Pengajian Kesembilanpuluh Sembilan (99),
Assalamu’alaikum
War. Wab,
Bismillahirrahmanirrahiem,
“Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil janji
dari kamu (yaitu); kamu tidak akan menumpahkan darahmu (membunuh) dan kamu
tidak akan mengusir dirimu (saudaramu sebangsa) dari kampung halamanmu,
kemudian kamu berikrar (akan memenuhinya) sedang kamu mempersaksikannya (84).
Kemudian kamu (Bani Israil) membunuh dirimu (saudara sebangsa) dan mengusir
segolongan diantara kamu dari kampung halamannya, kamu bahu-membahu dengan
mereka dalam melakukan dosa dan permusuhan. Namun, jika mereka datang kepadamu
sebagai tawanan, kamu tebus mereka, padahal mengusir mereka itu (juga)
terlarang bagimu. Apakah kamu beriman kepada sebagian Al-Kitab (Taurat) dan ingkar
terhadap sebagian yang lain ? Tiadalah balasan bagi orang-orang yang berbuat
demikian darimu melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat
mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa
yang kamu perbuat (85). Itulah
orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat, maka tidak
akan diringankan siksa mereka dan mereka
tidak akan ditolong (86).”; Al-Baqoroh : 84-86.
Ketiga
ayat diatas kita bahas dalam kesatuan rangkaian bahasan secara eklektik dari
berbagai sudut pandang secara holistis, baik dari perspektif teologi,
antropologi, historiografi dan psikologi dll, agar dicapai pemahaman yang
komprehensif dan hikmah yang setinggi-tingginya, insya Allah.
Pokok
Bahasan.
Peristiwa
yang menjadi asbabun-nuzul rangkaian ayat-ayat di atas menurut Ibnu Katsir,
Jalalain dan jumhur mufassirin adalah peperangan antara suku Aus dengan suku Khazraj di zaman Rasulullah SAW di Madinah, masih pada periode
jahiliah dimana kedua suku besar tsb masih menganut paganisme (menyembah
berhala). Kaum Yahudi di Madinah pada waktu itu terbagi dalam tiga kelompok,
yaitu : Bani Qainuqa dan Bani Nadhir yang menjadi sekutu Suku
Khazraj; dan Bani Quraizah yang
menjadi sekutu suku Aus. Peperangan yang terjadi diantara suku Khazraj dan suku
Aus dengan sendirinya menempatkan ketiga suku Bani Israil tsb saling
berhadapan, sehingga terjadilah saling membunuh, saling mengusir dan saling
merampas diantara Bani Israil sendiri, yang
kesemuanya itu dilarang oleh Kitab Taurat yang menekankan persatuan dan
kesatuan Bani Israil sebagai satu umat
agama Allah dan sebagai satu bangsa yang menurut Taurat laksana satu
tubuh yang utuh.
Peperangan
terjadi atas motif-motif duniawi, demikian pula yang mendasari sikap Bani
Israil yang mengingkari Taurat, disebabkan oleh berbagai kepentingan duniawi
mereka yang berkaitan dengan para sekutu mereka. Ketika mereka menebus para
tawanan Yahudi saudara-saudara sebangsa mereka, kalangan Arab mempertanyakan
sikap mendua itu. Kalangan Bani Israil menjawab bahwa agama mereka
memerintahkan demikian, dan sesungguhnya mereka dilarang berperang satu sama
lain. Ketika kalangan Arab mempertanyakan inkonsistensi mereka, Bani Israil
menjawab, bahwa mereka merasa merosot martabatnya jika sekutu mereka dikalahkan
atau dihinakan, Tetapi sesungguhnya motif utama mereka bukanlah abstraksi nilai
martabat, tetapi lebih pada konkretasi hedonisme yang dapat mereka penuhi
melalui harta-harta rampasan dalam peperangan.
Ayat
ini mengecam sikap ambivalence Bani Israil dalam melaksanakan syari’at Taurat,
padahal mereka benar-benar mengetahui perintah itu dan kebenarannya sebagaimana
sejarah Taurat itu sendiri. Ambivalence yang berkembang menjadi kemunafikan itu
pula yang mencegah mereka beriman kepada Rasulullah SAW, walaupun sesungguhnya
mereka mengetahui berdasarkan isyarat-isyarat dalam Taurat bahwa Muhammad SAW
adalah Utusah Allah. Sikap kemunafikan Bani Israil terhadap Taurat itu oleh ayat diatas diancam
dengan kehinaan di dunia dan azab di akhirat.
Subtansi
mendasar terletak pada ayat ke-86, dengan kalimat :”uulaaikalladzienastarowul-hayaatad-dunya bil-aakhirot(i)…..” (Itulah
orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat,….dst…).
Maknanya bahwa pengejaran nilai duniawi yang dilakukan Bani Israil telah
menjerumuskan mereka kepada kebangkrutan nilai-nilai ukhrowi. Inilah makna azab
yang kekal bagi mereka. Artinya Bani Israil tidak akan memperoleh kebahagiaan
transenden yang menjadi masa depan hakiki agama samawi, melainkan azab yang
menggambarkan kehinaan transenden yang hakiki.
Bertolak
dari naskah ke-98, dapat dinalarkan bahwa sikap Bani Israil dalam konteks
penafsiran ayat-ayat diatas didasarkan pada rasionalitas ikatan perjanjian
antar suku-suku atas sejumlah kepentingan bersama yang biasa terjadi pada masa
itu. Mentaati perjanjian adalah bagian dari martabat dan kehormatan suatu suku.
Jadi bagaimana mungkin mereka mengingkarinya walaupun untuk itu mereka harus
berhadapan dengan suku Bani Israil lainnya. Ini berbeda dengan persepsi
kehormatan ala Taurat tadi. Jadi dalam hal ini Bani Israil mengambil sikap rasional
dengan tetap mentaati perjanjian antar suku disatu pihak, sementara dipihak
lain mereka menebus tawanan Yahudi sebagai upaya untuk tetap mempertahankan
keutuhan bangsa Israel
setelah peperangan berakhir. Secara obyektif sikap ini dapat diterima, tetapi
dalam pandangan para jumhur mufassirin sikap ini dikategorikan kemungkaran
terhadap Taurat. Tetapi siapakah sebenarnya yang berhak menilai pelaksanaan
syari’at Taurat ? para mufassir Islam atau para pemuka Bani Israil ? Sama
dengan pertanyaan, siapa yang berhak menilai pelaksanaan syari’at Islam, para
komentator Nasrani dan Barat atau para ‘Ulama’ Islam.?
Sejarah
mencatat sejumlah peperangan antara Kaum Muslimin dengan Bani Israil antara
lain dengan Bani Qainuqa justru setelah sebagian besar suku Khazraj sekutu
mereka masuk Islam. Perang itu dipimpin langsung oleh Rasulullah SAW dengan
panglima pendamping Hamzah bin Abdul Muththalib pamanda Nabi. Setelah dikepung
selama 15 hari, Bani Qainuqa mohon perdamaian. Semula Nabi SAW menolak dan
bersikap hendak menghancurkan mereka, tapi atas desakan Abdullah bin Ubay,
Rasulullah SAW memperlunak putusannya dengan mengusir Bani Qainuqa dari wilayah
pemukimannya tanpa harta benda mereka yang dijadikan pampasan perang oleh
Tentara Islam (KH. Moenawar Chalil, 2001)
Permusuhan
tradisional
Terdapat
permusuhan tradisional antara Muslim Arab dengan Bani Israil di tanah Arab,
yang terbentuk terutama pada periode Madinah dimana terdapat suku-suku besar
Yahudi di lingkungan territorial Madinah. Narasi jumhur mufassirin di awal dan
pertengahan abad hijriyah menggambarkan suasana permusuhan tradisional itu yang
sesungguhnya bersifat spesifik Muslim Arab vs Yahudi Madinah yang kemudian
berkembang menjadi nilai-nilai permusuhan yang abadi, Yahudi vs Islam. Yahudi
atau Bani Israil ditempatkan oleh para mufassirin sebagai symbol Iblis atau
kejahatan, yang selalu memusuhi orang-orang Mukmin yang mewakili agama Allah
dan kebaikan. Maka permusuhan Yahudi vs Arab Muslim dilembagakan secara
simbolik sebagai permusuhan antara kejahatan dan kabaikan, antara kegelapan dan
cayaha iman, antara kemusyrikan dan ketauhidan, dan akhirnya antara kesesatan
dan keselamatan. Dan sebaliknya dari sudut pandang Bani Israil, yang memandang
Kaum Muslimin adalah orang-orang bodoh dan sesat yang mengaku-aku menerima
wahyu dari Tuhan, padahal itu dari Setan. Hanya Bani Israil yang menerima wahyu
dari Tuhan Yahweh.
Permusuhan
yang bersifat internal semitik ini sebenarnya tidak berkaitan dengan Muslim
non-Arab atau non-Semitik, seperti Muslim Indonesia dan bangsa-bangsa Muslim
non-Arab lainnya yang cenderung punya sikap sendiri yang lebih obyektif dalam memandang Bani Israil dan sebaliknya.
Peperangan
besar antara Bani Israil dengan Arab terjadi setidaknya sejak th. 1010 SM
antara Raja Israel Saul dengan Bangsa Filistin, artinya peperangan kedua ras
itu sudah terjadi sejak 3000 th yang lalu, jauh sebelum ada agama Islam.
Peperangan itu terus berlanjut pada masa-masa sesudahnya melalui berbagai periode
sejarah Mesir, Babilonia, Asiria, Asyur, Parsi dsb hingga masa sekarang.
Artinya bahwa peperangan antara Israel
dan Palestina yang memasuki babak yang menegangkan sekarang ini pada dasarnya bukan
perang agama, melainkan perang peradaban antara kedua bangsa yang terjadi sejak
perang besar th. 1010 SM di gunung Gilboa yang menewaskan Raja Israel Saul dan
puteranya Yonatan (Karen Armstrong : One City, Three Faith, May 1970). Ada
sejumlah jaringan yang terus-menerus mencoba memberikan status perang Israel-Palestina
sebagai perang agama agar dapat menyeret seluruh ummat Islam diseluruh dunia
dan seluruh masyarakat Barat terjerumus ke dalam perang, sebagaimana yang
terjadi pada Perang Salib abad 12-14. Namun demikian tuntutan kemerdekaan
nasional bangsa Palestina adalah sah dan harus didukung. Tetapi sekali lagi ini
bukan perang agama melainkan perjuangan nasional untuk kemerdekaan Palestina.
Israel
vs Palestina
Di
zaman ini kita masih harus menyaksikan peperangan antara Israel dan Palestina, yang pada
periode modern ini berpangkal pada Resolusi PBB No. 181, tgl. 19 Nopember 1947
dimana disebutkan ketentuan berdirinya dua negara di bumi Palestina, yaitu
Negara Yahudi-Israel dan Negara Arab-Palestina. Sebelum ini Palestina berada
dibawah kekuasaan Inggris selama 30 th yang pada perkembangan akhir tidak mampu
mengendalikan situasi politik dan keamanan di Palestina. Dengan Resolusi No.
181 itu, PBB akhirnya memerintahkan Inggris menarik pasukannya dari bumi
Palestina. Hal ini sebenarnya sudah kita bahas pada pengajian-pengajian
terdahulu dan kini kita angkat lagi secara kontekstual. Mandat Inggris atas
Palestina secara resmi baru dicabut DK PBB pada tgl. 15 Mei 1948. Kelicikan
terjadi, ketika Inggris membiarkan pemimpin Zionis-Israel David Ben Gurion mendeklarasikan Negara Yahudi Israel pada tgl. 14 Mei 1948 jam
4.00 sore, sehari sebelum Tentara Inggris hengkang. Mestinya ini harus dicegah.
Tetapi kalau kita memeriksa dokumen Balfour
th. 1917 yang berisi dukungan Kerajaan Inggris bagi berdirinya negara Yahudi di
Palestina, kita tahu bahwa Inggris justru merestui Ben Gurion. Setelah
deklarasi Ben Gurion, perang dan kekerasan terus memenuhi bumi Palestina.
Harapan perdamaian berkembang ketika Yaser Arafat dan Shimon Peres menyetujui
sejumlah kesepakatan ‘peredaan ketegangan’. Wafatnya kedua pemimpin itu dan sakitnya
PM Ariel Sharon serta kegagalan para penerusnya memupus segala mimpi
perdamaian, dan mengobarkan kembali genderang perang, terutama setelah
kemenangan Partai Hamas pimpinan Ismail Haniya pada Pemilu Palestina 25 Januari
2006 dan kemenangan Partai Kadima pimpinan Ehud Olmert pada Pemilu Israel 25
Maret 2006. Sikap politik Hamas yang
menolak mengakui eksistensi Negara Israel ,
membuat pemerintahan PM Ismail Haniya diboikot (keuangan) ramai-ramai oleh Israel , Amerika Serikat dan Uni
Eropa. Sementara PM Ehud Olmert membalas Hamas, dengan mengumumkan program
perbatasan baru Israel yang mencaplok kawasan subur Lembah Yordan, enam
kompleks pemukiman besar Yahudi di Tepi Barat dan kota Yerusalem Timur.
Ketegangan segera meninggi. Dan kini dengan insiden penyanderaan kopral Israel Gilad Shalit oleh milisi Hamas dan
sejumlah sayap militer organisasi perjuangan Palestina, Israel melancarkan
serangan-serangan militer berskala besar terhadap posisi-posisi Palestina,
bahkan terakhir tak kurang kantor PM Palestina dihantam rudal Israel.
Kalau
kita mengikuti scenario pemimpin Freemasonry mendiang Albert Pike (1871) tentang
Perang Dunia Ketiga dan Prediksi Samuel P
Huntington tentang
Perang Peradaban “The Clash of
Civilization” (1993), maka kita akan menarik Perang Palestina-Israel itu
menjadi Perang Islam melawan Yahudi-Nasrani-Barat. Pandangan Samuel Huntington
itu dibantah oleh Fouad Ajami
Profesor dan Director Midle East pada John
Hopkin University , USA
(1993). Menurut Fouad, momentum akhir perang dingin yang dipilih oleh Samuel
Huntington sebagai akhir sejarah yang mengembalikan peran peradaban yang laksana
bangun kembali secara utuh dari dikubur hidup-hidup, kedap air, lalu muncul
segar-bugar dari balik batu perang dingin yang terguling, sulit diterima dan
dimengerti secara obyektif. Peradaban-peradaban itu (Islam, Slavik-Ortodoks,
Barat, Khonghucu,Jepang, Hindu dll) mengalami carut marut, kekisruhan
nilai-nilai karena proses perubahan yang berpengaruh terhadap individu-individu.
Semua telah bergeser dari tempatnya semula oleh modernisasi, sekularisasi dan
liberalisasi yang terjadi di Turki, Mesir, Negara-negara Islam non-Arab,
termasuk Pakistan , Malaysia dan Indonesia .
Fouad
Ajami bahkan mengatakan, bahwa fenomena yang kita namai fundamentalisme Islam
dewasa ini bukanlah tanda kebangkitan Islam, melainkan hanya kepanikan,
kebingungan dan rasa bersalah, karena perbatasan dengan yang lain telah terseberangi. Maksudnya modernisasi
Barat dalam peradaban Islam. Bahkan menurut Ajami revolusi teokratis Iran masih belum bisa menyapih masyarakat Iran
dari budaya Barat. Bahkan di Aljazair masyarakat menengah Muslim yang merupakan
kekuatan strategis negeri itu memilih represi militer untuk mengembalikan
ketertiban sekular daripada rejim yang korup atau fundamentalisme Islam. Dengan
demikian Profesor Ajami ingin memastikan bahwa perang peradaban ala Samuel
Huntington (dan PD III ala Albert Pike) tidak akan terjadi. Yang terjadi adalah
modernisasi, sekularisasi dan liberalisasi alamiah yang secara akulturatif
melanda seluruh dunia, tak terkecuali dunia Arab dan dunia Islam. Sekian,
terima kasih.
Birrahmatillahi
Wabi’aunihi fi Sabilih,
Wassalamu’alaikum
War. Wab.
Pengasuh,
HAJI
AGUS MIFTACH
Ketua
Umum Front Persatuan Nasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar