Pengajian Kelimapuluh Delapan
Oleh : KH. Agus Miftach
“Allah berfirman : ‘Hai Adam, beritahukanlah kepada
mereka nama-nama benda (hal-ihwal) ini’. Maka setelah diberitahukannya kepada
mereka nama-nama benda (hal-ihwal) itu, Allah berfirman : ‘Bukankah sudah
Kukatakan kepadamu bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi,
dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan’” ;
(Al-Baqoroh : 33).
Pembahasan akan kita lakukan secara eklektik,
multiperspektif dan bersifat holistis untuk mencapai hikmah yang
setinggi-tingginya dari ayat ini.
Pokok Bahasan.
Menurut Mujahid, Sa’id bin Jubair, al-Hasan dan
Qatadah r.anhum, Adam menyebutkan nama
segala sesuatu, termasuk nama-nama malaikat itu, yang membuktikan keunggulan
species Adam dari species Malaikat. Tafsir Ibnu Katrsir menerangkan bahwa Allah
mengetahui substansi pernyataan terbuka para malaikat tentang sifat-sifat
destruksi ras Adam yang akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah di bumi;
sekaligus Allah mengetahui bisikan Iblis di hati mereka, yang menunjukkan
keangkuhan mereka yang merasa sebagai ciptaan terbaik Allah swt. Padahal mereka
tidak mengetahui rahasia Hikmah Yang Maha Tinggi dari perbuatan Allah
menciptakan Adam sebagai khalifah di bumi.
Menurut Tafsir Jalalain, malaikat dengan akal-naluri
yang disifatkan Allah, tidak mempunyai kebutuhan duniawi, seperti
sandang-pangan dan harta benda. Jika para malaikat yang hidup dalam dimensi
‘ruh’ dijadikan penghuni dan penguasa di bumi tentu tidak akan ada peradaban.
Skema ras Adam yang hidup dalam dimensi ‘ruh’ dan ‘jasad’, dengan kesitimewaan
‘akal-pikiran’ yang bebas dan independen dengan kemampuan mental-development,
justru merupakan prasyarat utama untuk menjadi penghuni dan khalifah di bumi.
Dasar-dasar penciptaan Adam memang dimaksudkan oleh
Allah Azza wa Jalla untuk membangun peradaban di muka bumi. Tentu idealitasnya
adalah untuk membangun peradaban tauchid dimana kemakmuran bumi merupakan manifestasi
amal saleh yang sekaligus membawa kesempurnaan ‘ruh’ manusia ketika kembali
keharibaan Allah swt, sesuai perjanjian ‘ruh’ manusia dengan Allah Azza wa
Jalla di alam transcendent yang awal (Al-A’rof 172, vide Pengajian ke-55 dan
ke-56).
Ulasan
Seperti diterangkan pada Pengajian ke-55 sifat
kekhalifahan manusia di bumi bukan untuk mewakili Allah. melainkan untuk membangun peradaban tauchid
bagi manusia di muka bumi. Al-Baqoroh : 30 yang berbunyi : “….Innii jaa’ilun
fil-ardhi kholiifah”… bermakna “Aku hendak menjadikan seorang khalifah
di muka bumi”, bukan “Aku hendak menjadikan seorang khalifah untuk-Ku di
muka bumi”.
Konsep kekhalifahan manusia di bumi memperoleh
bentuknya yang lebih sempurna pada masa kerasulan Muhammad SAW. Derajat
kerasulan akhir zaman ini disempurnakan dengan peristiwa Isra’ Mi’raj, seperti
Firman Allah :
“Maha suci Dzat Yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad SAW) pada malam hari dari Masjidil Haram
ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkati sekitarnya, agar Kami memperlihatkan
kepadanya sebagian ayat Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha
Melihat” : (Al-Isroo’ : 1).
Isra’ Mi’raj terjadi 1 tahun atau 16 bulan sebelum
Hijrah (abad ke-6) (Urwah As-Sadi dan Musa bin Uqbah dari az-Zuhri dalam
Tafsir Ibnu Katsir). Ini merupakan perjalanan suci dari Masjidil-Haram di Mekah
ke Masjidil-Aqsho di Palestina, lalu naik ke langit tertinggi yang di sebut
Mustawa dan Sidratul-Muntaha merupakan pusat kerajaan akhirat dimana Rasulullah
SAW menerima perintah langsung dari Allah SWT untuk dilaksanakannya Sholat 5
waktu bagi ummat-nya, sebagai ibadah transcendent yang bersifat wajib, dengan
garis pemisah yang tegas terhadap segala bentuk ritual Arab yang berbau
paganisme. Sebagaimana diterangkan pada Pengajian ke-40, budaya dan peradaban
Arabia berakar paga system paganisme (berhalaisme) sejak ribuan tahun yang
lampau.
Penetapan Sholat 5 waktu sebagai bentuk peribadatan
transcendent secara definitive
memberikan kepastian tentang peribadatan kaum Muslimin, sekaligus mengakhiri segala bentuk ritual paganisme dan
sinkretisme yang dikembangkan kalangan munafikin-musrikin sebagaimana
diterangkan dalam Pengajian ke-33 hinga ke-45 (Buku ke-3).
Sinkretisme Arab berakar pada peradaban
Qabbala-Israili dan Mesopotamia. Meskipun mereka percaya adanya Allah, tetapi
Tuhan itu begitu tinggi, begitu ideal dan jauh dari kenyataan kehidupan
manusia, maka mereka memberikan persembahan kepada rejim Dewa-dewa Ba’al,
Hubal, Manat, Latta dan Uzza yang terasa lebih dekat dengan realitas kehidupan
yang diinginkan melalui lambang material seperti bentuk arca-arca dan
mitos-mitos yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Kalangan Quraisy seperti
disampaikan Utbah bin Rabi’ah kepada Rasulullah dalam upaya kompromi
mengusulkan sinkretisme (kemusrikan) ala-Israili dengan bersama-sama menyembah
Allah dan tuhan-tuhan Qabbalist (berhala) tersebut.
Isro’-Mi’roj memastikan bahwa tidak ada Tuhan yang
disembah selain Allah. Inilah akar peradaban tauchid yang telah mengeluarkan
Arabia dari kegelapan paganisme yang konvergen kepada zaman baru yang divergen,
dan telah menerangi dunia selama 1500
tahun. Inilah proses sublimasi “minadzzulumati ilannuur” yang membawa
manusia kearah transferabilitas-progresif ke-arah nilai-nilai transendensi
dengan diferensiasi yang lebih tinggi dari nilai-nilai mitologi qabbalism
sebelumnya yang fatal dan dekaden.
Sumber peradaban.
Peneliti dan penulis wanita yang masyhur di dunia saat
ini Karen Armstrong mengatakan,
bahwa prestasi peradaban terbukti rapuh dan memiliki kelemahan-kelemahan.
Inilah yang membuat manusia sejak zaman awal sejarah mencari kekuatan-kekuatan
transendensi dari alam idea-nya yang menjadi dasar agama-agama purba termasuk
agama Israel agar dapat survive. Namun demikian Armstrong menegaskan bahwa
pencarian atas keadilan sosial yang lebih baik bukan sekedar suatu fantasi
religius (Karen Armstrong : Jerussalem : One City, Three Faiths, May 1997).
Pernyataan Armstrong meskipun hanya didasarkan logika mengandung kejujuran
tentang kebutuhan manusia atas visi transendensi, berbeda dengan sikap kelompok
“global-Freemasonry” yang sering menyesatkan dan memusuhi agama sebagaimana
sudah kita bahas sejak Pengajian ke-46 hingga ke-57 y.l dan masih terus kita
bahas.
Subyektivisme Isra’-Mi’raj dalam tradisi Islam, tidak
membuat konsep Islam menyempit dalam ektremitas primordial seperti faham
neo-Zionist-freemasonry dalam doktrin anthropomorphis “Adam-Kadmon”
misalnya, yang hanya menempatkan ras kaum freemasonry sebagai manusia. Diluar
ras mereka tidak dipertimbangkan dalam derajat manusia. Konsep Islam adalah
Rachmatan lil ‘Alamen. Perhatikan Firman Allah :
“Sesungguhnya orang-orang Mukmin, orang-orang Yahudi
dan orang-orang Nasrani dan orang-orang Sabi’ien; siapa saja diantara mereka
yang benar-benar beriman kepada Allah, hari akhirat dan beramal saleh; mereka
akan menerima pahala dari Tuhan mereka (Allah swt); tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati” ; (Al-Bqoroh : 62).
Islam memiliki konsep perubahan berdasarkan Firman.
Nilai tertinggi adalah Firman. Jika Allah swt percaya terdapat orang-orang
beriman di semua basis budaya dan peradaban di muka bumi yang beraneka ragam
itu, maka tauladan manakah yang lebih baik dari Allah Ta’aala sendiri ?
Sesungguhnya yang terkuat adalah Rachman-Rachiem, Kasih-Sayang.
Mari kita simak sumber-sumber peradaban dunia yang
indah dibawah ini :
Abad ke-10 SM, Naciketas, pemudah Hindu yang cerdas dan saleh menyucikan diri,
berpuasa tiga hari tiga malam, bermeditasi sepenuh hati untuk bertemu dengan
Yama sang malakul-maut. Naciketas bertanya : ‘Wahai Yama, apakah setelah mati
seseorang itu ada atau tidak ada ?’. Yama sang penguasa kematian menjawab :
‘Dia yang dibebaskan dari batasan-batasan nama dan bentuk, yang menjadi satu
dengan segalanya, tidak dapat dikatakan ada (exist) dalam pengertian
biasa.
Tidak ada kesadaran yang secara khusus membatasi
keberadaannya. Tetapi ia juga tidak dapat disebut tidak ada (non-exist)
dalam pengertian biasa, karena ia telah memperoleh hakekat keberadaan. Seorang
yang tahu kegembiraan moksha (kehidupan abadi) tidak akan tertarik pada
nafsu-nafsu duniawi. Serta-merta Naciketas mendesak Yama agar segera mencabut
nyawanya agar ia dapat segera memasuki kegembiraan moksha di alam astral. Kisah
suci Hindu ini dinukil dari Kitab Suci Upanisad I yang diuraikan kembali oleh
Maharsi Tiruvaluvar pada abad ke I. Dalam Hinduisme Tuhan bersifat impersonal,
hakekat tertingginya disebut Brahman, inti jiwa suci manusia yang abadi.
Abad ke-5 SM, Putra Mahkota Sidharta Gautama meninggalkan istana kerajaan Sakya
di Kapilavastu, India, hidup papa sengsara untuk mencari kebenaran. Beliau
mencapai Nibbana atau Nirvana, yaitu Yang Penghabisan dimana
manusia mencapai kondisi batin sempurna, terlepas dari segala penderitaan dan
perubahan fana duniawi, mencapai hakekat kebebasan dan kebahagiaan jiwa yang
sejati yang tidak terikat hidup dan mati. Sidharta kemudian disebut Sakyamuni
Buddha. Diantara sabdanya : “Semua kejadian adalah fana dan intisari kebenaran
tidak mengandung egoisme”.
Menurut Buddhisme Tuhan bersifat impersonal dan
mengalir bersama kolektivisme semesta alam.
Abad ke-5 SM, di kota Qufu, Tiongkok, lahir filsuf terbesar Khonghucu
yang menyerukan perdamaian dan persatuan bangsanya, mengajarkan egaliterianisme
melalui pendidikan dengan tradisi Hsueh (pendidikan dan keteladanan).
Mainstream ajaran Khonghucu adalah Harmonisme makrokosmos dan mikrokosmos yang
pada tingkat individual akan melahirkan visi tertinggi yang disebut Te,
yaitu kekuatan dan kebajikan moral. Khonghucu percaya bahwa Thian (Tuhan)
adalah kesatuan harmonis semesta alam. Maka memelihara harmonisme berarti
memelihara hubungan dengan Thian. Khonghucu adalah penemu tradisi China
yang mewaranai spirit dan religi China sepanjang masa.
Abad ke-4 SM, di Yunani muncul mahafilsuf Socrates yang mengajarkan eudaemonia,
yaitu jiwa yang baik yng harus dicapai dengan kebajikan dan keutamaan yang
disebut arête yang pada hakekatnya adalah pengetahuan. Maka baik dan
jahat berdasarakan pengetahuan bukan kemauan. Tidak ada orang sengaja berbuat
salah, kecuali ia tidak berpengetahuan. Arete adalah alat untuk mencapai
eudaemonia yang bersifat tunggal dan menyeluruh. Maka memiliki eudaemonia
(Kebajikan Yang Esa) berarti memiliki segala kebajikan. Socrates dianggap
murtad dan dijatuhi hukuman mati dengan meminum racun pada th. 399 SM pada usia 70 th. Tetapi nyala pikirannya
terus menerangi akal pikiran manusia, membawa kemajuan peradaban dan terus
hidup selama 2400 th.
Abad ke-15 SM, pangeran Mesir keturunan Yahudi, Musa meninggalkan istana Fir’aun,
menolak ras-diskriminasi terhadap etnis Yahudi. Musa kemudian menerima wahyu
Allah (Kitab Taurat) menjadi Nabi dan Rasul Allah. Nabi Musa a.s. dengan berani
menyerukan Fir’aun penguasa dunia zaman itu yang bahkan telah mengaku sebagai
tuhan, agar menyembah Allah sebagai satu-satunya Tuhan, dan membebaskan bangsa
Yahudi dari perbudakan dan penindasan. Puncak konflik Musa vs Fir’aun berakhir
dengan eksodus bangsa Yahudi ke Kana’an atau Yerussalem, negeri yang
dijanjikan. Sebuah perjalanan rohani kembali kepada habitat dan konstiusi jiwa
tauchid, dengan mukjizat membelah Laut Merah dan menenggelamkan Fir’aun
(Rameses II) dan balatentaranya. Agama Yahudi adalah cikal bakal agama-agama
samawi yang monoteis dengan personalitas Tuhan yang disebut YHWH (Allah) Tuhan
Yang Esa, beriman kepada Hari Kiamat dan Alam Akhirat sesudah kematian.
Abad ke-1, di
kota Betlehem atau Baitul-Maqdis di bagian kota Nazareth, lahir seorang bayi
dari rahim suci Maryam tanpa
proses seksualitas, sebuah mukjizat dari Allah swt. Dialah Isa al-Masih a.s.
yang dipercaya sebagai Mesias (Juru Selamat), yang mampu berbicara
lancar waktu masih bayi. Reformer terhadap ajaran Taurat yang sudah banyak
diselewengkan. Tetapi para penguasa dan pendeta Yahudi yang hedonis-materialis
tidak mengakuinya.
Tanpa kenal takut di bukit Golgota Yesus al-Masih
menyampaikan khotbah akbarnya yang menjadi essensi dasar ajarannya. Yesus a.s.
bersabda : “Bahwa kerajaan Allah bukan kerajaan dunia, melainkan Kerajaan
Sorga, bukan kerajaan berdasarkan kekerasan, melainkan Kerajaan Kasih, yakni
kasih kepada Allah dan kepada sesama manusia”; (Cerita-cerita Al-Kitab
Perjanjian Baru, hal.6788). Isa al-Masih memiliki 13 murid yang disebut Al-Hawariyyun
yang selalu setia menyertainya.
Namun salah satunya Yudas Iskariot berkhianat.
Yesus dari Nazareth ditangkap oleh konspirasi penguasa Yahudi-Romawi dan
disalibkan di bukit Golgota sebagai penggenapan teologi penebusan dosa
(berdasarkan keyakinan Nasrani). Tetapi spirit al-Masih tidak pernah padam.
Ritual tri-Paskah membuktikan hakekatnya Yesus tidak pernah mati di tiang salib
itu. Allah telah mengangkat tinggi derajatnya dan ajarannya kini menjadi
panutan ummat Katholik/Kristen di seluruh dunia.
Demikianlah takdir dunia yang tidak terbentuk oleh
budaya tunggal, melainkan oleh pluralitas budaya, dari zaman dan belahan dunia
yang berbeda. Itulah fitrah dunia. Kita bersukur karena Bangsa Indonesia yang
multikultur bagaikan miniatur pluralitas dunia. Pluralitas adalah hakekatnya,
sedangkan kesatuan iman adalah tujuan akhirnya. Semangat fanatisme primordial
jelas tidak sesuai dengan Sunnatullah.
Maka tolok ukur kesamaan bukan pada syari’at,
custom atau habit yang menjadi domain etnosentrisme budaya
masing-masing, tetapi pada kwalitas iman yang memiliki satu nafas. Maka tidak akan
ada perang, terror dan penindasan atas nama ideology, agama dan tuhan. Dan
sesungguhnya kebahagian sejati hanya ada di Yaum al Dien, yaitu Alam Akhirat
yang transcendental dan abadi, sesudah
kematian. Sekian.
Birrachmatillahi Wabi’unihi fi Sabilih,
Wassalamu’alaikum War. Wab.
Jakarta, 1 September 2005,
Pengasuh,
KH. AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front Persatuan Nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar