11.7.17

Pengajian Keseratus Tujuh (107),


Pengajian Keseratus Tujuh (107),

Oleh : KH. Agus Miftach

Assalamu’alaikum War. Wab,
Bismillahirrahmanirrahiem,

“Katakanlah,”Barangsiapa yang menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkannya (Al-Qur’an) kedalam hatimu dengan seizin Allah; membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman. (97) Barangsiapa yang menjadi musuh Allah, malaikat-malaikatNya, Rasul-rasulNya, Jibril dan Mikail, maka sesungguhnya Allah adalah musuh orang-orang kafir.”(98); Al-Baqoroh : 97-98.
Kita akan membahas kedua ayat ini dengan pendekatan eklektik multiperspektif teologi, antropologi, historiografi, psikologi dll secara holistis untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif dan hikmah yang setinggi-tingginya dari kandungan kedua ayat ini.

Pokok Bahasan.

Dikemukakan oleh Ishak bin Rahawaih dalam Musnadnya dan oleh Ibnu Jarir dari jalur Sya’bi, bahwa “Umar r.a.biasa mendatangi orang-orang Yahudi, dimana mereka memperdengarkan Taurat kepadanya. Umar heran, karena Taurat itu membenarkan isi Al-Qur’an.” Pada kesempatan itu kebetulan Nabi Muhammad SAW lewat di depan mereka, maka kata Umar, “Atas nama Allah saya bertanya kepadamu, tahukah kamu bahwa dia itu Rasulullah ?” Jawab seorang alim diantara kaum Yahudi,”Memang, kami tahu bahwa dia (Muhammad) adalah Rasulullah.” Umar berkata,”Kenapa kamu tidak mengikuti dia ?” Jawab mereka,”Pernah kami bertanya kepada Muhammad, siapa yang menyampaikan kenabiannya kepadanya ? Maka disebutkannya Jibril musuh kami, yang menurunkan kekerasan, kekasaran, peperangan dan malapetaka.” Kata Umar lebih lanjut,”Siapakah rasul-rasul kamu dari kalangan malaikat ?” Jawab kaum Yahudi,”Mikail, yang menurunkan hujan dan rahmat.
Sementara dari Ibnu Abu Hatim dari jalur lain, dari Abdurrahman Abu Lailay, bahwa seorang Yahudi menemui Umar bin Khattab r.a., dan mengatakan,”Sesungguhnya Jibril yang disebutkan oleh sahabatmu itu (Muhammad SAW) adalah musuh kami.” Maka Umar menjawab,”Barang siapa yang menjadi musuh Allah, musuh Malaikat-malaikatNya, Rasul-rasulNya, Jibril dan Mikail, maka sesungguhnya Allah menjadi musuhnya”.

Riwayat ini sebagaimana ditegaskan oleh Imam Abu Ja’far bin Jarir ath-Thabari rahimahullah, disepakati jumhur mufassirin menjadi asbabun-nuzul ayat ke-97 dan 98.
Menurut Ibnu Katsir ayat 97-98 berkaitan dengan sikap Bani Israil yang ingkar (memusuhi) terhadap Jibril dan menganggap Mikail sebagai penolongnya. Ibnu Katsir mengkategorikan sikap seperti itu sebagai “kafir”. Kafir terhadap sebagian rasul, dimana rasul terdiri golongan manusia dan golongan malaikat, dalam hal ini kafir terhadap malaikat Jibril dan beriman kepada malaikat Mikail atau menganggapnya sebagai penolong, adalah tindakan bias yang tidak dapat dibenarkan dan menyalahi definisi iman yang harus bersifat utuh. Beriman kepada seorang rasul, haruslah beriman kepada seluruh rasul dan seluruh kitab-kitabnya.

Tidak bisa beriman kepada sebagian dan kafir terhadap sebagian yang lain. Dan adalah Jibril yang diutus Allah untuk menyampaikan di  hati Rasulullah SAW Al-Qur’anul Kariem yang menjadi mukjizat terbesar sepanjang masa. Bagaimana mungkin Bani Israil mengkufuri hakekat Ruhul Amien (Jibril) yang menjadi utusan Allah untuk menyampaikan Adz-Dzikrul Hakim (Al-Qur’an) kedalam nurani Rasulullah. Dalam hal ini jumhur mufassirin memposisikan kaum Yahudi yang mengingkari Jibril dan Rasulullah SAW itu sebagai musuh Allah.

Narasi ini menyangkut otoritas subyektif jumhur mufassirin tentang terminology iman yang harus bersifat holistis dan tidak bisa parsial. Sudah barangtentu Bani Israil (kaum Yahudi) juga memiliki otoritas subyektivitasnya sendiri berkaitan dengan keyakinan religiusitasnya yang merupakan percampuran antara Taurat dengan Qabbala yang disebut Judaism yang sudah banyak kita bahas pada pengajian-pengajian yang lalu. Seperti para jumhur mufassirin mengkafirkan mereka, maka merekapun mengkafirkan ummat Islam dan kaum non-Yahudi lainnya yang dianggap sebagai sub-human dengan istilah “ghoyim”. Hanya Yahudi-lah yang memiliki derajat kemanusiaan yang utuh. Setelah diaspora yang pertama abad ke-6 SM Bani Israil yang bertujuan kembali ke Jerusalem dan memimpin semua “Ghoyim” disebut “Gholah”.

Dalam kaitan narasi kedua ayat diatas, Ibnu Katsir menempatkan Jibril dan Mikail sebagai athaf khas kepada ‘aam, keadaan yang khusus kepada yang umum dimana Jibril secara khusus disebut dalam ayat 97 dengan kalimat,”Man kaana ‘aduwwal-lijibriela…..dst” : “Barangsiapa menjadi musuh Jibril…..dst”. Sementara Mikail disebut secara khusus dalam ayat 98, yang secra terbalik oleh kaum Yahudi dijadikan sebagai alasan pengingkarannya kepada Jibril dan Rasulullah SAW, sebagaimana diungkapkan jumhur mufassirin diatas yang menjadi asbabun-nuzul. Dengan demikian jumhur mufassirin memberikan pengertian bahwa keimanan Bani Israil secara parsial kepada Mikail adalah bentuk kekafiran juga seperti isi ayat 98.

Secara substantive, narasi jumhur mufassirin pada kedua ayat ini mempertegas sikap permusuhan diantara kaum Muslimin-Hejaz dengan Bani Israil pada tingkat transenden yang melibatkan malaikat dan bahkan Allah Ta’aala sendiri, artinya permusuhan pada tingkat keyakinan dan ideology yang tertinggi. Gaya penafsiran klasik yang masih eksis ini, secara ironic telah memperdalam konflik ideologis dan rasial diantara Yahudi, Arab dan Muslim yang berlangsung sepanjang masa.

Inkuisisi Spanyol

Pada Penngajian ke 106 diungkapkan bahwa masa keemasan agama samawi dicapai pada masa kekuasaan Islam di al-Andalusia (Spanyol) yang orang Yahudi menyebutnya Sefardik, dimana ketiga agama samawi Islam, Yahudi dan Kristen berdampingan harmonis selama 6 abad. Belum pernah ada zaman sebaik itu, bahkan tidak di zaman Rasulullah SAW yang ditandai suasana konflik dan permusuhan bahkan peperangan antara Islam vs Yahudi, dan Islam vs Kristen sebagaimana terekam dalam kitab Tarikh dan Kitab-kitabTafsir yang penuh dengan nuansa konflik dan  permusuhan. Masa yang indah itu berakhir pada akhir abad 15 ketika kedua penguasa kerajaan Iberia kuno, yaitu Ferdinand dari Aragon dan istrinya Isabela dari Castile berhasil merebut Granada dan akhirnya merebut al-Andalus (Spanyol) yang didirikan Bani Umayyah pada abad ke-9 itu dari kekuasaan Muslimin.

Spanyol dibersihkan dari orang Islam dan orang Yahudi dengan program Inkuisisi Spanyol yang berdarah-darah itu. Tidak kurang dari 70.000 orang Yahudi dipaksa masuk Kristen (Katolik). 13.000 Yahudi di bunuh, 130.000 di usir, 50.000 diantaranya mengungsi ke kerajaan baru Islam Turki Utsmanyah yang disambut baik. Sepanjang abad 15 orang-orang Yahudi di usir dari seluruh Eropa Barat, akibatnya terus bergeser ke Timur ke wilayah Turki Ustmany di mana mereka mendapatkan perlindungan dengan baik. Di bawah imperium Islam, kaum Yahudi tidak pernah mengalami pembantaian seperti yang dialami orang-orang Yahudi di kawasan Eropa lainnya (Karen Arsmtrong, 2000). Maka dapat disebutkan bahwa periode al-Andalus dan periode Utsmaniyah adalah masa-masa keemasan Islam di Eropa dimana kaum Yahudi mendapatkan perlindungan dan kebebasan, sehingga dapat mengalami pertumbuhan cultural dan spiritual.

Dosa sosial terhadap Yahudi lebih banyak dilakukan oleh Kristen ortodox dan konflik agama lebih banyak terjadi diantara mereka. Islam pada dasarnya tidak memiliki basis konflik dengan Yahudi, kecuali penganut Arabisme yang banyak dipengaruhi literature klasik Arab, terutama kitab-kitab tafsir dan tarikh.

Messianisme

Pengusiran telah mengakibatkan dislokasi spiritual dan fisikal. Kaum Yahudi merasa tercerabut dari akarnya. Berpisahnya tradisi dan budaya spiritual dengan lokasi telah menciptakan bentuk keterasingan dan hilangnya peradaban. Memasuki awal abad 16, mulai timbul perasaan umum dikalangan Yahudi yang terkucil ini, bahwa agama Yahudi tradisional tidak ada lagi manfaatnya. Bencana yang menimpa ternyata tidak dapat diantisipasi, dan timbul perasaan umum bahwa ibadah-ibadah gaya lama tidak lagi berfungsi. Sebagian berpaling ke messianisme. Selama berabad-abad Bani Israil (Yahudi) menanti seorang Messiah (Juru Selamat), seorang raja dari dinasti Daud yang dipercaya akan menjadi Juru Selamat yang akan mengakhiri pengasingan dan pengucilan mereka dan akan mengambalikan mereka ke Jerusalem, Tanah Yang Dijanjikan.

Para Yahudi penganut messianic di Balkan mentransendensikan nasib buruk yang menimpa kaum Yahudi di abad ke 15-16 itu merupakan momen cobaan yang diramalkan para nabi dan orang-orang bijak yang dijuluki “kepedihan lahirnya sang Messiah”. Mereka percaya “dari kepedihan itulah akan lahir kehidupan baru”. Faham messianic dalam Islam dianut oleh Syi’ah yang sudah 15 abad menanti datangnya “Imam Mahdi” sang Juru Selamat Akhir Zaman. Banyak jenis messianisme dikalangan tertindas. Di Jawa ada mitos Ratu Adil yang selalu dinantikan untuk menyelamatkan dan membawa Rakyat Nusantara menuju kejayaan. Bahkan seorang yang merasa dunia mereka telah dihancurkan oleh modernitas juga berharap akan datangnya Messiah. Artinya messianisme merupakan factor psikologis dalam konstitusi-jiwa manusia. Ketidaksadaran kolektif seluruh manusia mengandung struktur nilai messianisme yang dapat muncul sebagai erupsi kedalam kesadaran dalam bentuk imajinasi.

Sekelompok kaum Yahudi Sefardik penganut messianic yang terkucil di Balkan percaya pada waktunya Sang Messiah akan muncul Galilee. Untuk itu mereka rela berpindah dari Balkan ke Galilee. Mereka ingin menjadi kaum yang pertama menyambutnya. Beberapa diantara mereka yang ingin segera mencapai hasil perubahan bahkan menyatakan telah menemukan Messiah dalam diri Ashkenazic yang suci, Isaac Luria  (1534-1572) yang bermukim di Safed yang memperkenalkan mitos “Qabbala-Lurianik”  yang tidak memiliki kemiripan sama sekali dengan “Kitab Kejadian”. Namun mitos “Qabbala-Lurianik” setidaknya dapat menerangi kegelapan dunia mereka dan membuat hidup menjadi dapat ditanggung dan berpengharapan. Qabballah-Lurianik mengawali ajarannya dengan teologi penciptaan dimana terjadi tindak pengasingan dan pengucikan diri secara sukarela dari Ein Sof  (Tuhan) yang tak terhingga dan tanpa akhir yang melakukan “Zimzum”, yaitu menyusutkan dirinya dan mengosongkan ruang dalam zat-nya untuk memberi tempat bagi lahirnya dunia (Karen Armstrong, 2000).

Dari substansi idealitas yang tercermin dapat diketahui dengan jelas bahwa jalan lain dari Taurat yang disebut para mufassir Qur’an dan narator Bibel sebagai penyimpangan merupakan kebutuhan spiritual bagi kelangsungan sejarah kehidupan Bani Israil (vide, Buku ke-4 dan ke-5). Lebih dari 25 abad mereka menjadi bangsa yang madzlum. Meski demikian kita tidak membenarkan Israel berbuat dzalim kepada Palestina dan sebaliknya. Kemerdekaan Palestina dan Israel di bumi Palestina adalah hal terbaik yang kita dukung dewasa ini. Sekian, terima kasih.

Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi Sabilih, Wassalamu’alaikum War. Wab.

Jakarta, 1 Sepetember 2006
Pengasuh,

KH. AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front Persatuan Nasional



Tidak ada komentar:

Posting Komentar