11.7.17

Pengajian Keseratus Duapuluh Satu (121),







Pengajian Keseratus Duapuluh Satu (121),

Assalamu’alaikum War. Wab.
Bismillahirrahmanirrahiem,






Dan ingatlah ketika Ibrahiem diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat lalu menyempurkannya, Allah berfirman,”Sesungguhnya aku akan menjadikanmu sebagai pemimpin manusia.” Ibrahim berkata,” Dan dari keturunanku.” Allah berfirman,”Janji-Ku tidak akan menjangkau orang yang dzalim.” ; Al-Baqoroh : 124.

Kita akan membahas ayat ini dengan pendekatan eklektik multiperspektif, baik dari perspektif teologi, antropologi, historiografi maupun psikologi dll secara holistis, untuk memperoleh pemahaman yang komprehensif dan hikmah yang setinggi-tingginya dari kandungan ayat ini.

Pokok Bahasan

Mahmud Zahram dan Ibnu Katsir mengemukakan : Ibrahim a.s. telah diberi bermacam-macam pengalaman, cobaan dan ujian dari Allah a.l. diperintahkan mendebat Raja Namrud yang menyembah berhala, bersabar ketika dilemparkan kedalam api oleh Namrud, hijrah meninggalkan negerinya, menyembelih anak laki-lakinya dll. Tetapi Jalalain mempunyai pendapat yang lebih sederhana, bahwa itu berkaitan dengan perintah manasik hajji, lalu perintah bersuci seperti berkumur-kumur, menghirup air ke hidung, menggosok gigi, memotong kumis, membelah rambut, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan, berkhitan dan istinjak yang semuanya dilaksanakan Ibrahim dengan sempurna.
Faktanya redaksi ayat diatas, tidak menerangkan secara rinci berbagai macam kalimat yang ditugaskan kepada Ibrahim, menurut Mahmud Zahram merupakan indikator bahwa beban itu besar, banyak dan berat, yang dalam hal ini telah berhasil dilaksanakan Ibrahim dengan sebaik-baiknya sehingga membawanya ke kedudukan yang sempurna. Ini dikaitkan dengan kalimat,”Innii jaa’iluka linnaasi imaama(n)…” :”Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu pemimpin manusia.”
Tapi Muhammad Abduh berpendapat bahwa kalimat ini berdiri sendiri, tidak ada hubungannya dengan kalimat sebelumnya, karena tidak terdapat athaf (kata penghubung). Dengan demikian maka pangkat imam (nabi dan rasul) pada Ibrahim tidak ada sangkut pautnya dengan segala perintah Allah yang telah dilaksanakan Ibrahim, melainkan semata-mata karena kehendak Allah. Sebenarnya perdebatan teologis dikalangan mufassirin ini tidak ada artinya, karena tidak mengubah hakekat Ibrahim sebagai pendiri peradaban Semit.
Doa Ibrahiem agar pangkat imam (nabi dan rasul) itu dianugerahkan pula kepada keturunannya, terbukti dengan semua nabi dan rasul Yahweh (Allah) berasal dari keturunan Ibrahim. Sementara itu adanya kalimat,”..laa yanaalu ‘ahdidhdhoolimien(a)” ;”Janji-Ku tidak akan menjangkau orang-orang yang dzalim.”  Mengindikasikan diantara keturunan Ibrahim terdapat pula kaum yang dzalim (sesat).

Menelusuri sejarah Ibrahim

Ibrahim atau Abraham adalah putra Tarih atau Terah, putra Sem, putra Nuh, putra Adam, putra Allah. Tentang silsilah ini para arkeolog dan antropolog berpendapat masih harus diuji secara empirik. Apalagi tentang eksistensi Adam itu sendiri masih menjadi perdebatan. Apakah ia benar-benar ada sebagai asal-usul ras manusia (homo-sapiens) atau sebenarnya ia hanya symbol asal-usul budaya manusia atau lebih sempit lagi budaya Semit. Tetapi Yahudi dan Muslim cenderung mempercayai silsilah suci tsb secara dogmatis. Terah atau Tarih yang berprofesi sebagai seniman pembuat patung (azar) yang ternama di Aur Khaldan atau Ur Khasdim (Bibel) atau Tanah Khaldea itu memiliki tiga anak, yaitu Abraham (Ibrahim), Nahor dan Haran. Haran meninggal di Aur Khaldan sebelum migrasi. Anaknya yang bernama Milka dinikahi Nahor pamannya. Hukum waktu itu mengijinkan. Sedangkan istri Ibrahim (Abraham) adalah Siti Sarah.  Sumber Bibel (Kejadian 11:31) mengungkapkan bahwa pertama kali Terah membawa keluarganya yang terdiri Abraham, Sarai (Siti Sarah), dan Lot (Lut) ke negeri Haran sebelum ke Kana’an. Untuk beberapa lama mereka menetap di Haran hingga Terah (Tarih) wafat dalam usia 145 tahuh. Setelah itu barulah dimulai perjalanan panjang Ibrahim ke Kana’an.

Terlepas dari perbedaan detail migrasi, Sejarah Ibrahim dimulai pada sekitar abad ke 20 SM atau lebih tua (abad 25 SM), yaitu pada saat Ibrahim memimpin keluarganya hijrah dari negeri leluhurnya Aur Khaldan atau Ur Khasdim ke Kana’an. Dalam hal ini narasi mufassirin kurang memberikan rincian. Maka sumber-sumber antropolog dan arkeolog menjadi penting disamping sumber-sumber Bibel. Teolog Berthold A Pariera (2004) berpendapat bahwa migrasi Ibrahim tsb bukan karena perintah Allah namun karena keputusannya sendiri. Pada waktu itu tengah terjadi migrasi besar-besaran bangsa-bangsa dari wilayah gurun yang tandus ke belahan bulan sabit yang subur. Ini diperkirakan terjadi pada abad 20 SM. Dengan demikian ada kemungkinan migrasi Ibrahim ini berlatarbelakang ekonomi.
Ini berbeda dengan antropolog Ahmad Shalaby yang mengaitkan migrasi itu dengan persoalan teologis, yaitu pertentangan Ibrahim dengan kaum paganis di Aur Khaldan dengan Raja Namrud-nya. Pandangan Shalaby sejalan dengan pandangan jumhur mufassirin yang sama persis dengan pandangan Yahwist yang membakukan pendapat bahwa migrasi Ibrahim adalah atas petunjuk Tuhan seperti tercermin dalam narasi para mufassir diatas.

Berbeda dengan sumber Bibel, jumhur mufassirin dan Ahmad Shalaby tidak menyebut-nyebut kota Haran sebagai persinggahan migrasi, Ibrahim dan keluarganya langsung bermigrasi dari Aur Khaldan  ke  Kana’an. Shalaby menyebutkan rombongan migrasi itu terdiri Ibrahim, istrinya Siti Sarah dan anak saudaranya Lut (putra Haran), sebagian dari keluarganya yang lain dan khadamnya. Tentang Nabi Ibrahim sebenarnya sudah banyak kita bahas pada pengajian-pengajian terdahulu. Kita dalami lagi sekarang ini berkaitan dengan topik bahasan ayat didepan.

Dengan demikian dapat disimpulkan bangsa Israel dan bangsa Ismail berasal dari Mesopotamia Selatan (letak Aur Khaldan). Mereka bermigrasi dan kemudian diijinkan oleh Raja Yebus Melkisidek yang berkuasa di Jerusalem untuk menempati suatu areal tanah yang dibeli Ibrahim di Kana’an sebagai situs tempat tinggal keluarga besar mereka. Mereka tinggal disana sejak th. 2000 SM hingga th. 1750 SM.  Di musim paceklik 12 suku Israel keturunan Ibrahim bermigrasi ke Mesir. 12 suku Israel berasal dari putra Ya’qub yang bergelar Israel, putra Ishak, putra kedua Ibrahim.
Putra pertama Ibrahim adalah Ismail yang menikah dengan putri penguasa Hejaz Jurhum dan menurunkan ras Arab Musta’ribah, menurunkan suku Quraisy yang didalamnya lahir Nabi Muhammad saw. Berbagai tulisan tentang silsilah Nabi Muhammad secara lengkap menariknya ke garis keturunan langsung Nabi Ibrahim. Tentu segala silsilah itu harus dibuktikan kebenarannya secara empirik, bukan sekedar asumsi dogmatis yang harus dipercaya.

Peradaban Semit

Jika sejarah Ibrahim dimulai ketika migrasi dari Aur Khaldan ke Kana’an, maka sejarah peradaban Semit mulai dari migrasi duabelas suku Israel ke Mesir pada sekitar abad 18 atau 19 SM, ketika paceklik melanda Kana’an.
Sekitar th. 1750 SM keduabelas suku Bani Israel bergabung dalam kekuasaan Dinasti Amalik (kaum Hyksos) yang menjajah Mesir dibawah Fir’aun Futi Faragh atau Futifar, yang merupakan dinasti kekuasaan Mesir yang ke-16. Adalah Yusuf a.s. pemuka Bani Israil yang kemudian menduduki jabatan sebagai Raja Muda Mesir. Ini memberikan kesempatan Bani Israil tumbuh dan berkembang sebagai ras yang strategis di Mesir dengan berbagai priveles. Selama hampir 4 abad populasi Bani Israil di Mesir mencapai satu juta lebih. Keadaan berubah ketika gerakan nasionalis Mesir dibawah pimpinan Ahmez berhasil menumbangkan Dinasti Amalik. Ahmez kemudian mendirikan kembali kerajaan nasional yang kuat dan mendirikan Dinasti ke-18 dan bergelar Fir’an Ramses I. Ini terjadi pada lintasan abad 15-14 SM. Ramses I digantikan Ramses II (Meneptah) dan posisi Bani Israil mulai berubah drastic. Upaya pemberontakan Bani Israil ditumpas dengan tegas oleh Ramses II. Pada th. 1250 Bani Israil melarikan diri dari Mesir dibawah pimpinan Musa dan hidup sebagai nomaden di Simenanjung Sinai. Secara berangsur-angsur mereka memasuki wilayah pebukitan di Utara yang kemudian memunculkan kerajaan Israel pertama di Gibeon pada abad ke 11 di bawah Raja Saul. Inilah kerajaan Semit yang pertama. Sebuah kerajaan kecil yang terhimpit berbagai bangsa yang telah tumbuh jauh sebelumnya, seperti bangsa Mesir, Babilon, Asyur, Fillestea, Tyrus (Phoenic) dsb.
Pada abad pertama Masehi muncul Nabi Isa a.s. di Nazareth, Betlehem yang menjadi cikal bakal agama Kristen yang kemudian memberikan dasar bagi perluasan peradaban Semit di seluruh Eropa. Pada abad ke 7 muncul Nabi Muhammad saw dari keturunan Ismail yang berhasil memimpin revolusi peradaban monoteis terbesar dan mengantar dunia kepada zaman pra-modernis yang menjadi tangga pencapaian zaman modern sekarang ini.
Dewasa ini agama-agama tradisional Semitik, Yahudi, Kristen dan Islam sudah dianggap ketinggalan zaman dan berada dibelakang garis peradaban modern. Global-Freemasonry yang membawakan misi peradaban Semit yang paling mutakhir mencanangkan “Novus Ordo Seclorum” (Tata Dunia Baru)  untuk mengubah dunia kearah pasca modernitas dengan merubah dasar-dasar tradisi spiritual kearah yang dianggap lebih komplementer dengan tingkat peradaban yang dicapai manusia sekarang ini. Dengan kata lain Global Freemasonry tengah menyiapkan filosofi baru, agama baru dan teologi baru untuk membawa manusia ke puncak peradaban.
Puncak peradaban Semit adalah monoteisme. Puncak manakah yang hendak dicapai Freemasonry yang kini praktis telah mengendalikan system kekuasaan di dunia ? Mungkin neo-monoteisme ? Sejauh ini kita masih percaya bahwa dengan berpegang pada Qur’an dan Sunnah serta akal sehat kita akan sampai pada puncak peradaban manusia.

Sekian, kita lanjutkan pada Dialog Kebangsaan 2007 pekan depan.
Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi Sabilih,
Wassalamu’alaikum War. Wab,

Jakarta, 12 Desember 2007,
Pengasuh,


KH. AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front Persatuan Nasional


   





Tidak ada komentar:

Posting Komentar