Pengajian Keempatpuluh Enam.
Assalamu’alaikum War. Wab.
“Ya-ayyuhannaasu’buduu
robbakumulladzie kholaqokum walladziena min-qoblikum la’allakum tattaquuna”:
“Hai manusia sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang
sebelummu, agar kamu bertaqwa” (Al-Baqoroh :21).
Kita telah
menyelesaikan pembahasan 13 ayatul-munafiqien (QS II : 8-20), selama kurang
lebih 3 bulan, sejak Pengajian ke-33, tgl. 11 Maret 2005 hingga Pengajian
Keempatpuluh Lima, tgl. 3 Juni 2005 yang lalu. Pengecualian terjadi pada
Pengajian Keempatpuluh yang diluar disiplin urutan, karena adanya peristiwa
khusus, yaitu penyampaian Hikmah Maulud Nabi SAW di Sekretariat Gereja Kristen
Indonesia, Ciputat, bersama Kaum Muslimin dan jama’ah Gereja Kristen Indonesia.
Seperti kebiasaan,
pembahasan bersifat eklektik, multiperspektif, baik dari segi sosiologi,
psikologi, historiografi maupun falafati dengan berbagai pendalaman, baik dari
segi analitis logika, maupun transendensi teologis meliputi syari’at, ma’rifat
dan hakekat.
Pokok bahasan
Ayat diatas memiliki
makna hakiki. Tafsir Jalalain berpendapat bahwa perintah “Sembahlah Tuhanmu”,
artinya sembahlah dengan sepenuh-penuh tauhid. Dengan jalan beribadah-tauhid
manusia akan mampu memahami bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan Yang
Menciptakan kehidupan dan ras manusia. Substansi ayat ini menuntun manusia agar bertaqwa, dan
dengan demikian terpelihara dari siksa dan azab-Nya sebagai akibat dari
banyaknya kekeliruan dan kebodohan
manusia. Dasar dari perwujudan taqwa adalah beribadah kepada-Nya dengan
sebenar-benarnya sesuai asas tauhid dan tuntutan syari’at yang diajarkan Allah
dan Rasulullah SAW. Lafadzh “la’alla “pada asalnya mengungkapkan harapan,
tetapi pada ayat ini lebih bermakna suatu kepastian, yaitu kepastian tentang perintah
bertaqwa dan beribadah kepada Allah Yang Maha Esa.
Perhatikan Firman Allah : “Wa laqod
ba’atsna fie kulli ummatin-rrosulan ani’budullooha wajtanibuththoghut;” : “Dan
sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap ummat (untuk
menyerukan):”Sembahlah Allah saja, dan jauhilah thoghut”; (An-Nahl : 36).
Maka jelaslah bahwa
inti peribadatan adalah tauhid, yakni menyembah Allah sebagai satu-satunya
Tuhan. Laa-illaha illallah. Monotheisme yang bersifat transcendental, bukan
monotheisme agnostic seperti yang dikembangkan gerakan “Freemansory” di dunia
dewasa ini dengan tuhan generiknya.
Ciri-ciri
monotheisme transcendental ialah menempatkan kehidupan dunia sebagai proses,
sedangkan gol-nya adalah alam akhirat, dan gol tertingginya ialah sublimasi ruh
manusia kedalam Ruh Allah Azza Jalla..
Imam Al-Ghazalie
mengingatkan hambatan terpokok terhadap iman-tauhid adalah hawa nafsu. Bahkan
hawa nafsu tersembunyi menjadi sumber syirkal-khofi, yaitu syirik yang
tersembunyi, yang bahkan pemiliknya sendiri tidak merasa (Ihya’ ‘Ulumuddin).
Ini semacam keangkuhan dan kesombongan yang tersembunyi di dalam hati. Halus
dan samar, seperti semut hitam di malam gelap dibawah hujan. Tidak tampak,
bahkan tidak teramati oleh pemiliknya sendiri. Lebih merupakan gejala bawah sadar
atau ketidaksadaran yang mempengaruhi kesadaran melalui proses erupsi, yaitu
letupan jiwa, merupakan pantulan dari nilai-nilai das Es (hawa nafsu) yang
mendominasi psiko-kognitif. Untuk menjaga jiwa tauhid dari invasi-invasi
instinktif (hawa nafsu), Syaikh Abdul-Qodir al-Jaelani bahkan mengatakan bahwa
semua kemaujudan (dimensi fisik) kita adalah berhala. Maka lepaskanlah semua
berhala dari dalam hati kita, agar transcendent-function atau hati nurani dapat
secara optimal berada dalam dimensi transcendental, sehingga mampu menghadapkan
ruh semata-mata hanya kepada Allah Ta’aala. Syaikh Abdul-Qodir al-Jaelani dalam
Futuh Al-Ghaib bahkan mengatakan, tinggalkan dunia dan akhirat sekaligus jika
engkau menginginkan kesatuan dengan Sang Maha Pencipta. Meski demikian
al-Jaelani mengingatkan tidak sah hakekat tanpa syari’at, maka pengamalan
tauhid harus didalam kerangka syari’at yang utuh.
Ulasan
Penulis abad ini
Harun Yahya dari Istambul-Turki dalam Global Freemasonry, 2003 mengungkapkan
fakta historiografis tentang faham anti-Tuhan dan anti-agama yang kini marak di
dunia, terutama di Eropa dan Amerika Serikat yang sesungguhnya bersumber dari
system agama sihir rejim Mesir purba zaman Pharao’s abad ke-15-13 SM, terutama
pada masa Rameses II yang menjadi lawan Musa a.s. (Baker & Bimson, 2004,
Arkeologi Al-Kitab, hal. 92). Pada masa Rameses II para pekerja tukang batu
Yahudi dipekerjakan sebagai budak oleh Rameses II untuk membangun kota modern Rameses selama beberapa dekade. Kelompok pekerja
itulah yang kemudian menjadi landasan nama gerakan “Tukang Batu Bebas” atau
Freemasonry pada abad 20/21 ini. Para
tukang batu itu pula yang mencampur system agama sihir Mesir dengan Judaism
(agama Yahudi) dan menjadi bentuk lain yang kemudian disebut system Cabbala-Talmud atau rejim
tuhan-tuhan berhala berkepala sapi dan kambing yang bercampur dengan paham
Judaism. Setelah berhasil memasuki Jerussalem pada lintasan abad ke13-12 SM,
ternyata pada abad ke 10 SM sebagian suku-suku besar Yahudi kembali ke system
Cabbala, suatu system sinkretisme antara Judaism dengan agama sihir Mesir kuno.
Herodes raja Israel-Romawi
yang memerintahkan pembunuhan terhadap Nabi Isa a.s pada awal abad masehi
adalah seorang Cabbalist.
Ketika kemudian
berkembang agama Nasrani dan Islam pada awal abad ke-7 yang kemudian menjadi
mainstream peradaban dunia hingga masa kini, Cabbalist juga tidak tinggal diam.
Pada lintasan abad 13-14 kaum Cabbalist melakukan reformasi gerakan mereka dan
menyusun organisasi baru dan kemasan faham baru tapi lama yang dinamakan Global-Freemasonry
merupakan organisasi rahasia dibalik munculnya ideology materialism dan
humanisme yang berporos kepada semangat anti-agama anti-Tuhan dan memuja ras
manusia. Materialism dan Humanism adalah dua kekuatan ideology manusia yang
cukup kuat di dunia modern dewasa ini. Bagi kedua paham itu manusia tidak
bertanggung-jawab atas perbuatan baik-buruk kepada Tuhan atau suatu system
dogma agama melainkan bertanggungjawab pada dirinya sendiri. Ini artinya
manusia bertuhankan dirinya sendiri. “Humanisme, Hak Azasi, Kesejahteraan
Social, Persaudaraan Manusia dan secular-agnostisisme” menjadi tema sentral
Global-Freemasonry.
Inilah system
Masih-al-Dajjal yang sudah ada sejak abad ke-15 SM (atau lebih lama) zaman Cabbalist-Pharao’s di
Mesir, lalu zaman Cabbalist-Talmud di Israel pada masa Herodes, lalu
Cabbalist-Ouraisy zaman Rasulullah SAW dan Cabbalist-Freemansory pada masa
sekarang ini..
Garis Islam seperti
ayat-ayat tersebut diatas tegas, hanya ada satu nilai-ketuhanan dalam struktur
teologi Islam atau aqidah Islamiyah yaitu Allah Yang Maha Esa. Tidak ada Tuhan
selain Allah. Diluar itu adalah thoghut. Islam tidak mengakui ideology
supremasi manusia, dan ideology kompromi kebudayaan, karena semua itu berporos
pada kenisbian duniawi. Prinsip ketuhanan Islam bersifat transcendental, pasti dan abadi
yang harus dicapai melalui ketakwaan, peribadatan dan ketauhidan dalam seluruh
gerak hidup seorang Muslim. Jadi arah ekualisasi psyche seorang Muslim hanya memiliki satu determinant, yaitu Allah Tuhan
Yang Esa. Kesanalah terus-menerus arah sublimasi jiwa seorang Muslim, seperti
kata al-Jailani : “Sirna-lah kemaujudanku karena hakekat kemaujudan hanyalah di
dalam Allah Sang Maha Pencipta. Tidak ada kemaujudan kecuali bersama-Nya”
(Futuh Al-Ghaib)..
Domain Allah
Ketauhidan adalah
domain Allah mutlak.. Masalah tauhid mutlak masalah ketuhanan. Ketika pamanda
terkasih Abu Thalib akan wafat Rasulullah menuntunnya untuk mengucapkan kalimat
la-ilaaha-illallah, tetapi selalu
diganggu Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umayyah yang ada didekat Abu
Thalib dan selalu menyela: “Hai Abu
Thalib apakah kamu membenci agama Abdul Muthalib ? “(Cabbalist-Quraisy). Sampai
akhir hayatnya Abu Thalib tidak sempat mengucapkan kalimah tauhid. Dengan hati
yang masygul Rasulullah berkata : “Demi Allah, aku akan memintakan ampunan
untukmu, selama tidak dilarang”. Seketika itu juga Allah Ta’aala menurunkan
Firman-Nya (Attaubah : 113) : “Maa
kaana linnabiyyi walladziena aamanuu an-yyastaghfiruu lil-musyrikiena walau
kaanuu uulii qurbaa minm-ba’di maa tabayyana lahum annahum ashhaabul-jachiem”:
“Tiadalah sepatutnya bagi seorang Nabi dan orang-orang beriman memintakan ampun
(kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu
adalah kaum kerabatnya, sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang
musyrik itu, adalah penghuni neraka jahannam.”(HR. Muslim dari Sa’id
ibnul-Musayyab:3).
Inilah landasan yang
kokoh bagi konstitusi kejiwan seorang muslim, ialah dengan memelihara terus
menerus progresi jiwa kearah tauhid. Meskipun terdapat unsur endogen dalam
basis ketidaksadaran kolektif manusia yang berisi semua riwayat nenek moyang
ras manusia yang mengandung unsur-unsur Cabbalist dalam berbagai bentuknya,
seperti Freemasonry di abad modern sekarang ini, namun terdapat proses psiko kognitif
yang memungkinkan kecerdasan pshycologies
membentuk file
index schemata yang dipenuhi dengan nilai-nilai tauhid, dan menciptakan garis pemisah
kejiwaan dengan nilai-nilai mitologis yang
masih mengendap dalam ketidaksadaran kolektif ras manusia, disebabkan
panjangnya periode mitologis itu di masa lalu. Bahkan Rasulullah SAW harus
membuat garis pemisah kejiwaan yang tegas dengan pamanda terkasih Abu Thalib.
Global-Freemasonry
adalah gerakan rahasia yang kuat, yang melibatkan kartel narkoba, mafia, jaringan
money-laundring dan berbagai organisasi kriminal tingkat dunia. Mereka memiliki
kemampuan dana yang luar biasa, dan pada zaman yang dekaden ini mungkin bisa
membeli jiwa manusia yang berkuasa, atau yang akan berkuasa, untuk kemudian
mempengaruhi seluruh proses sosial disuatu negara. Jika dihampiri dengan
tantangan dan penderitaan saya yakin Kaum Muslimin kuat. Tetapi jika dihampiri
dengan uang dan kenikmatan, inilah yang lebih berbahaya. Ingatlah jawaban
Rasulullah SAW kepada musyrikin:”Wallaahi
lao wadho’usysyamsa fie yamiinii wal-qomaro fie yasarii ‘ala an-atruka
hadzal-amro maa taroktuhu; chatta yudhhirohulloohu a-wa uhlaka fiehi”; Demi
Allah, sekalipun mereka (para pemuka musyrikin) meletakkan matahari pada tangan
kananku dan bulan pada tangan kiriku agar aku meninggalkan urusan ini
(dienul-Islam), tidaklah aku akan meninggalkannya, sehingga Allah menampakkanya
(memberikan kemenangan); atau aku dibinasakan dalam mengerjakan urusan agama
ini”.(KH. Moenawar Cholil, 2001, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad, hal. 203). Sekian,
terima kasih.
Birrahmatillahi
Wabi’aunihi fi Sabilih.
Wassalamu’alaikum
War. Wab.
Jakarta, 10 Juni
2005.
Pengasuh,
HAJI AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front
Persatuan Nasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar