11.7.17

Pengajian Kedelapanpuluh Tiga (83).

Pengajian Kedelapanpuluh Tiga (83).

Assalamu’alaikum War. Wab.
Bismillahirrahmanirrahiem,

“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman, “Masuklah kamu ke negeri ini (Baitul Maqdis), dan makanlah dari hasil buminya yang banyak lagi enak di mana yang kamu sukai, dan masukilah pintu gerbangnya sambil bersujud serta katakanlah, ‘Bebaskanlah kami dari dosa’, niscaya Kami ampuni kesalahan-kesalahanmu. Dan kelak Kami akan menambah (pemberian Kami) kepada orang-orang yang berbuat baik” ; Al-Baqoroh : 58.

Kita akan membahas ayat ini dari berbagai sudut pandang secara eklektik, baik dari perspektif teologis, antropologis, historiografis maupun psikologis untuk memperoleh kebulatan dan kedalaman dalam pemahaman nilai-nilai yang terkandung didalamnya.

Pokok Bahasan.

Ayat ini merupakan rangkaian dari ayat sebelumnya yang berisi sejarah kuno Bani Israil di zaman Musa a.s. abad ke-15 SM. Pada waktu itu tanah Muqaddas menurut Tafsir Ibnu Katsir dikuasai oleh kaum Amalikah. Ketika Bani Israil tiba dari Mesir dibawah pimpinan Musa a.s.  Allah memerintahkan agar Bani Israil berjihad merebut Baitul Muqaddas dari kaum Amalikah. Tafsir Ibnu Katsir menyebut tanah Muqaddas itu sebagai warisan dari bapak Bani Israil, yaitu Ya’qub yang bergelar Israil. Tentu para antropolog memiliki pendapat berbeda tentang ungkapan itu dan status tanah warisan. Masih menurut Ibnu Katsir, Bani Israil menolak untuk berperang melawan Dinasti Amalik dan bersikap lemah.

Maka Allah ‘melemparkan’ mereka kembali ke Padang Sahara sebagai hukuman, dan mereka terlunta-lunta di sana selama 40 th (vide, Buku Spirit Islam seri 2). Ayat ini turun setelah 40 tahun pengembaraan mereka di Padang Sahara itu. Mereka dipimpin Yusya’ bin Nun a.s. khalifah Musa atau Yosua dalam istilah Bibel. Saat itu hari Jum’at sore ketika Allah membukakan jalan bagi mereka untuk memasuki Baitul Maqdis atau Jerusalem. Diperintahkan mereka memasuki pintu Jerusalem yang disebut Bab Hittah ‘sambil bersujud’ sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah. Dan Allah berfirman kepada mereka, ‘Dan katakahlah, “Hapuskanlah kesalahan kami”, yaitu dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan yang telah mereka lakukan. Menurut Tafsir Jalalain maka Allah akan mengampuni mereka semua, dan akan memberikan tambahan nikmat dan karunia kepada Bani Israil.

Tentang status tanah warisan dari Israil sebagaimana disebut Tafsir Ibnu Katsir, menurut para antropolog tidak memiliki landasan keabsahan. Ya’qub atau Israil putra Ishak cucu Ibrahim tidak pernah memiliki hak atas tanah Muqaddas atau Jerusalem. Ibrahim atau Abraham berasal dari Aur-Khaldan, Mesopotamia Selatan. Ibrahim dan keluarganya tiba di Jerusalem sebagai pengembara sekitar abad ke-25 SM.

Pribumi Jerusalem adalah Bangsa Yebus dengan maharajanya Melkisidek yang disebut juga Imam Salem merupakan Bapak pendiri Jerusalem, yang memiliki peradaban tinggi. Merekalah pemilik sah tanah Muqaddas. Ibrahim hanyalah seorang pengembara yang tiba di Jerusalem dan tinggal di sana atas ijin pemilik negeri itu Raja Yebus Melkisidek. Kepada Melkisidek, Ibrahim memberikan upeti sepersepuluh dari hartanya. Sementara Melkisidek berkenan menjamunya.

Maka tidak ada dasar sedikitpun Bani Israil mengklaim sebagai ahli waris Baitul Muqaddas yang tidak pernah dimiliki oleh nenek moyang mereka. Berdasarkan data-data arkeologis-antropologis, Tanah Muqaddas itu milik Bangsa Yebus, dan tidak ada bukti yang menyebutkan beralih kepada Bangsa Amalikah seperti diungkapkan Tafsir Ibnu Katsir.

Data-data antropologis membuktikan Dinasti Amalik tidak pernah berkuasa di Baitul Maqdis (Jerusalem), melainkan berkuasa sebagai penjajah di Mesir pada sekitar abad 19 SM dengan Fir’aun yang menjadi penguasa dinasti yang bergelar Futifar dimana Bani Israil dibawah pimpinan Yusuf a.s. bergabung dalam kekuasannya dan menikmati privilege hingga tumbangnya Dinasti Amalik oleh Dinasti pribumi Mesir Ahmes pada lintasan abad ke 14-15 SM, yang dilanjutkan Ramses I dan Ramses II yang menindas rencana pemberontakan Bani Israil dan melakukan politik pembalasan serta mengubah status Bani Israil menjadi ras-budak di Mesir.  

Dengan demikian maka ungkapan Tafsir Ibnu Katsir tentang Bangsa Amalikah (Dinasti Amalik) yang berkuasa di Jerusalem ketika Musa dan eksodusan Bani  Israil Mesir tiba disana adalah tidak berdasar sama sekali.

Dalam pada itu di masa Daud a.s. terjadi asimilasi antara Bani Israil dengan Bangsa Yebus, terutama setelah Jerusalem ditaklukkan Daud pada th. 1000 SM, antara lain melalui perkawinan, seperti yang dilakukan Daud dengan Batsyeba yang melahirkan Sulaiman, Raja Bani Israil yang paling di puja. Sulaiman dengan demikian setengah Yebus. Raja Yebus yang terakhir adalah Araunah yang oleh Daud tetap dihormati dan diberikan status merdeka. Demikian pula para bangsawan dan perwira Yebus tetap diberikan peran dalam pemerintahan Daud. Demikianlah Araunah tetap memelihara keturunan Yebus di Jerusalem yang dalam perkembangannya berasimilasi pula dengan Bangsa Palestina.

Tentang Yusya’ memimpin eksodusan Bani Israil Mesir memasuki tanah Muqaddas seperti diungkapkan baik oleh Tafsir Ibnu Katsir maupun Tafsir Jalalain, bahkan tidak memiliki dasar sama sekali. Perlu dicatat bahwa Bani Israil baru berhasil memasuki Jerusalem pada masa Daud th. 1000 SM. Jadi Yusya’ atau Yosua, dia hanya memasuki kawasan pebukitan wilayah Kana’an Utara yang perlahan-lahan tumbuh menjadi komunitas dan baru pada abad 11 SM tumbuh menjadi Kerajaan Israel dengan raja pertamanya Saul berkedudukan di Gibeon. Maka dalam hal ini, baik narasi Bibel maupun para mufasir Al-Qur’an sangat diragukan kebenarannya, terutama jika didasarkan pada bukti-bukti antropologis.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ayat diatas tidak berkaitan dengan Bani Israil eksodusan Mesir, baik dalam pimpinan Musa maupun penggantinya Yusya’ (Yosua). Melainkan lebih berkaitan dengan Daud dan balatentaranya dari Hebron yang berhasil menaklukkan Jerusalem secara militer pada th. 1000 SM. Maka tidak ada kekeliruan dalam ayat Al-Qur’an,melainkan kekeliruan dalam menafsirkannya.

Sumber peradaban

Meskipun kalangan freemasonry menganggap agama merupakan idealisme spekulatif yang menghambat kemajuan mental manusia, namun banyak pula kalangan ilmuwan yang menganggap agama adalah bagian dari sumber peradaban manusia yang memberikan sejumlah motivasi bagi pencapaian emansipasi. Francis Fukuyama (Profesor pada John Hopkin University) berpendapat bahwa, ‘Ideologi tidak terbatas pada doktrin politik yang eksplisit dan secular, namun bisa juga mencakup agama, budaya dan nilai-nilai moral yang kompleks yang menyangga suatu masyarakat (1989).

Bahkan pemikir legendaries Hegel berpendapat, ‘semua perilaku manusia di dunia materi dan dengan demikian semua sejarah manusia, berakar dalam suatu tahapan kesadaran yang mendahuluinya. Kesadaran ini mungkin sifatnya tidak eksplisit seperti doktrin-doktrin politik modern, melainkan lebih bersifat implicit seperti bentuk agama, atau kebiasaan-kebiasaan budaya dan moral yang sederhana, tetapi yang dalam jangka panjang akhirnya termanifestasi dalam dunia materi dan membentuk dunia materi dengan citra tersendiri.

Kesadaran adalah penyebab dan bukan akibat, dan bisa berkembang secara otonom dari dunia materi. Maka sesungguhnya makna nyata yang mendasari carut-marut dunia kita dewasa ini lebih bertumpu pada persoalan-persoalan ideology daripada realitas materiil.

Apakah kita menyadari bahwa Sunnatullah tidak bersifat budaya tunggal, Islam saja, Kristen saja, Yahudi saja, Hindu saja atau Khonghucu saja ? Tetapi semuanya itu, Sunnatullah bersifat multikulturisme. Dunia tidak terbentuk oleh budaya tunggal, melainkan terbentuk oleh keanekaragaman budaya.

Demikian pula Bangsa Indonesia, tidak hanya terbentuk oleh budaya Jawa Islam saja atau Sunda saja atau Kristen Batak saja, melainkan terbentuk oleh keanekaragaman budaya itu. 3000 tahun yang lalu Daud a.s. telah sukses membentuk negeri multikultur Jerusalem dimana Bani Israil dan Bani Yebus berdampingan secara damai dengan kesadaran multicultur citizen.

Bentuk negara multkulturisme itu semakin sempurna pada zaman Sulaiman dimana semua agama dan budaya mendapatkan toleransi, dan semua kelompok minoritas mendapatkan afirmatif dari pemerintah. Nah, dapatkah kita memberikan afirmatif kepada Ahmadiyah, Kristen, Hindu, Buddha, Khonghucu dll ? Kalau jawabannya ya, maka kita berada di jalur Rahmatan lil Alamien dimana agama merupakan sumber emansipasi dan kemajuan peradaban. Perhatikan sabda Rasulullah saw: “Qoola man laa yarhamu, laa yarhamu” : “Siapa yang tidak mengasihi tidak akan dikasihi” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah r.a.; H : 1696).

Tapi kalau jawabannya tidak, kita membenarkan tuduhan kalangan freemasonry yang menganggap agama sebagai hambatan terbesar mental manusia, oleh karena itu freemasonry berpendapat agama-agama harus dihilangkan perannya dari peradaban manusia. Perlu diketahui bahwa  95 % Al-Qur’an berisi tentang peradaban dan hanya 5 % berisi tentang peribadatan.

Benturan peradaban.

Sumber utama konflik di dunia baru dewasa ini ternyata bukanlah kepentingan ekonomi, melainkan budaya yang menjadi factor pemecah belah umat manusia dan sumber konflik yang dominan, seperti ditunjukkan dalam pertikaian antara Barat/Amerika Serikat vs Islam. Meskipun negara-bangsa masih merupakan aktor yang dominan dalam percaturan dunia, namun konflik utama dari politik global terjadi diantara negara dan kelompok dari peradaban yang berbeda.

Garis batas peradaban Barat dengan Islam telah membentuk garis konflik sejak dari Maghribi hingga Pakistan, dengan hot-spot Palestina, Iran, Irak, Syria, Libya hingga Afganistan dan Pakistan. Meningkatnya pengaruh kaum radikal Islam di Pakistan dan Indonesia adalah dampak dari benturan peradaban Barat vs Islam ditingkat global. Demikian pula timbulnya semangat anti Kristen dan anti Ahmadiyah dikalangan Umat Islam tertentu di Indonesia. Garis batas peradaban tersebut setiap saat dapat  menjelma menjadi garis petempuran. Apakah konflik antara peradaban Barat vs Islam tsb harus dicegah atau harus dilalui untuk menjadi bagian dari proses tahap akhir evolusi konflik dan perubahan di dunia modern ?

Barat sendiri setelah berhasil mengalahkan Angkatan Perang Irak yang merupakan kekuatan militer terbesar di Arab, agaknya tidak ragu-ragu dalam melancarkan tekanan terhadap dunia Arab dan Islam yang sudah tentu akan melahirkan perlawanan secara simultan yang dapat dengan cepat mengobarkan perang dalam skala dunia.

Suatu kenyataan dengan berakhirnya Perang Dingin, politik internasional bergerak keluar dari fase Barat, dan titik fokusnya beralih ke interaksi antara peradaban Barat dan non-Barat, khususnya Islam. Bentuknya menjadi semakin tajam setelah serangan 11 September 2001, yang sekaligus menghamparkan suatu babak baru dalam sejarah Amerika Serikat, dunia dan hubungan diantara mereka. Tiba-tiba semuanya berubah sama sekali.

Perang baru antara Israel dengan Hezbollah adalah sinyal kemungkinan berkobarnya perang antara Barat vs Islam. Medan perang yang mungkin berkobar adalah Teluk Parsi dan Palestina yang bila terjadi akan melibatkan sentimen peradaban secara luas dalam skala Perang Dunia. Ini berarti rencana Albert Pike berhasil dan prediksi Samuel P Huntington tentang perang peradaban sebagai model Perang Dunia ke III bakal terbukti.

Satu-satunya jalan menuju keselamatan bersama, ialah kesadaran tentang Sunnatullah yang bersifat multikulturisme. Jika semua pihak menyadari bahwa dunia harus terbentuk oleh keanekaragaman budaya, agar saling mengasihi sebagaimana sabda Rasulullah saw tadi, maka sesungguhnya tidak ada kebutuhan berperang atas nama keunggulan budaya dan peradaban masing-masing atau atas nama proses evolusi perubahan dunia modern sekalipun. Demikian pula di Indonesia, jika kita menyadari bahwa negara bangsa ini tidak mungkin dibentuk hanya oleh budaya tunggal, melainkan oleh keanekaragaman budaya, maka prinsip multicultur citizen menjadi keniscayaan yang hakiki, dan kekuatan yang terpenting dan terbesar bangsa kita.

Siapakah yang akan memenangkan Perang Peradaban jika itu terjadi ? Pemenangnya adalah peradaban yang lebih unggul. Menurut Huntington peradaban Barat lebih unggul daripada peradaban Islam. Tetapi jika Kaum Muslimin ternyata memilih dialog, mengembangkan sikap moderat, menghormati multikulturisme, bersikap liberal-humanis, maka Islam akan memimpin perdamaian dan memimpin peradaban dunia baru. Kita mulai dari Indonesia, insya Allah.

Sekian, kita lanjutkan Jum’at depan,
Terima kasih,

Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi Sabilih,
Wassalamu’alaikum War. Wab.

Tangerang, 3 September 2006,



K.H. AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front Persatuan Nasional.














Tidak ada komentar:

Posting Komentar