Pengajian Kedelapanpuluh Tiga (83).
Assalamu’alaikum War. Wab.
Bismillahirrahmanirrahiem,
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman,
“Masuklah kamu ke negeri ini (Baitul Maqdis), dan makanlah dari hasil buminya
yang banyak lagi enak di mana yang kamu sukai, dan masukilah pintu gerbangnya
sambil bersujud serta katakanlah, ‘Bebaskanlah kami dari dosa’, niscaya Kami
ampuni kesalahan-kesalahanmu. Dan kelak Kami akan menambah (pemberian Kami)
kepada orang-orang yang berbuat baik” ; Al-Baqoroh : 58.
Kita akan membahas ayat ini
dari berbagai sudut pandang secara eklektik, baik dari perspektif teologis,
antropologis, historiografis maupun psikologis untuk memperoleh kebulatan dan
kedalaman dalam pemahaman nilai-nilai yang terkandung didalamnya.
Pokok Bahasan.
Ayat ini merupakan rangkaian dari ayat
sebelumnya yang berisi sejarah kuno Bani Israil di zaman Musa a.s. abad ke-15
SM. Pada waktu itu tanah Muqaddas menurut Tafsir Ibnu Katsir dikuasai oleh kaum
Amalikah. Ketika Bani Israil tiba dari Mesir dibawah pimpinan Musa a.s. Allah memerintahkan agar Bani Israil berjihad
merebut Baitul Muqaddas dari kaum Amalikah. Tafsir Ibnu Katsir menyebut tanah
Muqaddas itu sebagai warisan dari bapak Bani Israil, yaitu Ya’qub yang bergelar
Israil. Tentu para antropolog memiliki pendapat berbeda tentang ungkapan itu
dan status tanah warisan. Masih menurut Ibnu Katsir, Bani Israil menolak untuk
berperang melawan Dinasti Amalik dan bersikap lemah.
Maka Allah ‘melemparkan’ mereka kembali ke
Padang Sahara sebagai hukuman, dan mereka terlunta-lunta di sana selama 40 th
(vide, Buku Spirit Islam seri 2). Ayat ini turun setelah 40 tahun pengembaraan
mereka di Padang Sahara itu. Mereka dipimpin Yusya’ bin Nun a.s. khalifah Musa
atau Yosua dalam istilah Bibel. Saat itu hari Jum’at sore ketika Allah
membukakan jalan bagi mereka untuk memasuki Baitul Maqdis atau Jerusalem.
Diperintahkan mereka memasuki pintu Jerusalem yang disebut Bab Hittah
‘sambil bersujud’ sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah. Dan Allah
berfirman kepada mereka, ‘Dan katakahlah, “Hapuskanlah kesalahan kami”, yaitu
dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan yang telah mereka lakukan. Menurut Tafsir
Jalalain maka Allah akan mengampuni mereka semua, dan akan memberikan tambahan
nikmat dan karunia kepada Bani Israil.
Tentang status tanah warisan dari Israil
sebagaimana disebut Tafsir Ibnu Katsir, menurut para antropolog tidak memiliki
landasan keabsahan. Ya’qub atau Israil putra Ishak cucu Ibrahim tidak pernah
memiliki hak atas tanah Muqaddas atau Jerusalem. Ibrahim atau Abraham berasal
dari Aur-Khaldan, Mesopotamia Selatan. Ibrahim dan keluarganya tiba di
Jerusalem sebagai pengembara sekitar abad ke-25 SM.
Pribumi Jerusalem adalah Bangsa Yebus dengan
maharajanya Melkisidek yang disebut juga Imam Salem merupakan Bapak pendiri
Jerusalem, yang memiliki peradaban tinggi. Merekalah pemilik sah tanah
Muqaddas. Ibrahim hanyalah seorang pengembara yang tiba di Jerusalem dan
tinggal di sana atas ijin pemilik negeri itu Raja Yebus Melkisidek. Kepada
Melkisidek, Ibrahim memberikan upeti sepersepuluh dari hartanya. Sementara
Melkisidek berkenan menjamunya.
Maka tidak ada dasar sedikitpun Bani Israil
mengklaim sebagai ahli waris Baitul Muqaddas yang tidak pernah dimiliki oleh
nenek moyang mereka. Berdasarkan data-data arkeologis-antropologis, Tanah
Muqaddas itu milik Bangsa Yebus, dan tidak ada bukti yang menyebutkan beralih kepada
Bangsa Amalikah seperti diungkapkan Tafsir Ibnu Katsir.
Data-data antropologis membuktikan Dinasti
Amalik tidak pernah berkuasa di Baitul Maqdis (Jerusalem), melainkan berkuasa
sebagai penjajah di Mesir pada sekitar abad 19 SM dengan Fir’aun yang menjadi
penguasa dinasti yang bergelar Futifar
dimana Bani Israil dibawah pimpinan Yusuf
a.s. bergabung dalam kekuasannya dan menikmati privilege hingga tumbangnya
Dinasti Amalik oleh Dinasti pribumi Mesir Ahmes
pada lintasan abad ke 14-15 SM,
yang dilanjutkan Ramses I dan Ramses II yang menindas rencana pemberontakan
Bani Israil dan melakukan politik pembalasan serta mengubah status Bani Israil
menjadi ras-budak di Mesir.
Dengan demikian maka ungkapan Tafsir Ibnu
Katsir tentang Bangsa Amalikah (Dinasti Amalik) yang berkuasa di Jerusalem
ketika Musa dan eksodusan Bani Israil
Mesir tiba disana adalah tidak berdasar sama sekali.
Dalam pada itu di masa Daud a.s. terjadi
asimilasi antara Bani Israil dengan Bangsa Yebus, terutama setelah Jerusalem
ditaklukkan Daud pada th. 1000 SM, antara lain melalui perkawinan, seperti yang
dilakukan Daud dengan Batsyeba yang melahirkan Sulaiman, Raja Bani Israil yang
paling di puja. Sulaiman dengan demikian setengah Yebus. Raja Yebus yang
terakhir adalah Araunah yang oleh Daud tetap dihormati dan diberikan status
merdeka. Demikian pula para bangsawan dan perwira Yebus tetap diberikan peran
dalam pemerintahan Daud. Demikianlah Araunah tetap memelihara keturunan Yebus
di Jerusalem yang dalam perkembangannya berasimilasi pula dengan Bangsa
Palestina.
Tentang Yusya’ memimpin eksodusan Bani Israil
Mesir memasuki tanah Muqaddas seperti diungkapkan baik oleh Tafsir Ibnu Katsir
maupun Tafsir Jalalain, bahkan tidak memiliki dasar sama sekali. Perlu dicatat
bahwa Bani Israil baru berhasil memasuki Jerusalem pada masa Daud th. 1000 SM.
Jadi Yusya’ atau Yosua, dia hanya memasuki kawasan pebukitan wilayah Kana’an
Utara yang perlahan-lahan tumbuh menjadi komunitas dan baru pada abad 11 SM
tumbuh menjadi Kerajaan Israel dengan raja pertamanya Saul berkedudukan di Gibeon. Maka dalam hal ini, baik narasi
Bibel maupun para mufasir Al-Qur’an sangat diragukan kebenarannya, terutama
jika didasarkan pada bukti-bukti antropologis.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ayat
diatas tidak berkaitan dengan Bani Israil eksodusan Mesir, baik dalam pimpinan
Musa maupun penggantinya Yusya’ (Yosua). Melainkan lebih berkaitan dengan Daud
dan balatentaranya dari Hebron yang berhasil menaklukkan Jerusalem secara
militer pada th. 1000 SM. Maka tidak ada kekeliruan dalam ayat
Al-Qur’an,melainkan kekeliruan dalam menafsirkannya.
Sumber peradaban
Meskipun kalangan freemasonry menganggap
agama merupakan idealisme spekulatif yang menghambat kemajuan mental manusia,
namun banyak pula kalangan ilmuwan yang menganggap agama adalah bagian dari
sumber peradaban manusia yang memberikan sejumlah motivasi bagi pencapaian
emansipasi. Francis Fukuyama (Profesor pada John Hopkin University) berpendapat
bahwa, ‘Ideologi tidak terbatas pada doktrin politik yang eksplisit dan
secular, namun bisa juga mencakup agama, budaya dan nilai-nilai moral yang
kompleks yang menyangga suatu masyarakat (1989).
Bahkan pemikir legendaries Hegel berpendapat,
‘semua perilaku manusia di dunia materi dan dengan demikian semua sejarah
manusia, berakar dalam suatu tahapan kesadaran yang mendahuluinya. Kesadaran
ini mungkin sifatnya tidak eksplisit seperti doktrin-doktrin politik modern,
melainkan lebih bersifat implicit seperti bentuk agama, atau
kebiasaan-kebiasaan budaya dan moral yang sederhana, tetapi yang dalam jangka
panjang akhirnya termanifestasi dalam dunia materi dan membentuk dunia materi
dengan citra tersendiri.
Kesadaran adalah penyebab dan bukan akibat, dan
bisa berkembang secara otonom dari dunia materi. Maka sesungguhnya makna nyata
yang mendasari carut-marut dunia kita dewasa ini lebih bertumpu pada
persoalan-persoalan ideology daripada realitas materiil.
Tapi kalau jawabannya tidak, kita membenarkan
tuduhan kalangan freemasonry yang menganggap agama sebagai hambatan terbesar
mental manusia, oleh karena itu freemasonry berpendapat agama-agama harus
dihilangkan perannya dari peradaban manusia. Perlu diketahui bahwa 95 % Al-Qur’an berisi tentang peradaban dan
hanya 5 % berisi tentang peribadatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar