7.7.17

Pengajian Keempatpuluh Enam.-TWU






Pengajian Keempatpuluh Enam.





Assalamu’alaikum War. Wab.
“Ya-ayyuhannaasu’buduu robbakumulladzie kholaqokum walladziena min-qoblikum la’allakum tattaquuna”: “Hai manusia sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang sebelummu, agar kamu bertaqwa” (Al-Baqoroh :21).

Kita telah menyelesaikan pembahasan 13 ayatul-munafiqien (QS II : 8-20), selama kurang lebih 3 bulan, sejak Pengajian ke-33, tgl. 11 Maret 2005 hingga Pengajian Keempatpuluh Lima, tgl. 3 Juni 2005 yang lalu. Pengecualian terjadi pada Pengajian Keempatpuluh yang diluar disiplin urutan, karena adanya peristiwa khusus, yaitu penyampaian Hikmah Maulud Nabi SAW di Sekretariat Gereja Kristen Indonesia, Ciputat, bersama Kaum Muslimin dan jama’ah Gereja Kristen Indonesia.
Seperti kebiasaan, pembahasan bersifat eklektik, multiperspektif, baik dari segi sosiologi, psikologi, historiografi maupun falafati dengan berbagai pendalaman, baik dari segi analitis logika, maupun transendensi teologis meliputi syari’at, ma’rifat dan hakekat.


Pokok bahasan
Ayat diatas memiliki makna hakiki. Tafsir Jalalain berpendapat bahwa perintah “Sembahlah Tuhanmu”, artinya sembahlah dengan sepenuh-penuh tauhid. Dengan jalan beribadah-tauhid manusia akan mampu memahami bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan Yang Menciptakan kehidupan dan ras manusia. Substansi ayat  ini menuntun manusia agar bertaqwa, dan dengan demikian terpelihara dari siksa dan azab-Nya sebagai akibat dari banyaknya kekeliruan dan kebodohan  manusia. Dasar dari perwujudan taqwa adalah beribadah kepada-Nya dengan sebenar-benarnya sesuai asas tauhid dan tuntutan syari’at yang diajarkan Allah dan Rasulullah SAW. Lafadzh “la’alla “pada asalnya mengungkapkan harapan, tetapi pada ayat ini lebih bermakna suatu kepastian, yaitu kepastian tentang perintah bertaqwa dan beribadah kepada Allah Yang Maha Esa.

Perhatikan Firman Allah : “Wa laqod ba’atsna fie kulli ummatin-rrosulan ani’budullooha wajtanibuththoghut;” : “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap ummat (untuk menyerukan):”Sembahlah Allah saja, dan jauhilah thoghut”; (An-Nahl : 36).
Maka jelaslah bahwa inti peribadatan adalah tauhid, yakni menyembah Allah sebagai satu-satunya Tuhan. Laa-illaha illallah. Monotheisme yang bersifat transcendental, bukan monotheisme agnostic seperti yang dikembangkan gerakan “Freemansory” di dunia dewasa ini dengan tuhan generiknya.
Ciri-ciri monotheisme transcendental ialah menempatkan kehidupan dunia sebagai proses, sedangkan gol-nya adalah alam akhirat, dan gol tertingginya ialah sublimasi ruh manusia kedalam Ruh Allah Azza Jalla..

Imam Al-Ghazalie mengingatkan hambatan terpokok terhadap iman-tauhid adalah hawa nafsu. Bahkan hawa nafsu tersembunyi menjadi sumber syirkal-khofi, yaitu syirik yang tersembunyi, yang bahkan pemiliknya sendiri tidak merasa (Ihya’ ‘Ulumuddin). Ini semacam keangkuhan dan kesombongan yang tersembunyi di dalam hati. Halus dan samar, seperti semut hitam di malam gelap dibawah hujan. Tidak tampak, bahkan tidak teramati oleh pemiliknya sendiri. Lebih merupakan gejala bawah sadar atau ketidaksadaran yang mempengaruhi kesadaran melalui proses erupsi, yaitu letupan jiwa, merupakan pantulan dari nilai-nilai das Es (hawa nafsu) yang mendominasi psiko-kognitif. Untuk menjaga jiwa tauhid dari invasi-invasi instinktif (hawa nafsu), Syaikh Abdul-Qodir al-Jaelani bahkan mengatakan bahwa semua kemaujudan (dimensi fisik) kita adalah berhala. Maka lepaskanlah semua berhala dari dalam hati kita, agar transcendent-function atau hati nurani dapat secara optimal berada dalam dimensi transcendental, sehingga mampu menghadapkan ruh semata-mata hanya kepada Allah Ta’aala. Syaikh Abdul-Qodir al-Jaelani dalam Futuh Al-Ghaib bahkan mengatakan, tinggalkan dunia dan akhirat sekaligus jika engkau menginginkan kesatuan dengan Sang Maha Pencipta. Meski demikian al-Jaelani mengingatkan tidak sah hakekat tanpa syari’at, maka pengamalan tauhid harus didalam kerangka syari’at yang utuh.

Ulasan
Penulis abad ini Harun Yahya dari Istambul-Turki dalam Global Freemasonry, 2003 mengungkapkan fakta historiografis tentang faham anti-Tuhan dan anti-agama yang kini marak di dunia, terutama di Eropa dan Amerika Serikat yang sesungguhnya bersumber dari system agama sihir rejim Mesir purba zaman Pharao’s abad ke-15-13 SM, terutama pada masa Rameses II yang menjadi lawan Musa a.s. (Baker & Bimson, 2004, Arkeologi Al-Kitab, hal. 92). Pada masa Rameses II para pekerja tukang batu Yahudi dipekerjakan sebagai budak oleh Rameses II untuk membangun kota modern Rameses  selama beberapa dekade. Kelompok pekerja itulah yang kemudian menjadi landasan nama gerakan “Tukang Batu Bebas” atau Freemasonry  pada abad 20/21 ini. Para tukang batu itu pula yang mencampur system agama sihir Mesir dengan Judaism (agama Yahudi) dan menjadi bentuk lain yang kemudian disebut system Cabbala-Talmud atau rejim tuhan-tuhan berhala berkepala sapi dan kambing yang bercampur dengan paham Judaism. Setelah berhasil memasuki Jerussalem pada lintasan abad ke13-12 SM, ternyata pada abad ke 10 SM sebagian suku-suku besar Yahudi kembali ke system Cabbala, suatu system sinkretisme antara Judaism dengan agama sihir Mesir kuno. Herodes raja Israel-Romawi yang memerintahkan pembunuhan terhadap Nabi Isa a.s pada awal abad masehi adalah seorang Cabbalist.
Ketika kemudian berkembang agama Nasrani dan Islam pada awal abad ke-7 yang kemudian menjadi mainstream peradaban dunia hingga masa kini, Cabbalist juga tidak tinggal diam. Pada lintasan abad 13-14 kaum Cabbalist melakukan reformasi gerakan mereka dan menyusun organisasi baru dan kemasan faham baru tapi lama yang dinamakan Global-Freemasonry merupakan organisasi rahasia dibalik munculnya ideology materialism dan humanisme yang berporos kepada semangat anti-agama anti-Tuhan dan memuja ras manusia. Materialism dan Humanism adalah dua kekuatan ideology manusia yang cukup kuat di dunia modern dewasa ini. Bagi kedua paham itu manusia tidak bertanggung-jawab atas perbuatan baik-buruk kepada Tuhan atau suatu system dogma agama melainkan bertanggungjawab pada dirinya sendiri. Ini artinya manusia bertuhankan dirinya sendiri. “Humanisme, Hak Azasi, Kesejahteraan Social, Persaudaraan Manusia dan secular-agnostisisme” menjadi tema sentral Global-Freemasonry.
Inilah system Masih-al-Dajjal yang sudah ada sejak abad ke-15 SM  (atau lebih lama) zaman Cabbalist-Pharao’s di Mesir, lalu zaman Cabbalist-Talmud di Israel pada masa Herodes, lalu Cabbalist-Ouraisy zaman Rasulullah SAW dan Cabbalist-Freemansory pada masa sekarang ini..
Garis Islam seperti ayat-ayat tersebut diatas tegas, hanya ada satu nilai-ketuhanan dalam struktur teologi Islam atau aqidah Islamiyah yaitu Allah Yang Maha Esa. Tidak ada Tuhan selain Allah. Diluar itu adalah thoghut. Islam tidak mengakui ideology supremasi manusia, dan ideology kompromi kebudayaan, karena semua itu berporos pada kenisbian duniawi. Prinsip ketuhanan Islam bersifat transcendental, pasti dan abadi yang harus dicapai melalui ketakwaan, peribadatan dan ketauhidan dalam seluruh gerak hidup seorang Muslim. Jadi arah ekualisasi psyche seorang Muslim hanya memiliki satu determinant, yaitu Allah Tuhan Yang Esa. Kesanalah terus-menerus arah sublimasi jiwa seorang Muslim, seperti kata al-Jailani : “Sirna-lah kemaujudanku karena hakekat kemaujudan hanyalah di dalam Allah Sang Maha Pencipta. Tidak ada kemaujudan kecuali bersama-Nya” (Futuh Al-Ghaib)..

Domain Allah
Ketauhidan adalah domain Allah mutlak.. Masalah tauhid mutlak masalah ketuhanan. Ketika pamanda terkasih Abu Thalib akan wafat Rasulullah menuntunnya untuk mengucapkan kalimat la-ilaaha-illallah, tetapi selalu diganggu Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umayyah yang ada didekat Abu Thalib  dan selalu menyela: “Hai Abu Thalib apakah kamu membenci agama Abdul Muthalib ? “(Cabbalist-Quraisy). Sampai akhir hayatnya Abu Thalib tidak sempat mengucapkan kalimah tauhid. Dengan hati yang masygul Rasulullah berkata : “Demi Allah, aku akan memintakan ampunan untukmu, selama tidak dilarang”. Seketika itu juga Allah Ta’aala menurunkan Firman-Nya (Attaubah : 113) : “Maa kaana linnabiyyi walladziena aamanuu an-yyastaghfiruu lil-musyrikiena walau kaanuu uulii qurbaa minm-ba’di maa tabayyana lahum annahum ashhaabul-jachiem”: “Tiadalah sepatutnya bagi seorang Nabi dan orang-orang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabatnya, sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu, adalah penghuni neraka jahannam.”(HR. Muslim dari Sa’id ibnul-Musayyab:3).
Inilah landasan yang kokoh bagi konstitusi kejiwan seorang muslim, ialah dengan memelihara terus menerus progresi jiwa kearah tauhid. Meskipun terdapat unsur endogen dalam basis ketidaksadaran kolektif manusia yang berisi semua riwayat nenek moyang ras manusia yang mengandung unsur-unsur Cabbalist dalam berbagai bentuknya, seperti Freemasonry di abad modern sekarang ini, namun terdapat proses psiko kognitif yang memungkinkan kecerdasan pshycologies  membentuk file index schemata yang dipenuhi dengan nilai-nilai tauhid, dan menciptakan garis pemisah kejiwaan dengan nilai-nilai mitologis yang  masih mengendap dalam ketidaksadaran kolektif ras manusia, disebabkan panjangnya periode mitologis itu di masa lalu. Bahkan Rasulullah SAW harus membuat garis pemisah kejiwaan yang tegas dengan pamanda terkasih Abu Thalib.

Global-Freemasonry adalah gerakan rahasia yang kuat, yang melibatkan kartel narkoba, mafia, jaringan money-laundring dan berbagai organisasi kriminal tingkat dunia. Mereka memiliki kemampuan dana yang luar biasa, dan pada zaman yang dekaden ini mungkin bisa membeli jiwa manusia yang berkuasa, atau yang akan berkuasa, untuk kemudian mempengaruhi seluruh proses sosial disuatu negara. Jika dihampiri dengan tantangan dan penderitaan saya yakin Kaum Muslimin kuat. Tetapi jika dihampiri dengan uang dan kenikmatan, inilah yang lebih berbahaya. Ingatlah jawaban Rasulullah SAW kepada musyrikin:”Wallaahi lao wadho’usysyamsa fie yamiinii wal-qomaro fie yasarii ‘ala an-atruka hadzal-amro maa taroktuhu; chatta yudhhirohulloohu a-wa uhlaka fiehi”; Demi Allah, sekalipun mereka (para pemuka musyrikin) meletakkan matahari pada tangan kananku dan bulan pada tangan kiriku agar aku meninggalkan urusan ini (dienul-Islam), tidaklah aku akan meninggalkannya, sehingga Allah menampakkanya (memberikan kemenangan); atau aku dibinasakan dalam mengerjakan urusan agama ini”.(KH. Moenawar Cholil, 2001, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad, hal. 203). Sekian, terima kasih.
Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi Sabilih.
Wassalamu’alaikum War. Wab.
Jakarta, 10 Juni 2005.
Pengasuh,



HAJI AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front Persatuan Nasional


Tidak ada komentar:

Posting Komentar