11.7.17

Pengajian Keseratus Sebelas (111).

Pengajian Keseratus Sebelas (111).

Assalamu’alaikum War. Wab.
Bismillahirrahmanirrahiem,

Apakah kamu hendak menanyai Rasulmu sebagaimana dahulu Musa ditanyai ? Dan barangsiapa yang menukar keimanan dengan kekafiran, maka dia benar-benar tersesat dari jalan lurus. (108).

Seperti tradisi pengajian ini, kita akan membahas ayat ini dengan pendekatan eklektik multiperspektif, baik dari perspektif teologi, antropologi, historiografi maupun psikologi secara holisitis, untuk mendapatkan hikmah yang setinggi-tingginya dari kandungan ayat ini.

Pokok Bahasan.

Diketengahkan oleh Ibnu Jarir dari Mujahid r.a.,”Orang-orang Quraisy Mekah meminta kepada Rasulullah saw untuk memperluas kota Mekah dan mengubah bukit Shafa menjadi bukit emas”. Bahkan dari sumber Saidy dikemukakan,”Orang-orang Arab  meminta kepada Muhammad saw, untuk mendatangkan Allah hingga mereka dapat melihatnya secara nyata”; maka turunlah ayat ini, yang secara subtantif membandingkan sikap Quraisy Mekah itu dengan sikap Bani Israil dizaman Musa a.s. yakni ketika mereka menyatakan tidak akan beriman hingga Musa dapat memperlihatkan Allah secara nyata kepada mereka. Akibatnya mereka disambar petir karena kedzaliman itu  (an-Nisa : 153).

Pada dasarnya permintaan-permintaan semacam itu hanya bertujuan mempersulit dan menjatuhkan wibawa Rasulullah saw belaka, sebagaimana Bani Israil melakukannya terhadap Musa a.s.dahulu. Bahkan terhadap mukjizat-mukjizat yang telah ditunjukkan secara kasat mata,Bani Israil di zaman Musa a.s. tidak mau beriman, maka permintaan kaum Quraisy Mekah itu tidak perlu dilayani, karena keimanan itu tumbuh dari kejujuran hati nurani; maka turunlah ayat ini.

Ayat ini ditutup dengan kalimat “faqod dholla sawaa’assabiel(i)”:”maka dia benar-benar tersesat dari jalan yang lurus”. ‘Sawa’ asal katanya ‘wasat’ artinya pertengahan. Jadi makna harfiahnya jalan tengah, yang oleh Ibnu Katsir dan Jalalain ditafsirkan sebagai “jalan lurus” atau “jalan yang benar”.

Budaya materialism

Tuntutan agar para rasul membuktikan keberadaan Allah secara fisik, mencerminkan sikap budaya materialism yang konsisten di semua bentuk peradaban paganisme. Peristiwa Bani Israil di era Musa dan Quraisy Mekah di era Muhammad terpisah 21 abad, tetapi substansi kejiwaan mereka tetap sama. Konstitusi jiwa mereka berisi struktur nilai materialism. Mereka tidak mempercayai semua yang Ghoib, seperti Allah, Alam Akhirat, Surga dan Neraka; bahkan Hari Kiamat mereka juga tidak percaya.

Para pemikir materialism di abad modern ini menganggap semua itu sebagai non-realas dan merupakan idealisme spekulatif yang bersifat menghambat (vide, Buku Ke-4). Dalam Manifesto Humanis 1933, dikemukakan bahwa alam semesta tidak diciptakan (tuhan), melainkan ‘self existing’ atau terjadi dengan sendirinya. Demikian pula manusia yang merupakan bagian dari alam, merupakan hasil suatu proses evolusi. Keberadaan alam semesta yang benar adalah sebagaimana dilukiskan ilmu pengetahuan modern, bukan seperti nilai-nilai yang disampaikan manusia kosmis (para rasul) atau hal-hal gaib (ilmu agama) yang tidak dapat diterima akal  (vide, Pengajian ke-52, Buku ke-4).

Rumusan yang kuat itu terakhir merupakan hasil dari pergulatan pemikiran dari resistensi terhadap Inkuisi Spanyol yang kejam dan brutal abad ke 15-16, terutama terhadap kaum Yahudi, yang justru menghasilkan sekulerisme dan ateisme dikalangan Yahudi  yang kemudian meluas keseluruh Eropa dan menjadi dasar peradaban materialisme Barat modern (vide, Pengajian Ke-110).

Menurut para cendekiawan materialis, kehidupan akhirat tidak ada, itu hanya dogma yang menjadi candu bagi manusia. Kehidupan seluruhnya adalah sebagaimana kenyataan yang dialami manusia di dunia ini. Mereka menolak total harapan masa depan transcendental di sorga atau institusi religius dari kuasa-kuasa gaib yang tidak dikenal. Bagi mereka dunia (alam semesta) bersifat abadi. Sorga dan neraka ada di dunia ini dan manusia dapat mencapainya tanpa perlu agama, melainkan melalui prinsip-prinsip kebebasan, persamaan dan persaudaraan (liberte, egalite dan fraternite), demokrasi dan sekulerism yang hakekatnya melepaskan manusia secara total dari religiusitas.

Ernest Renan mengatakan,”Jika manusia dididik dan diterangi dengan ilmu pengetahuan positif, akan memberikan pengertian bahwa kepercayaan kepada agama adalah hal yang sia-sia, dan dogma iman akan roboh dengan sendirinya.” Pernyataan Renan ini diperkuat oleh pernyataan Lessing’s,”Jika manusia dididik dan diterangi dengan ilmu pengetahuan positif, akan dapat dicapai suatu kondisi yang tidak lagi membutuhkan agama.”

Para cendekiawan materialis yang tergabung dalam Freemasonry mengatakan, bahwa manusia sebagai ‘the supreme species’ hanya bertanggungjawab pada dirinya sendiri (tidak bertanggungjawab kepada Tuhan). Mereka berpendapat, ketika mati, materi manusia terurai kembali ke dalam atom dan energinya kembali kepada alam (vide,.Pengajian ke-56, Buku ke-4).

Para pemikir terkemuka freemasonry seperti Marx, Engels, Lenin, Politzer, Sagan dan Monod bersikukuh, tidak ada roh yang terlepas dari badan. Mereka mendalilkan semesta alam merupakan kesatuan absolute yang kekal abadi. Manusia terjadi dengan sendirinya dari seleksi alam. Tidak diciptakan oleh tuhan yang tidak terlihat dan tidak dikenal. Setelah berselang 35 abad dari zaman Musa, ternyata konstitusi jiwa kaum materialis-paganis tetap sama, yaitu mereka memilih menuhankan materi dan menolak Tuhan Yang Ghoib.

Materialisme yang rapuh.

Tetapi pandangan yang demikian tegar dari para cendekiawan materialis-masonic abad 18/19 itu ternyata terbantah oleh fakta yang dikemukakan para cendekiawan materialis-liberalis abd 20/21. Francis Fukuyama, professor pada Universitas John Hopkin AS mengatakan (1989), kebangkitan fundamentalisme agama Yahudi, Kristen dan Islam pada tahun-tahun terakhir, dalam beberapa hal membuktikan adanya ketidakbahagiaan yang luas dari impersonalitas dan kekosongan spiritual masyarakat konsumeris-liberal. Dan ini jelas merupakan kekurangan dari ideology materialisme yang mutakhir ini. Fakta ini sejalan  dengan penelitian  yang membuktikan bahwa manusia tidak hanya terdiri dari susunan materi, tetapi terdapat unsur non-materi, yaitu “emotion-mind-will” (perasaan, kesadaran dan harapan) yang membuktikan adanya roh.

Sementara antropolog yang masyhur saat ini Karen Armstrong (1997) mengatakan, bahwa prestasi peradaban (materiil) terbukti rapuh dan memiliki kelemahan-kelemahan. Sebuah negeri bisa hancur dan lenyap begitu saja oleh wabah, bencana alam dan perang. Sebuah prestasi bisa lenyap begitu saja oleh usia tua, kesakitan, kecelakaan dan kematian. Tanpa sandaran transcendental manusia tidak akan mampu melanjutkan apalagi membangun peradaban. Maka sejak awal sejarah, manusia mencari kekuatan-kekuatan transendensi dari alam ideanya yang menjadi dasar agama-agama purba termasuk agama Israel agar dapat survive. Namun demikian menurut Armstrong pemikiran agama yang paling modern adalah pencarian keadilan sosial, bukan sekedar fantasi religius.

Meskipun tidak sama dengan konsep agama tradisional yang dogmatis, tetapi Francis Fukuyama dan Karen Armstrong yang juga dari rumpun materialism telah menyajikan fakta yang berbeda dari para penganut paganis-materialist yang bahkan terkadang bersifat ekstra scientific alias dongeng materialis. Menurut Fukuyama dan Armstrong, manusia tidak cukup terpenuhi dengan sejumlah dalil dan prestasi di bidang materi.

Ternyata manusia yang juga terdiri emotion-mind-will membutuhkan kebahagiaan transcendental yang non-materi. Manusia yang pada dasarnya menginginkan keabadian tidak puas dengan kehidupan sebatas kematian di dunia materi ini saja. Ketidaksadaran kolektif manusia menginginkan kehidupan abadi sesudah kematian. Inilah yang menjadikan materialisme menemui jalan buntu pada akhirnya. Jawabannya ada di jalur iman tauhid dimana equilibrium materi-non materi, dunia-akhirat menjadi capaian tertinggi di dunia agnostic dan di akhirat yang transcendent.

Sekian, selamat memasuki sepuluh hari pertama di bulan suci Ramadhan yang bermakna Rahmat.

Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi Sabilih,
Wassalamu’alaikum War. Wab.
Jakarta,  29 September 2006,
Pengasuh,

K.H. AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front Persatuan Nasional


Tidak ada komentar:

Posting Komentar