7.7.17

Pengajian Keenampuluh,-TWU

Pengajian Keenampuluh,

“Dan Kami berfirman, : “Diamilah oleh kamu dan istrimu sorga ini dan makanlah makanan-makanannya yang melimpah lagi baik, di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang dzalim”; (Al-Baqoroh : 35); 

Ayat ini masih tetap dalam rangkaian substansial tentang proses penciptaan Adam a.s. dan takdirnya sebagai origin-species ras manusia. Eklektik pembahasan akan kita lakukan dengan multiprespektif teologi, antropologi, psikologi dan historiografi dll secara holisitis untuk memeroleh kebulatan dan hikmah yang setinggi-tingginya.

Pokok Bahasan.

Mayoritas ulama salaf berpendapat bahwa sorga dimaksud ayat di atas ialah sorga sebagaimana dijanjikan Allah sebagai balasan orang-orang yang beriman tauchid dan beramal saleh, tempatnya di langit dengan sifat –sifat transenden. Lalu timbul pertanyaan, bagaimana hakekat Adam dan Hawa di waktu itu, bersifat fisik atau transenden (ruchaniyat) ? Seakan menjawab pertanyaan ini, kalangan Muktazilah dan Qodariyah berpendapat bahwa surga dimaksud ayat ini berada di bumi bersifat inderawi, dengan fasilitas kenikmatan hidup alami yang memadai.
Tentang Hawa, sebagian ulama berpendepat diciptakan sebelum Adam diperintahkan masuk sorga, sedangkan sebagian yang lain berpendapat setelah Adam diperintahkan masuk sorga. Ketika Adam tidur, Allah mengambil tulang rusuknya yang kiri dan diciptakanlah Hawa. Ketika bangun Adam menyadari keberadaan Hawa dan bertanya bertanya : “ Siapakah kamu ?”, Hawa menjawab : “Aku perempuan”. Mengapa kamu diciptakan ?” Tanya Adam, Hawa menjawab : “Agar kamu merasa tenteram kepadaku”. Tentang nama “Hawa” itu sediri berasal dari jawaban Adam terhadap pertanyaan malaikat : “
“Hai Adam siapa nama pasanganmu itu?” Adam menjawab, “Hawa”. Malaikat bertanya, “Mengapa Hawa ?”. Adam menjawab, “Karena dia diciptakan dari Hayyun, yaitu sesuatu yang hidup”.
Tentang firman, “… wa laa taqroba hadzihis-sajarot(a)…” : “…dan janganlah kamu mendekati pohon ini…”, berfungsi sebagai pemberitahuan sekaligus ujian bagi Adam dan istrinya. Menurut Tatsir Jalalain, setan menamakannya “pohon khuldi”, tetapi para ulama salaf berikhtilaf mengenai nama atau jenis pohon ini. Yang pasti sesuatu pohon di surga. Qur’an dan Sunnah tidak menyebutkan jenisnya secara eksplisit. Ibnu Jarir r.a. menyimpulkan, mengetahui namanya tidak bermanfaat, dan tidak mengetahuinya tidak merugikan. (Disarikan dari Tafsir Jalalain dan Tafsir Ibnu Katsir). Tentang beberapan ikhtilaf dalam ayat ini umat bebas memilih mengikuti yang mana.

Ulasan.

Ayat diatas menceritakan tentang penciptaan Hawa sebagai pasangan Adam dan penentuan status domisili mereka di sorga.  Konsep dasar dalam ayat ini, bahwa manusia diciptakan Tuhan dibuktikan dengan dimensi “ruh” dalam diri manusia yang menjadi sumber intelijensia, yang tidak dimiliki jenis hewan, tumbuh-tumbuhan dan species lainnya. Berbeda dengan kalangan materialist/freemasonry yang berpendapat manusia tercipta dengan sendirinya dari koleksi atom seperti sudah banyak kita bahas dalam kaitannya dengan gerakan anti-agama global-freemasonry sejak pengajian ke 46-57.

Tentang surga, semua agama memiliki sorga, secara psikologis sorga adalah idealisme transenden yang ingin dicapai manusia, bersumber dari ketidaksadaran kolektif manusia tentang kehidupan ideal yang abadi sesudah kematian. Bahkan segala kehidupan ideal yang ingin dicapai manusia di bumi termasuk yang atheis, seperti kemakmuran, kesejahteraan, keadilan dan kasih-sayang adalah “imitatio dei” (tiruan) dari idealitas surga transenden itu.

Pemikir besar abad Yunani, Plato (427-347 SM), mengatakan : “Agar jiwa dapat dilepaskan dari penjara dunia gejala (dunia fana), orang harus berusaha mendapatkan pengetehuan yang memberinya kemampuan melihat keatas ke alam idea yang akan membuat jiwanya bahagia, seperti yang pernah dialami dalam zaman pra-eksistensi sebelum jiwa dipenjarakan dalam tubuh” (bandingkan dengan Al-A’rof 172). Plato percaya tentang pra-eksistensi jiwa dan dia yakin jiwa tidak bisa mati. Menurut Plato indera manusia demikian terpikat oleh kesementaraan dunia gejala yang dapat diamati secara langsung, sehingga sukar bagi manusia untuk naik ke dunia idea. Untuk mencapai hakekat idea  manusia harus berusaha keras, dan hanya sedikit yang berhasil. Mereka yang sedikit ini, apabila mati kelak akan melihat kebahagiaan alam idea itu. Alam idea dimaksud platonisme adalah sorga dimaksud agama-agama.

Yang dimaksud jiwa oleh Plato bagi agama Islam adalah “ruh”. Dan tentang “ruh” ini mari kita simak sebuah hadiest :
‘Sekelompok sahabat bertanya kepada Rasulullah : “Ya Abu Kosim (ayahnya Kosim, panggilan akrab Rasulullah), apakah yang dimaksud dengan ruh ?”. Rasulullah diam sebentar. Saat itu turun wahyu, Firman Allah : “Wa-yas’aluunaka ‘anirruuch(i), qulirruuchu min amri Robbie wa-ma u-tii-tum minal’ilmi illaa qoliela(n)” : “Mereka bertanya kepadamu tentang “ruh”: “Katakanlah : “Ruh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit” ; (Al-Isro’ : 85) ; (HR. Bukhari, dari Abdullah r.a. : H. 89).

Tidak ada cara lain bagi kita, harus terus mendalami tanpa kenal lelah, agar kita termasuk dalam golongan yang sedikit itu.

Jerusalem.

Peradaban agama samawi baru dikenal secara nyata jejaknya dalam sejarah manusia sejak mulainya peradaban Jerusalem sebagai Ir Daud (Kota Daud) pada 1000 SM, yaitu sejak penaklukan negara kota milik bangsa Yebus itu oleh Raja Yehuda dan Israel, Daud. Sejarah agama samawi sebelum itu samar-samar.
Tentang Raja Daud yang oleh  antropolog Karen Armstrong disebut sebagai tokoh paling kompleks dalam Bibel, sebagai penyair, musisi, pejuang, pemberontak, pengkhianat, pezina dan belakangan dipuja-puja sebagai raja ideal Israel, menurut pandangan Islam adalah seorang nabi dan rasul yang berkhidmat di jalan tauchid (vide, QS As-Shaad : 17-29, An-Naml : 15-16, Al-Anbiya : 78-80, Saba’ : 10-11, An-Nisaa’ : 163).

Siapakah orang-orang Israel ? Darimana asal-usulnya ? Karen Arsmstrong  berdasarkan studi Bibel menyebut Bani Israel berasal dari Mesopotamia. mereka menetap sementara di Kanaan, dan pada 1750 SM dua belas suku Israel beremigrasi ke Mesir selama masa paceklik.  Pada mulanya mereka hidup makmur di Mesir, tetapi dalam perkembangan selanjutnya situasi mereka merosot tajam, dan mereka menjadi ras budak. Akhirnya pada sekitar th. 1250 SM mereka melarikan diri dari Mesir dibawah pimpinan Musa  dan hidup sebagai nomaden di Simenanjung Sinai. Mereka berkeyakinan untuk kembali menetap di Kanaan seperti yang dijanjikan Yahweh tuhan mereka, tetapi mereka juga tidak dapat melupakan masa-masa kehidupan mereka di Mesir termasuk kebiasaan paganisme. Musa sendiri meninggal sebelum kembali ke Kanaan. Secara bertahap kelompok-kelompok orang Israel yang disebut “kaum Ibrani” itu kemudian memasuki Kanaan, dan muncul dari dalam masyarakat Kanaan sebagai kekuatan pribumi. Deskripsi antropologis ini berbeda dengan narasi Bibel yang mengisahkan, bangsa Israel dibawah pimpinan Yosua pengganti Musa, berperang menyerbu Kanaan sebagai pasukan Yahweh yang gagah perkasa. Menurut Karen Armstrong para ahli skeptis dengan narasi Bibel itu. Deskripsi antropologis lebih didasarkan pada bukti-bukti arkeologis yang teliti. Menurut Armstrong narasi Yahweh tentang peperangan Yosua lebih dimungkinan pada bentrokan-bentrokan dengan negara-negara kota disekitarnya, terutama dengan kerajaan Filistea (Bangsa Filistin).  Ketika itu Kanaan menjadi semakin kuat dan tumbuh menjadi kerajaan Israel pada abad ke-11 SM, dengan raja pertamanya Saul, kemudian Esybaal dan Daud yang berhasil mempersatukan seluruh Kanaan dan menaklukkan Jerusalem pada th. 1000 SM (vide, Pengajian ke-59).

Dalam telaah Bibel, Karen Armstrong yang bekas biarawati Katholik itu menulis dalam “One City , Three Faith, May 1997), bahwa Daud telah memikat Batsyeba, istri “Uriah orang Het” salah seorang perwira Yebus dalam ketentaraan Jerusalem. Supaya dapat menikahi Batsyeba, Daud mengatur kematian Uriah dengan menempatkannya di posisi yang sangat berbahaya dalam peperangan melawan Bangsa Ammon. Putra yang lahir dari Daud dan Batsyeba dengan demikian setengah Yebus, kerajaan memberi nama Israel, “Jedidiah” (Kekasih Yahweh) sebagai pertanda bahwa ia telah dipilih sebagai pewaris tahta Daud. Tetapi nama yang diberikan oleh ibunya adalah “Sulaiman” dikaitkan dengan Shalem, tuhan kuno Jerusalem, tuhannya orang-orang Yebus. Tetapi para sejarawan menghubungkannya dengan bahasa Ibrani “Shalom” yang bermakna segala kebajikan.
Sejarah Jerusalem dan Bani Israel kita lanjutkan pada pengajian yang akan datang. Sekian.

Birrahchmatillahi Wabi’aunihi fi Sabilih,
Wassalamu’alaikum War. Wab.

Jakarta, 16 September 2005,

Pengasuh,



HAJI AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front Persatuan Nasional.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar