11.7.17

Pengajian Keseratus Sembilan (109),


Pengajian Keseratus Sembilan (109),

Oleh : KH. Agus Miftach

Assalamu’alaikum War. Wab,
Bismillahirrahmanirrahiem,

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengatakan (kepada Muhammad),”Raa’ina,” tetapi katakanlah,”Unzhurnaa,” dan dengarlah. Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih. (104) Orang-orang Kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya suatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu. Dan Allah menetukan siapa yang dikehendakiNya (untuk diberi) rahmatNya (kenabian), dan Allah mempunyai karunia yang besar. (105)” : Al-Baqoroh : 104-105.

Seperti tradisi pengajian ini, kita akan membahas kedua ayat diatas dengan pendekatan eklektik multiperspektif, baik dari perspektif teologi, antropologi, historiografi maupun psikologi secara holistis, untuk mencapai pandangan yang komprehensif dan hikmah yang setinggi-tingginya.

Pokok Bahasan

Kaum Yahudi sering berkata kepada Rasulullah,”Raa’ina” yang artinya “simaklah atau perhatikanlah kami”, yang secara implicit mengandung pengertian “membodohkan” atau menganggap “dungu” lawan bicara. Ini semacam pelecehan intelektual yang sering dilakukan kaum Yahudi kepada Nabi Muhammad SAW. Sebelum turunnya ayat ini, menurut Atha’, kalimat “raa’ina” banyak juga digunakan dalam dialek Anshar. Kata “raa’ina” berasal dari “muru’ah”, tetapi kaum Yahudi suka menyebutkan “ra’unah” yang dalam dialek mereka berarti “sangat bodoh” sebagai ejekan kepada Rasulullah SAW.

Ayat ini (104) melarang kaum Muslimin berucap dan berperilaku seperti orang-orang musyrik dan Yahudi yang selalu memiliki kejahatan yang tersembunyi. Sebaiknya menggunakan kalimat “Unzhurnaa” sebagai pengganti raa’ina yang pada dasarnya memiliki arti yang sama, namun unzhurnaa lebih mengandung kejujuran dan penghormatan kepada lawan bicara.
Demikian pula kalau mengucapkan salam, kaum Yahudi berucap “assamu’alaikum” yang artinya “kematian bagi kamu semua”. Rasulullah SAW memerintahkan kita untuk menjawab dengan kalimat,”wa’alaikum” saja, yang membalikkan makna kalimat itu kepada mereka sendiri.

Intinya hendaknya Kaum Muslimin berucap dan berperilaku yang jujur dan menghormati pihak lain, sehingga terciptalah hubungan timbal balik yang sehat dalam berbagai hubungan dalam kemasyarakatan, sehingga tercipta harmonisme sosial yang kondusif dan produktif.
Ayat 105 menggambarkan rasa permusuhan yang begitu mendalam kaum musyrikin dan Ahli Kitab terhadap Kaum Muslimin. Kaum musyrikin dimaksud kedua ayat 104 dan 105 ini menurut Jalalain adalah musyrikin Arab. Ayat 105 menekankan pemutusan hubungan, bahkan menurut Ibnu Katsir termasuk hubungan kasih sayang yang ada diantara kedua kelompok itu dengan Kaum Muslimin harus diputus.

Pendek kata harus terjadi totally-disconnection antara musyrikin/Ahli Kitab dengan muslimin. Ayat ini ditutup dengan kalimat, “wallaahu dzul-fadhlil-‘adziem” : “Allah mempunyai karunia yang besar”, menggambarkan kesempurnaan nikmat Allah yang diberikan kepada Kaum Muslimin berupa kenabian Muhammad SAW dan Syari’at Islam yang tuntas-sempurna. Dan karena itu Kaum Muslimin tidak perlu mengharapkan kebaikan apapun dari musyrikin dan Ahli Kitab yang kenyataannya hanya merupakan factor negative yang constant.

Substansi ayat tsb bersifat kasuistik, tidak berlaku atas semua peristiwa dan semua situasi. Ketika ayat-ayat itu turun, Kaum Muslimin yang masih belum berpengalaman tengah menghadapi tekanan, intrik dan berbagai rekayasa politik dari kalangan Yahudi dan musyrikin untuk memecah belah kaum Muslimin. Sikap menarik diri (etnosentrisme) dimaksudkan untuk mempertahankan keutuhan serta memperkokoh persatuan dan kesatuan dikalangan internal Muslimin.

Jerusalem dan al-Andalus.

Pada awal abad ke-7 ketika Khalif Umar ibn Khattab berhasil menaklukkan Jerusalem sikap etnosentrisme di zaman Nabi SAW sudah tidak terlihat lagi. Yang tampak adalan kearifan kosmosentris yang terbuka dan multikultur yang menampakkan keajaiban dan keagungan Islam. Demikian pula ketika Bani Umayyah menaklukkan Spanyol pada abad ke-9 dan mendirikan imperium al-Andalus yang termasyhur itu, sifat-sifat inward looking dan menarik diri seperti tercermin pada penafsiran kedua ayat diatas, tidak lagi terlihat.

Al-Andalus adalah imperium modern yang terbuka yang memberikan kebebasan bagi semua rakyatnya untuk memeluk agama dan keyakinannnya masing-masing. Dalam masa kejayaan al-Andalus, Muslim, Kristen dan Yahudi berdampingan secara damai, multikulturis-harmonis selama 6 abad hingga runtuhnya pada akhir abad 15 oleh serbuan dua penguasa katolik, Raja Ferdinand dari Aragon dan Ratu Isabella dari Castile. Ketika suami istri penguasa katolik dari Iberia itu melancarkan Inkuisisi yang kejam dimana bangsa Yahudi menjadi sasaran pembaptisan, pembunuhan dan pengusiran, maka berduyun-duyun kaum Yahudi Sefardik (Spanyol) mengungsi ke wilayah Imperium Utsmaniyah dan diterima dengan damai.

Jumlahnya pada tahap awal mencapai lebih 50.000 orang Yahudi. Sepanjang abad ke-15 itu etnik Yahudi di usir dari seluruh Eropa Barat, dan tempat pelarian mereka yang paling aman adalah wilayah Islam Utsmaniyah, sebuah Imperium modern yang menghargai multikultur dan menjunjung tinggi kebebasan spiritual. Sifat-sifat permusuhan Arabisme yang ekstrem terhadap Yahudi dan sebaliknya di zaman awal di Madinah yang banyak tercermin dalam kitab-kitab tafsir dan tarikh klasik, tidak tampak sepanjang zaman al-Andalus dan Turki Utsmaniyah.

Zaman keemasan Islam adalah zaman al-Andalus sealama 6 abad. Itulah kondisi ideal Islam yang melampaui zaman Rasulullah SAW yang penuh konflik dan pergolakan awal. Runtuhnya al-Andalus bahkan ditangisi kaum Yahudi di seluruh dunia, karena budaya dan peradaban Yahudi yang tumbuh di Sefardik (al-Andalus) ikut musnah, disusul kekejaman Inkuisisi Spanyol Katolik. Hal-ihwal ini sebenarnya sudah pernah kita bahas pada beberapa pengajian yang lalu.

Sekularisme awal

Awal sekulerism yang dipelopori kalangan Yahudi sebenarnya sudah mulai terjadi pada  abad ke 3 SM, yaitu ketika penerus kekuasaan Aleksander Agung, Ptolomeus mengijinkan orang-orang non-Yunani, termasuk Yahudi di Jerusalem yang berada dibawah kekuasaan Ptolomeus, masuk gymnasia untuk dididik literature Hellenistik-Yunani yang bersifat sekuler dan pelatihan-pelatihan fisik kemiliteran yang keras untuk mengembangkan pikiran dan tubuh secara simultan. Olympiade yang masih kita jalankan di zaman modern ini berasal dari peradaban Hellenis. Bergabungnya kalangan Yahudi ke dalam gymnasion telah menciptakan fusi yang unik antara budaya Yunani dan budaya Yahudi. Inilah awal sublimasi budaya Judeo-Griko yang kelak akan menjadi dasar peradaban Barat modern.

Arah sekulerisme menjadi sangat kuat setelah Inkuisisi Spanyol abad 15, ketika Ferdinand dan Isabella menginginkan kaum Yahudi menjadi kafir dan skeptis terhadap keyakinan agamanya. Tetapi sepanjang fakta sejarah yang kita temui, paksaan semacam itu adalah kontra produktif. Usaha memaksa manusia untuk menerima ideology dominan yang bertentangan dengan keyakinan mereka, atau sebelum mereka siap menerimanya, seringkali berujung munculnya ide dan praktek dalam bentuk lain yang menyimpang dari keinginan para penguasa. Praktek semacam ini juga terjadi di Indonesia ketika pemerintah dan MUI hendak memaksa Ahmadiyah meninggalkan keyakinannya atau meninggalkan agama Islam. Faktanya metode Inkuisisi Spanyol malah memunculkan organisasi Yahudi bawah tanah dan dideklarasikannya secularisme dan ateisme di Eropa. Bahkan timbul resistensi di kalangan Kristen sendiri terhadap tirani religius semacam itu, yang justru berdampak pada hilangnya keyakinan terhadap semua agama wahyu yang penuh kekerasan dan kekejaman itu.

80.000 Yahudi yang menolak pengkristenan dan melarikan diri ke Portugal dan mendapat perlindungan dari Raja Joao II, karena situasi yang menderanya merupakan benih sekulerisme dan ateisme yang tumbuh subur. Bahkan mereka yang ingin memeluk kembali agama tradisionalnya mengalami kesulitan karena tidak menemukan sarana dan sekte yang sesuai. Akibatnya pemahaman mereka terhadap agama Yahudi menjadi semakin dangkal.

Orang-orang Yahudi yang berpuluh tahun hidup dalam isolasi agama, terpaksa menggantungkan diri pada nalar rasional mereka, seperti dikatakan tokoh Yahudi marrano,Orobio yang hidup pada pertengahan abad 17 di Amsterdam yang mereka sebut sebagai Jeruslem baru, ”Sangat sulit manusia mengadopsi hukum tradisional Yahudi, suatu hukum yang tampaknya tidak masuk akal dan membebani.” Orang-orang Yahudi lalu belajar sains modern, seperti logika, fisika, matematika dan kedokteran yang waktu itu mereka jalani dengan kegamangan, tetapi yang terbukti kemudian berjasa bagi perkembangan peradaban dunia modern. Bagi para sekularis ini 613 perintah Pentateuch (5 kitab Perjanjian Lama) tampak arbitrer, misterius dan usang, seperti perintah penggarapan tanah pertanian di Tanah Suci dan liturgy di Kuil Agung yang tidak mungkin dipraktekkan dalam Diaspora.

Perintah-perintah seperti puasa dan hukum penyucian bagi orang-orang Yahudi yang sudah terbiasa rasional itu dirasa kejam dan tidak bermakna. Pandangan mereka terhadap Talmud yang tidak memiliki sanksi biblikal itu bahkan lebih rendah lagi. Namun, menurut antropolog wanita Inggris yang masyhur Karen Armstrong (2000), mitos filosofis pembebasan Musa dan Qabala Lurianik yang diawali dengan kekacauan dan derita keterasingan menuju pembebasan kosmik dan kebahagiaan, tetap hidup dalam ketidaksadaran kolektif orang-orang Yahudi.

Oleh sebab itu sekulerisme awal Yahudi tidak sepenuhnya sekuler menurut ukuran abad 20/21. Para Yahudi marrano mengembangkan pemikiran ketuhanan yang sepenuhnya rasional seperi Actus Purus-nya Aristoteles dimana Tuhan merupakan Sebab Pertama yang logic dan berperilaku sepenuhnya rasional. Tuhan tidak asal-asalan mencampuri sejarah manusia dengan mengubah hukum alam, membuat mukjizat aneh-aneh, membuat titah hukum aneh-aneh dari puncak gunung. Tuhan tidak akan mewahyukan code hukum khusus yang bertentangan dengan hukum alam yang diketahui semua orang. Tuhan bekerja dalam nalar-rasional. Ini merupakan bagian dari proses sekulerisasi dunia yang masih terus berlangsung. Pandangan teologi modern itu kemudian dikembangkan oleh para filsuf Yahudi dan Muslim, dan terus bergulat dengan faham ortodoks yang masih hidup dikalangan kedua masyarakat. Sekian, terima kasih.

Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi Sabilih, Wassalamu’alaikum War. Wab.

Jakarta, 15 September 2006,
Pengasuh,


KH. AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front Persatuan Nasional




Tidak ada komentar:

Posting Komentar