11.7.17

Pengajian Keseratus Empat Belas (114),






Pengajian Keseratus Empat Belas (114),

Assalamu’alaikum War. Wab,
Bismillahirrahmanirrahiem,







Dan tiada yang lebih dzalim daripada orang yang merintangi penyebutan nama Allah di masjid-masjidNya dan dia berusaha menghancurkannya. Mereka tidak layak untuk memasukinya kecuali dengan rasa takut. Bagi mereka adalah kehinaan dalam kehidupan dunia, dan bagi mereka azab yang besar pula di akhirat; Al-Baqoroh 114.

Seperti tradisi pengajian selama ini, kita akan membahas ayat diatas dengan pendekatan eklektik multiperspektif, baik dari perspektif teologis, antropologis, maupun  historiografis dan psikologis, secara holisits, untuk memperoleh kajian yang komprehensif dan mencapai hikmah yang setinggi-tingginya dari kandungan ayat ini.

Pokok Bahasan
Ibnu Katsir dan Jalalain menerangkan bahwa para mufassir berikhtilaf (berbeda pendapat) mengenai penafsiran ayat ini. Sebagian mufassir berpendapat ayat ini berkaitan dengan peristiwa yang terjadi di Baitul Maqdis (Haekal Sulaiman) di Jerusalem, sebagian lagi berpendapat berkaitan dengan Masjidil Haram di Mekah. Dalam kaitan dengan pendapat pertama Ibnu Katsir mengemukakan, “yang dimaksud orang-orang yang merintangi masuk ke masjid-masjid  Allah dan mereka berusaha untuk merobohkannya”, ialah ‘kaum Nasrani yang membantu Bukhtunnashr dalam merobohkan Baitul Maqdis. Ini jelas pendapat yang keliru, yang dimaksud Bukhtunnashr adalah Nebukadnezar kaisar Babilonia yang meruntuhkan Jerusalem dalam dua kali penyerbuan, yaitu pada th. 597 SM dan pada th. 586 SM. Semua tentu mafhum bahwa pada masa abad ke 6 SM itu Nabi Isa belum lahir dan tentu saja belum ada agama Nasrani. Jadi bagaimana mungkin ada kaum Nasrani yang membantu Bukhtunnashr ?
Sementara itu Jalalain berspekulasi dalam dua peristiwa, yaitu, “orang-orang Romawi yang telah merobohkan Baitulmaqdis atau orang-orang musyrik Mekah yang menghalangi Nabi saw ketika mengunjungi Baitullah pada masa perjanjian Hudaibiah”.
Tentang orang-orang Romawi, sejarah mencatat Panglima Titus (kemudian menjadi kaisar 79-81 M) menghadapi pemberontakan total kaum fundamentalis Yahudi pada th. 65-75 M yang memusatkan seluruh perlawanan heroik terakhir mereka di Haekal Sulaiman (Baitul Maqdis) di bukit Zion. Panglima Titus yang berkesimpulan bahwa sumber kekuatan Yahudi adalah Haekal Sulaiman,  pada th. 70 M menghancurleburkan Haekal Sulaiman secara total, hingga tinggal puing belaka.
Adapun mengenai pendapat kedua yang berkaitan dengan Masjidil Haram di Mekah, Ibnu Abu Hatim mengemukakan, “bahwa orang-orang Quraisy melarang Nabi saw mengerjakan sholat disisi Ka’bah Masjidil Haram, maka turunlah ayat,’Dan tiadalah yang lebih dzalim daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjidNya..’ sampai akhir ayat Al Baqoroh 114. Ibnu Jarir dari Ibnu Zaid mengatakan, “ayat ini turun mengenai orang-orang muysrik, yakni ketika mereka menghalangi Rasulullah saw memasuki Mekah pada masa berlakunya perjanjian Hudaibiah’.
Jumhur mufassirin berpendapat bahwa, yang dimaksud lafadh “wa man adhlamu …hingga ……wa sa’aa fie khorobihaa” : “Dan tiadalah yang lebih dzalim……hingga…..berusaha menghancurkan masjid-masjid Allah” lebih mengacu kepada bangsa Romawi (Panglima Titus th. 70 M) daripada Quraisy Mekah yang faktanya tidak pernah merobohkan Masjidil-Haram, kecuali hanya menghalang-halangi peribadatan Rasulullah saw dan kaum Muslimin saja.
Jika konsisten dengan model penafsiran ini, maka ayat ini mengacu pada penyerbuan Nebukadnezar kaisar paganis dari Babilonia dan penyerbuan Panglima Titus yang juga paganis dari Romawi ke Jerusalem, masing-masing pada abad ke 6 SM dan th. 70 M, dan semua perilaku sejenis, termasuk penghancuran masjid-masjid di zaman modern ini, seperti penghancuran Mesjid-mesjid Ahmadiyah dan Mesjid-mesjid lain diberbagai wilayah di tanah air dan terakhir penghancuran Masjid di Samarang, Garut ini tgl. 11-12 Nopember yang lalu. Ayat ini ditutup dengan kalimat, “…lahum fiddunya khizyun wa lahum fil-akhiroti ‘adzabun ‘adziem(un)” : “Bagi mereka adalah kehinaan dalam kehidupan dunia , dan bagi mereka adzab yang besar pula di akhirat”. Ini merupakan pembelaan transcendental bagi kaum yang beriman yang bersujud di masjid-masjid Allah sekaligus serangan balasan bagi kaum penyerang. Tentu tidak dapat dipahami begitu saja secara harafiah karena ini menyangkut dunia dan akhirat, tentu tidak bisa dengan pendekatan logika materiil belaka, tetapi lebih kepada pendekatan psikologis yang lebih bersifat ruhaniyat atau transenden.

Menghancurkan Masjidil Aqsha
Baitul Maqdis (Bait Suci) atau Masjidil Aqsha (Masjid yang jauh) dikalangan Yahudi disebut Haekal Sulaiman atau Haekal Yahweh, dibangun pada masa kekuasaan Raja Sulaiman (970-930 SM).
Menurut peta bumi, wilayah yang dahulu disebut Babilonia itu sekarang adalah Irak. Babilonia yang waktu itu merupakan imperium dunia yang terkuat dipimpin oleh Kaisar Nebukadnezar yang menaklukkan Jerusalem dan menjarah serta menghancurkan Masjidil Aqsha pada abad ke 6 SM dalam dua kali penyerbuan seperti diterangkan didepan. Artinya ras yang kemudian dapat kita sebut sebagai Arab-Parsi yang mayoritasnya kini menganut agama Islam, 2600 th y.l pernah menghancurkan Masjidil Aqsha. Pada zaman itu, Babilonia menganut paganisme agama matahari dengan tuhan tertingginya Dewa Marduk. Maka pada abad ke 6 SM itu bergema di seluruh Babilon, bahwa Marduk telah mengalahkan Yahweh tuhan Bani Israil. Jika kita menganut aliran pemikiran jumhur mufassirin diatas, maka adzab yang menimpa bangsa Irak sekarang ini tidak terlepas dari tindakan bangsa itu menghancurkan Masjidil Aqsha 2600 th y,l yang dijanjikan azab dunia dan akherat oleh ayat didepan.
Selama lebih 500 th upaya untuk mengembalikan keagungan Haekal Sulaiman atau Masjidil Aqsha oleh berbagai pemuka Bani Israil di Jerusalem mengalami kegagalan. Baru pada akhir abad ke 1 SM, ketika Jerusalem diperintah oleh Herod the Great (37-4 SM) Gubernur Yudea bentukan Romawi, Masjidil Aqsha memperoleh keagungannya kembali, meski tanpa Tabut Perjanjian yang lenyap sejak penyerbuan pertama Nebukadnezar pada th. 597 SM.



Kemunculan Yesus Al-Masih a.s.
Yesus Al-Masih a.s. menyatakan Yahweh akan membangun Haekal (Masjid) baru di Jerusalem di mana Dia akan disembah semua bangsa. Yesus menafikkan kemegahan Masjidil-Aqsha  yang dibangun Herodes dan akan menggantikannya dengan sebuah tempat yang kudus yang tidak dibuat oleh tangan manusia. Ini menyulut ketegangan antara Herodes dan Romawi disatu pihak versus Yesus Al-Masih dan para muridnya dilain pihak, yang berpuncak pada perintah Penguasa Romawi di Jerusalem Pontius Pilatus untuk menangkap Yesus dan membiarkan para muridnya pada hari pertama festival Sukkoth (hari raya Yahudi). Tuduhan bahwa Yesus bermaksud menghancurkan Baitul Maqdis (Bait Suci) tidak terbukti sehingga dicabut. Adalah Kafayas yang berhasil meyakinkan tuduhan blasphemy (penghujatan) yang mengantarkan Yesus ke tiang Salib. Pilatuslah yang memerintahkan Yesus memanggul salibnya dari Praetorium ke bukit Golgotha (tempat tengkorak) untuk kemudian dieksekusi disana bersama kedua bandit. Adalah Yusuf dari Arimatea anggota Sandherin (konsili para pendeta Yahudi) yang mendapat izin dari Pilatus untuk mengubur Yesus di sepulchers (makam gua) yang menjadi milik pribadinya yang baru dibuatnya yang dilaksanakan dengan tergesa-gesa segera setelah hari Sabbath dengan upacara sederhana menurut tradisi Yahudi. Betapapun  Yesus adalah bangsawan Yahudi. Ternyata masalah tak berakhir disini, timbul rumor dikalangan para murid dan kerabatnya bahwa Yesus bangkit dari kematian sebagai Mesiah bagi penebusan dosa yang akan datang. Kematian yang memalukan di kayu salib berganti dengan kisah transenden seorang Mesiah agung yang menyelamatkan manusia dari dosa. Banyak yang percaya dan menjadi pengikut keyakinan itu,bahkan Gamaliel seorang tokoh Sandherin mengakui gerakan para pengikut Yesus sebagai “gerakan otentik Yahudi”.  Para murid Yesus tetap beribadah dalam lingkup agama Yahudi, mereka tidak mendirikan agama baru. Tetapi keharmonisan ini tidak berlangsung lama, pada th. 36 M seorang pemimpin kharismatis Yahudi diaspora dari Yunani Stefanus tiba di Jerusalem. Ia menyampaikan khotbahnya yang hebat di Baitul Maqdis yang menimbulkan kegemparan besar di Jerusalem yang kemudian diabadikan oleh para pengikut Yesus sebagai Act of the Apostles (Kisah para Rasul). Terjadi bentrokan antara Stefanus dengan Sandherin yang berakhir dengan perajaman Stefanus hingga mati dan pengusiran para pengikut Yesus keluar dari Jerusalem. Dalam pelarian di Antiokhia-lah pertama kali pengikut Yesus disebut Kristen karena di kota itulah pertama kali mereka menyebut Yesus sebagai Christos. Di kota ini pula seorang Yahudi diaspora Paulus dari Tarsus yang sangat menentang gerakan orang-orang Kristen beralih menjadi pendukung karena visi transenden (kasyaf) yang diterimanya yang sekaligus mengubah teologi kekristenan yang berbeda dari para murid tradisional Yesus. Konsep Paulus memberikan cetak biru bagi teologi revisionis Kristen yang lebih modern. Sempat terjadi bentrokan antara pengikut Paulus sang Musafir dengan sekte ortodoks pimpinan James the Tzaddik yang berpangkalan di Masjidil-Aqsha. Namun ajaran Paulus yang lebih hakiki tanpa keterikatan jasmaniah dengan gereja atau tempat suci manapun secara fisik, menjadikannya lebih memiliki daya magnetic daripada gerakan ortodoks yang berinduk di Baitul-Maqdis dengan simbol-simbol materiil Yahudi lama.
Pada th. 58 M Paulus tiba di Masjidil-Aqsha pada masa Festival Pantekosta yang seperti kehadiran Yesus dan Stefanus dirasakan sebagai ancaman politik, maka segera menyulut kerusuhan yang direkayasa yang mengakibatkan dia ditangkap oleh penguasa Romawi dan meninggal dalam penyiksaan dalam masa kekuasaan kaisar Nero pada th. 64. Paulus dianggap telah membahayakan kesucian Baitul Maqdis di bukit Zion. Namun ajarannya kemudian berkembang menjadi mainstream bagi  kebenaran visi-kekristenan dikalangan Yahudi diaspora dan kemudian non-Yahudi diseluruh dunia dan menjadi dasar klaim atas Baitul Maqdis dikemudian hari. Jelas tidak ada bukti kaum Nasrani terlibat penghancuran Masjidil Aqsha seperti disebut-sebut Tafsir Ibnu Katsir tanpa dasar sama sekali.

Dihancurkan oleh Romawi.
Pada th. 41 Kaisar Romawi Gaius Caligula memerintahkan patungnya didirikan di tempat suci di Jerusalem, yakni di Haekal Sulaiman atau di Masjidil Aqsha, yang mendapat tantangan keras dari masyarakat Yahudi. Caligula mengancam akan menawan seluruh Yahudi Jerusalem, yang dijawab Yahudi dengan tidak menuai hasil panen agar Romawi tidak bisa memungut pajak. Bani Israil penuh keyakinan Yahweh menyertai mereka membela kesucian Baitul Maqdis dari penodaan oleh Caligula. Faktanya Gaius Caligula terbunuh di Roma. Untuk meredakan ketegangan ini, Claudius pengganti Caligula menunjuk cucu laki-laki Herodes, Agrippa menjadi Raja Yudea yang memerintah dengan cukup baik. Pada th. 44 Agrippa wafat dan digantikan putranya Agrippa II yang masih anak-anak. Romawi mengirim seorang procurator sebagai pelaksana administrasi yang lebih berkuasa, yang banyak ditentang kalangan Yahudi. Pada th. 62 terjadi bentrokan antara tentara Romawi dengan Yahudi partisan pro kemerdekaan yang mengakibatkan 5000 tentara Romawi asal Syria terbunuh di Emmaus. Munculnya pemimpin radikal Zelot menciptakan situasi eksplosif di Jerusalem. Dalam masa itu juga terjadi ketegangan antara kalangan Kristen Yahudi dengan Ortodoks Yahudi. Bahkan pada th. 62 pemimpin Kristen-Yahudi James the Tzaddik di hukum mati oleh imam tinggi Sandherin dengan alasan melanggar hukum Romawi. Akibatnya kaum Kristen-Yahudi eksodus meninggalkan Jerusalem. Setelah itu kaum Yahudi membangun tembok benteng di Bezetha dan persiapan melawan Romawi berada pada kesiagaan tertinggi. Th. 67 Jenderal Vaspasianus panglima Romawi yang tercakap tiba di Yudea atau yang sekarang dikenal sebagai Palestina dan secara sistematis melumpuhkan kantung-kantung resistansi di Galilea. Th. 70 Jenderal Vaspasianus diangkat menjadi Kaisar Romawi, dan sebelum kembali ke Roma ia meninggalkan putranya Jenderal Titus untuk menangani “Jewish War” (Perang Yahudi). Februari 70 Titus memulai serangan besar ke Jerusalem. Yahudi yang terpukul diseluruh medan pertempuran pada bulan Mei memusatkan kekuatannya di Masjidil Aqsha atau Baitul Maqdis. Juli 70 setelah merebut Antonia, pasukan Titus membombardir Masjidil Aqsha. Pada 6 Agustus 70, Zelot dan pasukan fundamentalisnya sudah hampir binasa di Baitul Maqdis. Pada 28 Agustus pasukan Jenderal Titus mendobrak bagian bagian terdalam dari Masjidil Aqsha yang mendapat perlawanan hebat dari 6000 tentara partisan Yahudi yang bertekad membela kesucian Masjidil Aqsha sampai mati (syahid) (vide, Dio Cassius w.230). Ketika sudah terkepung total para mujahid Yahudi itu tetap menolak menyerah dan mereka rela mati syahid hangus terbakar bersama berkobarnya Masjidil Aqsha yang dibakar ludes oleh pasukan Jenderal Titus. Panglima Titus memerintahkan penghancuran semua yang tersisa dari Masjidil Aqsha, namun satu bagian, yaitu Tembok Barat yang disebut Devir atau the Holy of Holies yang merupakan symbol kehadiran ilahi masih berdiri, diantaranya terdapat pula Batu Karang Suci Ya’qub (Matzevot) yang konon menjadi tangga Mi’raj Rasulullah saw pada th. 621 M yang kemudian dididirkan bangunan indah diatasnya oleh Khalif Abdul Malik al Marwan al-Umayyah (685-780) yang disebut Qubbet as-Sakhra atau Dome of the Rock (Kubah Karang), yang disucikan baik oleh kaum Muslimin maupun kaum Yahudi. Jadi jelas yang pernah membinasakan Masjidil Aqsha adalah bangsa Babilonia (Arab-Irak/paganis) dan Romawi (Eropa/paganis), para penyembah berhala yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya.     Nah, jenis itu pulalah yang menghancurkan masjid-masjid kaum Muslimin termasuk masjid Samarang,Garut di zaman ini. Allah akan membalasi mereka seperti janjiNya pada ayat ini. Allah tidak pernah mengingkari janjiNya. Ied Mubarak, Syawal 1427 H, mohon maaf lahir dan batin. Terima Kasih.

Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi Sabilih,
Wassalamu’alaikum War. Wab.
Garut, 19 Nopember 2006.
Pengasuh,



KH. AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front Persatuan Nasional.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar