Pengajian Keenampuluh
Sembilan (69)
Assalamu’alaikum
War. Wab.
Bismillahirrahmanirrahiem,
“Mengapa
kamu menyuruh orang lain (mengerjakan) kebajikan sedang kamu melupakan diri
(kewajibanmu) sendiri, padahal kamu membaca Al-Kitab ? Maka tidakkah kamu
berpikir ? “ ; (Al-Baqoroh : 44).
Eklektik
pembahasan ayat ini akan kita lakukan secara holistis dari multiperspektif
teologis, historiogratif, antropologis dan psikologis, untuk menggali hikmah
yang setinggi-tingginya.
Pokok Bahasan
Dikemukakan
oleh Wahidi dan Tsa’labi dari jalur Al-Kalby dan Abu Shalih, bahwa
asbabun-nuzul ayat tersebut berkaitan dengan orang-orang Yahudi Madinah.
Diriwayatkan seorang laki-laki Yahudi berkata kepada saudara serumah dan kaum
kerabatnya serta kepada saudara-saudara persusuan mereka yang telah memeluk
agama Islam : ‘Tetaplah tinggal dalam agama yang kamu anut, dan ikutilah apa yang dianjurkan oleh laki-laki ini
(Rasulullah), karena kebenaran berada di pihaknya’. Artinya mereka menganjurkan
orang untuk beriman kepada Rasulullah SAW, tetapi mereka sendiri tidak
melakukannya.
Para
pendeta Bani Israil yang bertugas memberikan bimbingan, hanya mau mengungkapkan
kebenaran yang ada dalam kitab suci mereka (Taurat) apabila hal itu sesuai
dengan dorongan hawa nafsu mereka. Dan sebaliknya mereka tidak mengerjakan
hukum-hukum dan apa yang diperintahkan Taurat apabila tidak sesuai dengan hawa
nafsu mereka. Para pendeta Yahudi di kota Madinah itu secara rahasia
menasehatkan kepada orang-orang lain agar beriman kepada Rasulullah SAW,
sedangkan mereka sendiri tidak beriman. Mereka menyuruh orang lain untuk taat
kepada Allah dan melarang maksiat, tetapi mereka sendiri fasik dan berbuat
maksiat. Maka sesungguhnya mereka tidak berakal.
Tafsir
Jalalain mengemukakan, meskipun ayat ini ditujukan kepada Bani Israil, namun
mengandung pelajaran bagi Kaum Musimin dan umat manusia seluruhnya, betapa
sifat-sifat Bani Israil itu menimbulkan banyak malapetaka di dunia dan terlebih
lagi di akhirat.
Ulasan.
Menurut
Tafsir Ibnu Katsir, tujuan ayat ini bukan hanya mencela Yahudi Madinah yang
menyuruh kepada amal ma’ruf sedang mereka sendiri meninggalkannya, namun lebih
dari itu mencela mereka karena meninggalkan amal ma’ruf sebagai kewajiban bagi
setiap individu yang mengetahuinya. Hal yang utama bagi ulama termasuk para
pendeta Yahudi Madinah itu ialah melakukan amal ma’ruf dan menganjurkannya bagi
orang lain dan khalayak, serta tidak mengingkari atau mengkhianati mereka.
Rasulullah
SAW bersabda :
“Sesungguhnya
sekelompok ahli surga melongok kepada
kelompok ahli neraka. Mereka bertanya : ‘Mengapa kalian masuk neraka ?
(Padahal) demi Allah, kami tidak masuk surga kecuali karena apa yang telah kami
pelajari dari kalian’. ‘Ahli neraka menjawab : ‘Dahulu kami berkata, tapi tidak
berbuat’ (Dikutip dari Tafsir Ibnu Katsir).
Intinya ialah, para ‘ulama harus jujur terhadap kebenaran
yang mereka ketahui, mengamalkannya dan menyampaikannya kepada khalayak. Dengan
demikian ia telah menebarkan kebenaran sesuai dengan amanat Allah dan perintah
Rasulullah yang memang menjadi tugas dan kewajiban para ‘ulama’. Dan hendaknya
para ‘ulama’ tidak berbuat sebagaimana para pendeta Yahudi Madinah yang
sesungguhnya hanya merugikan diri sendiri sebagaimana diungkapkan dalam Hadiest
Rasulullah SAW tsb.
Asal-usul Bani Ismail.
Seperti telah diterangkan pada Pengajian ke-68, datuk Bangsa
Ibrani, Abraham atau Ibrahim bin Tarih telah diusir dengan damai oleh Fir’aun
Amalik dari Mesir; dan Fir’aun
mengembalikan Sarah kepada Ibrahim. Segala hadiah untuk Ibrahim termasuk jariyah (budak perempuan) dari Fir’aun untuk Sarah
bernama Hajar diijinkan dibawa serta.
Antropolog Ahmad Shalaby dalam Muqaranatul Adyan :
Al-Yahudiyah menulis : ‘Berdasarkan permintaah dari Siti Sarah sendiri, maka
Nabi Ibrahim menikahi Hajar. Dari hasil perkawinan itu lahirlah Ismail yang
dibesarkan di kota Mekah. Setelah meningkat remaja Ismail menikah dengan
seorang putri bangsawan Mekah dari kabilah Jurhum. Dari keturunan Ismail ini kemudian lahir ras elite Arabia
yang disebut “Arab Musta’ribah”. Nabi Besar Muhammad SAW
berasal dari ras ini dan para pemimpin Kaum Muslimin Arab pada umumnya juga
berasal dari ras Musta’ribah ini. Inilah inti dari Bani Ismail. Jadi tidak
seluruh Arab adalah Bani Ismail, melainkan Arab Musta’ribah saja yang
benar-benar origin Bani Ismail.
Berbeda dengan versi Bibel, setelah Ismail berusia 14 th,
lahirlah Ishak dari rahim Siti Sarah. Tidak lama kemudian Nabi Ibrahim
Al-Khalil a.s. wafat. Puteranya yang pertama Ismail ditempatkan di negeri Hejaz
dan puteranya yang kedua Ishak di negeri Kana’an. Dari Ishak lahir dua orang
putra, yaitu Isu atau Esau dalam istilah Bibel dan Ya’kub yang dipanggil dengan
nama “Israil”. Dari keturunan Israil ini kemudian muncul ras “Bani Israil”.
Melihat fakta bahwa Ya’kub-lah yang dijadikan ahli waris Ishak bin Ibrahim,
maka Isu atau Esau yang katanya anak yang tertua, tetapi yang misterius dan
hilang dari sejarah ini diduga kuat adalah anak Sarah dari Fir’aun yang
diperoleh ketika Sarah diambil menjadi selir Fir’aun ketika di Mesir, bukan
anak Ishak. Kemungkinan yang sebenarnya Isu atau Esau terlahir lebih dahulu
dari Ishak, bukan anak Ishak. Hal seperti ini tidak mengherankan, karena Bani
Israil memang suka merubah-rubah isi Al-Kitab termasuk sejarah nenek moyang
mereka, apabila hal itu tidak sesuai dengan kepentingan hawa nafsu mereka.
Namun suatu kenyataan bahwa Al-Qur’an juga tidak membahas soal Isu atau Esau
ini.
Perlu dicatat versi Bibel, Ishak lahir lebih dahulu, dan
menjadi “anak yang dikorbankan”. Sedangkan versi Qur’an, Ismail lahir terlebih
dahulu dan menjadi “anak yang dikorbankan”. Perbedaan yang bertentangan secara
diametral ini menyulut pertentangan ideologis sepanjang masa.
Jerusalem semakin suram.
Pemerintahan raja bayi Yoas yang naik tahta pertengan abad
ke 7 SM tidak sempat menikmati masa tenang sedikitpun. Pada tahun itu juga Raja
Damaskus menyerang Jerusalem, dan hanya dengan menguras kekayaan Haekal
Sulaiman untuk membayar upeti kepada Raja Damaskus itu, Jerusalem berhasil
diselamatkan. Kepemimpinan Yoas berlalu tanpa prestasi yang berarti. Ia
digantikan oleh Amaziah yang memerintah 796-781
SM. Pada masa kekuasaannya, tentara Israel dari Utara berhasil memasuki kota
Jerusalem, menjarah istana raja dan Haekal Sulaiman. Ketika kembali ke Samaria,
tentara Israel bahkan menghancurkan tembok-tembok kota Jerusalem. Ini
benar-benar merupakan pukulan telak dari kerarajaan saudara mereka. Namun
demikian dimasa suram itu hidup keyakinan tauhid akan Yahweh Yang Maha Tunggal,
satu-satunya Tuhan Yehuda yang dapat menyelamatkan mereka. Do’a para nabi dan
pendeta di Haekal Sulaiman agaknya tidak sia-sia. Pada th. 781 SM Raja Uzziah naik tahta menggantikan Amaziah. Uzziah memerintah 781-740 SM.
Antropolog Karen Armstrong (1997) menulis, meskipun Raja Uzziah berpenyakit
lepra, tetapi ia raja yang berprestasi. Dibawah pemerintahannya kota Jerusalem
berkembang secara energik. Berbagai kerusakan akibat serangan Israel dimasa
Amaziah diperbaiki. Benteng Milo
diganti
dengan Benteng Ophel yang lebih kokoh dan
canggih. Perekonomian dan kemakmuran meningkat, Jerusalem tumbuh menjadi sentra
industri dan populasi terus meningkat. Wilayah kota mengalami ekspansi
melampaui batas-batas tembok menuju lembah Tyropoeon dan ke Bukit Barat yang
berhadapan dengan Gunung Zion. Pada masa ini Asiria sedang dalam posisi lemah.
Ini memberi kesempatan Yehuda untuk berkembang, demikian pula kerajaan saudara
mereka, Israel yang juga mengalami peningkatan kemakmuran dan kemerdekaan
de-facto, diluar kontrol kekuatan Asiria.
Tetapi baik Yehuda maupun Israel sering dilanda kerusuhan
akibat ketidakadilan sosial. Terjadi kesenjangan ekonomi yang mencolok diantara
elite yang kaya dan mayoritas yang miskin. Para nabi baik di Utara maupun di
Selatan mulai berseru lantang menentang ketidakadilan sosial dan penindasan.
Seluruh Kana’an dilanda disintegrasi sosial yang sering meletup menjadi
kekacauan sosial. Para nabi mencoba memimpin massa untuk menemukan identitas
spiritual yang baru yang dapat membangkitkan semangat Yahwis yang dipercaya
menjadi kunci kejayaan di masa depan. Mereka tidak lagi terlalu mengikatkan
diri dengan Haekal Sulaiman, tetapi lebih menekankan kepada keadilan sosial
sebagai perwujudan sakral Yahwisme.
Inilah masa reformasi spiritual Yahwisme yang merupakan periode penting
dalam sejarah Bangsa Yahudi, yang terjadi pada masa pemerintahan Raja Uzziah
yang berpenyakit lepra itu. Sekian.
Terima Kasih,
Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi Sabilih,
Wassalamu’alaikum War. Wab.
Jakarta, 9 Desember 2005,
Pengasuh,
HAJI AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front Persatuan Nasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar