Pengajian Keenampuluh,
“Dan
Kami berfirman, : “Diamilah oleh kamu dan istrimu sorga ini dan makanlah
makanan-makanannya yang melimpah lagi baik, di mana saja yang kamu sukai, dan
janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang
yang dzalim”; (Al-Baqoroh : 35);
Ayat ini masih tetap dalam rangkaian substansial tentang
proses penciptaan Adam a.s. dan takdirnya sebagai origin-species ras manusia.
Eklektik pembahasan akan kita lakukan dengan multiprespektif teologi, antropologi,
psikologi dan historiografi dll secara holisitis untuk memeroleh kebulatan dan
hikmah yang setinggi-tingginya.
Pokok Bahasan.
Mayoritas ulama salaf berpendapat bahwa sorga dimaksud ayat
di atas ialah sorga sebagaimana dijanjikan Allah sebagai balasan orang-orang
yang beriman tauchid dan beramal saleh, tempatnya di langit dengan sifat –sifat
transenden. Lalu timbul pertanyaan, bagaimana hakekat Adam dan Hawa di waktu
itu, bersifat fisik atau transenden (ruchaniyat) ? Seakan menjawab pertanyaan ini,
kalangan Muktazilah dan Qodariyah berpendapat bahwa surga dimaksud ayat ini
berada di bumi bersifat inderawi, dengan fasilitas kenikmatan hidup alami yang
memadai.
Tentang Hawa, sebagian ulama berpendepat diciptakan sebelum
Adam diperintahkan masuk sorga, sedangkan sebagian yang lain berpendapat
setelah Adam diperintahkan masuk sorga. Ketika Adam tidur, Allah mengambil
tulang rusuknya yang kiri dan diciptakanlah Hawa. Ketika bangun Adam menyadari
keberadaan Hawa dan bertanya bertanya : “ Siapakah kamu ?”, Hawa menjawab :
“Aku perempuan”. Mengapa kamu diciptakan ?” Tanya Adam, Hawa menjawab : “Agar
kamu merasa tenteram kepadaku”. Tentang nama “Hawa” itu sediri berasal dari
jawaban Adam terhadap pertanyaan malaikat : “
“Hai Adam siapa nama pasanganmu itu?” Adam menjawab, “Hawa”.
Malaikat bertanya, “Mengapa Hawa ?”. Adam menjawab, “Karena dia diciptakan dari
Hayyun, yaitu sesuatu yang
hidup”.
Tentang firman, “… wa
laa taqroba hadzihis-sajarot(a)…” : “…dan janganlah kamu mendekati pohon ini…”, berfungsi sebagai
pemberitahuan sekaligus ujian bagi Adam dan istrinya. Menurut Tatsir Jalalain,
setan menamakannya “pohon
khuldi”,
tetapi para ulama salaf berikhtilaf mengenai nama atau jenis pohon ini. Yang
pasti sesuatu pohon di surga. Qur’an dan Sunnah tidak menyebutkan jenisnya
secara eksplisit. Ibnu Jarir r.a. menyimpulkan, mengetahui namanya tidak
bermanfaat, dan tidak mengetahuinya tidak merugikan. (Disarikan dari Tafsir
Jalalain dan Tafsir Ibnu Katsir). Tentang beberapan ikhtilaf dalam ayat ini
umat bebas memilih mengikuti yang mana.
Ulasan.
Ayat diatas menceritakan tentang penciptaan Hawa sebagai
pasangan Adam dan penentuan status domisili mereka di sorga. Konsep dasar dalam ayat ini, bahwa manusia
diciptakan Tuhan dibuktikan dengan dimensi “ruh” dalam diri manusia yang
menjadi sumber intelijensia, yang tidak dimiliki jenis hewan, tumbuh-tumbuhan
dan species lainnya. Berbeda dengan kalangan materialist/freemasonry yang
berpendapat manusia tercipta dengan sendirinya dari koleksi atom seperti sudah
banyak kita bahas dalam kaitannya dengan gerakan anti-agama global-freemasonry
sejak pengajian ke 46-57.
Tentang surga, semua agama memiliki sorga, secara psikologis
sorga adalah idealisme transenden yang ingin dicapai manusia, bersumber dari
ketidaksadaran kolektif manusia tentang kehidupan ideal yang abadi sesudah
kematian. Bahkan segala kehidupan ideal yang ingin dicapai manusia di bumi
termasuk yang atheis, seperti kemakmuran, kesejahteraan, keadilan dan
kasih-sayang adalah “imitatio
dei”
(tiruan) dari idealitas surga transenden itu.
Pemikir besar abad Yunani, Plato (427-347 SM), mengatakan :
“Agar jiwa dapat dilepaskan dari penjara dunia gejala (dunia fana), orang harus
berusaha mendapatkan pengetehuan yang memberinya kemampuan melihat keatas ke
alam idea yang akan membuat jiwanya bahagia, seperti yang pernah dialami dalam
zaman pra-eksistensi sebelum jiwa dipenjarakan dalam tubuh” (bandingkan dengan
Al-A’rof 172). Plato percaya tentang pra-eksistensi jiwa dan dia yakin jiwa
tidak bisa mati. Menurut Plato indera manusia demikian terpikat oleh
kesementaraan dunia gejala yang dapat diamati secara langsung, sehingga sukar
bagi manusia untuk naik ke dunia idea. Untuk mencapai hakekat idea manusia harus berusaha keras, dan hanya
sedikit yang berhasil. Mereka yang sedikit ini, apabila mati kelak akan melihat
kebahagiaan alam idea itu. Alam idea dimaksud platonisme adalah sorga dimaksud
agama-agama.
Yang dimaksud jiwa oleh Plato bagi agama Islam adalah “ruh”.
Dan tentang “ruh” ini mari kita simak sebuah hadiest :
‘Sekelompok
sahabat bertanya kepada Rasulullah : “Ya Abu Kosim (ayahnya Kosim, panggilan
akrab Rasulullah), apakah yang dimaksud dengan ruh ?”. Rasulullah diam
sebentar. Saat itu turun wahyu, Firman Allah : “Wa-yas’aluunaka ‘anirruuch(i),
qulirruuchu min amri Robbie wa-ma u-tii-tum minal’ilmi illaa qoliela(n)” :
“Mereka bertanya kepadamu tentang “ruh”: “Katakanlah : “Ruh itu termasuk urusan
Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit” ; (Al-Isro’ :
85) ; (HR. Bukhari, dari Abdullah r.a. : H. 89).
Tidak ada cara lain bagi kita, harus terus mendalami tanpa
kenal lelah, agar kita termasuk dalam golongan yang sedikit itu.
Jerusalem.
Peradaban agama samawi baru dikenal secara nyata jejaknya
dalam sejarah manusia sejak mulainya peradaban Jerusalem sebagai Ir Daud (Kota
Daud) pada 1000 SM, yaitu sejak penaklukan negara kota milik bangsa Yebus itu
oleh Raja Yehuda dan Israel, Daud. Sejarah agama samawi sebelum itu
samar-samar.
Tentang Raja Daud yang oleh
antropolog Karen
Armstrong
disebut sebagai tokoh paling kompleks dalam Bibel, sebagai penyair, musisi,
pejuang, pemberontak, pengkhianat, pezina dan belakangan dipuja-puja sebagai
raja ideal Israel, menurut pandangan Islam adalah seorang nabi dan rasul yang
berkhidmat di jalan tauchid (vide, QS As-Shaad : 17-29, An-Naml : 15-16,
Al-Anbiya : 78-80, Saba’ : 10-11, An-Nisaa’ : 163).
Siapakah orang-orang Israel ? Darimana asal-usulnya ? Karen Arsmstrong berdasarkan studi Bibel menyebut Bani Israel
berasal dari Mesopotamia. mereka menetap sementara di Kanaan, dan pada 1750 SM
dua belas suku Israel beremigrasi ke Mesir selama masa paceklik. Pada mulanya mereka hidup makmur di Mesir,
tetapi dalam perkembangan selanjutnya situasi mereka merosot tajam, dan mereka
menjadi ras budak. Akhirnya pada sekitar th. 1250 SM mereka melarikan diri dari
Mesir dibawah pimpinan Musa dan hidup
sebagai nomaden di Simenanjung Sinai. Mereka berkeyakinan untuk kembali menetap
di Kanaan seperti yang dijanjikan Yahweh tuhan mereka, tetapi
mereka juga tidak dapat melupakan masa-masa kehidupan mereka di Mesir termasuk
kebiasaan paganisme. Musa sendiri meninggal sebelum kembali ke Kanaan. Secara
bertahap kelompok-kelompok orang Israel yang disebut “kaum Ibrani” itu kemudian memasuki Kanaan, dan muncul
dari dalam masyarakat Kanaan sebagai kekuatan pribumi. Deskripsi antropologis
ini berbeda dengan narasi Bibel yang mengisahkan, bangsa Israel dibawah
pimpinan Yosua pengganti Musa, berperang menyerbu Kanaan sebagai pasukan Yahweh
yang gagah perkasa. Menurut Karen Armstrong para ahli skeptis dengan narasi
Bibel itu. Deskripsi antropologis lebih didasarkan pada bukti-bukti arkeologis
yang teliti. Menurut Armstrong narasi Yahweh tentang peperangan Yosua lebih
dimungkinan pada bentrokan-bentrokan dengan negara-negara kota disekitarnya, terutama
dengan kerajaan Filistea (Bangsa Filistin).
Ketika itu Kanaan menjadi semakin kuat dan tumbuh menjadi kerajaan
Israel pada abad ke-11 SM, dengan raja pertamanya Saul, kemudian Esybaal dan
Daud yang berhasil mempersatukan seluruh Kanaan dan menaklukkan Jerusalem pada
th. 1000 SM (vide, Pengajian ke-59).
Dalam telaah Bibel, Karen Armstrong yang bekas biarawati
Katholik itu menulis dalam “One City , Three Faith, May 1997), bahwa Daud telah
memikat Batsyeba, istri “Uriah orang Het”
salah seorang perwira Yebus dalam ketentaraan Jerusalem. Supaya dapat menikahi
Batsyeba, Daud mengatur kematian Uriah dengan menempatkannya di posisi yang
sangat berbahaya dalam peperangan melawan Bangsa Ammon. Putra yang lahir dari Daud dan Batsyeba dengan demikian
setengah Yebus, kerajaan memberi nama Israel, “Jedidiah” (Kekasih Yahweh) sebagai pertanda bahwa ia telah dipilih
sebagai pewaris tahta Daud. Tetapi nama yang diberikan oleh ibunya adalah “Sulaiman” dikaitkan dengan Shalem, tuhan kuno
Jerusalem, tuhannya orang-orang Yebus. Tetapi para sejarawan menghubungkannya
dengan bahasa Ibrani “Shalom” yang bermakna segala
kebajikan.
Sejarah Jerusalem dan Bani Israel kita lanjutkan pada
pengajian yang akan datang. Sekian.
Birrahchmatillahi Wabi’aunihi fi Sabilih,
Wassalamu’alaikum War. Wab.
Jakarta, 16 September 2005,
Pengasuh,
HAJI AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front Persatuan Nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar