Pengajian Keenampuluh Tujuh (67)
Oleh : KH. Agus Miftach
Assalamu’alaikum War. Wab.
Bismillahirrahmanirrahiem,
“Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan
yang batil, dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu
mengetahui” ; (Al-Baqoroh : 42).
Sebagaimana tradisi pengajian ini, kita akan melakukan
pembahasan secara eklektik dari perspektif teologis, psikologis, historiografis
dan antropologis agar mencapai hikmah yang setinggi-tingginya dari ayat tsb
diatas.
Pokok Bahasan
Asbabun-nuzul ayat tersebut berkaitan dengan kebiasaan
pemimpin-pemimpin Bani Israil yang suka memasukkan pendapat-pendapat pribadi
mereka kedalam Taurat, sehingga sukar untuk membedakan mana yang benar dan mana
yang salah, terutama berkaitan dengan penolakan mereka terhadap kenabian
Muhammad SAW.
Bani Israil punya kebiasaan menyalah tafsirkan
ucapan-ucapan nenek moyang mereka. Ini menjadi alasan mereka untuk berpegang
pada ucapan para pemimpin dan tradisi mereka daripada beriman kepada Rasulullah
SAW.
Tafsir Ibnu Katsir berpendapat bahwa keyahudian dan
kenasranian berkaitan dengan bid’ah oleh karena itu jangan dicampuradukkan
dengan keislaman.
Meskipun ayat tsb diatas merupakan perintah yang
ditujukan kepada Bani Israil, menurut Tafsir Jalalain berlaku pula bagi segenap
Kaum Muslimin, terutama para pemimpin dan pemegang kekuasaan, agar tidak
mencampuradukkan yang hak dengan yang batil.
Ibnu Abbas r.a. meriwayatkan bahwa yang dimaksud
dengan menyembunyikan kebenaran dalam ayat tsb diatas ialah perbuatan Bani
Israil yang sengaja menyembunyikan pengetahuan mereka tentang Muhammad SAW dan
apa yang disampaikannya yang sesungguhnya telah mereka ketahui kebenarannya
melalui Kitab Taurat yang ada ditangan mereka. Tentang larangan menyembunyikan
kebenaran ini tidak hanya berlaku bagi Bani Israil (Kaum Yahudi), melainkan
juga berlaku bagi segenap Kaum Muslimin.
Ulasan.
Al-Qur’an selalu mengingatkan Kaum Yahudi, jika mereka
jujur terhadap ajarannya yaitu Kitab Taurat, niscaya mereka akan menjumpai alur
benang merah tauchid diantara Taurat dengan Al-Qur’an. Dengan demikian mestinya
Kaum Yahudi dapat mengenali dengan baik Risalah Muhammad merupakan
penyempurnaan dari Risalah Musa. Tetapi mereka khawatir jika mereka mengakui
kerasulan Muhammad, maka kemulyaan mereka akan pudar berpindah pada kemulyaah
bangsa Arab. Ini merupakan pandangan yang keblinger. Justru sebaliknya mereka
akan memperoleh kemulyaan yang tinggi jika mereka beriman kepada Rasulullah
SAW.
Para peneliti antropologis sepakat bahwa agama Yahudi
tidak lagi murni bersumber pada Risalah Musa (Kitab Taurat), melainkan
bercampur baur dengan berbagai faham dan pikiran paganisme para pemimpin
Yahudi. Menurut penulis Turki yang
masyhur Harun Yahya (2003) Apa yang tampak sebagai Judaism, tidak murni
ajaran Musa a.s. melainkan sinkretisme Taurat dengan faham paganisme Ancient-Egyptian.
Inilah yang menyebabkan mereka tidak mampu melihat kebenaran Muhammad SAW. Jika
mereka murni berpegang pada Taurat pasti mereka akan dapat melihat kebenaran
agama Tauchid dalam ajaran Muhammad SAW sebagaimana Musa a.s mengajarkan kepada Bani Israil.
Pengingkaran Bani Israil terhadap Keesaan Yahweh
bahkan sudah mulai sejak Musa a.s. bersama mereka. Dan sepanjang masa kejayaan
kerajaan Daud dan Sulaiman kita menyaksikan unsur paganisme dalam kepercayaan
Yahudi. Menurut Karen Armstrong (1997), pengaruh kepecayaan paganisme Babilonia
juga masuk kedalam Judaism ketika para pemimpin dan semua bangsawan mereka
mengalami pengasingan di Babilonia setelah Jerusalem ditaklukkan oleh
Nebukadnezar pada th. 597 SM.
Bahkan menurut Karen Armstrong cikal bakal ideology Zionisme berasal dari kaum Yahudi di
pengasingan Babilonia dimana mereka tidak lagi memerlukan kehadiran Yahweh
(Tabut Perjanjian) diantara mereka, melainkan cukup dengan abstraksi dan
transendensi dengan idealisasi ras
Yahudi sebagai yang terunggul. Dari Babilonia modernisasi ideology Yahudi
berawal.
Ketika menghadapi kebangkitan kerasulan Muhammad SAW,
diantara Bani Israil Madinah khususnya Bani Quraizah dan Bani Nadir memiliki
pengetahuan tentang tanda-tanda kebenaran Rasulullah SAW, tetapi pengetahuan
yang dianggap tidak menguntungkan mereka itu, mereka sembunyikan dibalik
berbagai faham dan pikiran sinkretisme para pemimpin mereka yang
mencampuradukkan berbagai faham paganisme dengan ajaran Taurat yang berujung
pada pemujaan ras Yahudi yang sesat dan pengingkaran terhadap Keesaan Allah
Azza wa Jalla.
Bahasa Ibrani
Asal-usul bangsa Hebrew atau Ibri dan lalu disebut
Ibrani adalah negeri Aur-Khaldan, Mesopotamia Selatan. Tentu bahasa mereka
berasal dari rumpun bahasa Mesopotamia khususnya yang berlaku di negeri Ur atau
Aur. Dalam pengembaraan mereka yang lama, bahasa berbagai negeri yang mereka
lintasi mempengaruhi perkembangan bahasa mereka. Menurut antropolog Ahmad
Syalabi mereka mengembara bersama semua anggota keluarga dan ternak-ternak
dengan pergerakan yang lamban. Dan mereka selalu berhenti untuk waktu yang lama
apabila menemukan padang penggembalaan yang subur.
Oleh karena itu perjalanan mereka dari Aur ke Kana’an
memakan waktu yang lama. Ketika telah menetap di Kana’an bahasa mereka banyak dipengaruhi
oleh dialek orang-orang Aramik dengan vocabulary yang masih berakar pada bahasa
asal mereka. Maka itulah “Bahasa Ibrani”. Dengan latar belakang yang
demikian, maka tidak mudah bagi Bahasa Ibrani untuk berkembang dan baru pada
th. 1400 SM bahasa itu dikenal sebagai bahasa suatu bangsa. Definisi pertama
Bahasa Ibrani baru dikenal pada th. 1200 SM, kemudian pada th. 200 SM bahasa
ini sudah kehilangan pengaruh dan perkembangannya. Artinya Bahasa Ibrani hanya
berumur sekitar 1000 th.
Meskipun tidak lagi digunakan sebagai alat komunikasi
sehari-hari masyarakat Yahudi, Bahasa Ibrani masih digunakan oleh
pendeta-pendeta Yahudi dalam buku-buku keagamaan mereka. Setelah itu bahasa
yang berkembang luas adalah bahasa Aramik yang menjadi akar bahasa Arab.
Kemunduran Khilafat di Jerusalem.
Pengajian ke-66 telah mengungkapkan pecahnya Kerajaan
Kana’an Bersatu sepeninggal Raja Sulaiman, menjadi dua Kerajaan, yaitu Kerajaan
Israel di Utara dengan Ibukota Tirza dan rajanya Yeroboam atau Yarub’am
(logat Arab), dan Kerajaan Yehuda di Selatan dengan ibukota Jerusalem dan
rajanya Rehabeam atau Rahub’am (logat Arab).
Selama beberapa tahun kedua kerajaan itu terlibat
perang saudara yang melemahkan kedudukan Yehuda. Setelah itu Yehuda harus
menghadapi ancaman serangan Fir’aun Shishak dari kerajaan besar Mesir
yang bermaksud memantapkan kehadirannya di wilayah Kana’an. Tidak mampu
menghadapi balatentara Mesir yang kuat, Rehabeam membayar upeti kepada Sishshak
dari perbendaharaan suci Haekal Sulaiman. Pada masa kekuasaan Raja Asa
dari Yehuda (911-870 SM) tentara Israel bahkan sudah mencapai kota Ramah 5 mil
arah utara Jerusalem yang memaksa Jerusalem minta bantuan Kerajaan Aram di
Damaskus untuk menahan laju tentara Israel dengan menyerangnya dari arah
belakang.
Dibawah tekanan yang hebat itu kaum Yahwist (penyembah
Yahweh) di Jerusalem kembali mengingat
tuhan mereka Yahweh di bukit Zion. Mereka memanjatkan do’a memohon pertolongan Yahweh
El Sada’i tuhan mereka dari ancaman
Israel, Mesir dan Damaskus yang dianggap sebagai sumber-sumber kekacauan
semesta yang kuat. Polarisasi suku-suku Bani Israil dalam perpecahan ini ialah
2 suku besar Yehuda dan Benyamin menjadi pendukung utama Kerajaan Yehuda di
Selatan dng ibukota Jerusalem. Sedangkan 10 suku lainnya menjadi kekuatan utama
Kerajaan Israel di Utara dengan ibukota Tirza kemudian Samaria.
Dibelakang hari sejarah mencatat raja besar Israel
yang disebut Omri yang memerintah 885-874 SM. Raja Omri memindahkan
ibukota Israel dari Tirza ke Samaria yang menjadi kota yang paling
elegan dan mewah di wilayah itu. Kerajaan Israel jauh lebih luas dan kaya
dibanding Kerajaan Yehuda. Kerajaan Israel memiliki letak strategis, berdekatan
dengan jalan-jalan utama dan mencakup sebagian besar wilayah negara kota-negara kota lama yang
paling makmur.
Sebaliknya Kerajaan Yehuda terisolasi dan kekuarangan
sumberdaya, hampir seluruhnya terdiri stepa dan tanah-tanah pegunungan cadas
yang sulit dijadikan lahan pertanian. Dikemudian hari para raja Yehuda sangat
menyesalkan kehilangan wilayah Israel di Utara yang makmur. Mereka menuduh
kerajaan utara murtad. Inilah zaman status quo ante, yaitu pengulangan
kembali perpecahan sebelum penyatuan oleh Daud sebagaimana telah kita uraikan
dalam pengajian-pengajian terdahulu.
Sekian, kita lanjutkan pada pengajian mendatang.
Terima kasih.
Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi Sabilih,
Wassalamu’alaikum War. Wab.
Jakarta, 25 Nopember 2005.
Pengasuh,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar