrikan.
Pandangan Herakleitos tentang perubahan abadi sebagai hakekat keberadaan dapat dianggap sebagai kebangkitan akal pikiran. Tetapi pandangannya bahwa segala perubahan bersumber pada logos (akal pikiran dan hukum alam) kurang lengkap. Dalam kasus Yusuf sebuah perubahan besar berkait dengan fungsi logos, psyche, ability traits, cognitive, das Ueber Ich dan transcendent function, dengan menempatkan Ilmu dan iman menjadi azas dari semua tindakan secara totalitas. Dan dengan jalan itu ia membawa Mesir selamat mencapai kemakmuran dan mempertahankan kemakmuran. Totalitas fungsional organ-organ jiwa tersebut menggambarkan keseimbangan fungsi agnostic dan transcendent yang membawa manusia kepada martabat dan tingkat peradaban yang lebih tinggi. Perhatikan Firmah Allah Ta’aala : “Yarfa’illahulladziena aamanuu minkum, walladziena utul-‘ilma darojatin” : Allah mengangkat lebih tinggi derajat orang-orang yang beriman dan berilmu” (QS : 58 Al-Mujadalah : 11).
Dengan demikian, maka makna “Shirotolladzina an’amta alaihim” adalah segala upaya manajerial untuk mewujudkan dan mempertahankan kesejahteraan sosial bagi seluruh ummat manusia, tanpa kecuali, walaupun berbeda agama dan keyakinan. Artinya bahwa substansi ayat ke-7 Al-Fatiehah tersebut mengandung makna pluralitas-harmonis, egaliterianism, humanism, professionalism dan transcendental. Beriman, berilmu dan bekerja dengan benar adalah prasyarat untuk mencapai nikmat yang diridhoi Allah Azza wa Jalla.  Sekian.
Wassalamu’alaikum War. Wab.
Pengasuh,


HAJI AGUS MIFTACH


Ketua Umum Front Persatuan Nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar