11.7.17

Pengajian Keseratus Tigabelas (113)


Pengajian Keseratus Tigabelas (113)

Oleh : KH. Agus Miftach

Penutupan Ramadhan 1427,

Assalamu’alaikum War. Wab.
Bismillahirrahmanirrahiem,

“Dan mereka berkata,”Tak akan masuk surga kecuali orang yang beragama Yahudi atau Nasrani,” Itulah angan-angan mereka. Katakanlah,”Kemukakanlah penjelasanmu, jika kamu orang yang benar,’(111) Bahkan yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia berbuat baik, maka baginya imbalannya pada sisi Allah dan tiada kekhawatiran atas mereka dan tidak juga mereka bersedih hati. (112) Kaum Yahudi berkata,”Kaum Nasrani itu tidak memiliki pegangan apapun,”padahal mereka membaca Al-Kitab. Demikian pula ucapan orang-orang yang tidak mengetahui mengatakan seperti ucapan mereka. Allah akan menghakimi diantara merekan pada hari kiamat ihwal apa yang dahulu mereka perselisihkan. (113) : Al-Baqoroh 111-113.

Seperti tradisi pengajian ini, kita akan membahas ketiga ayat ini dengan pendekatan ekelektik multiperspektif,  baik dari perspektif teologis, antropologis, maupun historiografis dan psikologis dll secara komprehensif dan holisistis, agar memperoleh kedalaman dan hikmah yang setinggi-tingginya dari kandungan ayat-ayat ini.

Pokok Bahasan

Ungkapan ayat 111 tentang klaim kaum Yahudi dan Nasrani bahwa hanya penganut agama mereka sajalah yang bakal masuk surga, bukan monopoli Yahudi dan Nasrani. Semua agama dan budaya memiliki etnosentrisme seperti itu. Agak mengherankan, para mufassir mengemukakan Allah murka dengan klaim mereka itu dan akan menyiksa mereka karena dianggap telah melakukan dosa besar. Secara keseluruhan Ibnu Katsir menampilkan figur ilahi yang picik dan dzalim dalam penafsiran ayat ini.

Abul-Aliyah mengatakan,”Itu angan-angan yang mereka dambakan dari Allah tanpa alasan yang benar.”. Kalimat “Qul haatuu burhaanakum…dst….”: “Katakanlah,”Kemukakanlah penjelasanmu…dst….” Merupakan bentuk penolakan terhadap klaim tersebut.

Ayat 112 menyatakan bahwa mereka yang mendapat surga adalah orang-orang yang berserah diri kepada Allah dan beramal saleh. Sa’id bin Juber merinci, ikhlas karena Allah dan sesuai dengan syariat. Ketentuan ini menjadi beraroma chauvinis dengan Hadiest,”Man ‘amila ‘amalan laisa ‘alaihi amrunaa fahuwa roddu” : “Barangsiapa yang melakukan suatu amal yang tiada sejalan dengan perintah kami,maka amal itu tertolak.”;  (HR. Muslim).
Ibnu Katsir menambahkan dengan prinsip tauhid, sebagai prasyarat peribadatan yang diterima Allah swt.

Kaum Yahudi berkata,”Kaum Nasrani tidak memiliki pegangan apapun.” Sebaliknya kaum Nasrani menyanggah,”Kaum Yahudi tidak memiliki pegangan apapun.”

Dikemukakan Ibnu Ishak dari Ibnu Abbas,”Tatkala orang-orang Nasrani Najran menemui Rasulullah saw, datang pula para pendeta Yahudi. Kemudian kedua kelompok itu berselisih di hadapan Rasulullah saw. Lebih lanjut Ibnu Abbas berkata,”Masing-masing kelompok membaca melalui kitab masing-masing yang membenarkan  kekafiran masing-masing.” Ibnu Katsir mengatakan, Allah akan menghakimi diantara mereka pada hari kiamat ihwal apa yang mereka perselisihkan dengan hukumNya yang adil. Kalimat,”…fallahu yahkumu bainahum…” : “….maka Allah akan menghakimi diantara mereka…”, pada ayat 113 menegaskan prinsip peradilan final yang bersifat transenden tsb.

Fragmentasi diatas menggambarkan perpecahan dan pertentangan ideologis ketiga agama samawi yang berasal dari akar yang sama itu. Selama 1500 th pertentangan dan perpecahan itu mengalami pasang surut dari zaman ke zaman dalam kesejarahan dunia.

Penindasan Katolik terhahadap Yahudi

Pada abad ke-16 penguasa Kristen-Katolik memberlakukan segregasi bagi kaum Yahudi. Pada masa itu tidak  ada seorang Yahudipun boleh tinggal diluar daerah khusus Yahudi yang dikenal dengan nama “ghetto”, yang merupakan bentuk pengucilan dalam pola kehidupan yang tertutup. Ini meningkatkan prasangka anti-Semit dikalangan non-Yahudi. Sebaliknya kaum Yahudi memandang dunia non-Yahudi sebagai suatu kekejaman dan kepahitan serta penuh dengan kecurigaan.

Ghetto merupakan dunia tersendiri; kaum Yahudi memiliki sekolah, institusi sosial dan amal, rumah pemandian, pemakaman, dan rumah jagalnya sendiri. Ghetto merupakan daerah otonom yang mandiri, diperintah oleh Kheila (pemerintahan komunal) yang terdiri para rabi dan sesepuh yang dipilih yang menjalankan hukum Yahudi. Ghetto menjadi seperti negara dalam negara. Ghetto biasanya berlokasi di daerah kumuh dan tidak sehat, dikelilingi dinding tinggi, padat dan tanpa kemungkinan perluasan kawasan. Bahkan di ghetto-ghetto besar seperti di Roma dan Venesia tidak tersedia ruang untuk taman dan kebun.

Orang-orang Yahudi kemudian membangun gedung-gedung bertingkat agar dapat memuat kerabat lebih banyak, dengan kualitas yang tidak begitu baik. Bahaya kebakaran dan penyakit selalu mengancam ghetto. Segregasi ini diikuti pula berbagai tindakan ras-diskriminasi, bahkan orang Yahudi diwajibkan mengenakan pakaian yang khas yang menunjukkan bahwa mereka itu Yahudi. Mereka dikenai pembatasan ekonomi sehingga ruang geraknya terbatas pada sektor kaki lima dan penjahit. Yahudi dilarang melakukan perdagangan komersial skala besar. Banyak diantara mereka kemudian jatuh menjadi pengemis. Terisolasi dengan ketertinggalan sosial ekonomi, budaya dan pendidikan menjadi target penguasa katolik untuk menghancurkan peradaban Yahudi dan pada akhirnya membinasakan ras Yahudi.

Islam lebih toleran

Kaum Yahudi di dunia Islam  tidak mengalami pembatasan seperti itu. Mereka diberi status dzimmi (minoritas yang dilindungi), suatu status yang memberikan perlindungan militer dan sipil selama mereka menghormati hukum dan supremasi negara Islam. Tidak ada Yahudi yang dibantai di negara Islam, juga tidak ada tradisi anti-Semitisme. Meskipun para dzimmi merupakan warganegara kelas dua, mereka diberi kebebasan penuh untuk menjalankan urusan mereka sesuai dengan hukum masing-masing.

Meskipun tetap menginginkan emansipasi lebih luas, jika dibandingkan kaum Yahudi di Eropa, kaum Yahudi di wilayah Islam lebih mampu berpartisipasi dalam perdagangan dan kebudayaan. Pada zaman inilah seorang tokoh besar Yahudi Shabbetai yang bahkan dianggap sebagai tokoh suci Messianic masuk Islam yang diikuti oleh kelompok kelompok Yahudi yang secara spiritual berkiblat kepadanya. Shabbetai menjadi penasihat Sultan Utsmaniyah untuk urusan Yahudi.

Menurut Shabbetai yang sebelumnya merupakan Mesiah Qabbala Lurianik, agama Islam adalah “kebenaran sejati”, dan dia meyakini bahwa dirinya diutus sebagai Mesiah Yahudi menurut jalan Islam. Shabbetai almaghfurlah wafat pada tgl. 17 September 1676 dengan penghormatan dari Sultan Utsmaniyah. Sekte Shabbetai yang merupakan sinkretisme Islam-Yahudi tetap hidup di Turki dan Balkan hingga masa sekarang. Sekian, selamat memasuki penggalan akhir bulan suci Ramadhan, semoga terbebas dari penjara hawa nafsu. Dengan ini sekaligus saya tutup masa pengajian periode 2005/2006, dan dibuka kembali pada akhir Syawal yad, untuk periode 2006/2007.

Selamat ‘Iedul Fitri, 1 Syawal 1427 H, mohon maaf lahir batin; Selamat Lebaran; Iedun Mubarak.

Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi Sabilih
Wassalamu’alaikum War. Wab.

Bogor, 14 Oktober 2006,
Pengasuh,

KH. AGUS MIFTACH

Ketua Umum Front Persatuan Nasional

Tidak ada komentar:

Posting Komentar