7.7.17

Pengajian Kelimapuluh Sembilan.-TWU

Pengajian Kelimapuluh Sembilan.

Assalamu’alaikum War. Wab.

“Dan ingatlah ketika kami berfirman kepada para malaikat, “ Sujudlah kemu kepada Adam”, maka sujudlah mereka, kecuali iblis. Dia enggan dan takabur, dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir”; (Al-Baqoroh : 34).

Ayat ini masih merupakan rangkaian substansial dengan Al-Baqoroh : 30,31,32 dan 33 yang sudah kita bahas sejak Pengajian ke-54-57. Kita akan melanjutkan pembahasan secara eklektik dari berbagai sudut pandang untuk mencapai kebulatan pemahaman dan hikmah yang setinggi-tingginya.

Pokok Bahasan.

Yang dimaksud “sujud” pada ayat tersebut bukan dalam arti ibadah, melainkan penghormatan kepada Adam a.s atas kelebihan yang telah diberikan Allah kepadanya serta ketaatan kepada Allah SWT. Sujud dalam pengertian ibadah hanya diperbolehkan kepada Allah SWT semata. Sesungguhnya secara qodrati seluruh makhluk “sujud’ dalam pengertian tunduk dan patuh kepada Sang Kholiq Allah SWT dengan sukarela ataupun terpaksa, termasuk iblis dan semua ras fasikin-kafirin akan sampai pada akhir keniscayaan ini.







“Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri atau terpaksa (dan sujud pula) bayang-bayangnya di waktu pagi dan petang hari”; (Ar-Ro’du : 15). 

Saya merujuk pada pendapat, bahwa iblis adalah asal jenis “ras jin”, sebagaimana  Adam asal jenis “ras manusia”. Didasarkan pada Firman Allah : “….Illa-ibliisa kaana minal-jinni, fasaqo ‘an amri robbih(i)” : “iblis, dia dari golongan  jin, maka ia mendurhakai perintah Tuhannya….”, (Al-Kahfi : 50). Jin dan keturunannya mendiami bumi sebelum Adam a.s. diciptakan dan mereka telah membuat kerusakan di bumi. Itulah sebabnya maka timbul pertanyaan para malaikat kepada Allah : “Mengapa hendak Engkau jadikan khalifah di muka bumi orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah….?” (Al-Baqoroh : 30). Para malaikat mengira perilaku ras manusia akan sama dengan perilaku ras jin sebelumnya.
Disamping itu, zat dasar dari ketiga origin species ini berbeda. Manusia diciptakan dari tanah, malaikat diciptakan dari cahaya, sedangkan iblis diciptakan dari api. Maka kesimpulannya iblis bukan jenis malaikat, apalagi skema dasar kejiwaan malaikat tidak memiliki instink “durhaka”, sebaliknya senantiasa patuh dan taat kepada Allah SWT . Jelas berbeda dengan sifat dasar jin yang ternyata memiliki konstitusi jiwa “durhaka” seperti disebut Al-Kahfi : 50.
Alasan pokok penolakan iblis terhadap perintah Allah tsb adalah kesombongan. Iblis mengira bahwa api sebagai zat dasar penciptaannya lebih tinggi derajatnya daripada tanah yang menjadi zat dasar penciptaan  Adam (vide, Al-A’rof : 12). Padahal kedua species hanyalah ciptaan Allah, tentu Yang Maha Pencipta yang paling tahu tentang hakekat ciptaannya. Dengan demikian maka kesombongan menjadi dasar kefasikan dan kekufuran. Tidak akan sampai ke sorga orang yang dalam hatinya ada sebutir biji sawi kesombongan (Disarikan dari Tafsir Jalalain dan Tafsir Ibnu Katsir).



Ulasan.

Kita beriman kepada kisah Qur’ani tersebut yang merupakan basis-transendensi penciptaan manusia dengan origin species Adam a.s. yang dikisahkan ditinggikan derajatnya oleh Allah SWT diatas ras malaikat dan ras iblis. Supremasi ras manusia disempurnakan dengan fungsinya sebagai khalifah di bumi.

Bagi para pemikir secular-materialism, kisah transenden tersebut tentu dikategorikan sebagai mitos seperti semua agma memiliki mitosnya masing-masing. Dalam pandangan mereka agama tidak lebih dari proses antropologi. Perhatikan pikiran-pikiran antropolog-kognitif Wiliam Spradley yang memasukkan agama dalam rumpun budaya, sama dengan pandangan kaum komunis. Bahkan antropolog generasi mutakhir Karen Armstrong yang mantan biarawati itu berpendapat bahwa agama bersumber dari pikiran manusia sendiri ketika mencari sandaran transenden menghadapi rapuhnya prestasi peradaban. Sebuah negeri bisa hancur atau bahkan lenyap begitu saja oleh  wabah, bencana alam dan perang. Sebuah prestasi bisa lenyap begitu saja oleh usia tua, kesakitan dan kematian
Tanpa sandaran transendensi menurut Armstrong manusia tidak akan mampu melanjutkan apalagi membangun peradaban. Maka kreativitas transendensi terus berkembang untuk melindungi perkembangan peradaban. Maka sesungguhnya agama adalah bagian dari proses peradaban bersumber dari imajinasi transenden manusia. Percampuran teologi yahudi dengan paganisme yang menurut Armstrong sudah berlangsung sejak zaman Daud dan Sulaiman, membuktikan posisi agama yang sebenarnya dalam peradaban manusia.  
Bahkan kegelisahan menghadapi usia tua, sakit dan mati menjadi alasan Sidharta Gautama meninggalkan kehidupan duniawi mencari nilai transendensi yang kemudian disebutnya Nibbana atau Nirvana, yaitu titik puncak equilibrium jiwa manusia  yang tak lagi terikat hidup dan mati serta segala perubahan duniawi.

Namun demikian sejarah Yehuda, Israel, Kana’an, sejarah Arabia, bangsa-bangsa dan agama-agama pagan menampilkan kedua sisi sekaligus, yaitu kebenaran akan sinyalemen malaikat tentang sisi buruk manusia yang menumpahkan darah sesama dan membuat kerusakan dibumi, kesombongan akal pikiran yang hendak menafikkan Allah Tuhan yang menciptakan manusia dan membuat logika terbalik “tuhan diciptakan pikiran manusia”. Tetapi bersamaan dengan itu sebagaimana dikemukakan Karen Armstrong (Jerussalem, One City, Three Faiths, May 1997) manusia berada dalam ketergantungan transendensi dengan apa yang disebutnya sebagai “yang sakral” atau “tuhan”. Seperti ayat kedua diatas, dengan sukarela ataupun terpaksa seluruh isi langit dan bumi sujud (tunduk) kepada Allah. Dalam proses pencarian dan kreasi transendensinya manusia menyembah berbagai symbol dan nama tuhan. Dan tentang hal ini sesungguhnya akal pikiran manusia memang tidak mampu menjangkau eksistensinya, kecuali sebatas yang diijinkan Allah saja melalui nama-nama-Nya, seperti Firman-Nya : “…Qulirruuch min amri Robbie,  wa-maa uu-ti-tum-minal’ilmi illaa qolielaa(n)” : “…Katakanlah :’Ruh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit’” ; (Al-Isro’ : 85). 

Untuk menolong manusia mengenal diri-Nya dan menemukan-Nya Allah mengutus para Nabi dan para Rasul dari zaman ke zaman pada berbagai kelompok peradaban dan budaya manusia untuk memberi pengajaran dan tuntunan kepada manusia tentang agama tauchid yang merupakan jalan lurus kepada-Nya. Benang merah agama tauchid itu merentang sejak Adam a.s. hingga Rasul akhir zaman dan Nabi paling sempurna Muhammad s.a.w yang menurut etnosentrisme Syaikh Abdul Qodir Jaelani, menjadi alasan diciptakannya semesta alam dan manusia (Sirr al-Asrar). Inilah rahasia dari Firman Allah kepada para malaikat dalam perbincangan penciptaan Adam a.s. di al-Malaul A’la :”Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”; (Al-Baqoroh : 30).

Jerusalem.

Jerusalem atau Baitul-Maqdis adalah tempat yang paling panas di dunia, kota suci yang paling disengketakan, sumber petunjuk dan kesesatan sekaligus. Bangsa yang membangun peradaban Jerusalem yang pertama yang dapat di catat oleh sejarah adalah Bangsa Yebus antara abad 30-25 SM. Rajanya yang termasyhur adalah Melkisedek yang oleh legenda lokal dinyatakan sebagai pendiri Jerusalem. Melkisedek adalah Raja dan Imam “Salem” atau “Jerusalem”, yang pernah bertemu Ibrahim sepulang dari ekspedisi militer. Melkisedek telah menyuguhi Ibrahim roti dan anggur serta memberkatinya atas nama El-Elyon tuhan yang maha tinggi, yaitu tuhan Jerusalem. Sementara Ibrahim mempersembahkan sepersepuluh hartanya kepada Melkisedek sebagai penghormatan kepada penguasa Jerusalem itu. Pertemuan antara Melkisedek dengan Ibrahim menurut catatan sejarah berlangsung di Mata Air En Rogel (sekarang Bir Ayyub atau Sumur Ayyub).

Inilah nenek moyang Jerusalem yang asli, bukan Yahudi juga bukan Arab, tapi bangsa Yebus dengan Imam dan Rajanya Melkisedek yang telah berperadaban tinggi, lebih tinggi dari peradaban Yahuda. Tuhannya El-Elyon, tuhan yang maha tinggi yang kemudian menjadi tuhan Yahudi juga dan disatukan dengan Yahweh El-Syada’i, tuhan maha kuasanya Musa, bahkan dihubungkan pula dengan Ba’al El-Elyon, tuhan Gunung Zion. Jadi sejak awal sejarahnya Yahudi memang tidak bertuhankan satu-tuhan, melainkan beberapa tuhan.

Raja Bani Israel yang pertama Saul dari suku Benyamin, belum berkedudukan di Jerusalem yang masih dikuasai bangsa Yebus, melainkan di Gibeon yang terletak di sebelah Utara Jerusalem. Wilayahnya mencakup seluruh dataran tinggi tengah di kedua sisi Yordan. Saul dan puteranya Yonatan terbunuh dalam peperangan melawan bangsa Filistin (Palestina) di Gunung Gilboa sekitar 1010 SM. Jadi peperangan antara Bani Israel dengan bangsa Palestine sudah terjadi lebih 3000 tahun yang lalu.

Raja Saul digantikan puteranya  yang masih hidup Esybaal yang memerintah wilayah Utara. Sementara itu di Selatan Daud yang dianggap pengkhianat dan melarikan diri dari istana Saul menjadi tentara liar (hapiru), bersekongkol dengan bangsa Filistin (Palestina) musuh bebuyutan Bani Israil, mendirikan kerajaan di wilayah pebukitan Selatan yang masih jarang penduduknya berpusat di Hebron sebagai vassal (kerajaan bawahan) kerajaan Filistin. Menurut Karen Armstrong, Daud adalah sosok paling kompleks dalam Bibel, ia penyair, musisi, pejuang, pemberontak, pengkhianat, pezina dan belakangan dipuja-puja sebagai raja ideal Israel (Karen Armstrong, Jerusalem, Satu Kota Tiga Agama, 2005, hal. 44). Tujuh setengah tahun kemudian Raja Israel Utara Esybaal mati oleh pembunuh yang lari ke istana Daud. Dengan penuh perhitungan Daud mengeksekusi para pembunuh Esybaal. Perlu di catat Daud adalah suami putri Saul, Michal, dia punya klaim tipis atas tahta Saul. Akhirnya para wakil suku kerajaan Utara membaptis Daud sebagai Raja Israel di Kuil Yahweh di Hebron. Inilah era Israel bersatu. Sementara negara kota Jerusalem masih dikuasai kaum Yebus. Pada th. 1000 SM, Daud berhasil menaklukkan kota Jerusalem dan menjadikannya sebagai ibukota Israel, dan memberikan nama Ir Daud (Kota Daud). Dengan posisi ini Daud melepaskan diri dari vassal Filistin, bahkan berbalik memusuhinya. Jerusalem kini menjadi ibukota kerajaan Kana’an bersatu yang terbesar, Dari sinilah klaim itu dimulai.
Jika yang dimaksud Raja Daud adalah Nabi Daud a.s., kalangan Islam memiliki pandangan subyektif yang berbeda. Daud a.s. adalah nabi yang berkhidmat di Jalan Allah dan bukan seorang paganis seperti deskripsi ilmiah Karen Armstrong. Namun, dalam QS:Shaad : 26, terdapat nuansa teguran Allah swt kepada Daud a.s.
Tentang riwayat Jerusalem akan kita lanjutkan pada pengajian berikutnya. Sekian, terima kasih.

Birrahmatillahi Wbi’aunihi fi Sabilih.
Wassalamu’alaikum War. Wab.

Jakarta, 9 September 2005,
Pengasuh,




HAJI AGUS MIFTACH

Ketua Umum Front Persatuan Nasional

Tidak ada komentar:

Posting Komentar