Pengajian Keseratus Tigabelas (113)
Oleh : KH. Agus Miftach
Penutupan Ramadhan 1427,
Assalamu’alaikum War. Wab.
Bismillahirrahmanirrahiem,
“Dan mereka berkata,”Tak akan masuk surga
kecuali orang yang beragama Yahudi atau Nasrani,” Itulah angan-angan mereka.
Katakanlah,”Kemukakanlah penjelasanmu, jika kamu orang yang benar,’(111) Bahkan
yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia berbuat baik, maka baginya
imbalannya pada sisi Allah dan tiada kekhawatiran atas mereka dan tidak juga
mereka bersedih hati. (112) Kaum Yahudi berkata,”Kaum Nasrani itu tidak
memiliki pegangan apapun,”padahal mereka membaca Al-Kitab. Demikian pula ucapan
orang-orang yang tidak mengetahui mengatakan seperti ucapan mereka. Allah akan
menghakimi diantara merekan pada hari kiamat ihwal apa yang dahulu mereka
perselisihkan. (113) : Al-Baqoroh 111-113.
Seperti tradisi pengajian ini, kita akan
membahas ketiga ayat ini dengan pendekatan ekelektik multiperspektif, baik dari perspektif teologis, antropologis,
maupun historiografis dan psikologis dll secara komprehensif dan holisistis,
agar memperoleh kedalaman dan hikmah yang setinggi-tingginya dari kandungan
ayat-ayat ini.
Pokok Bahasan
Ungkapan ayat 111 tentang klaim kaum Yahudi
dan Nasrani bahwa hanya penganut agama mereka sajalah yang bakal masuk surga,
bukan monopoli Yahudi dan Nasrani. Semua agama dan budaya memiliki
etnosentrisme seperti itu. Agak mengherankan, para mufassir mengemukakan Allah
murka dengan klaim mereka itu dan akan menyiksa mereka karena dianggap telah melakukan
dosa besar. Secara keseluruhan Ibnu Katsir menampilkan figur ilahi yang picik
dan dzalim dalam penafsiran ayat ini.
Abul-Aliyah mengatakan,”Itu angan-angan yang
mereka dambakan dari Allah tanpa alasan yang benar.”. Kalimat “Qul haatuu
burhaanakum…dst….”: “Katakanlah,”Kemukakanlah penjelasanmu…dst….” Merupakan
bentuk penolakan terhadap klaim tersebut.
Ayat 112 menyatakan bahwa mereka yang
mendapat surga adalah orang-orang yang berserah diri kepada Allah dan beramal
saleh. Sa’id bin Juber merinci, ikhlas karena Allah dan sesuai dengan syariat.
Ketentuan ini menjadi beraroma chauvinis dengan Hadiest,”Man ‘amila ‘amalan
laisa ‘alaihi amrunaa fahuwa roddu” : “Barangsiapa yang melakukan suatu amal
yang tiada sejalan dengan perintah kami,maka amal itu tertolak.”; (HR. Muslim).
Ibnu Katsir menambahkan dengan prinsip
tauhid, sebagai prasyarat peribadatan yang diterima Allah swt.
Kaum Yahudi berkata,”Kaum Nasrani tidak
memiliki pegangan apapun.” Sebaliknya kaum Nasrani menyanggah,”Kaum Yahudi
tidak memiliki pegangan apapun.”
Dikemukakan Ibnu Ishak dari Ibnu
Abbas,”Tatkala orang-orang Nasrani Najran menemui Rasulullah saw, datang pula
para pendeta Yahudi. Kemudian kedua kelompok itu berselisih di hadapan
Rasulullah saw. Lebih lanjut Ibnu Abbas berkata,”Masing-masing kelompok membaca
melalui kitab masing-masing yang membenarkan
kekafiran masing-masing.” Ibnu Katsir mengatakan, Allah akan menghakimi
diantara mereka pada hari kiamat ihwal apa yang mereka perselisihkan dengan
hukumNya yang adil. Kalimat,”…fallahu yahkumu bainahum…” : “….maka Allah
akan menghakimi diantara mereka…”, pada ayat 113 menegaskan prinsip
peradilan final yang bersifat transenden tsb.
Fragmentasi diatas menggambarkan perpecahan
dan pertentangan ideologis ketiga agama samawi yang berasal dari akar yang sama
itu. Selama 1500 th pertentangan dan perpecahan itu mengalami pasang surut dari
zaman ke zaman dalam kesejarahan dunia.
Penindasan Katolik terhahadap Yahudi
Pada abad ke-16 penguasa Kristen-Katolik
memberlakukan segregasi bagi kaum Yahudi. Pada masa itu tidak ada seorang Yahudipun boleh tinggal diluar
daerah khusus Yahudi yang dikenal dengan nama “ghetto”, yang merupakan
bentuk pengucilan dalam pola kehidupan yang tertutup. Ini meningkatkan
prasangka anti-Semit dikalangan non-Yahudi. Sebaliknya kaum Yahudi memandang
dunia non-Yahudi sebagai suatu kekejaman dan kepahitan serta penuh dengan
kecurigaan.
Ghetto merupakan dunia tersendiri; kaum
Yahudi memiliki sekolah, institusi sosial dan amal, rumah pemandian, pemakaman,
dan rumah jagalnya sendiri. Ghetto merupakan daerah otonom yang mandiri,
diperintah oleh Kheila (pemerintahan komunal) yang terdiri para rabi dan
sesepuh yang dipilih yang menjalankan hukum Yahudi. Ghetto menjadi seperti
negara dalam negara. Ghetto biasanya berlokasi di daerah kumuh dan tidak sehat,
dikelilingi dinding tinggi, padat dan tanpa kemungkinan perluasan kawasan.
Bahkan di ghetto-ghetto besar seperti di Roma dan Venesia tidak tersedia ruang
untuk taman dan kebun.
Orang-orang Yahudi kemudian membangun
gedung-gedung bertingkat agar dapat memuat kerabat lebih banyak, dengan
kualitas yang tidak begitu baik. Bahaya kebakaran dan penyakit selalu mengancam
ghetto. Segregasi ini diikuti pula berbagai tindakan ras-diskriminasi, bahkan
orang Yahudi diwajibkan mengenakan pakaian yang khas yang menunjukkan bahwa
mereka itu Yahudi. Mereka dikenai pembatasan ekonomi sehingga ruang geraknya
terbatas pada sektor kaki lima dan penjahit. Yahudi dilarang melakukan
perdagangan komersial skala besar. Banyak diantara mereka kemudian jatuh
menjadi pengemis. Terisolasi dengan ketertinggalan sosial ekonomi, budaya dan
pendidikan menjadi target penguasa katolik untuk menghancurkan peradaban Yahudi
dan pada akhirnya membinasakan ras Yahudi.
Islam lebih toleran
Kaum Yahudi di dunia Islam tidak mengalami pembatasan seperti itu.
Mereka diberi status dzimmi (minoritas yang dilindungi), suatu status
yang memberikan perlindungan militer dan sipil selama mereka menghormati hukum
dan supremasi negara Islam. Tidak ada Yahudi yang dibantai di negara Islam,
juga tidak ada tradisi anti-Semitisme. Meskipun para dzimmi merupakan
warganegara kelas dua, mereka diberi kebebasan penuh untuk menjalankan urusan
mereka sesuai dengan hukum masing-masing.
Meskipun tetap menginginkan emansipasi lebih
luas, jika dibandingkan kaum Yahudi di Eropa, kaum Yahudi di wilayah Islam
lebih mampu berpartisipasi dalam perdagangan dan kebudayaan. Pada zaman inilah
seorang tokoh besar Yahudi Shabbetai yang bahkan dianggap sebagai tokoh
suci Messianic masuk Islam yang diikuti oleh kelompok kelompok Yahudi yang
secara spiritual berkiblat kepadanya. Shabbetai menjadi penasihat Sultan
Utsmaniyah untuk urusan Yahudi.
Menurut Shabbetai yang sebelumnya
merupakan Mesiah Qabbala Lurianik, agama Islam adalah “kebenaran
sejati”, dan dia meyakini bahwa dirinya diutus sebagai Mesiah Yahudi menurut
jalan Islam. Shabbetai almaghfurlah wafat pada tgl. 17 September 1676 dengan
penghormatan dari Sultan Utsmaniyah. Sekte Shabbetai yang merupakan sinkretisme
Islam-Yahudi tetap hidup di Turki dan Balkan hingga masa sekarang. Sekian,
selamat memasuki penggalan akhir bulan suci Ramadhan, semoga terbebas dari
penjara hawa nafsu. Dengan ini sekaligus saya tutup masa pengajian periode
2005/2006, dan dibuka kembali pada akhir Syawal yad, untuk periode 2006/2007.
Selamat ‘Iedul Fitri, 1 Syawal 1427 H, mohon
maaf lahir batin; Selamat Lebaran; Iedun Mubarak.
Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi Sabilih
Wassalamu’alaikum
War. Wab.
Bogor, 14 Oktober
2006,
Pengasuh,
KH. AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front
Persatuan Nasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar