Pengajian Keseratus
Tujuh (107),
Oleh : KH. Agus
Miftach
Assalamu’alaikum War.
Wab,
Bismillahirrahmanirrahiem,
“Katakanlah,”Barangsiapa yang menjadi musuh
Jibril, maka Jibril itu telah menurunkannya (Al-Qur’an) kedalam hatimu dengan
seizin Allah; membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi
petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman. (97) Barangsiapa
yang menjadi musuh Allah, malaikat-malaikatNya, Rasul-rasulNya, Jibril dan Mikail,
maka sesungguhnya Allah adalah musuh orang-orang kafir.”(98); Al-Baqoroh :
97-98.
Kita akan membahas kedua ayat ini dengan
pendekatan eklektik multiperspektif teologi, antropologi, historiografi,
psikologi dll secara holistis untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif dan
hikmah yang setinggi-tingginya dari kandungan kedua ayat ini.
Pokok Bahasan.
Dikemukakan oleh Ishak bin Rahawaih dalam
Musnadnya dan oleh Ibnu Jarir dari jalur Sya’bi, bahwa “Umar r.a.biasa
mendatangi orang-orang Yahudi, dimana mereka memperdengarkan Taurat kepadanya.
Umar heran, karena Taurat itu membenarkan isi Al-Qur’an.” Pada kesempatan itu
kebetulan Nabi Muhammad SAW lewat di depan mereka, maka kata Umar, “Atas nama
Allah saya bertanya kepadamu, tahukah kamu bahwa dia itu Rasulullah ?” Jawab
seorang alim diantara kaum Yahudi,”Memang, kami tahu bahwa dia (Muhammad)
adalah Rasulullah.” Umar berkata,”Kenapa kamu tidak mengikuti dia ?” Jawab
mereka,”Pernah kami bertanya kepada Muhammad, siapa yang menyampaikan
kenabiannya kepadanya ? Maka disebutkannya Jibril musuh kami, yang menurunkan
kekerasan, kekasaran, peperangan dan malapetaka.” Kata Umar lebih
lanjut,”Siapakah rasul-rasul kamu dari kalangan malaikat ?” Jawab kaum
Yahudi,”Mikail, yang menurunkan hujan dan rahmat.
Sementara dari Ibnu Abu Hatim dari jalur
lain, dari Abdurrahman Abu Lailay, bahwa seorang Yahudi menemui Umar bin
Khattab r.a., dan mengatakan,”Sesungguhnya Jibril yang disebutkan oleh
sahabatmu itu (Muhammad SAW) adalah musuh kami.” Maka Umar menjawab,”Barang
siapa yang menjadi musuh Allah, musuh Malaikat-malaikatNya, Rasul-rasulNya,
Jibril dan Mikail, maka sesungguhnya Allah menjadi musuhnya”.
Riwayat ini sebagaimana ditegaskan oleh Imam
Abu Ja’far bin Jarir ath-Thabari rahimahullah, disepakati jumhur mufassirin menjadi
asbabun-nuzul ayat ke-97 dan 98.
Menurut Ibnu Katsir ayat 97-98 berkaitan
dengan sikap Bani Israil yang ingkar (memusuhi) terhadap Jibril dan menganggap
Mikail sebagai penolongnya. Ibnu Katsir mengkategorikan sikap seperti itu
sebagai “kafir”. Kafir terhadap sebagian rasul, dimana rasul terdiri golongan
manusia dan golongan malaikat, dalam hal ini kafir terhadap malaikat Jibril dan
beriman kepada malaikat Mikail atau menganggapnya sebagai penolong, adalah
tindakan bias yang tidak dapat dibenarkan dan menyalahi definisi iman yang
harus bersifat utuh. Beriman kepada seorang rasul, haruslah beriman kepada
seluruh rasul dan seluruh kitab-kitabnya.
Tidak bisa beriman kepada sebagian dan kafir
terhadap sebagian yang lain. Dan adalah Jibril yang diutus Allah untuk
menyampaikan di hati Rasulullah SAW
Al-Qur’anul Kariem yang menjadi mukjizat terbesar sepanjang masa. Bagaimana
mungkin Bani Israil mengkufuri hakekat Ruhul Amien (Jibril) yang menjadi utusan
Allah untuk menyampaikan Adz-Dzikrul Hakim (Al-Qur’an) kedalam nurani
Rasulullah. Dalam hal ini jumhur mufassirin memposisikan kaum Yahudi yang
mengingkari Jibril dan Rasulullah SAW itu sebagai musuh Allah.
Narasi ini menyangkut otoritas subyektif
jumhur mufassirin tentang terminology iman yang harus bersifat holistis dan
tidak bisa parsial. Sudah barangtentu Bani Israil (kaum Yahudi) juga memiliki
otoritas subyektivitasnya sendiri berkaitan dengan keyakinan religiusitasnya
yang merupakan percampuran antara Taurat dengan Qabbala yang disebut Judaism
yang sudah banyak kita bahas pada pengajian-pengajian yang lalu. Seperti para
jumhur mufassirin mengkafirkan mereka, maka merekapun mengkafirkan ummat Islam
dan kaum non-Yahudi lainnya yang dianggap sebagai sub-human dengan istilah
“ghoyim”. Hanya Yahudi-lah yang memiliki derajat kemanusiaan yang utuh. Setelah
diaspora yang pertama abad ke-6 SM Bani Israil yang bertujuan kembali ke
Jerusalem dan memimpin semua “Ghoyim” disebut “Gholah”.
Dalam kaitan narasi kedua ayat diatas, Ibnu
Katsir menempatkan Jibril dan Mikail sebagai athaf khas kepada ‘aam,
keadaan yang khusus kepada yang umum dimana Jibril secara khusus disebut dalam
ayat 97 dengan kalimat,”Man kaana ‘aduwwal-lijibriela…..dst” : “Barangsiapa
menjadi musuh Jibril…..dst”. Sementara Mikail disebut secara khusus dalam
ayat 98, yang secra terbalik oleh kaum Yahudi dijadikan sebagai alasan
pengingkarannya kepada Jibril dan Rasulullah SAW, sebagaimana diungkapkan
jumhur mufassirin diatas yang menjadi asbabun-nuzul. Dengan demikian jumhur
mufassirin memberikan pengertian bahwa keimanan Bani Israil secara parsial
kepada Mikail adalah bentuk kekafiran juga seperti isi ayat 98.
Secara substantive, narasi jumhur mufassirin
pada kedua ayat ini mempertegas sikap permusuhan diantara kaum Muslimin-Hejaz
dengan Bani Israil pada tingkat transenden yang melibatkan malaikat dan bahkan
Allah Ta’aala sendiri, artinya permusuhan pada tingkat keyakinan dan ideology
yang tertinggi. Gaya penafsiran klasik yang masih eksis ini, secara ironic
telah memperdalam konflik ideologis dan rasial diantara Yahudi, Arab dan Muslim
yang berlangsung sepanjang masa.
Inkuisisi Spanyol
Pada Penngajian ke 106 diungkapkan bahwa masa
keemasan agama samawi dicapai pada masa kekuasaan Islam di al-Andalusia
(Spanyol) yang orang Yahudi menyebutnya Sefardik, dimana ketiga agama
samawi Islam, Yahudi dan Kristen berdampingan harmonis selama 6 abad. Belum
pernah ada zaman sebaik itu, bahkan tidak di zaman Rasulullah SAW yang ditandai
suasana konflik dan permusuhan bahkan peperangan antara Islam vs Yahudi, dan Islam
vs Kristen sebagaimana terekam dalam kitab Tarikh dan Kitab-kitabTafsir yang
penuh dengan nuansa konflik dan
permusuhan. Masa yang indah itu berakhir pada akhir abad 15 ketika kedua
penguasa kerajaan Iberia kuno, yaitu Ferdinand dari Aragon dan istrinya Isabela
dari Castile berhasil merebut Granada dan akhirnya merebut al-Andalus
(Spanyol) yang didirikan Bani Umayyah pada abad ke-9 itu dari kekuasaan
Muslimin.
Spanyol dibersihkan dari orang Islam dan
orang Yahudi dengan program Inkuisisi Spanyol yang berdarah-darah itu. Tidak
kurang dari 70.000 orang Yahudi dipaksa masuk Kristen (Katolik). 13.000 Yahudi
di bunuh, 130.000 di usir, 50.000 diantaranya mengungsi ke kerajaan baru Islam Turki
Utsmanyah yang disambut baik. Sepanjang abad 15 orang-orang Yahudi di usir
dari seluruh Eropa Barat, akibatnya terus bergeser ke Timur ke wilayah Turki
Ustmany di mana mereka mendapatkan perlindungan dengan baik. Di bawah imperium
Islam, kaum Yahudi tidak pernah mengalami pembantaian seperti yang dialami
orang-orang Yahudi di kawasan Eropa lainnya (Karen Arsmtrong, 2000). Maka dapat
disebutkan bahwa periode al-Andalus dan periode Utsmaniyah adalah masa-masa
keemasan Islam di Eropa dimana kaum Yahudi mendapatkan perlindungan dan
kebebasan, sehingga dapat mengalami pertumbuhan cultural dan spiritual.
Dosa sosial terhadap Yahudi lebih banyak
dilakukan oleh Kristen ortodox dan konflik agama lebih banyak terjadi diantara
mereka. Islam pada dasarnya tidak memiliki basis konflik dengan Yahudi, kecuali
penganut Arabisme yang banyak dipengaruhi literature klasik Arab, terutama
kitab-kitab tafsir dan tarikh.
Messianisme
Pengusiran telah mengakibatkan dislokasi
spiritual dan fisikal. Kaum Yahudi merasa tercerabut dari akarnya. Berpisahnya
tradisi dan budaya spiritual dengan lokasi telah menciptakan bentuk
keterasingan dan hilangnya peradaban. Memasuki awal abad 16, mulai timbul
perasaan umum dikalangan Yahudi yang terkucil ini, bahwa agama Yahudi
tradisional tidak ada lagi manfaatnya. Bencana yang menimpa ternyata tidak
dapat diantisipasi, dan timbul perasaan umum bahwa ibadah-ibadah gaya lama
tidak lagi berfungsi. Sebagian berpaling ke messianisme. Selama
berabad-abad Bani Israil (Yahudi) menanti seorang Messiah (Juru Selamat),
seorang raja dari dinasti Daud yang dipercaya akan menjadi Juru Selamat yang
akan mengakhiri pengasingan dan pengucilan mereka dan akan mengambalikan mereka
ke Jerusalem, Tanah Yang Dijanjikan.
Para Yahudi penganut messianic di Balkan
mentransendensikan nasib buruk yang menimpa kaum Yahudi di abad ke 15-16 itu
merupakan momen cobaan yang diramalkan para nabi dan orang-orang bijak yang
dijuluki “kepedihan lahirnya sang Messiah”. Mereka percaya “dari kepedihan
itulah akan lahir kehidupan baru”. Faham messianic dalam Islam dianut oleh
Syi’ah yang sudah 15 abad menanti datangnya “Imam Mahdi” sang Juru Selamat
Akhir Zaman. Banyak jenis messianisme dikalangan tertindas. Di Jawa ada mitos
Ratu Adil yang selalu dinantikan untuk menyelamatkan dan membawa Rakyat
Nusantara menuju kejayaan. Bahkan seorang yang merasa dunia mereka telah
dihancurkan oleh modernitas juga berharap akan datangnya Messiah. Artinya
messianisme merupakan factor psikologis dalam konstitusi-jiwa manusia.
Ketidaksadaran kolektif seluruh manusia mengandung struktur nilai messianisme
yang dapat muncul sebagai erupsi kedalam kesadaran dalam bentuk imajinasi.
Sekelompok kaum Yahudi Sefardik penganut
messianic yang terkucil di Balkan percaya pada waktunya Sang Messiah akan
muncul Galilee. Untuk itu mereka rela berpindah dari Balkan ke Galilee. Mereka
ingin menjadi kaum yang pertama menyambutnya. Beberapa diantara mereka yang
ingin segera mencapai hasil perubahan bahkan menyatakan telah menemukan Messiah
dalam diri Ashkenazic yang suci, Isaac Luria (1534-1572) yang bermukim di Safed yang
memperkenalkan mitos “Qabbala-Lurianik” yang tidak memiliki kemiripan sama sekali
dengan “Kitab Kejadian”. Namun mitos “Qabbala-Lurianik” setidaknya dapat
menerangi kegelapan dunia mereka dan membuat hidup menjadi dapat ditanggung dan
berpengharapan. Qabballah-Lurianik mengawali ajarannya dengan teologi
penciptaan dimana terjadi tindak pengasingan dan pengucikan diri secara
sukarela dari Ein Sof (Tuhan)
yang tak terhingga dan tanpa akhir yang melakukan “Zimzum”, yaitu
menyusutkan dirinya dan mengosongkan ruang dalam zat-nya untuk memberi tempat
bagi lahirnya dunia (Karen Armstrong, 2000).
Dari substansi idealitas yang tercermin dapat
diketahui dengan jelas bahwa jalan lain dari Taurat yang disebut para mufassir
Qur’an dan narator Bibel sebagai penyimpangan merupakan kebutuhan spiritual
bagi kelangsungan sejarah kehidupan Bani Israil (vide, Buku ke-4 dan ke-5).
Lebih dari 25 abad mereka menjadi bangsa yang madzlum. Meski demikian kita
tidak membenarkan Israel berbuat dzalim kepada Palestina dan sebaliknya.
Kemerdekaan Palestina dan Israel di bumi Palestina adalah hal terbaik yang kita
dukung dewasa ini. Sekian, terima kasih.
Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi Sabilih,
Wassalamu’alaikum War. Wab.
Jakarta, 1 Sepetember 2006
Pengasuh,
KH. AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front Persatuan Nasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar