11.7.17

Pengajian Kesembilanpuluh Sembilan (99),






Pengajian Kesembilanpuluh Sembilan (99),

Assalamu’alaikum War. Wab,
Bismillahirrahmanirrahiem,





















Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil janji dari kamu (yaitu); kamu tidak akan menumpahkan darahmu (membunuh) dan kamu tidak akan mengusir dirimu (saudaramu sebangsa) dari kampung halamanmu, kemudian kamu berikrar (akan memenuhinya) sedang kamu mempersaksikannya (84). Kemudian kamu (Bani Israil) membunuh dirimu (saudara sebangsa) dan mengusir segolongan diantara kamu dari kampung halamannya, kamu bahu-membahu dengan mereka dalam melakukan dosa dan permusuhan. Namun, jika mereka datang kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka, padahal mengusir mereka itu (juga) terlarang bagimu. Apakah kamu beriman kepada sebagian Al-Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang lain ? Tiadalah balasan bagi orang-orang yang berbuat demikian darimu melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat (85).  Itulah orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat, maka tidak akan diringankan siksa mereka dan mereka  tidak akan ditolong (86).”; Al-Baqoroh : 84-86.

Ketiga ayat diatas kita bahas dalam kesatuan rangkaian bahasan secara eklektik dari berbagai sudut pandang secara holistis, baik dari perspektif teologi, antropologi, historiografi dan psikologi dll, agar dicapai pemahaman yang komprehensif dan hikmah yang setinggi-tingginya, insya Allah.

Pokok Bahasan.

Peristiwa yang menjadi asbabun-nuzul rangkaian ayat-ayat di atas menurut Ibnu Katsir, Jalalain dan jumhur mufassirin adalah peperangan antara suku Aus dengan suku Khazraj di zaman Rasulullah SAW di Madinah, masih pada periode jahiliah dimana kedua suku besar tsb masih menganut paganisme (menyembah berhala). Kaum Yahudi di Madinah pada waktu itu terbagi dalam tiga kelompok, yaitu : Bani Qainuqa dan Bani Nadhir yang menjadi sekutu Suku Khazraj; dan Bani Quraizah yang menjadi sekutu suku Aus. Peperangan yang terjadi diantara suku Khazraj dan suku Aus dengan sendirinya menempatkan ketiga suku Bani Israil tsb saling berhadapan, sehingga terjadilah saling membunuh, saling mengusir dan saling merampas diantara Bani Israil sendiri, yang  kesemuanya itu dilarang oleh Kitab Taurat yang menekankan persatuan dan kesatuan Bani Israil sebagai satu umat  agama Allah dan sebagai satu bangsa yang menurut Taurat laksana satu tubuh yang utuh.
Peperangan terjadi atas motif-motif duniawi, demikian pula yang mendasari sikap Bani Israil yang mengingkari Taurat, disebabkan oleh berbagai kepentingan duniawi mereka yang berkaitan dengan para sekutu mereka. Ketika mereka menebus para tawanan Yahudi saudara-saudara sebangsa mereka, kalangan Arab mempertanyakan sikap mendua itu. Kalangan Bani Israil menjawab bahwa agama mereka memerintahkan demikian, dan sesungguhnya mereka dilarang berperang satu sama lain. Ketika kalangan Arab mempertanyakan inkonsistensi mereka, Bani Israil menjawab, bahwa mereka merasa merosot martabatnya jika sekutu mereka dikalahkan atau dihinakan, Tetapi sesungguhnya motif utama mereka bukanlah abstraksi nilai martabat, tetapi lebih pada konkretasi hedonisme yang dapat mereka penuhi melalui harta-harta rampasan dalam peperangan.
Ayat ini mengecam sikap ambivalence Bani Israil dalam melaksanakan syari’at Taurat, padahal mereka benar-benar mengetahui perintah itu dan kebenarannya sebagaimana sejarah Taurat itu sendiri. Ambivalence yang berkembang menjadi kemunafikan itu pula yang mencegah mereka beriman kepada Rasulullah SAW, walaupun sesungguhnya mereka mengetahui berdasarkan isyarat-isyarat dalam Taurat bahwa Muhammad SAW adalah Utusah Allah. Sikap kemunafikan Bani Israil  terhadap Taurat itu oleh ayat diatas diancam dengan kehinaan di dunia dan azab di akhirat.
Subtansi mendasar terletak pada ayat ke-86, dengan kalimat :”uulaaikalladzienastarowul-hayaatad-dunya bil-aakhirot(i)…..” (Itulah orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat,….dst…). Maknanya bahwa pengejaran nilai duniawi yang dilakukan Bani Israil telah menjerumuskan mereka kepada kebangkrutan nilai-nilai ukhrowi. Inilah makna azab yang kekal bagi mereka. Artinya Bani Israil tidak akan memperoleh kebahagiaan transenden yang menjadi masa depan hakiki agama samawi, melainkan azab yang menggambarkan kehinaan transenden yang hakiki.
Bertolak dari naskah ke-98, dapat dinalarkan bahwa sikap Bani Israil dalam konteks penafsiran ayat-ayat diatas didasarkan pada rasionalitas ikatan perjanjian antar suku-suku atas sejumlah kepentingan bersama yang biasa terjadi pada masa itu. Mentaati perjanjian adalah bagian dari martabat dan kehormatan suatu suku. Jadi bagaimana mungkin mereka mengingkarinya walaupun untuk itu mereka harus berhadapan dengan suku Bani Israil lainnya. Ini berbeda dengan persepsi kehormatan ala Taurat tadi. Jadi dalam hal ini Bani Israil mengambil sikap rasional dengan tetap mentaati perjanjian antar suku disatu pihak, sementara dipihak lain mereka menebus tawanan Yahudi sebagai upaya untuk tetap mempertahankan keutuhan bangsa Israel setelah peperangan berakhir. Secara obyektif sikap ini dapat diterima, tetapi dalam pandangan para jumhur mufassirin sikap ini dikategorikan kemungkaran terhadap Taurat. Tetapi siapakah sebenarnya yang berhak menilai pelaksanaan syari’at Taurat ? para mufassir Islam atau para pemuka Bani Israil ? Sama dengan pertanyaan, siapa yang berhak menilai pelaksanaan syari’at Islam, para komentator Nasrani dan Barat atau para ‘Ulama’ Islam.?
Sejarah mencatat sejumlah peperangan antara Kaum Muslimin dengan Bani Israil antara lain dengan Bani Qainuqa justru setelah sebagian besar suku Khazraj sekutu mereka masuk Islam. Perang itu dipimpin langsung oleh Rasulullah SAW dengan panglima pendamping Hamzah bin Abdul Muththalib pamanda Nabi. Setelah dikepung selama 15 hari, Bani Qainuqa mohon perdamaian. Semula Nabi SAW menolak dan bersikap hendak menghancurkan mereka, tapi atas desakan Abdullah bin Ubay, Rasulullah SAW memperlunak putusannya dengan mengusir Bani Qainuqa dari wilayah pemukimannya tanpa harta benda mereka yang dijadikan pampasan perang oleh Tentara Islam (KH. Moenawar Chalil, 2001)                                      

Permusuhan tradisional

Terdapat permusuhan tradisional antara Muslim Arab dengan Bani Israil di tanah Arab, yang terbentuk terutama pada periode Madinah dimana terdapat suku-suku besar Yahudi di lingkungan territorial Madinah. Narasi jumhur mufassirin di awal dan pertengahan abad hijriyah menggambarkan suasana permusuhan tradisional itu yang sesungguhnya bersifat spesifik Muslim Arab vs Yahudi Madinah yang kemudian berkembang menjadi nilai-nilai permusuhan yang abadi, Yahudi vs Islam. Yahudi atau Bani Israil ditempatkan oleh para mufassirin sebagai symbol Iblis atau kejahatan, yang selalu memusuhi orang-orang Mukmin yang mewakili agama Allah dan kebaikan. Maka permusuhan Yahudi vs Arab Muslim dilembagakan secara simbolik sebagai permusuhan antara kejahatan dan kabaikan, antara kegelapan dan cayaha iman, antara kemusyrikan dan ketauhidan, dan akhirnya antara kesesatan dan keselamatan. Dan sebaliknya dari sudut pandang Bani Israil, yang memandang Kaum Muslimin adalah orang-orang bodoh dan sesat yang mengaku-aku menerima wahyu dari Tuhan, padahal itu dari Setan. Hanya Bani Israil yang menerima wahyu dari Tuhan Yahweh.
Permusuhan yang bersifat internal semitik ini sebenarnya tidak berkaitan dengan Muslim non-Arab atau non-Semitik, seperti Muslim Indonesia dan bangsa-bangsa Muslim non-Arab lainnya yang cenderung punya sikap sendiri yang lebih obyektif  dalam memandang Bani Israil dan sebaliknya.

Peperangan besar antara Bani Israil dengan Arab terjadi setidaknya sejak th. 1010 SM antara Raja Israel Saul dengan Bangsa Filistin, artinya peperangan kedua ras itu sudah terjadi sejak 3000 th yang lalu, jauh sebelum ada agama Islam. Peperangan itu terus berlanjut pada masa-masa sesudahnya melalui berbagai periode sejarah Mesir, Babilonia, Asiria, Asyur, Parsi dsb hingga masa sekarang. Artinya bahwa peperangan antara Israel dan Palestina yang memasuki babak yang menegangkan sekarang ini pada dasarnya bukan perang agama, melainkan perang peradaban antara kedua bangsa yang terjadi sejak perang besar th. 1010 SM di gunung Gilboa yang menewaskan Raja Israel Saul dan puteranya Yonatan (Karen Armstrong : One City, Three Faith, May 1970). Ada sejumlah jaringan yang terus-menerus mencoba memberikan status perang Israel-Palestina sebagai perang agama agar dapat menyeret seluruh ummat Islam diseluruh dunia dan seluruh masyarakat Barat terjerumus ke dalam perang, sebagaimana yang terjadi pada Perang Salib abad 12-14. Namun demikian tuntutan kemerdekaan nasional bangsa Palestina adalah sah dan harus didukung. Tetapi sekali lagi ini bukan perang agama melainkan perjuangan nasional untuk kemerdekaan Palestina.

Israel vs Palestina

Di zaman ini kita masih harus menyaksikan peperangan antara Israel dan Palestina, yang pada periode modern ini berpangkal pada Resolusi PBB No. 181, tgl. 19 Nopember 1947 dimana disebutkan ketentuan berdirinya dua negara di bumi Palestina, yaitu Negara Yahudi-Israel dan Negara Arab-Palestina. Sebelum ini Palestina berada dibawah kekuasaan Inggris selama 30 th yang pada perkembangan akhir tidak mampu mengendalikan situasi politik dan keamanan di Palestina. Dengan Resolusi No. 181 itu, PBB akhirnya memerintahkan Inggris menarik pasukannya dari bumi Palestina. Hal ini sebenarnya sudah kita bahas pada pengajian-pengajian terdahulu dan kini kita angkat lagi secara kontekstual. Mandat Inggris atas Palestina secara resmi baru dicabut DK PBB pada tgl. 15 Mei 1948. Kelicikan terjadi, ketika Inggris membiarkan pemimpin Zionis-Israel David Ben Gurion mendeklarasikan Negara Yahudi Israel pada tgl. 14 Mei 1948 jam 4.00 sore, sehari sebelum Tentara Inggris hengkang. Mestinya ini harus dicegah. Tetapi kalau kita memeriksa dokumen Balfour th. 1917 yang berisi dukungan Kerajaan Inggris bagi berdirinya negara Yahudi di Palestina, kita tahu bahwa Inggris justru merestui Ben Gurion. Setelah deklarasi Ben Gurion, perang dan kekerasan terus memenuhi bumi Palestina. Harapan perdamaian berkembang ketika Yaser Arafat dan Shimon Peres menyetujui sejumlah kesepakatan ‘peredaan ketegangan’. Wafatnya kedua pemimpin itu dan sakitnya PM Ariel Sharon serta kegagalan para penerusnya memupus segala mimpi perdamaian, dan mengobarkan kembali genderang perang, terutama setelah kemenangan Partai Hamas pimpinan Ismail Haniya pada Pemilu Palestina 25 Januari 2006 dan kemenangan Partai Kadima pimpinan Ehud Olmert pada Pemilu Israel 25 Maret 2006. Sikap politik  Hamas yang menolak mengakui eksistensi Negara Israel, membuat pemerintahan PM Ismail Haniya diboikot (keuangan) ramai-ramai  oleh Israel, Amerika Serikat dan Uni Eropa. Sementara PM Ehud Olmert membalas Hamas, dengan mengumumkan program perbatasan baru Israel yang mencaplok kawasan subur Lembah Yordan, enam kompleks pemukiman besar Yahudi di Tepi Barat dan kota Yerusalem Timur. Ketegangan segera meninggi. Dan kini dengan insiden penyanderaan kopral Israel Gilad Shalit oleh milisi Hamas dan sejumlah sayap militer organisasi perjuangan Palestina, Israel melancarkan serangan-serangan militer berskala besar terhadap posisi-posisi Palestina, bahkan terakhir tak kurang kantor PM Palestina dihantam rudal Israel.
Kalau kita mengikuti scenario pemimpin Freemasonry mendiang Albert Pike (1871)  tentang Perang Dunia Ketiga dan Prediksi Samuel P Huntington tentang Perang Peradaban “The Clash of Civilization” (1993), maka kita akan menarik Perang Palestina-Israel itu menjadi Perang Islam melawan Yahudi-Nasrani-Barat. Pandangan Samuel Huntington itu dibantah oleh Fouad Ajami Profesor dan Director Midle East pada John Hopkin University, USA (1993). Menurut Fouad, momentum akhir perang dingin yang dipilih oleh Samuel Huntington sebagai akhir sejarah yang mengembalikan peran peradaban yang laksana bangun kembali secara utuh dari dikubur hidup-hidup, kedap air, lalu muncul segar-bugar dari balik batu perang dingin yang terguling, sulit diterima dan dimengerti secara obyektif. Peradaban-peradaban itu (Islam, Slavik-Ortodoks, Barat, Khonghucu,Jepang, Hindu dll) mengalami carut marut, kekisruhan nilai-nilai karena proses perubahan yang berpengaruh terhadap individu-individu. Semua telah bergeser dari tempatnya semula oleh modernisasi, sekularisasi dan liberalisasi yang terjadi di Turki, Mesir, Negara-negara Islam non-Arab, termasuk Pakistan, Malaysia dan Indonesia.
Fouad Ajami bahkan mengatakan, bahwa fenomena yang kita namai fundamentalisme Islam dewasa ini bukanlah tanda kebangkitan Islam, melainkan hanya kepanikan, kebingungan dan rasa bersalah, karena perbatasan dengan yang lain  telah terseberangi. Maksudnya modernisasi Barat dalam peradaban Islam. Bahkan menurut Ajami revolusi teokratis Iran masih belum bisa menyapih masyarakat Iran dari budaya Barat. Bahkan di Aljazair masyarakat menengah Muslim yang merupakan kekuatan strategis negeri itu memilih represi militer untuk mengembalikan ketertiban sekular daripada rejim yang korup atau fundamentalisme Islam. Dengan demikian Profesor Ajami ingin memastikan bahwa perang peradaban ala Samuel Huntington (dan PD III ala Albert Pike) tidak akan terjadi. Yang terjadi adalah modernisasi, sekularisasi dan liberalisasi alamiah yang secara akulturatif melanda seluruh dunia, tak terkecuali dunia Arab dan dunia Islam. Sekian, terima kasih.

Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi Sabilih,
Wassalamu’alaikum War. Wab.

Jakarta, 7 Juli 2006,
Pengasuh,



HAJI AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front Persatuan Nasional




Tidak ada komentar:

Posting Komentar