Pengajian Ketujuhpuluh
Tujuh (77),
Assalamu’alaikum
War. Wab.
Bismillahirrahmanirrahiem,
“Kemudian
sesudah itu Kami maafkan kesalahanmu agar kamu bersyukur” ; (Al-Baqoroh : 52)
Pendekatan pembahasan kita lakukan secara eklektik
multiperspektif dari sudut pandang teologi, historiografi, atnropologi,
psikologi, kognitif dll, untuk mencapai cakupan masalah yang komprehensif dari
kandungan ayat diatas.
Pokok Bahasan.
Secara redaksional ayat
ini merupakan satu kesatuan rangkaian dengan ayat sebelumnya. Maka makna yang
mengantar ayat ini ialah : Allah tidak membinasakan Bani Israil, meskipun telah
berlaku syirik dengan membangun sembahan selain Allah berupa patung emas sapi
betina (Al-Baqoroh) yang dipelopori Musa Samiri, melainkan Allah mengampuni mereka.
Peristiwa ini mengandung dua dimensi pemahaman :
1. Seperti dikemukakan
Tafsir Jalalain, Allah memang Maha Pengasih dan Maha Pengampun bagi hamba-Nya.
Setelah tenggat waktu Musa menerima wahyu di bukit Tursina dan kembali kepada
mereka, Allah memberi petunjuk cara
menebus dosa kemusyrikan itu, dan selanjutnya agar mereka bersyukur. Artinya
Allah tetap membuka pintu tobat bagi Bani Israil ( Keterangan lebih rinci
tentang hal ini terdapat pada Buku ke-2 Pengajian ke-23).
2. Di zaman itu Allah telah
memilih Bani Israil sebagai Sya’bullah
al-Muchtar
(Kaum/Bangsa yang terpilih). Jika Bani Israil dibinasakan ketika itu, maka
lenyaplah satu rumpun bangsa yang diharapkan dapat memulai membangun peradaban
Tauhid di muka bumi, untuk menggenapi wahyu tentang fungsi kekhilafatan Bani
Adam (species Adam/Homo Sapiens) di muka bumi ini seperti dinyatakan Allah
dalam Al-Baqoroh : 30 (vide, Buku ke-3 Pengajian ke-55).
Untuk memudahkan pemahaman, saya akan menerangkan kembali
tentang tata-cara pertobatan yang diajarkan Musa a.s. kepada Bani Israil. Musa
telah menunjuk 70 orang perwakilan suku-suku Bani Israil, lalu di bawa naik ke
bukit untuk menjalani ritual pertobatan setelah peristiwa Lembu Samiri (vide,
Buku ke-2 Pengajian ke-22). Ternyata mereka sulit menerima cara Musa Sholat.
Ditengah-tengah awan yang turun meliputi bukit Nabi Musa a.s. sholat dan berdoa
kepada Allah Yang Ghoib, yang tidak tampak secara inderawi, tidak tampak
sebagai obyek stimulus yang dapat diakseptasi oleh schemata. Maka mereka
berkata :”Kami tidak akan
beriman kepadamu, sebelum kami bisa melihat Allah dengan jelas” (Al-A’raf : 155). Mereka
dibinasakan Allah, namun berkat doa Musa mereka dihidupkan kembali.
Pertobatan ini kurang berhasil. Selama 3-4 abad terakhir
sebagian besar Bani Israil sudah larut dalam kebudayaan penyembahan berhala
delta Mesir yang sudah berusia ribuan tahun. Hal itu telah membentuk habit
(kebiasaan) lalu mengkristal menjadi custom (adat-istiadat) yang mendominasi
ketidaksadaran kolektif Bani Israil. Perlu diketahui ketidaksadaran kolektif
seperti dasar gunung es yang maha luas, sebagian besar sikap mental dan
perilaku manusia berasal dari sana. Sedangkan kesadaran hanyalah puncaknya yang
kecil saja, suatu refleksi ekstrinsik yang tidak akan lepas dari basis
intrinsik ketidaksadaran kolektif. Inilah kesulitan mendasar yang dihadapi Musa
dan saudaranya Harun. Dalam file-index schemata (memori ingatan) Bani Israil
tidak terdapat stimulus tuhan yang ghoib. Yang mereka kenal adalah stimulus
tuhan materiil yaitu rejim berhala Mesir yang kasat mata dan kesakralannya
mudah dijejaki melalui mitologi yang berkait dengan alam dan benda-benda
diseputar mereka. Tuhan Yang Ghoib memang tidak ada dalam file-idex schemata,
karena Tuhan Al-Ghoib hanya dapat dikenali melalui transendent-function atau
hati nurani dengan perasaan “IMAN”. Musa mengajarkan “iman” kepada Bani Israil
sebagai jalan pintas untuk menghidupkan kembali dorongan-dorongan tauhid yang
pernah menjadi dasar konstitusi jiwa Bani Israil sejak zaman Ibrahim hingga
Ya’qub dan Yusuf. Dengan menurunkan Taurat kepada Musa, artinya Allah masih
meneguhkan pilihan agar Bani Irail kembali kejalan tauhid dan menjalankan
amanat Allah SWT untuk membangun peradaban tauhid. Namun tantangan yang
dihadapi Musa dari kondisi psikologi kognitif
Bani Israil yang telah membentuk konstitusi jiwa baru sebagai penyembah
berhala Mesir itu sungguh berat. Dan suatu fakta bahwa peristiwa pertobatan
tersebut tidak dapat dikatakan berhasil. Peristiwa 35 abad yang lalu itu
ternyata masih terefleksi dalam konstitusi jiwa Bani Israil hingga masa kini,
seperti tercermin dalam spiritualisme Qabbala Ordo Illuminati-Freemasonry.
Ordo Illuminati.
Ini adalah bahasan yang ketujuh tentang Ordo Illmuminati.
Dalam Buku ke-4 dan dalam rangkaian Pengajian ke-70-76 telah di singgung dan di
bahas tentang scenario Revolusi Perancis, Revolusi Komunis, Perang Dunia
ke-I,II dan III yang melibatkan peran Illuminati-Freemasonry yang merupakan
organisasi global Neo-Zionis. Tokoh dibalik scenario Perang Dunia itu ialah
Albert Pike tokoh puncak Illuminati-Freemasonry Amerika Serikat pada akhir abad
19. Menurut Pike scenario PD III akan berawal dari konflik Israel-Palestina
lalu meluas menjadi konflik peradaban ditingkat dunia. Skenario Pike itu
mendapat legitimasi ilmiah dari Samuel P Huntington dalam “the Clash of Civilization” yang menyatakan bahwa PD
III jika terjadi akan merupakan “perang peradaban” Barat dan non-Barat, yang
pada akhirnya akan dimenangkan Barat.
Pada kenyataannya peta konflik peradaban tersebut
diakseptasi oleh gerakan Palestina garis keras HAMAS yang kini tengah memenangi
Pemilu Palestina 2006. Dalam sumpah perjuangan HAMAS disebutkan :
“Zionis
berada dibalik Revolusi Perancis, Revolusi Komunis; Mereka berada dibalik
Perang Dunia ke I, ketika mereka mampu menghancurkan kekhalifahan Islam
(Kekaisaran Ottoman). Mereka mendapatkan Deklarasi Balfour (yang memihak
pendirian tanah air Yahudi di Palestina); dan membentuk Liga Bangsa-bangsa yang
melaluinya mereka bisa menguasai dunia. Zionis berada dibalik Perang Dunia ke
II, yang darinya mereka mendapatkan keuntungan finasial sangat besar dengan
jual-beli peralatan perang, dan merintis jalan untuk pendirian negara mereka.
Zionis-lah yang menghasut digantinya
Liga Bangsa-Bangsa dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Dewan Keamanan;
Tidak ada perang dimanapun tanpa adanya campur tangan Zionis”.
Pandangan HAMAS itu menurut Michael Scott Doran Profesor Princeton University tidak dapat dipercaya oleh
kalangan cendekiawan dan terpelajar. Namun pandangan ini merupakan manipulasi
perluasan konflik yang lebih besar dengan melibatkan seluruh Muslimin. Maka
musuh mereka harus lebih banyak dan lebih besar daripada sekedar sekelompok
Yahudi yang hanya menguasai secuil wilayah Muslim. Musuh tersebut harus
merupakan manifestasi iblis yang mengatasi ruang dan waktu. Dengan demikian
HAMAS menarik garis perang antara peradaban Islam melawan Zionis. Ini artinya,
meskipun substansi kebenaran masalah ini sangat diragukan oleh Michael Scott
Doran, tetapi substansi konflik yang terbentuk membenarkan scenario Albert Pike
tentang Perang Dunia ke III yang direncanakan terjadi di awal abad 21 dan
pandangan Samuel P Huntington tentang “perang peradaban”.
Kini setelah HAMAS memenangkan Pemilu Palestina Januari
2006, proses perdamaian Israel-Palestina menghadapi kendala besar, karena sikap
dasar HAMAS yang tidak mengakui eksistensi Negara Israel, dan menempatkan
konflik politik Palestina-Israel dalam perspektif perang antara Islam melawan
Zionis. Kemenangan HAMAS mungkin akan memicu kemenangan partai garis keras
Zionis LIKUD dalam Pemilu Israel sebentar lagi dan mungkin akan menaikkan tokoh
garis keras Israel Benyamin Netanyahu. Jika itu terjadi maka garis perang
peradaban nampakanya sudah mulai terbentuk. Dan dunia nampaknya akan terbelah
dalam peta konflik itu. Peradaban-peradaban besar diluar Zionis vs Islam,
seperti Khonghucu, Jepang, Hindu, Slavik-Ortodoks, Amerika Latin dan Afrika
tentu tidak mungkin berdiri netral, mereka akan segera terseret dalam arus
konflik Zionis-Islam yang meluas diseluruh rentang pengaruhnya di dunia. Saya
katakan ini semua merupakan gejala yang tampak pada hari ini. Skenario Albert
Pike dan deskripsi sosiologis Samuel P Huntington bukan hanya khayalan, tetapi
memiliki dasar-dasar logika dan telaah
yang cukup kuat. Hal yang terbaik adalah menetralisir semua gejala konflik itu
dengan sikap rasional, akulturatif, dan simbiosis untuk menghasilkan dunia
bersama yang adil, bebas, sejahtera dan beriman. Langkah itu harus dimulai
sekarang juga, terutama oleh Ummat Islam, Yahudi dan Amerika Serikat.
Dalam pembuangan.
Kita lanjutkan parallel pembahasan Jerusalem. Berbeda dengan
keadaan di Jerusalem yang tinggal reruntuhan ditengah padang pasir yang
kerontang, mereka para deportan yang hidup di pembuangan di Babilonia justru
mengalami situasi yang lebih mudah. Mereka tidak mengalami penyiksaan
sebagaimana layaknya tawanan. Bahkan Raja Yoyakhim dibenarkan tinggal di istana
dan mempertahankan gelar kebangsawanannya. Orang-orang buangan dari Kerajaan
Yehuda itu menetap di beberapa distrik paling atraktif dan penting di ibukota
Babilonia dan sekitarnya, di dekat “kanal besar” Chebar yang mengalirkan Sungai
Eufrat ke kota Babilonia. Orang-orang Yehuda a.l. menamakan pemukimannya Tel-Aviv (Bukit Musim Semi) yang sekarang ini
digunakan sebagai nama ibukota Negara Israel modern. Sesuai dengan saran Nabi
Yeremia, orang-orang buangan dari Yehuda itu berintegrasi dengan mulus kedalam
masyarakat Babilonia. Oleh penguasa Babilonia mereka diizinkan untuk berkumpul
dengan bebas, membeli tanah dan mendirikan usaha. Banyak diantara mereka yang
dengan cepat menjadi pedagang kaya yang dihormati, sebagian yang lain bahkan
mendapatkan jabatan di istana. Mereka bekerja sama dengan para deportan
sebelumnya dari Kerajaan Israel yang telah mengalami pembuangan sejak 722 SM.
Bibel menyebut-nyebut mereka yang diasingkan diantaranya adalah anggota sepuluh
suku utara. Inilah era pembuangan Yehuda yang terjadi sejak 586 SM yang
menandai akhir Jerusalem di poros abad itu (Axial-Age). Peristiwa pembuangan
ini merupakan salah satu periode terpenting dalam sejarah Bani Israil yang
memberikan bentuk baru dalam perkembangan kebudayaan Zionis selanjutnya. Kita
teruskan pada pengajian berikutnya.
Selamat Tahun Baru Hijriyah 1 Muharram 1427 H, semoga Allah
SWT meridhoi. Sekian.
Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi Sabilih,
Wassalamu’alaikum War. Wab.
Jakarta, 3 Februari 2006.
Pengasuh,
HAJI AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front Persatuan Nasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar