Pengajian
Kelimapuluh Sembilan.
“Dan
ingatlah ketika kami berfirman kepada para malaikat, “ Sujudlah kemu kepada
Adam”, maka sujudlah mereka, kecuali iblis. Dia enggan dan takabur, dan adalah
ia termasuk golongan orang-orang yang kafir”; (Al-Baqoroh : 34).
Ayat ini masih merupakan rangkaian substansial dengan
Al-Baqoroh : 30,31,32 dan 33 yang sudah kita bahas sejak Pengajian ke-54-57.
Kita akan melanjutkan pembahasan secara eklektik dari berbagai sudut pandang
untuk mencapai kebulatan pemahaman dan hikmah yang setinggi-tingginya.
Pokok Bahasan.
Yang dimaksud “sujud” pada ayat tersebut bukan dalam arti
ibadah, melainkan penghormatan kepada Adam a.s atas kelebihan yang telah
diberikan Allah kepadanya serta ketaatan kepada Allah SWT. Sujud dalam
pengertian ibadah hanya diperbolehkan kepada Allah SWT semata. Sesungguhnya
secara qodrati seluruh makhluk “sujud’ dalam pengertian tunduk dan patuh kepada
Sang Kholiq Allah SWT dengan sukarela ataupun terpaksa, termasuk iblis dan
semua ras fasikin-kafirin akan sampai pada akhir keniscayaan ini.
“Hanya
kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi, baik
dengan kemauan sendiri atau terpaksa (dan sujud pula) bayang-bayangnya di waktu
pagi dan petang hari”; (Ar-Ro’du : 15).
Saya merujuk pada pendapat, bahwa iblis adalah asal jenis
“ras jin”, sebagaimana Adam asal jenis
“ras manusia”. Didasarkan pada Firman Allah : “….Illa-ibliisa kaana minal-jinni, fasaqo ‘an amri robbih(i)”
: “iblis, dia dari golongan jin, maka ia
mendurhakai perintah Tuhannya….”, (Al-Kahfi : 50). Jin dan keturunannya mendiami bumi sebelum
Adam a.s. diciptakan dan mereka telah membuat kerusakan di bumi. Itulah
sebabnya maka timbul pertanyaan para malaikat kepada Allah : “Mengapa hendak Engkau jadikan khalifah di
muka bumi orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah….?”
(Al-Baqoroh : 30). Para malaikat mengira perilaku ras manusia akan sama dengan perilaku
ras jin sebelumnya.
Disamping itu, zat dasar dari ketiga origin species ini
berbeda. Manusia diciptakan dari tanah, malaikat diciptakan dari cahaya,
sedangkan iblis diciptakan dari api. Maka kesimpulannya iblis bukan jenis
malaikat, apalagi skema dasar kejiwaan malaikat tidak memiliki instink
“durhaka”, sebaliknya senantiasa patuh dan taat kepada Allah SWT . Jelas
berbeda dengan sifat dasar jin yang ternyata memiliki konstitusi jiwa “durhaka”
seperti disebut Al-Kahfi : 50.
Alasan pokok penolakan iblis terhadap perintah Allah tsb
adalah kesombongan. Iblis mengira bahwa api sebagai zat dasar penciptaannya
lebih tinggi derajatnya daripada tanah yang menjadi zat dasar penciptaan Adam (vide, Al-A’rof : 12). Padahal kedua
species hanyalah ciptaan Allah, tentu Yang Maha Pencipta yang paling tahu
tentang hakekat ciptaannya. Dengan demikian maka kesombongan menjadi dasar
kefasikan dan kekufuran. Tidak akan sampai ke sorga orang yang dalam hatinya
ada sebutir biji sawi kesombongan (Disarikan dari Tafsir Jalalain dan Tafsir
Ibnu Katsir).
Ulasan.
Kita beriman kepada kisah Qur’ani tersebut yang merupakan
basis-transendensi penciptaan manusia dengan origin species Adam a.s. yang
dikisahkan ditinggikan derajatnya oleh Allah SWT diatas ras malaikat dan ras
iblis. Supremasi ras manusia disempurnakan dengan fungsinya sebagai khalifah di
bumi.
Bagi para pemikir secular-materialism, kisah transenden
tersebut tentu dikategorikan sebagai mitos seperti semua agma memiliki mitosnya
masing-masing. Dalam pandangan mereka agama tidak lebih dari proses
antropologi. Perhatikan pikiran-pikiran antropolog-kognitif Wiliam Spradley yang memasukkan agama
dalam rumpun budaya, sama dengan pandangan kaum komunis. Bahkan antropolog
generasi mutakhir Karen
Armstrong yang
mantan biarawati itu berpendapat bahwa agama bersumber dari pikiran manusia
sendiri ketika mencari sandaran transenden menghadapi rapuhnya prestasi
peradaban. Sebuah negeri bisa hancur atau bahkan lenyap begitu saja oleh wabah, bencana alam dan perang. Sebuah
prestasi bisa lenyap begitu saja oleh usia tua, kesakitan dan kematian
Tanpa sandaran transendensi menurut Armstrong manusia tidak
akan mampu melanjutkan apalagi membangun peradaban. Maka kreativitas
transendensi terus berkembang untuk melindungi perkembangan peradaban. Maka
sesungguhnya agama adalah bagian dari proses peradaban bersumber dari imajinasi
transenden manusia. Percampuran teologi yahudi dengan paganisme yang menurut
Armstrong sudah berlangsung sejak zaman Daud dan Sulaiman, membuktikan posisi
agama yang sebenarnya dalam peradaban manusia.
Bahkan kegelisahan menghadapi usia tua, sakit dan mati
menjadi alasan Sidharta Gautama meninggalkan kehidupan duniawi mencari nilai
transendensi yang kemudian disebutnya Nibbana
atau Nirvana, yaitu titik puncak equilibrium jiwa
manusia yang tak lagi terikat hidup dan
mati serta segala perubahan duniawi.
Namun demikian sejarah Yehuda, Israel, Kana’an, sejarah
Arabia, bangsa-bangsa dan agama-agama pagan menampilkan kedua sisi sekaligus,
yaitu kebenaran akan sinyalemen malaikat tentang sisi buruk manusia yang
menumpahkan darah sesama dan membuat kerusakan dibumi, kesombongan akal pikiran
yang hendak menafikkan Allah Tuhan yang menciptakan manusia dan membuat logika
terbalik “tuhan diciptakan pikiran manusia”. Tetapi bersamaan dengan itu
sebagaimana dikemukakan Karen Armstrong (Jerussalem, One City, Three Faiths,
May 1997) manusia berada dalam ketergantungan transendensi dengan apa yang
disebutnya sebagai “yang sakral” atau “tuhan”. Seperti ayat kedua diatas,
dengan sukarela ataupun terpaksa seluruh isi langit dan bumi sujud (tunduk) kepada
Allah. Dalam proses pencarian dan kreasi transendensinya manusia menyembah
berbagai symbol dan nama tuhan. Dan tentang hal ini sesungguhnya akal pikiran
manusia memang tidak mampu menjangkau eksistensinya, kecuali sebatas yang
diijinkan Allah saja melalui nama-nama-Nya, seperti Firman-Nya : “…Qulirruuch min amri Robbie, wa-maa uu-ti-tum-minal’ilmi illaa
qolielaa(n)” : “…Katakanlah :’Ruh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah
kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit’” ; (Al-Isro’ : 85).
Untuk menolong manusia mengenal diri-Nya dan menemukan-Nya
Allah mengutus para Nabi dan para Rasul dari zaman ke zaman pada berbagai
kelompok peradaban dan budaya manusia untuk memberi pengajaran dan tuntunan
kepada manusia tentang agama tauchid yang merupakan jalan lurus kepada-Nya.
Benang merah agama tauchid itu merentang sejak Adam a.s. hingga Rasul akhir
zaman dan Nabi paling sempurna Muhammad s.a.w yang menurut etnosentrisme Syaikh
Abdul Qodir Jaelani, menjadi alasan diciptakannya semesta alam dan manusia (Sirr
al-Asrar). Inilah rahasia dari Firman Allah kepada para malaikat dalam
perbincangan penciptaan Adam a.s. di al-Malaul A’la :”Sesungguhnya aku mengetahui apa yang
tidak kamu ketahui”; (Al-Baqoroh : 30).
Jerusalem.
Jerusalem atau Baitul-Maqdis adalah tempat yang paling panas
di dunia, kota suci yang paling disengketakan, sumber petunjuk dan kesesatan
sekaligus. Bangsa yang membangun peradaban Jerusalem yang pertama yang dapat di
catat oleh sejarah adalah Bangsa Yebus antara abad 30-25 SM. Rajanya yang termasyhur
adalah Melkisedek yang oleh legenda lokal
dinyatakan sebagai pendiri Jerusalem. Melkisedek
adalah Raja
dan Imam “Salem” atau “Jerusalem”, yang pernah bertemu Ibrahim sepulang dari ekspedisi militer. Melkisedek
telah menyuguhi Ibrahim roti dan anggur serta memberkatinya atas nama El-Elyon tuhan yang maha tinggi, yaitu tuhan
Jerusalem. Sementara Ibrahim mempersembahkan sepersepuluh hartanya kepada
Melkisedek sebagai penghormatan kepada penguasa Jerusalem itu. Pertemuan antara
Melkisedek dengan Ibrahim menurut catatan sejarah berlangsung di Mata Air En Rogel (sekarang Bir Ayyub atau Sumur Ayyub).
Inilah nenek moyang Jerusalem yang asli, bukan Yahudi juga
bukan Arab, tapi bangsa Yebus dengan Imam dan Rajanya Melkisedek yang telah
berperadaban tinggi, lebih tinggi dari peradaban Yahuda. Tuhannya El-Elyon,
tuhan yang maha tinggi yang kemudian menjadi tuhan Yahudi juga dan disatukan
dengan Yahweh El-Syada’i, tuhan maha kuasanya Musa, bahkan dihubungkan pula
dengan Ba’al El-Elyon, tuhan Gunung Zion. Jadi sejak awal sejarahnya Yahudi
memang tidak bertuhankan satu-tuhan, melainkan beberapa tuhan.
Raja Bani Israel yang pertama Saul dari suku Benyamin, belum
berkedudukan di Jerusalem yang masih dikuasai bangsa Yebus, melainkan di Gibeon
yang terletak di sebelah Utara Jerusalem. Wilayahnya mencakup seluruh dataran
tinggi tengah di kedua sisi Yordan. Saul dan puteranya Yonatan terbunuh dalam
peperangan melawan bangsa Filistin (Palestina) di Gunung Gilboa sekitar 1010
SM. Jadi peperangan antara Bani Israel dengan bangsa Palestine sudah terjadi
lebih 3000 tahun yang lalu.
Raja Saul digantikan puteranya yang masih hidup Esybaal yang memerintah wilayah Utara. Sementara
itu di Selatan Daud yang dianggap pengkhianat dan melarikan diri dari istana
Saul menjadi tentara liar (hapiru), bersekongkol dengan
bangsa Filistin (Palestina) musuh bebuyutan Bani Israil, mendirikan kerajaan di
wilayah pebukitan Selatan yang masih jarang penduduknya berpusat di Hebron
sebagai vassal (kerajaan bawahan) kerajaan Filistin. Menurut Karen Armstrong,
Daud adalah sosok paling kompleks dalam Bibel, ia penyair, musisi, pejuang,
pemberontak, pengkhianat, pezina dan belakangan dipuja-puja sebagai raja ideal
Israel (Karen Armstrong, Jerusalem, Satu Kota Tiga Agama, 2005, hal. 44). Tujuh
setengah tahun kemudian Raja Israel Utara Esybaal mati oleh pembunuh yang lari
ke istana Daud. Dengan penuh perhitungan Daud mengeksekusi para pembunuh
Esybaal. Perlu di catat Daud adalah suami putri Saul, Michal, dia punya klaim tipis atas tahta Saul. Akhirnya para wakil
suku kerajaan Utara membaptis Daud sebagai Raja Israel di Kuil Yahweh di
Hebron. Inilah era Israel bersatu. Sementara negara kota Jerusalem masih
dikuasai kaum Yebus. Pada th. 1000 SM, Daud berhasil menaklukkan kota Jerusalem
dan menjadikannya sebagai ibukota Israel, dan memberikan nama Ir Daud (Kota Daud). Dengan posisi ini Daud
melepaskan diri dari vassal Filistin, bahkan berbalik memusuhinya. Jerusalem
kini menjadi ibukota kerajaan Kana’an bersatu yang terbesar, Dari sinilah klaim
itu dimulai.
Jika yang dimaksud Raja Daud adalah Nabi Daud a.s., kalangan
Islam memiliki pandangan subyektif yang berbeda. Daud a.s. adalah nabi yang
berkhidmat di Jalan Allah dan bukan seorang paganis seperti deskripsi ilmiah
Karen Armstrong. Namun, dalam QS:Shaad : 26, terdapat nuansa teguran Allah swt
kepada Daud a.s.
Tentang riwayat Jerusalem akan kita lanjutkan pada pengajian
berikutnya. Sekian, terima kasih.
Birrahmatillahi Wbi’aunihi fi Sabilih.
Wassalamu’alaikum War. Wab.
Jakarta, 9 September 2005,
Pengasuh,
HAJI AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front Persatuan Nasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar