11.7.17

Pengajian Keenampuluh Tujuh (67)

Pengajian Keenampuluh Tujuh (67)

Oleh : KH. Agus Miftach

Assalamu’alaikum War. Wab.
Bismillahirrahmanirrahiem,

“Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang batil, dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui” ; (Al-Baqoroh : 42).

Sebagaimana tradisi pengajian ini, kita akan melakukan pembahasan secara eklektik dari perspektif teologis, psikologis, historiografis dan antropologis agar mencapai hikmah yang setinggi-tingginya dari ayat tsb diatas.

Pokok Bahasan


Asbabun-nuzul ayat tersebut berkaitan dengan kebiasaan pemimpin-pemimpin Bani Israil yang suka memasukkan pendapat-pendapat pribadi mereka kedalam Taurat, sehingga sukar untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah, terutama berkaitan dengan penolakan mereka terhadap kenabian Muhammad SAW.

Bani Israil punya kebiasaan menyalah tafsirkan ucapan-ucapan nenek moyang mereka. Ini menjadi alasan mereka untuk berpegang pada ucapan para pemimpin dan tradisi mereka daripada beriman kepada Rasulullah SAW.

Tafsir Ibnu Katsir berpendapat bahwa keyahudian dan kenasranian berkaitan dengan bid’ah oleh karena itu jangan dicampuradukkan dengan keislaman.

Meskipun ayat tsb diatas merupakan perintah yang ditujukan kepada Bani Israil, menurut Tafsir Jalalain berlaku pula bagi segenap Kaum Muslimin, terutama para pemimpin dan pemegang kekuasaan, agar tidak mencampuradukkan yang hak dengan yang batil.

Ibnu Abbas r.a. meriwayatkan bahwa yang dimaksud dengan menyembunyikan kebenaran dalam ayat tsb diatas ialah perbuatan Bani Israil yang sengaja menyembunyikan pengetahuan mereka tentang Muhammad SAW dan apa yang disampaikannya yang sesungguhnya telah mereka ketahui kebenarannya melalui Kitab Taurat yang ada ditangan mereka. Tentang larangan menyembunyikan kebenaran ini tidak hanya berlaku bagi Bani Israil (Kaum Yahudi), melainkan juga berlaku bagi segenap Kaum Muslimin.

Ulasan.

Al-Qur’an selalu mengingatkan Kaum Yahudi, jika mereka jujur terhadap ajarannya yaitu Kitab Taurat, niscaya mereka akan menjumpai alur benang merah tauchid diantara Taurat dengan Al-Qur’an. Dengan demikian mestinya Kaum Yahudi dapat mengenali dengan baik Risalah Muhammad merupakan penyempurnaan dari Risalah Musa. Tetapi mereka khawatir jika mereka mengakui kerasulan Muhammad, maka kemulyaan mereka akan pudar berpindah pada kemulyaah bangsa Arab. Ini merupakan pandangan yang keblinger. Justru sebaliknya mereka akan memperoleh kemulyaan yang tinggi jika mereka beriman kepada Rasulullah SAW.

Para peneliti antropologis sepakat bahwa agama Yahudi tidak lagi murni bersumber pada Risalah Musa (Kitab Taurat), melainkan bercampur baur dengan berbagai faham dan pikiran paganisme para pemimpin Yahudi. Menurut  penulis Turki yang masyhur Harun Yahya (2003) Apa yang tampak sebagai Judaism, tidak murni ajaran Musa a.s. melainkan sinkretisme Taurat dengan faham paganisme Ancient-Egyptian. Inilah yang menyebabkan mereka tidak mampu melihat kebenaran Muhammad SAW. Jika mereka murni berpegang pada Taurat pasti mereka akan dapat melihat kebenaran agama Tauchid dalam ajaran Muhammad SAW sebagaimana Musa a.s  mengajarkan kepada Bani Israil.

Pengingkaran Bani Israil terhadap Keesaan Yahweh bahkan sudah mulai sejak Musa a.s. bersama mereka. Dan sepanjang masa kejayaan kerajaan Daud dan Sulaiman kita menyaksikan unsur paganisme dalam kepercayaan Yahudi. Menurut Karen Armstrong (1997), pengaruh kepecayaan paganisme Babilonia juga masuk kedalam Judaism ketika para pemimpin dan semua bangsawan mereka mengalami pengasingan di Babilonia setelah Jerusalem ditaklukkan oleh Nebukadnezar  pada th. 597 SM.

Bahkan menurut Karen Armstrong cikal bakal ideology  Zionisme berasal dari kaum Yahudi di pengasingan Babilonia dimana mereka tidak lagi memerlukan kehadiran Yahweh (Tabut Perjanjian) diantara mereka, melainkan cukup dengan abstraksi dan transendensi  dengan idealisasi ras Yahudi sebagai yang terunggul. Dari Babilonia modernisasi ideology Yahudi berawal.

Ketika menghadapi kebangkitan kerasulan Muhammad SAW, diantara Bani Israil Madinah khususnya Bani Quraizah dan Bani Nadir memiliki pengetahuan tentang tanda-tanda kebenaran Rasulullah SAW, tetapi pengetahuan yang dianggap tidak menguntungkan mereka itu, mereka sembunyikan dibalik berbagai faham dan pikiran sinkretisme para pemimpin mereka yang mencampuradukkan berbagai faham paganisme dengan ajaran Taurat yang berujung pada pemujaan ras Yahudi yang sesat dan pengingkaran terhadap Keesaan Allah Azza wa Jalla.

Bahasa Ibrani


Asal-usul bangsa Hebrew atau Ibri dan lalu disebut Ibrani adalah negeri Aur-Khaldan, Mesopotamia Selatan. Tentu bahasa mereka berasal dari rumpun bahasa Mesopotamia khususnya yang berlaku di negeri Ur atau Aur. Dalam pengembaraan mereka yang lama, bahasa berbagai negeri yang mereka lintasi mempengaruhi perkembangan bahasa mereka. Menurut antropolog Ahmad Syalabi mereka mengembara bersama semua anggota keluarga dan ternak-ternak dengan pergerakan yang lamban. Dan mereka selalu berhenti untuk waktu yang lama apabila menemukan padang penggembalaan yang subur.

Oleh karena itu perjalanan mereka dari Aur ke Kana’an memakan waktu yang lama. Ketika telah menetap di Kana’an bahasa mereka banyak dipengaruhi oleh dialek orang-orang Aramik dengan vocabulary yang masih berakar pada bahasa asal mereka. Maka itulah “Bahasa Ibrani”. Dengan latar belakang yang demikian, maka tidak mudah bagi Bahasa Ibrani untuk berkembang dan baru pada th. 1400 SM bahasa itu dikenal sebagai bahasa suatu bangsa. Definisi pertama Bahasa Ibrani baru dikenal pada th. 1200 SM, kemudian pada th. 200 SM bahasa ini sudah kehilangan pengaruh dan perkembangannya. Artinya Bahasa Ibrani hanya berumur sekitar 1000 th.

Meskipun tidak lagi digunakan sebagai alat komunikasi sehari-hari masyarakat Yahudi, Bahasa Ibrani masih digunakan oleh pendeta-pendeta Yahudi dalam buku-buku keagamaan mereka. Setelah itu bahasa yang berkembang luas adalah bahasa Aramik yang menjadi akar bahasa Arab.

Kemunduran Khilafat di Jerusalem.

Pengajian ke-66 telah mengungkapkan pecahnya Kerajaan Kana’an Bersatu sepeninggal Raja Sulaiman, menjadi dua Kerajaan, yaitu Kerajaan Israel di Utara dengan Ibukota Tirza dan rajanya Yeroboam atau Yarub’am (logat Arab), dan Kerajaan Yehuda di Selatan dengan ibukota Jerusalem dan rajanya Rehabeam atau Rahub’am (logat Arab).

Selama beberapa tahun kedua kerajaan itu terlibat perang saudara yang melemahkan kedudukan Yehuda. Setelah itu Yehuda harus menghadapi ancaman serangan Fir’aun Shishak dari kerajaan besar Mesir yang bermaksud memantapkan kehadirannya di wilayah Kana’an. Tidak mampu menghadapi balatentara Mesir yang kuat, Rehabeam membayar upeti kepada Sishshak dari perbendaharaan suci Haekal Sulaiman. Pada masa kekuasaan Raja Asa dari Yehuda (911-870 SM) tentara Israel bahkan sudah mencapai kota Ramah 5 mil arah utara Jerusalem yang memaksa Jerusalem minta bantuan Kerajaan Aram di Damaskus untuk menahan laju tentara Israel dengan menyerangnya dari arah belakang.

Dibawah tekanan yang hebat itu kaum Yahwist (penyembah Yahweh)  di Jerusalem kembali mengingat tuhan mereka Yahweh di bukit Zion. Mereka memanjatkan do’a memohon pertolongan Yahweh El Sada’i  tuhan mereka dari ancaman Israel, Mesir dan Damaskus yang dianggap sebagai sumber-sumber kekacauan semesta yang kuat. Polarisasi suku-suku Bani Israil dalam perpecahan ini ialah 2 suku besar Yehuda dan Benyamin menjadi pendukung utama Kerajaan Yehuda di Selatan dng ibukota Jerusalem. Sedangkan 10 suku lainnya menjadi kekuatan utama Kerajaan Israel di Utara dengan ibukota Tirza kemudian Samaria.

Dibelakang hari sejarah mencatat raja besar Israel yang disebut Omri yang memerintah 885-874 SM. Raja Omri memindahkan ibukota Israel dari Tirza ke Samaria yang menjadi kota yang paling elegan dan mewah di wilayah itu. Kerajaan Israel jauh lebih luas dan kaya dibanding Kerajaan Yehuda. Kerajaan Israel memiliki letak strategis, berdekatan dengan jalan-jalan utama dan mencakup sebagian besar  wilayah negara kota-negara kota lama yang paling makmur.

Sebaliknya Kerajaan Yehuda terisolasi dan kekuarangan sumberdaya, hampir seluruhnya terdiri stepa dan tanah-tanah pegunungan cadas yang sulit dijadikan lahan pertanian. Dikemudian hari para raja Yehuda sangat menyesalkan kehilangan wilayah Israel di Utara yang makmur. Mereka menuduh kerajaan utara murtad. Inilah zaman status quo ante, yaitu pengulangan kembali perpecahan sebelum penyatuan oleh Daud sebagaimana telah kita uraikan dalam pengajian-pengajian terdahulu.

Sekian, kita lanjutkan pada pengajian mendatang. Terima kasih.

Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi Sabilih,
Wassalamu’alaikum War. Wab.

Jakarta, 25 Nopember 2005.

Pengasuh,

KH. Agus Miftach

Ketua Umum Front Persatuan Nasional





Tidak ada komentar:

Posting Komentar