16.7.17

Im-lek dan Yang-lek

Oleh : KH. Agus Miftach
Assalamu’alaikum War. Wab.
Bismillahirrahmanirrahiem,

“Walladziena yu’minuuna bimaa unzila ilaika wa maa unzila min qoblika; wabil-akhirotihum yuqienunn” : “Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al-Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu, dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu; serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat” (Al-Baqoroh : 4).
Beriman menurut konsep Al-Qur’an meliputi spectrum yang luas, menyangkut realitas masa kini, disposisi dari masa silam dan masa depan kehidupan transcendental.Realitas masa kini diukur dari masa kenabian Rasulullah SAW, sedangkan disposisi dari masa silam diukur dari rentang kenabian sejak zaman Adam, Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa. Bahkan jika dirujuk dengan Al-Baqoroh 62 (vide, Pengajian Keduapuluhdelapan), maka disposisi dari masa silam itu menyangkut warisan kejiwaan seluruh jenis manusia.



Majelis pengajian ini telah mendalami disposisi psikologis tidak hanya dari jejak wahyu sejak zaman Adam hingga Muhammad, namun juga mendalami arkhe (awal mula) peradaban homo sapiens (manusia) sejak zaman Hun-tun, Yunani Miletos, Sigmund Freud hingga zaman NASA dan cybervision sekarang ini. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hakekat beriman dari ayat didepan menyangkut pengertian pemahaman terhadap peradaban jenis manusia, semesta alam dan kehidupan sesudah mati atau kehidupan akhirat.
Beriman sepanjang masa.
Beriman kepada Al-Qur’an artinya membedah, mempelajarinya, menggali hikmahnya secara optimal dan mengimplementasikannya dalam kehidupan. Beriman kepada Kitab-kitab sebelum Al-Qur’an artinya menggali hikmah yang terkandung dalam Injil, Taurat, Zabur dan semua firman Allah yang diturunkan kepada Rasul-rasul-Nya, yang sesungguhnya sudah terkandung dalam Al-Qur’an.

Penyebutan Kitab terdahulu adalah sebagai penekanan agar kita melihat keseluruhan nubuat secara utuh. Dan jika kita merujuk pada Al-Baqoroh 62 (vide, Pengajian Keduapuluhdelapan), sesungguhnya kita bukan hanya perlu menggali disposisi nubuatan, tetapi lebih dari itu menggali sumber-sumber antropologi, psikologi dan historiografi kebudayaan dan peradaban jenis manusia seluruhnya. Dari sanalah akar kehidupan umat manusia berkembang hingga masa sekarang dan seterusnya.

Seorang pemikir abad 20 Symons (1991), mengungkapkan bahwa mekanisme psikologi yang tampak pada kepribadian manusia dewasa ini tidak terjadi begitu saja pada penggalan waktu masa kini, melainkan merupakan hasil dari sebuah proses evolusi selama beratus, beribu bahkan berjuta tahun yang silam.


Pengertian ayat didepan tidak hanya tekstual, tetapi menyangkut pula periodisasi waktu, yaitu segala sesuatu yang menyangkut masa sekarang, masa silam dan hakekat masa depan yang bersifat transcendent. Maka makna beriman pada ayat didepan, ialah memahami seluruh periodisasi kehidupan ini dan kelanggengan kehidupan sesudah mati sebagai puncaknya.
Proses dinamik
Beriman bukan suatu yang statis, melainkan perjuangan psikofisik yang dinamis. Mulai dari menaklukkan das Es (hawa nafsu) dan menggantinya dengan obyek substitusi yang kreatif sebagai derivat instink, hingga terjadinya proses sublimasi yang menjadi sumber perubahan budaya manusia. Perubahan dari budaya mitologis dan kemusyrikan kepada budaya akal pikiran dan ketauhidan adalah proses dinamik iman. Oleh sebab itu makna beriman pada ayat didepan tidak dapat dipersempit pada pengertian tekstual, tetapi lebih luas merupakan proses dinamik psikofisik secara menyeluruh sepanjang masa.

Di daratan Tiongkok misalnya, tidak pernah diturunkan Utusan Allah yang menyampaikan Firman-firman-Nya (Kitab Allah) kepada Bangsa China yang besar itu. Sehingga secara tekstual Bangsa China tidak memiliki Kitab Allah seperti Zabur, Taurat, Injil dan Al-Qur’an. Apakah karena itu Bangsa China dianggap kafir seluruhnya dan tidak berhak masuk Sorga ?
Sedangkan tidak diragukan di daratan besar Tiongkok terjadi proses pembentukan kebudayaan dan peradaban yang tinggi. Bahkan Rasulullah SAW bersabda : “Uthlubul ‘ilma walao bisSyin” : “Tuntulah ilmu walau sampai ke negeri China”. Di belahan dunia itu lahir para filsuf besar yang menerangi kehidupan umat manusia, yang mengajar mereka (pada tataran agnostic) tentang kebajikan, berbakti kepada orang tua, menuntut ilmu dan harmonisme kehidupan. Mereka adalah Lao-tzu, Khonghucu, Mengzi, Hsun-tzu, Mozi, Chuang-tzu, Miao-san, dsb, semoga Allah meridhoi mereka. Dan kita ucapkan Selamat Hari Raya IM-LEK ke 2556 (Sin-cia 551 SM - 2005 M) pada semua penganut Sam Kauw dan tradisi Khonghucu diseluruh dunia, Gong Xi Fa Cai-Panjang Umur dan Murah Rejeki.


Semoga Allah atau Thian dalam bahasa mereka, memasukkan mereka kedalam golongan Shobi’ien yang beriman tauhid seperti yang tersirat dalam Al-Baqoroh 62 (vide, Pengajian Keduapuluh delapan).

Tahun Im-lek didasarkan pada peredaran bulan seperti Tahun Hijriyah. Disamping Im-lek orang China juga menggunakan penanggalan matahari yang disebut Yang-lek, mengikuti tahun masehi. Tahun Im-lek dihitung mulai tahun lahirnya filsuf besar Khonghucu pada tahun 551 SM yang oleh kalangan tradisionalis bahkan dianggap sebagai Nabi-China. Lebih tua dari negeri China itu sendiri yang baru didirikan oleh Kaisar Ch’in Shih Huang Ti pada tahun 221 SM setelah berhasil menyatukan daratan Tiongkok dengan jalan militer yang tidak begitu disukai oleh kalangan Khonghucuisme.


Mozi.
Atas dasar nama Dinasti Ch’in inilah daratan Tiongkok disebut oleh orang-orang Eropa dengan negeri Chin atau China. Kaisar Ch’in itu pula yang membangun “Ban Li Tiang Shia” atau Tembok 10 ribu Li – The Great Wall, Tembok Besar yang melintang di belahan Utara yang menjadi salah satu keajaiban dunia.
Adapun nama Tiongkok menurut aksen Hokkian, berakar pada kata “Chung-kuok” menurut bahasa Mandarin, berasal dari ajaran Khonghucu tentang “Chung” yang bermakna kesetiaan dan kejujuran. “Kuok” bermakna negeri. “Chung-kuok” atau Tiongkok bermakna negeri yang didasarkan atas kesetiaan dan kejujuran. Bangsanya disebut “Chung-hoa”, (Tionghoa-aksen Hokkian) bangsa yang bersendikan kesetiaan dan kejujuran. (Siti Maslaha, Tesis 2005).

Dewasa ini kata “China” bermakna state system, sedangkan “Chung-kuok” atau Tiongkok bermakna cultural. Mereka adalah bangsa yang mengakui hakekat Tuhan berada di semua unsur semesta alam. Maka membangun harmonisme diseluruh lingkungan mikrokosmos dan makrokosmos yang disebut Yin dan Yang, artinya mewujudkan keselarasan dalam hubungan dengan semua unsur kehidupan dan Thian (Allah). Sama dengan intisari khotbah agung Yesus Al-Masih di Galilea 2000 tahun yang lalu tentang “Kasih kepada Allah dan Kasih kepada sesama” sebagai prasyarat masuk Sorga Allah; Dan sama pula dengan ajaran Islam tentang “Hablun minallah wa hablun-muinannaas” : “menyempurnakan hubungan dengan Allah dan hubungan dengan sesama” sebagai kunci untuk mencapai keridhoan Allah Azza wa Jalla.
Kita tidak ingin memperdebatkan secara subyektif kelemahan-kelemahan dalam ajaran Konfusianisme, karena kita memandangnya sebagai periodisasi zaman kuno (ancient-period), suatu tahapan dari perjalana spiritual manusia. Dan berdasarkan Al-Kafirun 6 kita berpendapat bahwa agama diperlakukan sebagaimana para pemeluknya memberlakukannya.
Bentuk akhir perjalanan spiritual manusia ialah monotheisme zaman ini yang dipelopori oleh Islam, Nasrani dan Yahudi, yang memiliki tiga ciri kesamaan yaitu kesamaan Tuhan (United of God (Allah)), kesamaan Kitab (United of Books) dan kesamaan Sejarah (United of History). Tidak ada alasan permusuhan dalam ajaran ketiga agama itu, kecuali bagi mereka yang musyrik, fasik dan bodoh.

Hijrah
Herakleitos 25 abad yang lampau mendalilkan penemuannya tentang “hakekat perubahan”. Menurutnya yang kekal adalah perubahan. Segala sesuatu berada dalam arus perubahan tiada henti, seperti aliran air dan desir angin. Hakekat perubahan yang didalilkan Herakleitos besifat konstansi an-organis, merupakan kondisi obyektif yang sifatnya pasti. Makna perubahan seperti itu sesungguhnya bukan suatu perubahan dalam arti transferabilitas progresif. 11 abad setelah Herakleitos yang hidup di zaman Yunani Melitos, Rasulullah SAW mencerahkan dunia dengan sebuah perubahan besar yang disebut “Hijrah”. Berbeda dengan konsep perubahan Herakleitos yang bersifat konstansi an-organis, alami dan obyektif. Maka “Hijrah” bersifat psikofisik, dinamik, organis, subyektif dan sublimatif. Hijrah adalah transferabilitas progresif yang bersifat sublimatif yang menciptakan perubahan budaya dan peradaban umat manusia.

Selama ribuan tahun Arab, khususnya lembah Bakkah atau Mekkah merupakan kawasan yang tidak tersentuh peradaban. Mereka terisolasi dari peradaban dan terkurung dalam budaya primitif yang bersifat arsetip (vide, Pengajian Kedua). Lebih banyak dikuasai rejim instinktif (das Es) dengan sikap mental dan perilaku impulsive yang oleh Rasulullah disebut kebudayaan jahilliyah (paganisme).

Mereka menganut agama purba gurun pasir yang menyembah aneka ragam berhala yang bebas mereka ciptakan sendiri menurut selera dan kepentingan masing-masing didasarkan pada mitos takhayul masing-masing. Bahkan banyak tuhan berhala yang dibuat dari adonan, agar setelah selesai disembah dapat dimakan beramai-ramai. Diantara yang tertinggi adalah berhala Ba’al, Latta dan Uzza. Nah ditengah-tengah ancient society yang demikian itulah Al-Qur’an diturunkan melalui Rasulullah SAW diutus.
Revolusi besar Hijrah telah menciptakan transferabilitas progresif dari budaya jahiliyah yang primitif dan rendah diferensiasinya kepada budaya monotheis yang transenden dan tinggi diferensiasinya. Hijrah merupakan bentuk sublimasi psikologis yang mengubah konstitusi jiwa dan psyche umat manusia dari dominasi struktur nilai mitologis dan archeytipus kepada dominasi struktur nilai Tauhid dan transcendent-function, yang telah membangkitkan gestalt tertinggi dan mendorong kreativitas manusia pada puncak-puncaknya yang tertinggi.

Hijrah bukan sekedar migrasi dari Mekkah ke Medinah, tetapi lebih dari itu merupakan emansipasi peradaban Tauhid. Maka hakekat Hijrah merupakan transferabilitas “minadzzulumati ilan-nuur”, perubahan dari kegelapan kepada cayaha yang terbenderang, dari ketidakberdayaan das Es kepada emansipasi das Ueber Ich dan berpuncak pada das Ich yang tertinggi.
Dari menyembah Ba’al dan berhala-berhala adonan yang nista dan mati serta menggambarkan zaman kebodohan takhayul kepada menyembah Allah Yang Maha Esa yang meliputi segalanya, menggambarkan zaman kebangkitan akal dan iman manusia untuk mencapai emansipasi tertinggi dalam kehidupan dan keabadian akhirat yang transcendent. Saya ucapkan “Selamat Tahun Baru Hijriyah 1 Muharam 1426 H”.


Ba’al El Elyon.
Peringatan 1 Muharam tidak berkaitan dengan peribadatan. Penanggalan Hijriyah ditetapkan oleh Khalifah Umar bin Khattab r.a. berdasarkan peredaran bulan (qomariyah) dimulai dari persitiwa Hijrah. Akibatnya peristiwa2 sebelum Hijrah tidak tercover secara akurat dalam penanggalan Hijriyah. Seandinya saya hidup dizaman itu, akan saya usulkan kalender Islam mulai dari saat turunnya Wahyu yang pertama, dan dinamakan kelender Nubuat. Dengan demikian seluruh masa dan peristiwa kenabian Rasulullah SAW tercover dengan lebih akurat. Sekian, terima kasih.

Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi Sabilih,

Wassalamu’alaikum War. Wab.
Jakarta, 11 Februari 2005,
Pengasuh,
KH. AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front Persatuan Nasional.