Pengajian
Keempatpuluh Lima,
Assalamu’alaikum War. Wab.
“Yakaadul-barqu yakhthofu
abshoorohumu; kullamaa adhoo-a-lahum-masyau fiehi; wa-idzaa adhlama ‘alaihim
qoomuu; walau syaa-allaahu ladzhahaba bisam’ihim wa-abshoorihim; innallaaha ‘ala
kulli syai-in qodierun”. : “Hampir-hampir kilat
itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali kilat itu menyinari
mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan bila gelap menimpa mereka,
mereka berhenti. Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran
dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu”.
(Al-Baqoroh : 20).
Ayat ini merupakan bagian
ke-13 atau terakhir dari rangkaian ke-13 ayatul-munafiqien (QS II : 8-20), yang
telah kita bahas sejak pengajian ke-33. Kita akan melanjutkan pembahasan dengan
metode eklektik dari berbagai perspektif untuk mencapai hikmah dan hakekat yang
setinggi-tingginya dari ayat ini, sejauh kemampuan ilmu yang kita miliki, insya
Allah.
Tafsir Jalalain
“Hampir saja (maksudnya
nyaris) kilat menyambar penglihatan mereka (menyilaukan mata). Setiap kali
kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan padanya (maksudnya dibawah
sinarnya), dan bila gelap menimpa mereka, merekapun berhenti (sebagai tamsil
dari bukti-bukti keterangan ayat-ayat Al-Qur’an yang mengejutkan hati mereka.
Mereka membenarkannya setelah mendengar padanya hal-hal yang mereka senangi,
sehingga mereka berhenti dari apa-apa yang dibencinya). Sekiranya Allah
menghendaki niscaya dilenyapkan-Nya pendengaran dan penglihatan mereka (baik
yang lahir maupun yang batin). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu (yang dikehendaki-Nya termasuk apa-apa yang telah disebutkan tadi),
(Al-Baqoroh : 20).”
Asbabun-nuzul ayat ini sama
dengan asbabun-nuzul ayat sebelumnya, karena ayat ini memang berhubungan erat
dengan ayat-ayat sebelumnya (QS II : 8-19). Ayat ini seperti menyambung
pertanyaan, bagaimanakah keadaan mereka dengan Kitab Qur’an itu. ? Ungkapan
“hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka, menggambarkan betapa besar
kesulitan yang mereka hadapi. Mereka melangkah bila mana ada sinar kilat dan
berhenti bila cahaya itu hilang.
Demikianlah orang-orang
munafik itu, mereka mendapatkan sinar iman karena kesaksian mereka pada
kebenaran-kebenaran ayat illahi dan timbul keinginan mengikuti dakwah
Rasulullah, tetapi karena kefanatikan yang kuat, dan kecemasan terhadap
tantangan orang banyak dari kaumnya, menghilangkan sinar iman itu dan akhirnya
tetap membeku kebingungan di tempatnya. Jika dikehendaki Allah berkuasa menghilangkan
pendengaran dan penglihatan mereka, sehingga mereka tidak dapat memahami sama
sekali suatu pelajaran dan tidak dapat memanfaatkan suatu petunjuk. Namun Allah
tidak berbuat demikian, meskipun ia Maha Kuasa.
Ulasan.
Sebagaimana telah banyak
diterangkan dalam beberapa pengajian terdahulu bahwa ras Arab-Hejaz menganut
system agama berhala yang bersumber dari peradaban Israel purba dan Mesopotamia
purba. Ketika Raja Israel Daud menyerang suku-suku Israel dan Bani Ismail di
lembah Edom pada abad ke-10 SM dengan alasan mereka menyembah berhala,
memberikan bukti tentang penyembahan berhala yang masih dianut suku-suku Israel
dan Arab yang paling tidak berlangsung sejak abad ke-10 SM (Berthold A.
Pariera, O. Carm 2004: Abraham, hal. 104). Dari posisi di Edom itulah kemudian
suku-suku Bani Ismael bergerak menguasai lembah Arabia yang luas, tentu dengan
tetap membawa kepercayaan system agama berhala itu.
Penulis Muslim yang masyhur
Harun Yahya dari Istambul-Turki, dalam Global Freemasonry, 2003, menerangkan
bahwa akar system agama berhala Israel purba bersumber dari sisem pendeta sihir
Mesir purba zaman Pharao’s, sekitar abad ke 15 atau abad ke-13 SM, saat mana
ras Yahudi masih berada di Mesir dan merupakan etnis terbesar kedua di Mesir.
Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa system agama berhala di Arab-Hejaz
sangat dipengaruhi system cabbalist-Israel, yang berintikan pada
agnostisisme, hedonisme dan materialisme disamping sihir. Menurut Harun Yahya
cabbalist merupakan suatu system anti-agama dan anti-Tuhan yang telah
berkembang selama ribuan tahun, dan akan terus berhadapan sebagai lawan bagi
system agama Allah dan orang beriman sepanjang masa. Pada hakekatnya apa yang
dihadapi Rasulullah SAW pada abad ke 6, sama dengan apa yang dihadapi Musa a.s
pada abad ke-15 atau ke-13 SM.
Perhatikan pernyataan
pemimpin Quraisy Utbah bin Rabi’ah kepada Rasulullah SAW:
“Engkau rendahkan apa-apa
yang telah lama dimuliakan oleh nenek moyangmu dan bangsanmu. Engkau cela agama
yang telah beratus tahun dipeluk oleh bangsamu dan para leluhur kamu. Engkau
sesatkan pujangga-pujangamu yang telah lewat. Kini bangsamu telah
terpecah-belah dan bergolong-golongan akibat perbuatanmu. Hal itu akan tersiar
dan akan melemahkan kedudukan bangsa kita, dan membuat kita tidak berdaya
menghadapi para penyerang jika mereka tiba.”. (Disarikan dari KH. Moenawar
Cholil, 2001, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad, hal. 246).
Pernyataan itu memiliki
substansi yang sama dengan pernyataan Fir’aun, melalui Firman Allah :
“Qooluu aji’tanaa
litalfitanaa ‘ammaa wajadnaa ‘alaihi abaa-a-naa wa takuuna lakumalkibri
yaa-u-fil-ardhi; wa-maa-nahnu lakumaa bi-mu’miniena”.: “Mereka (rejim Fir’aun)
berkata : “Apakah kamu datang kepada kami untuk memalingkan kami dari apa yang
kami dapati nenek moyang kami mengerjakannya ?; dan supaya kamu berdua (Musa
dan Harun) mempunyai kekuasaan di muka bumi; kami tidak akan mempercayai kamu
berdua”. (Yunus : 78).
Statement kedua ancient-regime
dari zaman yang berbeda, berselang sekitar 21 abad, tetapi memiliki substansi
yang sama. Artinya konstitusi psyche para penyembah berhala tidak
berubah dari zaman ribuan tahun yang silam, dari zaman Pharao’s,
cabbalah-Israel, cabbalah-Jahilliyah
hingga cabbalah-freemasonry di dunia abad 20-21 ini, tetap sama.
Mainstream paham mereka
adalah materialism dengan aliran falafah agnostisisme yang berhenti pada
pengamatan inderawi semata. Mereka tidak pernah dapat memahami adanya kehidupan
sesudah mati (alam akhirat). Bagi mereka, hidup dan mati adalah semata-mata
peristiwa alam dan proses waktu dalam hukum causalitas semata. Tidak ada
kekuataan Al-Ghoib dibalik dimensi fisik alam semesta ini.
Perhatikan pernyataan mereka
melalui Firman Allah :
“Wa qooluu maa hiya illaa
chayaatunaddunya namuutu wa nachya wa
maa yuhlikunaa illaddahru; wa maa lahum bidzaalika min ‘ilmin; in-hum illaa
yadhunnuuna” : “Dan mereka (orang-orang kafir) berkata : “Kehidupan ini tidak
lain hanyalah kehidupan dunia saja, kita mati dan kita hidup, dan tidak ada
yang membinasakan kita selain masa”; dan mereka sekali-kali tidak mempunyai
pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja”
(Al-Jatsiyah : 23)
Sejajarkan pernyataan
kafirin itu dengan lirik lagu John Lenon “Imagine” yang terkenal di
dunia dan dinyatakan sebagai lagu “abad-modern”, dan merupakan salah satu icon
freemasonry-cabbalist yang paling bersinar di dunia :
Bayangkan tidak ada sorga
Sangat mudah bagimu
Tidak ada neraka di bawah
kita
Di atas kita hanya langit
Bayangkan semua orang
Berharap hari ini
Bayangkan tidak ada
negara-negara
Itu bukan perbuatan (yang
diharapkan)
Tidak ada alasan apapun
untuk membunuh atau mati
Tidak ada agama juga
Kamu boleh katakan aku
bermimpi
Tetapi aku bukan
satu-satunya
Aku berharap suatu saat kamu
bergabung dengan kita
Pada pengajian Keempatuluh
Empat yang lalu, saya katakan bahwa psyche kafirin mengalami
fiksasi-regresi, mandeg, tidak mampu berkembang kearah progresi, apalagi
sublimasi. Fiksasi regresi membentuk disposition of rigidity (watak
asli) yang tidak berubah dari zaman-kezaman, dengan konstitusi-psikologis yang
hanya berisi satu dimensi, yaitu materialisme belaka. Paham humanisme yang
marak di dunia adalah bagian dari materialisme dan dengan sendirinya bagian
dari cabbalah-freemasonry, dengan ciri-ciri utama memfokuskan pada kehidupan
agnostic manusia yang fana, dengan mengingkari realitas transcendental seperti
lirik lagu John Lenon dari The Beatles itu.
Jika kita ber-Tauhid kita
berpegang teguh pada realitas transcendental sebagai hakekat asal dan tujuan
akhir. Dengan energi ukhrowy kita tidak
akan pernah kalah dan terjebak dalam kenisbisan agnostic dan kehilangan hakekat
keabadian akhirat, kecuali kita berbuat bodoh dan merusak diri sendiri dengan
mengadopsi perilaku jahiliyah-cabbalist menjadi perilaku kita.
Perhatikan sabda Rasulullah
SAW :
“abghodhunnaasi ilallaahi
tsalatsatun: mulchidun fil-charomi, wa mubtaghin fil-islami
sunnatal-jahilliyyati, wa muththolibu daminrii’in bi-ghoiri haqqin liyuhriiqo
damahu”.:”Orang yang sangat dibenci Allah ada tiga golongan : 1. Orang yang
berterus terang mengerjakan yang haram, 2. Orang yang memasukkan ke dalam
Islam adat kebiasaan jahilliyah, 3. Orang yang menuntut menumpahkan darah
orang lain, tidak menurut kebenaran (hukum)”. (HR. Bukhari dari Ibnu Abbas r.a.
: 1831).
Sesungguhnya psiko-kognitif
kafirin tidak utuh dengan gestalt yang tak wajar, factor intrinsik mereka lebih
di dominasi das Es dan archeytipus (hawa nafsu dan kegelapan).
Faktor esktrinsik mereka bersifat otonomi dengan ability-trait
semata-mata menguasai lingkungan untuk kepuasan fisik inderawi yang bersifat
materiil.
Dengan berbagai tipu daya
mereka menciptakan paham sosial yang menempatkan manusia sebagai supreme,
sesungguhnya mereka mendustai dunia dan dirinya sendiri, karena betapapun paham
sosial seperti humanisme dan ideology-sosial lainnya tidak akan pernah berhasil
menempatkan manusia sebagai supreme alam semesta dan mencapai kebahagiaan.
Karena supremasi alam semesta hanya pada Sang Maha Pencipta, dan hakekat
kebahagiaan hanya ada dalam transcendental-reality, yakni saat Ruh
manusia menyatu dengan Sang Maha Pencipta.
Dengan demikian, kita akhiri
pembahasan 13 ayatul-munafiqien (Al-Baqoroh : 8-20), semoga kita tidak
terjerumus didalamnya, dan tetap selamat dalam Tauhid. Laa-ilaha-illallah : “Tidak
ada Tuhan selain Allah”. Sekian,
Birrahmatillahi Wabi’aunihi
fi Sabilih,
Wassalamu’alaikum War. Wab.
Jakarta, 3 Juni 2005,
Pengasuh,
KH. AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front Persatuan
Nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar