7.7.17

Pengajian Kelimapuluh Delapan-TWU

 Pengajian Kelimapuluh Delapan

Oleh : KH. Agus Miftach

Assalamu’alaikum War. Wab.

“Allah berfirman : ‘Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda (hal-ihwal) ini’. Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda (hal-ihwal) itu, Allah berfirman : ‘Bukankah sudah Kukatakan kepadamu bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi, dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan’” ; (Al-Baqoroh : 33).

Pembahasan akan kita lakukan secara eklektik, multiperspektif dan bersifat holistis untuk mencapai hikmah yang setinggi-tingginya dari ayat ini.

Pokok Bahasan.

Menurut Mujahid, Sa’id bin Jubair, al-Hasan dan Qatadah r.anhum, Adam menyebutkan  nama segala sesuatu, termasuk nama-nama malaikat itu, yang membuktikan keunggulan species Adam dari species Malaikat. Tafsir Ibnu Katrsir menerangkan bahwa Allah mengetahui substansi pernyataan terbuka para malaikat tentang sifat-sifat destruksi ras Adam yang akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah di bumi; sekaligus Allah mengetahui bisikan Iblis di hati mereka, yang menunjukkan keangkuhan mereka yang merasa sebagai ciptaan terbaik Allah swt. Padahal mereka tidak mengetahui rahasia Hikmah Yang Maha Tinggi dari perbuatan Allah menciptakan Adam sebagai khalifah di bumi.

Menurut Tafsir Jalalain, malaikat dengan akal-naluri yang disifatkan Allah, tidak mempunyai kebutuhan duniawi, seperti sandang-pangan dan harta benda. Jika para malaikat yang hidup dalam dimensi ‘ruh’ dijadikan penghuni dan penguasa di bumi tentu tidak akan ada peradaban. Skema ras Adam yang hidup dalam dimensi ‘ruh’ dan ‘jasad’, dengan kesitimewaan ‘akal-pikiran’ yang bebas dan independen dengan kemampuan mental-development, justru merupakan prasyarat utama untuk menjadi penghuni dan khalifah di bumi.

Dasar-dasar penciptaan Adam memang dimaksudkan oleh Allah Azza wa Jalla untuk membangun peradaban di muka bumi. Tentu idealitasnya adalah untuk membangun peradaban tauchid dimana kemakmuran bumi merupakan manifestasi amal saleh yang sekaligus membawa kesempurnaan ‘ruh’ manusia ketika kembali keharibaan Allah swt, sesuai perjanjian ‘ruh’ manusia dengan Allah Azza wa Jalla di alam transcendent yang awal (Al-A’rof 172, vide Pengajian ke-55 dan ke-56).

Ulasan

Seperti diterangkan pada Pengajian ke-55 sifat kekhalifahan manusia di bumi bukan untuk mewakili Allah.  melainkan untuk membangun peradaban tauchid bagi manusia di muka bumi. Al-Baqoroh : 30 yang berbunyi : “….Innii jaa’ilun fil-ardhi kholiifah”… bermakna “Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”, bukan “Aku hendak menjadikan seorang khalifah untuk-Ku di muka bumi”.

Konsep kekhalifahan manusia di bumi memperoleh bentuknya yang lebih sempurna pada masa kerasulan Muhammad SAW. Derajat kerasulan akhir zaman ini disempurnakan dengan peristiwa Isra’ Mi’raj, seperti Firman Allah :

“Maha suci Dzat Yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad SAW) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkati sekitarnya, agar Kami memperlihatkan kepadanya sebagian ayat Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat” : (Al-Isroo’ : 1).

Isra’ Mi’raj terjadi 1 tahun atau 16 bulan sebelum Hijrah (abad ke-6) (Urwah As-Sadi dan Musa bin Uqbah dari az-Zuhri dalam Tafsir Ibnu Katsir). Ini merupakan perjalanan suci dari Masjidil-Haram di Mekah ke Masjidil-Aqsho di Palestina, lalu naik ke langit tertinggi yang di sebut Mustawa dan Sidratul-Muntaha merupakan pusat kerajaan akhirat dimana Rasulullah SAW menerima perintah langsung dari Allah SWT untuk dilaksanakannya Sholat 5 waktu bagi ummat-nya, sebagai ibadah transcendent yang bersifat wajib, dengan garis pemisah yang tegas terhadap segala bentuk ritual Arab yang berbau paganisme. Sebagaimana diterangkan pada Pengajian ke-40, budaya dan peradaban Arabia berakar paga system paganisme (berhalaisme) sejak ribuan tahun yang lampau.

Penetapan Sholat 5 waktu sebagai bentuk peribadatan transcendent  secara definitive memberikan kepastian tentang peribadatan kaum Muslimin, sekaligus  mengakhiri segala bentuk ritual paganisme dan sinkretisme yang dikembangkan kalangan munafikin-musrikin sebagaimana diterangkan dalam Pengajian ke-33 hinga ke-45 (Buku ke-3).

Sinkretisme Arab berakar pada peradaban Qabbala-Israili dan Mesopotamia. Meskipun mereka percaya adanya Allah, tetapi Tuhan itu begitu tinggi, begitu ideal dan jauh dari kenyataan kehidupan manusia, maka mereka memberikan persembahan kepada rejim Dewa-dewa Ba’al, Hubal, Manat, Latta dan Uzza yang terasa lebih dekat dengan realitas kehidupan yang diinginkan melalui lambang material seperti bentuk arca-arca dan mitos-mitos yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Kalangan Quraisy seperti disampaikan Utbah bin Rabi’ah kepada Rasulullah dalam upaya kompromi mengusulkan sinkretisme (kemusrikan) ala-Israili dengan bersama-sama menyembah Allah dan tuhan-tuhan Qabbalist (berhala) tersebut.

Isro’-Mi’roj memastikan bahwa tidak ada Tuhan yang disembah selain Allah. Inilah akar peradaban tauchid yang telah mengeluarkan Arabia dari kegelapan paganisme yang konvergen kepada zaman baru yang divergen, dan telah  menerangi dunia selama 1500 tahun. Inilah proses sublimasi “minadzzulumati ilannuur” yang membawa manusia kearah transferabilitas-progresif ke-arah nilai-nilai transendensi dengan diferensiasi yang lebih tinggi dari nilai-nilai mitologi qabbalism sebelumnya yang fatal dan dekaden.

Sumber peradaban.

Peneliti dan penulis wanita yang masyhur di dunia saat ini Karen Armstrong  mengatakan, bahwa prestasi peradaban terbukti rapuh dan memiliki kelemahan-kelemahan. Inilah yang membuat manusia sejak zaman awal sejarah mencari kekuatan-kekuatan transendensi dari alam idea-nya yang menjadi dasar agama-agama purba termasuk agama Israel agar dapat survive. Namun demikian Armstrong menegaskan bahwa pencarian atas keadilan sosial yang lebih baik bukan sekedar suatu fantasi religius (Karen Armstrong : Jerussalem : One City, Three Faiths, May 1997). Pernyataan Armstrong meskipun hanya didasarkan logika mengandung kejujuran tentang kebutuhan manusia atas visi transendensi, berbeda dengan sikap kelompok “global-Freemasonry” yang sering menyesatkan dan memusuhi agama sebagaimana sudah kita bahas sejak Pengajian ke-46 hingga ke-57 y.l dan masih terus kita bahas.

Subyektivisme Isra’-Mi’raj dalam tradisi Islam, tidak membuat konsep Islam menyempit dalam ektremitas primordial seperti faham neo-Zionist-freemasonry dalam doktrin anthropomorphis “Adam-Kadmon” misalnya, yang hanya menempatkan ras kaum freemasonry sebagai manusia. Diluar ras mereka tidak dipertimbangkan dalam derajat manusia. Konsep Islam adalah Rachmatan lil ‘Alamen. Perhatikan Firman Allah :

“Sesungguhnya orang-orang Mukmin, orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani dan orang-orang Sabi’ien; siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari akhirat dan beramal saleh; mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka (Allah swt); tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati” ; (Al-Bqoroh : 62).

Islam memiliki konsep perubahan berdasarkan Firman. Nilai tertinggi adalah Firman. Jika Allah swt percaya terdapat orang-orang beriman di semua basis budaya dan peradaban di muka bumi yang beraneka ragam itu, maka tauladan manakah yang lebih baik dari Allah Ta’aala sendiri ? Sesungguhnya yang terkuat adalah Rachman-Rachiem, Kasih-Sayang.

Mari kita simak sumber-sumber peradaban dunia yang indah dibawah ini :
Abad ke-10 SM, Naciketas, pemudah Hindu yang cerdas dan saleh menyucikan diri, berpuasa tiga hari tiga malam, bermeditasi sepenuh hati untuk bertemu dengan Yama sang malakul-maut. Naciketas bertanya : ‘Wahai Yama, apakah setelah mati seseorang itu ada atau tidak ada ?’. Yama sang penguasa kematian menjawab : ‘Dia yang dibebaskan dari batasan-batasan nama dan bentuk, yang menjadi satu dengan segalanya, tidak dapat dikatakan ada (exist) dalam pengertian biasa.

Tidak ada kesadaran yang secara khusus membatasi keberadaannya. Tetapi ia juga tidak dapat disebut tidak ada (non-exist) dalam pengertian biasa, karena ia telah memperoleh hakekat keberadaan. Seorang yang tahu kegembiraan moksha (kehidupan abadi) tidak akan tertarik pada nafsu-nafsu duniawi. Serta-merta Naciketas mendesak Yama agar segera mencabut nyawanya agar ia dapat segera memasuki kegembiraan moksha di alam astral. Kisah suci Hindu ini dinukil dari Kitab Suci Upanisad I yang diuraikan kembali oleh Maharsi Tiruvaluvar pada abad ke I. Dalam Hinduisme Tuhan bersifat impersonal, hakekat tertingginya disebut Brahman, inti jiwa suci manusia yang abadi.

Abad ke-5 SM, Putra Mahkota Sidharta Gautama meninggalkan istana kerajaan Sakya di Kapilavastu, India, hidup papa sengsara untuk mencari kebenaran. Beliau mencapai Nibbana atau Nirvana, yaitu Yang Penghabisan dimana manusia mencapai kondisi batin sempurna, terlepas dari segala penderitaan dan perubahan fana duniawi, mencapai hakekat kebebasan dan kebahagiaan jiwa yang sejati yang tidak terikat hidup dan mati. Sidharta kemudian disebut Sakyamuni Buddha. Diantara sabdanya : “Semua kejadian adalah fana dan intisari kebenaran tidak mengandung egoisme”.

Menurut Buddhisme Tuhan bersifat impersonal dan mengalir bersama kolektivisme semesta alam.

Abad ke-5 SM, di kota Qufu, Tiongkok, lahir filsuf terbesar Khonghucu yang menyerukan perdamaian dan persatuan bangsanya, mengajarkan egaliterianisme melalui pendidikan dengan tradisi Hsueh (pendidikan dan keteladanan). Mainstream ajaran Khonghucu adalah Harmonisme makrokosmos dan mikrokosmos yang pada tingkat individual akan melahirkan visi tertinggi yang disebut Te, yaitu kekuatan dan kebajikan moral. Khonghucu percaya bahwa Thian (Tuhan) adalah kesatuan harmonis semesta alam. Maka memelihara harmonisme berarti memelihara hubungan dengan Thian. Khonghucu adalah penemu tradisi China yang mewaranai spirit dan religi China sepanjang masa.

Abad ke-4 SM, di Yunani muncul mahafilsuf Socrates yang mengajarkan eudaemonia, yaitu jiwa yang baik yng harus dicapai dengan kebajikan dan keutamaan yang disebut arête yang pada hakekatnya adalah pengetahuan. Maka baik dan jahat berdasarakan pengetahuan bukan kemauan. Tidak ada orang sengaja berbuat salah, kecuali ia tidak berpengetahuan. Arete adalah alat untuk mencapai eudaemonia yang bersifat tunggal dan menyeluruh. Maka memiliki eudaemonia (Kebajikan Yang Esa) berarti memiliki segala kebajikan. Socrates dianggap murtad dan dijatuhi hukuman mati dengan meminum racun pada th. 399 SM  pada usia 70 th. Tetapi nyala pikirannya terus menerangi akal pikiran manusia, membawa kemajuan peradaban dan terus hidup selama 2400 th.

Abad ke-15 SM, pangeran Mesir keturunan Yahudi, Musa meninggalkan istana Fir’aun, menolak ras-diskriminasi terhadap etnis Yahudi. Musa kemudian menerima wahyu Allah (Kitab Taurat) menjadi Nabi dan Rasul Allah. Nabi Musa a.s. dengan berani menyerukan Fir’aun penguasa dunia zaman itu yang bahkan telah mengaku sebagai tuhan, agar menyembah Allah sebagai satu-satunya Tuhan, dan membebaskan bangsa Yahudi dari perbudakan dan penindasan. Puncak konflik Musa vs Fir’aun berakhir dengan eksodus bangsa Yahudi ke Kana’an atau Yerussalem, negeri yang dijanjikan. Sebuah perjalanan rohani kembali kepada habitat dan konstiusi jiwa tauchid, dengan mukjizat membelah Laut Merah dan menenggelamkan Fir’aun (Rameses II) dan balatentaranya. Agama Yahudi adalah cikal bakal agama-agama samawi yang monoteis dengan personalitas Tuhan yang disebut YHWH (Allah) Tuhan Yang Esa, beriman kepada Hari Kiamat dan Alam Akhirat sesudah kematian.

Abad ke-1, di kota Betlehem atau Baitul-Maqdis di bagian kota Nazareth, lahir seorang bayi dari rahim suci  Maryam tanpa proses seksualitas, sebuah mukjizat dari Allah swt. Dialah Isa al-Masih a.s. yang dipercaya sebagai Mesias (Juru Selamat), yang mampu berbicara lancar waktu masih bayi. Reformer terhadap ajaran Taurat yang sudah banyak diselewengkan. Tetapi para penguasa dan pendeta Yahudi yang hedonis-materialis tidak mengakuinya.

Tanpa kenal takut di bukit Golgota Yesus al-Masih menyampaikan khotbah akbarnya yang menjadi essensi dasar ajarannya. Yesus a.s. bersabda : “Bahwa kerajaan Allah bukan kerajaan dunia, melainkan Kerajaan Sorga, bukan kerajaan berdasarkan kekerasan, melainkan Kerajaan Kasih, yakni kasih kepada Allah dan kepada sesama manusia”; (Cerita-cerita Al-Kitab Perjanjian Baru, hal.6788). Isa al-Masih memiliki 13 murid yang disebut Al-Hawariyyun yang selalu setia menyertainya.

Namun salah satunya Yudas Iskariot berkhianat. Yesus dari Nazareth ditangkap oleh konspirasi penguasa Yahudi-Romawi dan disalibkan di bukit Golgota sebagai penggenapan teologi penebusan dosa (berdasarkan keyakinan Nasrani). Tetapi spirit al-Masih tidak pernah padam. Ritual tri-Paskah membuktikan hakekatnya Yesus tidak pernah mati di tiang salib itu. Allah telah mengangkat tinggi derajatnya dan ajarannya kini menjadi panutan ummat Katholik/Kristen di seluruh dunia.

Demikianlah takdir dunia yang tidak terbentuk oleh budaya tunggal, melainkan oleh pluralitas budaya, dari zaman dan belahan dunia yang berbeda. Itulah fitrah dunia. Kita bersukur karena Bangsa Indonesia yang multikultur bagaikan miniatur pluralitas dunia. Pluralitas adalah hakekatnya, sedangkan kesatuan iman adalah tujuan akhirnya. Semangat fanatisme primordial jelas tidak sesuai dengan Sunnatullah.

Maka tolok ukur kesamaan bukan pada syari’at, custom atau habit yang menjadi domain etnosentrisme budaya masing-masing, tetapi pada kwalitas iman yang memiliki satu nafas. Maka tidak akan ada perang, terror dan penindasan atas nama ideology, agama dan tuhan. Dan sesungguhnya kebahagian sejati hanya ada di Yaum al Dien, yaitu Alam Akhirat yang transcendental dan  abadi, sesudah kematian. Sekian.

Birrachmatillahi Wabi’unihi fi Sabilih,
Wassalamu’alaikum War. Wab.

Jakarta, 1 September 2005,
Pengasuh,


KH. AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front Persatuan Nasional.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar