Pengajian Keseratus Delapanbelas
(118),
Oleh : KH. Agus Miftach
Assalamu’alaikum War. Wab.
Bismillahirrahmanirrahiem,
“Sesungguhnya kami telah mengutusmu
(Muhammad) dengan hak sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan
kamu tidak akan diminta bertanggung jawab terhadap para penghuni neraka Jahim”
: Al-Baqoroh : 119.
Seperti tradisi pengajian, kita akan membahas
ayat ini dengan pendekatan eklektik multiperspektif, baik dari perspektif
teologi, antropologi, historiografi, psikologi dll secara holistis, untuk
mencapai pemahaman yang komprehensif dan hikmah yang setingi-tingginya dari
kandungan ayat ini.
Pokok Bahasan
Asbabunnuzul ayat ini, diungkapkan oleh
Abdurrazaq sebagaimana diwartakan oleh ats-Tsauri dari Musa bin Ubaidah dan
Muhammad bin Ka’ab Al-Qurathi, katanya, “Rasulullah saw bersabda : “Wahai
bagaimanakah kiranya nasib kedua orang tuaku ?”. Maka turunlah ayat ini (QS 2 :
119). Sejak peristiwa itu hingga wafatnya Rasulullah saw tidak pernah lagi
menyebut-nyebut kedua orang tuanya. Sebagian kalangan mufassir mengganggap
riwayat ini mursal. Riwayat serupa dari jalur Ibnu Jarir dari Ibnu Juraij dari
Daud bin Abu Hashim, juga mursal.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyebut kedua
orang tua Nabi Muhammad saw adalah ahli neraka, berdasarkan hadits sahih yang
diriwayatkan oleh Muslim dari Anas (112), “Seorang bertanya,’Wahai Rasulullah
dimanakah ayahku?’ Beliau menjawab,’Di neraka.’ Setelah beliau menutup doanya,
beliau bersabda,’Sesungguhnya ayahku dan ayahmu berada dalam neraka.” Demikian
pula ibunda Nabi saw seperti juga diriwayatkan Muslim dalam sahihnya (113),
“Beliau saw bersabda,’Aku memohon ijin kepada Tuhanku kiranya aku diperbolehkan
memintakan ampun untuknya (ibunda Nabi, Siti Aminah). Namun Dia tidak
mengijinkan. Kemudian aku memohon ijin untuk menziarahi pusaranya, maka Dia
mengijinkanku. Maka berziarahlah kalian ke kubur sebab dapat mengingatkan kematian’”.
Ibnu Katsir memberikan catatan kesimpulan
bahwa kedua orang tua Nabi Muhammad meninggal dalam keadaan musrik.Namun secara
ambivalen Ibnu Katsir menambahkan kalimat,”Hanya Allah yang dapat menolongnya”.
Artinya masih terdapat secercah kemungkinan untuk tertolong, dalam pengertian
dikeluarkan dari neraka dan pindah masuk sorga dengan kehendak Allah. Tetapi
bagaimana yang sebenarnya ? Tidak ada penjelasan lebih lanjut. Alam sesudah
kematian bersifat transenden yang memang lebih bernuansa mitos daripada logos.
Oleh karena itu tidak diperlukan penjelasan realistik.
Narasi ayat ini menggambarkan kemutlakan dosa
sirik yang dalam dogma Islam tidak terampuni, bahkan terhadap orang tua
Nabi-pun Allah tidak mengampuni. Maka kemutlakan faham tauhid menjadi prasyarat
utama dalam teologi Islam. Tidak sah seluruh amal dan ibadah kecuali dengan
tauhid. Inilah doktrin monoteisme yang total. Tetapi benarkah berlangsung tanpa
kompromi ? Fakta-fakta antropologis tentang Ibrahim a.s. dan tentang Hajar
Aswad menunjukkan hal yang berbeda. Ini
agaknya sejalan dengan ambivalensi Ibnu
Katsir dan sumber-sumber hadiest yang mursal. Faktanya semua agama Semit
(Yahudi, Kristen dan Islam) memang mengandung kompromi dengan paganisme.
Hal yang tidak logik, ayah nabi Muhammad, Abdullah
meninggal sebelum nabi dilahirkan, sedangkan ibunya Siti Aminah meninggal pada
saat melahirkan nabi Muhammad. Mereka tidak pernah mendengar da’wah tentang
ketauhidan. Lalu dengan semena-mena mereka dikategorikan oleh para mufassir
sebagai musrik yang tidak terampuni secara dogmatis. Tidak pasti bahwa Abdullah
dan Siti Aminah adalah musrik paganis dan bukan monoteis Kristen. Nama Abdullah
bermakna hamba Allah, sedangkan Aminah bermakna semoga terkabul (bagi wanita).
Nama-nama itu lebih mendekati tradisi Kristen daripada musrik paganis.
Kedekatan pendeta-pendeta Kristen Waraqah bin Naufal, Masthura dan Bakhira dengan keluarga Nabi
sedikitnya menjelaskan kedekatan kultur keluarga Nabi dengan kekristenan
daripada musrik paganis. Sementara itu terdapat analisis antropologis bahwa
Nabi lahir dilingkungan keluarga yang
tidak menganut paganisme secara mutlak, melainkan sinkretisme ajaran Ibrahim
dengan paganisme yang menampilkan pantheon al-Lah atau Allah sebagai Mahadewa
atas dewa-dewa paganis Arab-Hejaz (vide, Pengajian ke 117).
Sinkretisme semacam itu agaknya dianut
keluarga Abdul Muththalib (kakek Nabi) yang menempatkan mereka dalam benang merah ajaran Ibrahim namun hidup dalam
budaya nenek moyang yang paganis. Ini lebih bermakna kepercayaan yang tidak
utuh daripada kemusrikan. Atau dapat dikatakan mereka memiliki keyakinan
monoteis tetapi hidup dalam kultur paganisme. Klaim terhadap kemusrikan
memiliki keabsahan setelah berlakunya masa kenabian Muhammad saw, bukan
sebelumnya yang belum ada tolok ukur ketauhidan. Narasi mufassirin lebih tampak
sebagai ambisi intelektual yang ingin menampakkan kemiripan Nabi Muhammad
dengan nenek moyangnya Nabi Ibrahim yang ayahnya Azar Tarih adalah seorang
paganis yang menyembah “dewa matahari dan dewi bulan” dua pantheon tertinggi
Ur-Khasdim atau Aur-Khaldan yang sering dilambangkan dengan bulan bintang
diatas ziggurat atau manara (menara), yaitu bangunan tinggi untuk pembakaran
bagi pemujaan kedua dewa-dewi tertinggi itu.
Belakangan menara dan lambang bulan-bintang banyak
dipakai kalangan Islam untuk lambang Masjid.
Tentang kedua orang tua Nabi Muhammad saw, narasi mufassirin kurang
dapat dipertanggungjawabkan. Secara obyektif spiritualisme kedua orang tua Nabi
Muhammad berada di jalur tauhid sebelum kenabian dan mereka adalah orang-orang
yang berbudi pekerti luhur, menggambarkan kekuatan dan kebenaran kepercayaan
spiritual mereka ditengah-tengah demoralisasi hedonis-materialis aristokrasi
Quraisy Mekah (vide,Peng.Ke-117)
Kalimat “…wa laa tus’alu ‘an
ashhaabil-jahiem” : “dan kamu tidak akan diminta bertanggung jawab terhadap
para penghuni neraka Jahiem,” ;
tidak ditujukan kepada kedua orang tua Nabi Muhammad saw seperti riwayat
hadiest mursal didepan, tetapi lebih ditujukan kaum musrik yang menentang
dakwah beliau seperti tercermin dalam kalimat sebelumnya,”….bashiran wa
nadhiran…” : “pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan…” ; yang tentu
saja terarah kepada orang-orang yang hidup dalam masa kenabian bukan sebelumnya
atau orang-orang yang sudah mati.
Sinkretisme monoteis
Monoteisme atau doktrin ketauhidan menjadi
sangat penting bagi Nabi Muhammad karena hal itu akan memberikan supremasi
teologis yang penting artinya bagi perubahan sosial dan pembentukan peradaban
baru di Mekah dan kemudian Hejaz. Pada awalnya peletakan dasar ketauhidan harus
menunjukkan diskoneksitas dengan paham lama yaitu paganisme Hejaz yang
merupakan sinkretisme paganisme Kana’an dan Mesopotamia seperti tercermin pada
patung-patung dewa yang dipajang di Ka’bah,yang tertinggi martabatnya adalah Ba’al
yang Kana’anik dan Hubal yang Mesopotamianik.
Nabi Muhammad mencanangkan semua dosa dapat
diampuni kecuali dosa musrik atau dosa paganis. Perjuangan berat itu nyaris
lumpuh hingga migrasi (hijrah) ke Yatsrib yang kemudian disebut Madinah (vide,
Peng. Ke 117). Di Madinah-lah dasar-daar masyarakat baru yang menandai lahirnya
peradaban baru terbentuk. Kemenangan revolusi yang menandai perubahan besar di
Hejaz terjadi setelah penaklukan Mekah (Futuh Mekah) th. 630 dengan damai
melalui jalan diplomasi. Tetapi sejak awal sebenarnya Nabi Muhammad saw
menyadari bahwa tauhid secara total seperti tuntutan kedua pendahulunya Musa
dan Isa tidak dapat terbentuk dalam kebudayaan manusia.
Selalu ada unsur sinkretisme budaya lama dan
baru. Carl Gustav Jung (1875-1959) seorang pakar Psikologi Analitis
aliran Freud menyatakan bahwa kesadaran adalah puncak kecil dari gunung es,
sedangkan ketidaksadaran kolektif merupakan dasar gunung es yang maha luas
berisi seluruh pengalaman nenek moyang umat manusia sepanjang zaman yang
mengendap dalam ketidaksaran kolektif dan muncul dalam ketidaksadaran
individual yang kemudian terefleksi secara selektif dalam perilaku sadar
manusia.
Sinkretisme Islam dengan paganisme tampak
dalam ritual hajji yang sarat dengan simbol-simbol lama, termasuk Hajar Aswad
(baru hitam) yang dipasang di sudut Ka’bah yang sesungguhnya merupakan lambang
persatuan paganis pra Islam yang menjadi simbol paganis terpenting aristokrasi
Quraisy. Perlu dicatat di masa pra Islam Ka’bah merupakan situs pemujaan al-Lah
pantheon tertinggi dalam system religi paganis Mekah dengan Hajar Aswad sebagai
lambang persatuan.
Meskipun tidak termasuk dalam ritualitas
hajji, Hajar Aswad dihormati sebagai yang sakral. Ini merupakan bentuk kompromi
sinkretisme. Tujuan Nabi Muhammad tentu untuk mencegah konflik latent yang bisa
berkobar menjadi perang besar dikemudian hari yang dapat mengancam seluruh
bangunan peradaban Islam. Apa yang dilakukan tokoh Qabbala Luria dalam agama
Yahudi dan Konstantin Agung dalam agama
Kristen pada dasarnya adalah sinkretisme monoteis-paganis untuk mencapai
sublimasi progresif perubahan sosial-budaya yang lebih maju menuju peradaban
baru yang lebih tinggi. Nabi Muhammad juga menempuh jalan itu dengan memberikan
toleransi yang tinggi terhadap budaya lama yang kemudian di tauhidkan dan
ditempatkan secara ortopraksi dibawah syari’at Islam.
Langkah-langkah politik seperti ini dalam
Islam bisa disamakan dengan sakramen dalam istilah Kristen. Politik adalah
aktivitas yang harus disakralkan sehingga bidang ini dapat menjadi saluran
Tuhan. Ini berhasil membangkitkan energi pra modernis yang berjasa bagi tahapan
peradaban dunia modern (vide, Peng. Ke 117). Namun dalam perkembangannya di
dunia modern dewasa ini dianggap sudah out of date dan banyak menimbulkan
tragedi.
Ortopraksi
Jika umat Kristen berpijak pada ortodoksi
sebagai system kepercayaan yang benar, maka sejak awal sesungguhnya agama
Yahudi dan agama Islam menyadari bahwa monoteisme murni sulit dicapai dalam
sublimasi budaya manusia. Maka ketauhidan lebih dititikberatkan sebagai fundasi
batin melalui sistem dogma yang lunak, sementara umat secara massif ditempatkan
dibawah sistem ortopraksi atau penyeragaman praktek agama melalui syari’at yang
dirumuskan secara eksplisit dalam “5 Rukun Islam” yang mengikat setiap Muslim
(dalam aliran sekte apapun), yaitu,”Syahadatain, salat lima waktu, membayar
zakat demi pemerataan ekonomi, puasa bulan Romadhon untuk merasakan penderitaan
orang miskin dan menahan diri dari hawa nafsu, serta berhajji ke Mekah bila mampu.
Ortopraksi Islam telah membentuk system Jama’ah yang menyatukan spirit Islam di
seluruh dunia yang menjadikannya fakta politik modern yang sangat kuat di
dunia.
9 Abad setelah masa Rasulullah saw, yaitu
pada abad ke-16, Islam telah tumbuh menjadi kekuatan global yang terhebat di
dunia. Meskipun Dinasti Sung (960-1260) mampu menciptakan keunggulan dari etos
dan kompleksitas sosialnya, juga renaisans Italia mampu memulai pencerahan awal
bagi kebangkitan peradaban Barat, tetapi kaum Muslimin mampu mengatasi
tantangan-tantangan itu dan tetap mampu memimpin peradaban dunia hingga masa 1000 th, dan baru berakhir
setelah runtuhnya imperium Utsmaniyah di Turki pada abad 20.
Kini di lintasan abad 21 umat Islam mengalami
kemunduran re-orientasi, belum berhasil menemukan pijakan yang kokoh dalam
perputaran modernisme yang demikian shophisticated.
Sebagian memilih kembali kepada fundamentalisme awal pada kurun Madinah dan
khulafaurrasyidin. Sebagian lagi memilih melompat kedepan kepada sekularisasi
Barat, dan yang ketiga menempuh jalan tengah dengan rasionalisasi teologis
untuk menemukan momentum pembaruan yang kuat dan original. Tetap berpijak pada
prinsip teologis dan ortopraksis tetapi terbuka terhadap perubahan perubahan
dalam alur peradaban modern yang rasional. Sekian, terima kasih,
Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi Sabilih,
Wassalamu’alaikum War, Wab,
Jakarta, 22 Desember 2006,
KH. AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front Persatuan Nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar