7.7.17

Pengajian Keempatpuluh Lima,-TWU


Pengajian Keempatpuluh Lima,

Assalamu’alaikum War. Wab.

“Yakaadul-barqu yakhthofu abshoorohumu; kullamaa adhoo-a-lahum-masyau fiehi; wa-idzaa adhlama ‘alaihim qoomuu; walau syaa-allaahu ladzhahaba bisam’ihim wa-abshoorihim; innallaaha ‘ala kulli syai-in qodierun”. : “Hampir-hampir kilat  itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti. Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu”. (Al-Baqoroh : 20).

Ayat ini merupakan bagian ke-13 atau terakhir dari rangkaian ke-13 ayatul-munafiqien (QS II : 8-20), yang telah kita bahas sejak pengajian ke-33. Kita akan melanjutkan pembahasan dengan metode eklektik dari berbagai perspektif untuk mencapai hikmah dan hakekat yang setinggi-tingginya dari ayat ini, sejauh kemampuan ilmu yang kita miliki, insya Allah.

Tafsir Jalalain

“Hampir saja (maksudnya nyaris) kilat menyambar penglihatan mereka (menyilaukan mata). Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan padanya (maksudnya dibawah sinarnya), dan bila gelap menimpa mereka, merekapun berhenti (sebagai tamsil dari bukti-bukti keterangan ayat-ayat Al-Qur’an yang mengejutkan hati mereka. Mereka membenarkannya setelah mendengar padanya hal-hal yang mereka senangi, sehingga mereka berhenti dari apa-apa yang dibencinya). Sekiranya Allah menghendaki niscaya dilenyapkan-Nya pendengaran dan penglihatan mereka (baik yang lahir maupun yang batin). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu (yang dikehendaki-Nya termasuk apa-apa yang telah disebutkan tadi), (Al-Baqoroh : 20).”

Asbabun-nuzul ayat ini sama dengan asbabun-nuzul ayat sebelumnya, karena ayat ini memang berhubungan erat dengan ayat-ayat sebelumnya (QS II : 8-19). Ayat ini seperti menyambung pertanyaan, bagaimanakah keadaan mereka dengan Kitab Qur’an itu. ? Ungkapan “hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka, menggambarkan betapa besar kesulitan yang mereka hadapi. Mereka melangkah bila mana ada sinar kilat dan berhenti bila cahaya itu hilang.

Demikianlah orang-orang munafik itu, mereka mendapatkan sinar iman karena kesaksian mereka pada kebenaran-kebenaran ayat illahi dan timbul keinginan mengikuti dakwah Rasulullah, tetapi karena kefanatikan yang kuat, dan kecemasan terhadap tantangan orang banyak dari kaumnya, menghilangkan sinar iman itu dan akhirnya tetap membeku kebingungan di tempatnya. Jika dikehendaki Allah berkuasa menghilangkan pendengaran dan penglihatan mereka, sehingga mereka tidak dapat memahami sama sekali suatu pelajaran dan tidak dapat memanfaatkan suatu petunjuk. Namun Allah tidak berbuat demikian, meskipun ia Maha Kuasa.

Ulasan.

Sebagaimana telah banyak diterangkan dalam beberapa pengajian terdahulu bahwa ras Arab-Hejaz menganut system agama berhala yang bersumber dari peradaban Israel purba dan Mesopotamia purba. Ketika Raja Israel Daud menyerang suku-suku Israel dan Bani Ismail di lembah Edom pada abad ke-10 SM dengan alasan mereka menyembah berhala, memberikan bukti tentang penyembahan berhala yang masih dianut suku-suku Israel dan Arab yang paling tidak berlangsung sejak abad ke-10 SM (Berthold A. Pariera, O. Carm 2004: Abraham, hal. 104). Dari posisi di Edom itulah kemudian suku-suku Bani Ismael bergerak menguasai lembah Arabia yang luas, tentu dengan tetap membawa kepercayaan system agama berhala itu.

Penulis Muslim yang masyhur Harun Yahya dari Istambul-Turki, dalam Global Freemasonry, 2003, menerangkan bahwa akar system agama berhala Israel purba bersumber dari sisem pendeta sihir Mesir purba zaman Pharao’s, sekitar abad ke 15 atau abad ke-13 SM, saat mana ras Yahudi masih berada di Mesir dan merupakan etnis terbesar kedua di Mesir.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa system agama berhala di Arab-Hejaz  sangat dipengaruhi system cabbalist-Israel, yang berintikan pada agnostisisme, hedonisme dan materialisme disamping sihir. Menurut Harun Yahya cabbalist merupakan suatu system anti-agama dan anti-Tuhan yang telah berkembang selama ribuan tahun, dan akan terus berhadapan sebagai lawan bagi system agama Allah dan orang beriman sepanjang masa. Pada hakekatnya apa yang dihadapi Rasulullah SAW pada abad ke 6, sama dengan apa yang dihadapi Musa a.s pada abad ke-15 atau ke-13 SM.

Perhatikan pernyataan pemimpin Quraisy Utbah bin Rabi’ah kepada Rasulullah SAW:
“Engkau rendahkan apa-apa yang telah lama dimuliakan oleh nenek moyangmu dan bangsanmu. Engkau cela agama yang telah beratus tahun dipeluk oleh bangsamu dan para leluhur kamu. Engkau sesatkan pujangga-pujangamu yang telah lewat. Kini bangsamu telah terpecah-belah dan bergolong-golongan akibat perbuatanmu. Hal itu akan tersiar dan akan melemahkan kedudukan bangsa kita, dan membuat kita tidak berdaya menghadapi para penyerang jika mereka tiba.”. (Disarikan dari KH. Moenawar Cholil, 2001, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad, hal. 246).

Pernyataan itu memiliki substansi yang sama dengan pernyataan Fir’aun, melalui Firman Allah :

“Qooluu aji’tanaa litalfitanaa ‘ammaa wajadnaa ‘alaihi abaa-a-naa wa takuuna lakumalkibri yaa-u-fil-ardhi; wa-maa-nahnu lakumaa bi-mu’miniena”.: “Mereka (rejim Fir’aun) berkata : “Apakah kamu datang kepada kami untuk memalingkan kami dari apa yang kami dapati nenek moyang kami mengerjakannya ?; dan supaya kamu berdua (Musa dan Harun) mempunyai kekuasaan di muka bumi; kami tidak akan mempercayai kamu berdua”. (Yunus : 78).

Statement kedua ancient-regime dari zaman yang berbeda, berselang sekitar 21 abad, tetapi memiliki substansi yang sama. Artinya konstitusi psyche para penyembah berhala tidak berubah dari zaman ribuan tahun yang silam, dari zaman Pharao’s, cabbalah-Israel, cabbalah-Jahilliyah  hingga cabbalah-freemasonry di dunia abad 20-21 ini, tetap sama.
Mainstream paham mereka adalah materialism dengan aliran falafah agnostisisme yang berhenti pada pengamatan inderawi semata. Mereka tidak pernah dapat memahami adanya kehidupan sesudah mati (alam akhirat). Bagi mereka, hidup dan mati adalah semata-mata peristiwa alam dan proses waktu dalam hukum causalitas semata. Tidak ada kekuataan Al-Ghoib dibalik dimensi fisik alam semesta ini.

Perhatikan pernyataan mereka melalui Firman Allah :

“Wa qooluu maa hiya illaa chayaatunaddunya namuutu  wa nachya wa maa yuhlikunaa illaddahru; wa maa lahum bidzaalika min ‘ilmin; in-hum illaa yadhunnuuna” : “Dan mereka (orang-orang kafir) berkata : “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan dunia saja, kita mati dan kita hidup, dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa”; dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja” (Al-Jatsiyah : 23)

Sejajarkan pernyataan kafirin itu dengan lirik lagu John Lenon “Imagine” yang terkenal di dunia dan dinyatakan sebagai lagu “abad-modern”, dan merupakan salah satu icon freemasonry-cabbalist yang paling bersinar di dunia :

Bayangkan tidak ada sorga
Sangat mudah bagimu
Tidak ada neraka di bawah kita
Di atas kita hanya langit
Bayangkan semua orang
Berharap hari ini
Bayangkan tidak ada negara-negara
Itu bukan perbuatan (yang diharapkan)
Tidak ada alasan apapun untuk membunuh atau mati
Tidak ada agama juga
Kamu boleh katakan aku bermimpi
Tetapi aku bukan satu-satunya
Aku berharap suatu saat kamu bergabung dengan kita

Pada pengajian Keempatuluh Empat yang lalu, saya katakan bahwa psyche kafirin mengalami fiksasi-regresi, mandeg, tidak mampu berkembang kearah progresi, apalagi sublimasi. Fiksasi regresi membentuk disposition of rigidity (watak asli) yang tidak berubah dari zaman-kezaman, dengan konstitusi-psikologis yang hanya berisi satu dimensi, yaitu materialisme belaka. Paham humanisme yang marak di dunia adalah bagian dari materialisme dan dengan sendirinya bagian dari cabbalah-freemasonry, dengan ciri-ciri utama memfokuskan pada kehidupan agnostic manusia yang fana, dengan mengingkari realitas transcendental seperti lirik lagu John Lenon dari The Beatles itu.

Jika kita ber-Tauhid kita berpegang teguh pada realitas transcendental sebagai hakekat asal dan tujuan akhir. Dengan energi ukhrowy  kita tidak akan pernah kalah dan terjebak dalam kenisbisan agnostic dan kehilangan hakekat keabadian akhirat, kecuali kita berbuat bodoh dan merusak diri sendiri dengan mengadopsi perilaku jahiliyah-cabbalist menjadi perilaku kita.

Perhatikan sabda Rasulullah SAW :

“abghodhunnaasi ilallaahi tsalatsatun: mulchidun fil-charomi, wa mubtaghin fil-islami sunnatal-jahilliyyati, wa muththolibu daminrii’in bi-ghoiri haqqin liyuhriiqo damahu”.:”Orang yang sangat dibenci Allah ada tiga golongan : 1. Orang yang berterus terang mengerjakan yang haram, 2. Orang yang memasukkan ke dalam Islam adat kebiasaan jahilliyah, 3. Orang yang menuntut menumpahkan darah orang lain, tidak menurut kebenaran (hukum)”. (HR. Bukhari dari Ibnu Abbas r.a. : 1831).

Sesungguhnya psiko-kognitif kafirin tidak utuh dengan gestalt yang tak wajar, factor intrinsik mereka lebih di dominasi das Es dan archeytipus (hawa nafsu dan kegelapan). Faktor esktrinsik mereka bersifat otonomi dengan ability-trait semata-mata menguasai lingkungan untuk kepuasan fisik inderawi yang bersifat materiil.

Dengan berbagai tipu daya mereka menciptakan paham sosial yang menempatkan manusia sebagai supreme, sesungguhnya mereka mendustai dunia dan dirinya sendiri, karena betapapun paham sosial seperti humanisme dan ideology-sosial lainnya tidak akan pernah berhasil menempatkan manusia sebagai supreme alam semesta dan mencapai kebahagiaan. Karena supremasi alam semesta hanya pada Sang Maha Pencipta, dan hakekat kebahagiaan hanya ada dalam transcendental-reality, yakni saat Ruh manusia menyatu dengan Sang Maha Pencipta.

Dengan demikian, kita akhiri pembahasan 13 ayatul-munafiqien (Al-Baqoroh : 8-20), semoga kita tidak terjerumus didalamnya, dan tetap selamat dalam Tauhid. Laa-ilaha-illallah : “Tidak ada Tuhan selain Allah”. Sekian,

Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi Sabilih,
Wassalamu’alaikum War. Wab.

Jakarta, 3 Juni 2005,
Pengasuh,

KH. AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front Persatuan Nasional.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar