11.7.17

Pengajian Keseratus Delapanbelas (118),


Pengajian Keseratus Delapanbelas (118),

Oleh : KH. Agus Miftach

Assalamu’alaikum War. Wab.
Bismillahirrahmanirrahiem,

“Sesungguhnya kami telah mengutusmu (Muhammad) dengan hak sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan kamu tidak akan diminta bertanggung jawab terhadap para penghuni neraka Jahim” : Al-Baqoroh : 119.

Seperti tradisi pengajian, kita akan membahas ayat ini dengan pendekatan eklektik multiperspektif, baik dari perspektif teologi, antropologi, historiografi, psikologi dll secara holistis, untuk mencapai pemahaman yang komprehensif dan hikmah yang setingi-tingginya dari kandungan ayat ini.

Pokok Bahasan

Asbabunnuzul ayat ini, diungkapkan oleh Abdurrazaq sebagaimana diwartakan oleh ats-Tsauri dari Musa bin Ubaidah dan Muhammad bin Ka’ab Al-Qurathi, katanya, “Rasulullah saw bersabda : “Wahai bagaimanakah kiranya nasib kedua orang tuaku ?”. Maka turunlah ayat ini (QS 2 : 119). Sejak peristiwa itu hingga wafatnya Rasulullah saw tidak pernah lagi menyebut-nyebut kedua orang tuanya. Sebagian kalangan mufassir mengganggap riwayat ini mursal. Riwayat serupa dari jalur Ibnu Jarir dari Ibnu Juraij dari Daud bin Abu Hashim, juga mursal.

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyebut kedua orang tua Nabi Muhammad saw adalah ahli neraka, berdasarkan hadits sahih yang diriwayatkan oleh Muslim dari Anas (112), “Seorang bertanya,’Wahai Rasulullah dimanakah ayahku?’ Beliau menjawab,’Di neraka.’ Setelah beliau menutup doanya, beliau bersabda,’Sesungguhnya ayahku dan ayahmu berada dalam neraka.” Demikian pula ibunda Nabi saw seperti juga diriwayatkan Muslim dalam sahihnya (113), “Beliau saw bersabda,’Aku memohon ijin kepada Tuhanku kiranya aku diperbolehkan memintakan ampun untuknya (ibunda Nabi, Siti Aminah). Namun Dia tidak mengijinkan. Kemudian aku memohon ijin untuk menziarahi pusaranya, maka Dia mengijinkanku. Maka berziarahlah kalian ke kubur sebab dapat mengingatkan kematian’”.

Ibnu Katsir memberikan catatan kesimpulan bahwa kedua orang tua Nabi Muhammad meninggal dalam keadaan musrik.Namun secara ambivalen Ibnu Katsir menambahkan kalimat,”Hanya Allah yang dapat menolongnya”. Artinya masih terdapat secercah kemungkinan untuk tertolong, dalam pengertian dikeluarkan dari neraka dan pindah masuk sorga dengan kehendak Allah. Tetapi bagaimana yang sebenarnya ? Tidak ada penjelasan lebih lanjut. Alam sesudah kematian bersifat transenden yang memang lebih bernuansa mitos daripada logos. Oleh karena itu tidak diperlukan penjelasan realistik.

Narasi ayat ini menggambarkan kemutlakan dosa sirik yang dalam dogma Islam tidak terampuni, bahkan terhadap orang tua Nabi-pun Allah tidak mengampuni. Maka kemutlakan faham tauhid menjadi prasyarat utama dalam teologi Islam. Tidak sah seluruh amal dan ibadah kecuali dengan tauhid. Inilah doktrin monoteisme yang total. Tetapi benarkah berlangsung tanpa kompromi ? Fakta-fakta antropologis tentang Ibrahim a.s. dan tentang Hajar Aswad  menunjukkan hal yang berbeda. Ini agaknya sejalan  dengan ambivalensi Ibnu Katsir dan sumber-sumber hadiest yang mursal. Faktanya semua agama Semit (Yahudi, Kristen dan Islam) memang mengandung kompromi dengan paganisme.

Hal yang tidak logik, ayah nabi Muhammad, Abdullah meninggal sebelum nabi dilahirkan, sedangkan ibunya Siti Aminah meninggal pada saat melahirkan nabi Muhammad. Mereka tidak pernah mendengar da’wah tentang ketauhidan. Lalu dengan semena-mena mereka dikategorikan oleh para mufassir sebagai musrik yang tidak terampuni secara dogmatis. Tidak pasti bahwa Abdullah dan Siti Aminah adalah musrik paganis dan bukan monoteis Kristen. Nama Abdullah bermakna hamba Allah, sedangkan Aminah bermakna semoga terkabul (bagi wanita). Nama-nama itu lebih mendekati tradisi Kristen daripada musrik paganis. Kedekatan pendeta-pendeta Kristen Waraqah bin Naufal,  Masthura dan Bakhira dengan keluarga Nabi sedikitnya menjelaskan kedekatan kultur keluarga Nabi dengan kekristenan daripada musrik paganis. Sementara itu terdapat analisis antropologis bahwa Nabi lahir  dilingkungan keluarga yang tidak menganut paganisme secara mutlak, melainkan sinkretisme ajaran Ibrahim dengan paganisme yang menampilkan pantheon al-Lah atau Allah sebagai Mahadewa atas dewa-dewa paganis Arab-Hejaz (vide, Pengajian ke 117).

Sinkretisme semacam itu agaknya dianut keluarga Abdul Muththalib (kakek Nabi) yang menempatkan mereka dalam  benang merah ajaran Ibrahim namun hidup dalam budaya nenek moyang yang paganis. Ini lebih bermakna kepercayaan yang tidak utuh daripada kemusrikan. Atau dapat dikatakan mereka memiliki keyakinan monoteis tetapi hidup dalam kultur paganisme. Klaim terhadap kemusrikan memiliki keabsahan setelah berlakunya masa kenabian Muhammad saw, bukan sebelumnya yang belum ada tolok ukur ketauhidan. Narasi mufassirin lebih tampak sebagai ambisi intelektual yang ingin menampakkan kemiripan Nabi Muhammad dengan nenek moyangnya Nabi Ibrahim yang ayahnya Azar Tarih adalah seorang paganis yang menyembah “dewa matahari dan dewi bulan” dua pantheon tertinggi Ur-Khasdim atau Aur-Khaldan yang sering dilambangkan dengan bulan bintang diatas ziggurat atau manara (menara), yaitu bangunan tinggi untuk pembakaran bagi pemujaan kedua dewa-dewi tertinggi itu.

Belakangan menara dan lambang bulan-bintang banyak dipakai kalangan Islam untuk lambang Masjid.  Tentang kedua orang tua Nabi Muhammad saw, narasi mufassirin kurang dapat dipertanggungjawabkan. Secara obyektif spiritualisme kedua orang tua Nabi Muhammad berada di jalur tauhid sebelum kenabian dan mereka adalah orang-orang yang berbudi pekerti luhur, menggambarkan kekuatan dan kebenaran kepercayaan spiritual mereka ditengah-tengah demoralisasi hedonis-materialis aristokrasi Quraisy Mekah (vide,Peng.Ke-117)

Kalimat “…wa laa tus’alu ‘an ashhaabil-jahiem” : “dan kamu tidak akan diminta bertanggung jawab terhadap para penghuni neraka Jahiem,” ;  tidak ditujukan kepada kedua orang tua Nabi Muhammad saw seperti riwayat hadiest mursal didepan, tetapi lebih ditujukan kaum musrik yang menentang dakwah beliau seperti tercermin dalam kalimat sebelumnya,”….bashiran wa nadhiran…” : “pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan…” ; yang tentu saja terarah kepada orang-orang yang hidup dalam masa kenabian bukan sebelumnya atau orang-orang yang sudah mati.

Sinkretisme monoteis

Monoteisme atau doktrin ketauhidan menjadi sangat penting bagi Nabi Muhammad karena hal itu akan memberikan supremasi teologis yang penting artinya bagi perubahan sosial dan pembentukan peradaban baru di Mekah dan kemudian Hejaz. Pada awalnya peletakan dasar ketauhidan harus menunjukkan diskoneksitas dengan paham lama yaitu paganisme Hejaz yang merupakan sinkretisme paganisme Kana’an dan Mesopotamia seperti tercermin pada patung-patung dewa yang dipajang di Ka’bah,yang tertinggi martabatnya adalah Ba’al yang Kana’anik dan Hubal yang Mesopotamianik.

Nabi Muhammad mencanangkan semua dosa dapat diampuni kecuali dosa musrik atau dosa paganis. Perjuangan berat itu nyaris lumpuh hingga migrasi (hijrah) ke Yatsrib yang kemudian disebut Madinah (vide, Peng. Ke 117). Di Madinah-lah dasar-daar masyarakat baru yang menandai lahirnya peradaban baru terbentuk. Kemenangan revolusi yang menandai perubahan besar di Hejaz terjadi setelah penaklukan Mekah (Futuh Mekah) th. 630 dengan damai melalui jalan diplomasi. Tetapi sejak awal sebenarnya Nabi Muhammad saw menyadari bahwa tauhid secara total seperti tuntutan kedua pendahulunya Musa dan Isa tidak dapat terbentuk dalam kebudayaan manusia.

Selalu ada unsur sinkretisme budaya lama dan baru. Carl Gustav Jung (1875-1959) seorang pakar Psikologi Analitis aliran Freud menyatakan bahwa kesadaran adalah puncak kecil dari gunung es, sedangkan ketidaksadaran kolektif merupakan dasar gunung es yang maha luas berisi seluruh pengalaman nenek moyang umat manusia sepanjang zaman yang mengendap dalam ketidaksaran kolektif dan muncul dalam ketidaksadaran individual yang kemudian terefleksi secara selektif dalam perilaku sadar manusia.

Sinkretisme Islam dengan paganisme tampak dalam ritual hajji yang sarat dengan simbol-simbol lama, termasuk Hajar Aswad (baru hitam) yang dipasang di sudut Ka’bah yang sesungguhnya merupakan lambang persatuan paganis pra Islam yang menjadi simbol paganis terpenting aristokrasi Quraisy. Perlu dicatat di masa pra Islam Ka’bah merupakan situs pemujaan al-Lah pantheon tertinggi dalam system religi paganis Mekah dengan Hajar Aswad sebagai lambang persatuan.

Meskipun tidak termasuk dalam ritualitas hajji, Hajar Aswad dihormati sebagai yang sakral. Ini merupakan bentuk kompromi sinkretisme. Tujuan Nabi Muhammad tentu untuk mencegah konflik latent yang bisa berkobar menjadi perang besar dikemudian hari yang dapat mengancam seluruh bangunan peradaban Islam. Apa yang dilakukan tokoh Qabbala Luria dalam agama Yahudi dan  Konstantin Agung dalam agama Kristen pada dasarnya adalah sinkretisme monoteis-paganis untuk mencapai sublimasi progresif perubahan sosial-budaya yang lebih maju menuju peradaban baru yang lebih tinggi. Nabi Muhammad juga menempuh jalan itu dengan memberikan toleransi yang tinggi terhadap budaya lama yang kemudian di tauhidkan dan ditempatkan secara ortopraksi dibawah syari’at Islam.

Langkah-langkah politik seperti ini dalam Islam bisa disamakan dengan sakramen dalam istilah Kristen. Politik adalah aktivitas yang harus disakralkan sehingga bidang ini dapat menjadi saluran Tuhan. Ini berhasil membangkitkan energi pra modernis yang berjasa bagi tahapan peradaban dunia modern (vide, Peng. Ke 117). Namun dalam perkembangannya di dunia modern dewasa ini dianggap sudah out of date dan banyak menimbulkan tragedi.

Ortopraksi

Jika umat Kristen berpijak pada ortodoksi sebagai system kepercayaan yang benar, maka sejak awal sesungguhnya agama Yahudi dan agama Islam menyadari bahwa monoteisme murni sulit dicapai dalam sublimasi budaya manusia. Maka ketauhidan lebih dititikberatkan sebagai fundasi batin melalui sistem dogma yang lunak, sementara umat secara massif ditempatkan dibawah sistem ortopraksi atau penyeragaman praktek agama melalui syari’at yang dirumuskan secara eksplisit dalam “5 Rukun Islam” yang mengikat setiap Muslim (dalam aliran sekte apapun), yaitu,”Syahadatain, salat lima waktu, membayar zakat demi pemerataan ekonomi, puasa bulan Romadhon untuk merasakan penderitaan orang miskin dan menahan diri dari hawa nafsu, serta berhajji ke Mekah bila mampu. Ortopraksi Islam telah membentuk system Jama’ah yang menyatukan spirit Islam di seluruh dunia yang menjadikannya fakta politik modern yang sangat kuat di dunia.

9 Abad setelah masa Rasulullah saw, yaitu pada abad ke-16, Islam telah tumbuh menjadi kekuatan global yang terhebat di dunia. Meskipun Dinasti Sung (960-1260) mampu menciptakan keunggulan dari etos dan kompleksitas sosialnya, juga renaisans Italia mampu memulai pencerahan awal bagi kebangkitan peradaban Barat, tetapi kaum Muslimin mampu mengatasi tantangan-tantangan itu dan tetap mampu memimpin peradaban dunia   hingga masa 1000 th, dan baru berakhir setelah runtuhnya imperium Utsmaniyah di Turki pada abad 20.

Kini di lintasan abad 21 umat Islam mengalami kemunduran re-orientasi, belum berhasil menemukan pijakan yang kokoh dalam perputaran modernisme  yang demikian shophisticated. Sebagian memilih kembali kepada fundamentalisme awal pada kurun Madinah dan khulafaurrasyidin. Sebagian lagi memilih melompat kedepan kepada sekularisasi Barat, dan yang ketiga menempuh jalan tengah dengan rasionalisasi teologis untuk menemukan momentum pembaruan yang kuat dan original. Tetap berpijak pada prinsip teologis dan ortopraksis tetapi terbuka terhadap perubahan perubahan dalam alur peradaban modern yang rasional. Sekian, terima kasih,

Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi Sabilih,
Wassalamu’alaikum War, Wab,
Jakarta, 22 Desember 2006,


KH. AGUS MIFTACH

Ketua Umum Front Persatuan Nasional. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar