11.7.17

Pengajian Keseratus (100)

Pengajian Keseratus (100)

Assalamu’alaikum War.Wab,
Bismillahirrhmanirrahiem,

“Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan Al-Kitab (Taurat) kepada Musa, dan Kami telah menyusulinya (berturut-turut) sesudah itu dengan rasul-rasul, dan telah Kami berikan bukti-bukti kebenaran (mukjizat) kepada Isa Putra Maryam dan Kami memperkuatnya dengan Ruhul Qudus. Apakah setiap kali datang kepadamu seorang rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginanmu lalu kamu angkuh; maka beberapa orang (diantara mereka) kamu dustakan dan beberapa orang (yang lain) kamu bunuh ?”: Al-Baqoroh : 87.

Seperti tradisi pengajian ini, kita akan membahas ayat ini dengan pendekatan eklektik secara multiperspektif, baik dari perspektif teologi, antropologi, historiografi,psikologi dll secara komprehensif untuk mendapatkan kedalaman dan hikmah yang setinggi-tingginya dari kandungan ayat diatas.

Pokok Bahasan

Ayat ini kembali menegaskan tentang kerasulan Musa a.s. dan Kitab Taurat yang diturunkan kepadanya sebagai suatu kebijakan untuk membimbing Bani Israil membangun peradaban tauhid. Menyusul setelah itu sejumlah rasul yang datang silih berganti dengan misi yang sama hingga rasul Bani Israil yang pungkasan, yaitu Isabnu Maryam yang dilengkapi dengan sejumlah mu’jizat dan ruhul-qudus (Jibril a.s.) untuk memperkuat kebenaran misinya.

Ibnu Katsir dan Jalalain mengungkapkan bahwa mainstream Bani Israil menolak para rasul itu, menentang, mendustakan bahkan membunuhnya, seperti yang dialami Nabi Zakaria dan Nabi Yahya. Sedangkan pembunuhan terhadap Nabi Isa a.s. terdapat banyak kontroversi dalam penafsiran, baik menurut jumhur mufassirin maupun menurut narasi Bibel.

Alasan penolakan Bani Israil terhadap misi kerasulan tsb menurut jumhur mufassirin karena bertentangan dengan hawa nafsu mereka. Tetapi sejauh bukti-bukti histories dan antropologis dan diakui pula oleh jumhur mufassirin terdapat perbedaan-perbedaan mendasar diantara wahyu para rasul dengan kitab Taurat dan kitab-kitab suci Bani Israil. Artinya bahwa penolakan Bani Israil memiliki landasan  yang mendasar.

Atas dasar ini pula Bani Israil menganggap para rasul itu sebagai nabi palsu atau pengkhianat yang bermaksud menimbulkan perpecahan dan merusak umat Israil dari dalam. Maka diantaranya ditentang, bahkan dihukum mati. Hal yang sangat kontroversial, para jumhur mufassirin menuduh Bani Israil telah mengubah kitab Taurat, sedangkan faktanya para rasul tsb yang justru bermaksud mengubah sejumlah ketentuan dasar dalam Taurat yang sudah barangtentu tidak dapat diterima oleh para pemuka Bani Israil.

Adalah suatu kenyataan bahwa diutusnya para rasul tidak disertai kebijakan akulturatif yang komprehensif terhadap nilai-nilai yang hidup dan mentradisi di masyarakat agar tidak terjadi benturan dengan nilai-nilai baru yang dibawa para rasul, sehingga terjadi proses perubahan yang damai. Sebaliknya para rasul itu mendakwahkan saja nilai-nilai baru yang mereka bawa secara dogmatis dengan mengancam adzab bagi orang-orang yang belum dapat menerima. Benturan nilai-nilai inilah yang kemudian mewarnai konflik antar umat beragama samawi (Islam, Nasrani dan Yahudi) sepanjang masa yang dalam beberapa periode sejarah diwarnai pula dengan kekerasan dan perang.

Dewa Perang

Jauh sebelum datangnya agama Islam, orang-orang Arab Hejaz menganut paganisme (menyembah berhala) yang serupa dengan peradabaan Kana’an purba abad ke-14 SM dengan ilah-ilah yang mengutamakan perang dan seks. Suku-suku Hejaz mewarisi peradaban paganisme itu dari suku-suku Arab yang bermukim di lembah Edom pada abad ke-10 SM (zaman Daud a.s.).

Paganisme serupa juga dianut oleh bangsa-bangsa diseputar mereka, seperti Mesir, Parsi, Babilon, Asyur, Phoenix dsb dengan Dewa-dewa Mendez, Zarathustra, Marduk dll yang kemudian mewaris kepada Yunani dan Romawi dengan Dewa Matahari Tak Tertandingi (Sol-Invectus) yang kemudian berfusi dengan agama Kristen pada awal abad ke-4 atas prakarsa Constantine The Great dari Romawi.

Hal ini Sebenarnya sudah kita bahas pada beberapa pengajian terdahulu, dan kita angkat lagi secara kontekstual. Diantara Dewa Berhala yang terkenal di Kana’an dan di Hejaz adalah Ba’al El-Eliyon, Dewa Badai yang merupakan Dewa Perang yang paling diagungkan. Penguasa Hejaz pada abad ke-5, Amr Bin Lubayyi dari Banu Khuza’ah memperkuat Dewa Ba’al dengan Dewa Hubal yang dibawa dari Syam (Syria) yang ditahbiskan sebagai dewa kesehatan sebagai pendukung dewa perang, dan ditempatkan di Ka’bah sehingga semua orang bisa memujanya. Nah, kegemaran orang-orang Israel, orang-orang Arab dan orang-orang Barat berperang satu sama lain, berkaitan dengan ketidaksadaran kolektif mereka tentang dewa-dewa perang itu.

Kemungkinannya mereka menganggap Yahweh atau El atau Allah dalam peradaban Israel, Barat dan Arab sebagai reinkarnasi dari dewa-dewa perang itu. Dan faktanya kitab-kitab suci dari ketiga agama samawi mengandung nuansa peperangan, dan menjadikan perang terhadap musuh agama sebagai ideology.

Perang besar untuk memenuhi syahwat perang diantara mereka sudah pernah berkorbar pada abad ke 12-14, yaitu Perang Salib yang melibatkan hampir seluruh unsur peradaban mereka. Kini kita masih terus menyaksikan peperangan mereka, diawali dengan perang Irak-Iran, invasi Irak ke Kuwait, agresi Sekutu terhadap Afganistan dan Irak yang berlangsung pada lintasan akhir abad 20 dan terus berlanjut hingga awal abad 21 ini dan terakhir perang Israel-Palestina (Hamas) versi terbaru (vide, peng. 99).

Harus dicatat adanya bukti-bukti antropologis yang menampakkan adanya jejak-jejak paganisme yang konsisten dalam agama Yahudi, Nasrani dan Islam. Artinya tradisi peperangan itu akan terus berlanjut, khususnya bagi bangsa-bangsa Israel, Arab dan Barat. Oleh karena itu hipotesis “perang peradabannya” Samuel P Huntington menjadi relevan, meskipun mendapat bantahan kuat dari Fouad Ajami Professor Universitas John Hopkin, USA (vide, Pengajian ke-99).

Nah, bangsa Indonesia meskipun mayoritasnya Muslim, memiliki basis historiografi, psikologi dan antropologi yang berbeda dengan bangsa Arab. Sebagai bangsa kita juga memiliki sejarah paganisme yang panjang yang nilai-nilainya juga mewaris hingga masa sekarang. Tetapi aliran paganisme nenek-moyang kita dan mempengaruhi ketidaksadaran kolektif kita berbeda dengan aliran paganisme Arabisme atau Judeo-Griko.

Aliran paganisme yang berkembang pada awal sejarah bangsa ini ialah Hinduisme dan Budhisme yang kemudian menjadi Shiwa-Buddha di era puncaknya di zaman Majapahit, dan setelah masuknya Islam di era Demak, menjadi sublimasi Islam cultural seperti tampak dalam sikap mental dan perilaku Islam tradisional. Sepanjang abad yang lalu di era modern ini, NU dianggap mewakili segment ini, tetapi pada awal abad ini, tarik-menarik dengan Arabisme membawa pergeseran-pergeseran dalam PBNU kearah yang lebih Arabic, ini tampak pada sikap PBNU yang mendukung RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi yang dianggap kalangan tradisionalis sebagai anti-budaya.

Kesadaran

Dalam kenyataan manusia telah membuktikan diri mampu menjalani penderitaan material yang paling ekstrem atas nama ide-ide yang semata-mata di wilayah kesadaran, entah itu berupa pemujaan terhadap sapi atau Trinitas. Artinya tidak akan mungkin berhasil suatu pemaksaan nilai-nilai agama dari kelompok social tertentu kepada kelompok social lainnya yang tentu akan memberikan perlawanan dengan spirit fundamental.

Untuk bisa memahami proses yang mendasari sejarah (termasuk sejarah bangsa Indonesia) perlu dipahami terlebih dahulu perkembangan di wilayah kesadaran atau ide-ide termasuk agama dan budaya. Adalah fakta bahwa dunia ini, termasuk Negara RI tidak terbentuk oleh budaya tunggal, bukan oleh agama Islam saja, bukan oleh budaya Jawa saja, tetapi oleh keanekaragaman budaya yang kemudian membentuk realitas bernegara-bangsa dengan dasar Pancasila yang bersifat multikultur itu.

Ayat diatas membuktikan bahwa suatu nilai tidak dapat begitu saja dicanangkan untuk diterapkan pada pihak lain yang juga merupakan sekumpulan nilai-nilai. Kegagalan memahami akar perilaku social yang terletak dalam wilayah kesadaran dan budaya yang beragam telah menyebabkan munculnya kesalahan umum yang menganggap adanya nilai-nilai teokratik yang solid dari asumsi agama atau budaya mayoritas. Kesalahan-kesalahan ini bukan mustahil akan berbuntut pada kekerasan-kekerasan politik akibat adanya pemaksaan dan perlawanan.

Perlu dipahami bahwa di zaman ini ide yang solid adalah ide-ide tentang kesetaraan dan kebebasan, termasuk kebebasan bagi semua agama dan semua alirannya serta budaya. Negara yang diterima yang muncul di zaman ini adalah negara liberal, dalam arti mengakui dan melindungi hak universal manusia akan kemerdekaan melalui system hukum, dan negara demokratis dalam arti hadir hanya dengan persetujuan mereka yang diperintah.

Hal ini merupakan produk dari sejarah kongkret manusia dan lingkungan sosialnya yang bergerak dari tahapan kesadaran primitive hingga bentuk-bentuk kongkret organisasi social seperti kesukuan, teokrasi dan akhirnya masyarakat yang egaliter-demokratis sebagai bentuk modern yang dicapai umat manusia. Sejarah dan waktu berjalan maju, maka tidak mungkin kita mundur lagi ke bentuk-bentuk teokratis seperti Perda-perda Syari’ah dan sejenisnya yang hanya akan berakhir dengan kegagalan karena kompleksitas paradoksal yang akan membentur akar-akar peradaban dunia modern, termasuk negara modern Republik Indonesia yang liberal, demokratis, multikultur berdasarkan Pancasila.

Sekian, saya ucapkan selamat pengajian yang ke 100, sebuah prestasi dari ketekunan dan ketabahan belajar yang tak pernah padam. Terima kasih.

Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi Sabilih,
Wassalamu’alaikum War. Wab.

Jakarta, 14 Juli 2006,
Pengasuh,

KH. AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front Persatuan Nasional


Tidak ada komentar:

Posting Komentar