11.7.17

Pengajian Keseratusduapuluh Empat (124)







Pengajian Keseratusduapuluh Empat (124)

Assalamu’alaikum War. Wab.
Bismillahirrahmanirrahiem,












Dan ingatlah ketika Ibrahim dan Ismail meninggikan fondasi-fondasi Baitullah, sambil berdoa,”Wahai Tuhan kami, terimalah amal kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (127) Tuhan kami jadikanlah kami berdua orang yang berserah diri kepadaMu, dan jadikanlah sebagian keturunan kami sebagai umat yang berserah diri kepadaMu, serta tunjukkanlah kepada kami tata cara ibadah haji dan terimalah tobat kami, sesungguhnya Engkau Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.” (128) : Al-Baqoroh : 127-128”

Sebagaimana tradisi pengajian ini, kita akan membahas kedua ayat ini dengan pendekatan eklektik multiperspektif, baik dari perspektif teologis, antropologis, historiografis maupun psikologis secara holistis dan komprehensif untuk mencapai hikmah dan pemahaman yang sedalam-dalamnya  dari kandungan kedua ayat.



Pokok Bahasan

Secara arkeologis tidak terdapat bukti-bukti keberadaan Ibrahim a.s., apalagi aktivitasnya membangun Ka’bah bersama putranya Ismail a.s.. Secara empirik aktivitas Ibrahim membangun Ka’bah Baitullah hanyalah mitos belaka. Tetapi secara kitabiyah keberadaan Ibrahim jelas tertulis, baik dalam Bibel (Perjanjian Lama) maupun Al-Qur’an. Ilmu pengetahuan modern mungkin menganggap Ibrahim hanya dongeng belaka. Tetapi tidak demikian dengan para agamawan baik Islam, Yahudi maupun Kristen. Mereka semua mengakui keberadaan Ibrahim dan Ismail sebagai sesuatu yang riil.

Namun demikian siapa sebenarnya yang pertama membangun Ka’bah ? Para mufassir berikhtilaf (berbeda pendapat). Ada yang berpendapat Adam, ada yang berpendapat Syits (Seth dalam Bibel) bahkan ada yang berpendapat malaikat. Ibnu Katsir menganggap pendapat-pendapat itu bersumber dari Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) yang tidak dapat dianggap benar. Dalam hal ini Ibnu Katsir lebih merujuk kepada sumber hadist shahih. Para ilmuwan tentu berpendapat bahwa baik sumber Bibel maupun Hadist sama sama tidak dapat dijadikan dasar pembuktian secara empirik. Dengan kata lain dianggap tidak sah. Pembuktian menurut metode ilmiah haruslah bersifat faktual.
Terlepas dari berbagai pandangan yang stereotip mengenai Ibrahim tsb, saya ingin menelaah kedua ayat diatas berdasarkan semua sumber yang ada, Ibnu Katsir  mengartikan,”Wa-idz yarfa’u Ibraahimul qawaa’idi minal-baiti wa Ismaa’iila….dst….”:”Dan ingatlah ketika Ibrahim dan Ismail meninggikan fondasi-fondasi Baitullah……dst..hingga akhir ayat 127.”   Maknanya ‘membangun Ka’bah’. Dengan demikian Ibnu Katsir menetapkan pendapat bahwa Ka’bah Baitullah dibangun oleh Ibrahim dan Ismail. Pandangan serupa juga dianut oleh Jalalain. Artinya baik Ibnu Katsir maupun Jalalain dan jumhur mufassirin pada aliran ini menafikkan pendapat bahwa Ka’bah dibangun oleh Adam, Syits atau malaikat. Melainkan memastikan Ka’bah Baitullah dibangun oleh Ibrahim dan Ismail. Pandangan ini kemudian menjadi pandangan resmi jumhur ulama Islam dari semua aliran. Jika ada yang menyimpang dari pandangan ini, hanya sebagian kecil dan biasanya berkaitan dengan aliran sempalan. Dengan demikian dapat diperkirakan Ka’bah Baitullah dibangun sekitar abad ke 20-21 SM. Pembangunan Ka’bah Baitullah sesuai bentuknya yang menurut psikolog CG Jung memenuhi syarat archetype situs teofani purba dimaksudkan sebagai tempat peribadatan kepada Allah Yang Maha Esa, bukan untuk tujuan yang lain. Jumhur mufassirin sepakat bahwa benda-benda atau bahan-bahan bangunan untuk membangun Ka’bah itu adalah material biasa. Kisah berlebihan tentang hal ini  bersifat Israilliyah dan tidak dapat dipercaya. Bahkan tentang Hajar Aswad, Umar r.a. berkata,”Sesungguhnya aku telah mengetahui bahwa engkau batu yang tidak dapat memberi mudharat dan tidak pula memberi manfaat. Kalau aku tidak melihat Rasulullah mencium engkau, tentu aku tidak akan mencium engkau”. (HR. Bukhari dan Muslim).  Dari riwayat ini jumhur mufassirin sepakat bahwa Hajarul Aswad hanyalah batu biasa saja. Hanya karena Rasulullah saw pernah menciumnya maka menjadi panutan orang yang ingin menciumnya seperti yang dilakukan Umar. Tetapi tidak ada nilai kesakralan dalam keberadaan Hajarul Aswad sebagaimana dinyatakan Umar ibn Khattab r.a.
Fakta histories,  Hajar Aswad adalah lambang persatuan paganisme aristokrasi Mekah sebelum Islam. Peletakan Hajar Aswad di Ka’bah jelas berkaitan dengan paganisme di zaman sebelum Muhammad saw. Ditolerirnya keberadaan Hajar Aswad pada kubus suci Ka’bah setelah kekuasaan Islam adalah bentuk kompromi untuk mencegah perang berkepanjangan antara kaum Muslimin dan kaum paganisme Arabia yang pada waktu itu masih berakar dalam budaya Hejaz. Dengan demikian Rasulullah saw ingin mewujudkan perdamaian yang justru akan memberikan peluang lebih besar bagi dakwah Islamiyah dikalangan penduduk Hejaz.

Dalam penafsiran kedua ayat diatas, jumhur mufassirin menekankan pula fungsi Ka’bah sebagai prasasti monoteisme agar diikuti oleh semua ras keturunan Ibrahim (Semit), dan syarat mutlak monoteis ialah tunduk patuh atau berserah diri sepenuhnya kepada Allah semata. Dan itulah makna hakiki kalimat, “muslimaini laka”: Kami berdua (Ibrahim dan Ismail) orang-orang yang berserah diri kepadamu”  pada ayat 128. Penyerahan total itu melampaui seluruh makna dalam logika duniawi, itu sepenuhnya dalam makna ukhrowi yang hakiki, suatu bentuk penyerahan ruhaniyat yang dipenuhi nilai-nilai fundamental yang transenden.

Penempatan Ismail sebagai stakeholder dalam pembangunan Ka’bah suci menjelaskan kedudukan Ismail sebagai putra mahkota millat-Ibrahim. Maka makna kalimat, “wa min dzurriyyatinaa” : dan dari keturunan kami …dst..”hingga akhir ayat 128 merujuk kepada, personifikasi Ismail dan keturunannya. Ini sekaligus meninggikan ras-Ismail yang merupakan cikal bakal ras Arab Musta’ribah yang menurunkan Quraisy dan menurunkan Rasulullah saw, sebagai ras terunggul dalam tradisi Semit, lebih unggul dari ras Ishak dan Ya’qub (Israil) yang menurunkan ras Bani Israil. Ini sekaligus menunjukkan betapa mendalamnya persaingan dan pertentangan ideologis internal Semit, yang terus berlangsung hingga masa sekarang. Dengan mitos Ibrahim-Ismail-Muhammad ini, ditarik garis lurus tradisi monoteis (tauhid) antara Ibrahim dan Muhammad. Identifikasi ini telah menempatkan Ibrahim sebagai bapak ideologis monoteis yang memberikan legitimasi otentitas kerasulan Muhammad saw. Tentu saja logika archetype ini meskipun diakui oleh Yahudi dan Nasrani, tetap tidak mengubah subyektivisme iman mereka masing-masing. Dan sebaliknya logika-logika archetype dalam system teologi Yahudi-Nasrani meskipun secara argumentative diterima kalangan Muslim, tidak akan diikuti dengan perubahan iman. Masing-masing tetap berada dalam etnosentrisme budaya religius masing-masing, seperti halnya semua penganut agama melakukannya.

Ibrahim

Dalam riwayat Israilliyah, Ibrahim bukanlah seorang monoteis (tauhid). Ia disebut pernah memberikan persembahan kepada El-Eliyon tuhan bangsa Yebus di bukit Zion. Ini mengesankan Ibrahim seorang sinkretis. Tetapi sumber-sumber Al-Qur’an dan Al-Hadist meneguhkan suatu fakta teologis bahwa Ibrahim adalah seorang monoteis (tauhid) yang sejati. Ia meninggalkan Aur Khaldan karena menolak agama pagan yang dianut oleh Raja Namrud dan masyarakat Aur termasuk ayahnya Azar Tarih. Ibrahim rela meninggalkan kampung halamannya di Aur Khaldan untuk hijrah ke Kana’an guna membangun satu masyarakat tauhid yang hanya menyembah kepada Allah swt semata. Pada kenyataannya Ibrahim adalah bapak tauhid. Pada sekitar th. 2018 menurut catatan Ahmad Shalaby, Ibrahim dan putra sulungnya Ismail membangun situs monoteis Allah swt yang tertua yaitu Ka’bah yang dibangun di lembah Bakkah yang kemudian disebut Mekah, yang selama 4000 th hingga sekarang menjadi situs teofani bagi peribadatan kepada Allah swt. Meskipun dalam masa sekitar 1700 th (abad ke 10 SM – abad ke 7 M) Ka’bah menjadi situs paganisme, namun dengan kebangkitan Rasulullah saw pada abad ke 7, Ka’bah telah dikekembalikan ke fungsi aslinya sebagai situs peribadatan tauhid kepada Allah swt dan telah berlangsung selama 1500 th terakhir.

Sementara dari arah keturunan Ishak yang menurunkan Ya’qub yang bergelar Israil dan menurunkan Bani Israil, berlangsung pula tradisi tauhid tetapi kemudian banyak diwarnai sinkretisme. Dua orang raja besar Bani Israil yang berpegang teguh pada tauhid yaitu Daud kemudian putranya Sulaiman, membangun situs teofani bagi Allah atau Yahweh dalam bahasa mereka yang disebut Baitul Maqdis (Bait Suci) atau disebut juga Haekal Sulaiman atau oleh kaum Muslimin disebut juga Masjid al Aqsha (Masjid yang jauh). Dimulai di zaman Daud dan diselesaikan di masa pemerintahan Sulaiman (abad ke 10 SM), artinya hingga sekarang situs teofani bagi Yahweh El Sada’i menurut tradisi agama Musa a.s. itu telah berumur 3000 th. Namun karena berkali-kali mengalami penyerangan-penyerangan besar (vide, Pengajian ke-95 Buku Spirit Islam ke-6), kini yang dimaksud Baitul Maqdis yang asli itu hanya tinggal reruntuhan Tembok Barat. Satu-satunya peninggalan yang berharga ialah Dome of the Rock atau Qubbet as Sakhra (Kubah Karang) yang dipugar oleh Khalifah Umayyah Abdul Malik al Marwan (65-86 H/685-705 M) yang berisi batu karang yang di zaman awal jayanya Haekal Sulaiman disebut Matzevot yang merupakan prasasti wahyu dari Yahweh yang diterima Ya’qub a.s. dan ditempatkan ditempat yang paling suci dari Baitul Maqdis yang disebut Devir. Pada th. 621 M konon Rasulullah saw pernah shalat sunnat dua rakaat di atas Matzevot Ya’qub itu (versi ortodoks Kisah Isra’-Mi’raj).

Diatas Baitul Maqdis atau Haekal Sulaiman di bukit Zion Jerusalem itu kini berdiri Masjid al-Aqsha baru yang dibangun pada th. 709 oleh Khalifah Umayyah Al Walid I. Setelah dua kali runtuh oleh gempa, dirampungkan dengan sempurna oleh Khalifah Abbasiyah Al-Mahdi yang berkuasa pada th. 775-785, sehingga mencapai bentuknya seperti yang sekarang ini kita kenal.

Pemerintah Israel

Pada dasarnya pemerintahan Israel sejak deklarasi kemerdekaan oleh David Ben Gurion pada th 1948 hingga sekarang adalah pemerintahan sekuler yang tidak begitu peduli soal agama. Bagi mereka Erezt Israel (Israel Raya) adalah tanah suci chauvinism Yahudi. Sekularisme Israel yang berbau paganis pada dasarnya tidak mensakralkan Baitul Maqdis, justru historiograf ancient-Israeli menunjukkan penentangan kerajaan Israel di Utara kepada dominasi Yudea di Selatan. Untuk itu 10 suku Israel di Utara mendirikan sendiri tempat sucinya di Bethel-Samaria  dan menolak pemusatan peribadatan pada Baitul Maqdis di Jerusalem yang didirikan oleh dua suku besar Yehuda dan Benyamin yang turun-temurun menjadi raja di Jerusalem yang di masa Daud dan Sulaiman berhasil mempersatukaan kerajaan Israel dan Yudea menjadi Kana’an Bersatu dan menjadikan Jerusalem sebagai ibukotanya. Setelah wafatnya Sulaiman pada th. 930 SM, bubarlah kerajaan Kana’an bersatu itu. Ideologi sekuler-paganis yang kini menjadi mainstream Israel modern lebih bersumber dari Samaria ibukota Israel purba daripada Jerusalem ibukota Yudea purba yang berkembang menjadi penganut agama Yahudi ortodox dengan pengaruh Khabbalah. Bagi Israel modern yang banyak diantaranya bahkan atheis, situs teofani Baitul Maqdis yang disebut juga Haekal Sulaiman lebih berkaitan dengan chauvinisme Israel daripada pusat peribadatan bagi Yahweh. Tempat itu hanya dipandang sebagai salah satu monument purba symbol Israel, dan tidak ada kaitannya dengan iman dan agama.

Catatan Khusus

Sejak Jumat tgl. 2 hingga Rabu 7 Februari 2007 ibukota Jakarta dilanda banjir besar yang menciptakan penderitaan besar bagi rakyat banyak. Ini bukan musibah dari Tuhan, tapi dari perilaku manusia sendiri. Hanya kesadaran dan program ekologis yang baik dapat menolong manusia dari destruksi ekosistem. Sangat jelas dalam menghadapi musibah yang bersumber dari gagalnya managemen ekologi pemerintah propinsi DKI Jakarta, rakyat hanya sendirian, tidak ada pemerintah, tidak ada DPR tidak ada negara yang hadir menolong rakyat.
Sungguh Allah akan membalasi setiap perbuatan secara setimpal. Kita berdoa bagi mereka yang tertimpa musibah, semoga Allah Azza wa Jalla mengampuni dan menolong mereka.

Sekian, terima kasih, Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi Sabilih,
Wassalamu’alaikum War, Wab.

Jakarta, 9 Februari 2007,
Pengasuh,


KH. AGUS MIFTACH

Ketua Umum Front Persatuan Nasional

Tidak ada komentar:

Posting Komentar