Pengajian Keseratus Duabelas (112)
Oleh : KH. Agus Miftach
Assalamu’alaikum War. Wab,
Bismillahirrahmanirrahiem,
“Sebagian besar Ahli Kitab berharap agar
mereka dapat mengembalikanmu kepada kekafiran, setelah kamu beriman. Hal itu
karena kedengkian dari dalam dirinya setelah kebenaran jelas terang bagi
mereka. Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka hingga Allah mendatangkan
putusanNya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (109) Dirikanlah
shalat dan tunaikanlah zakat. Kebaikan apapun yang kamu lakukan untuk dirimu,
maka kamu akan menemukannya pada sisi Allah. Sesungguhnya Dia Maha Melihat
apa-apa yang kamu kerjakan. (110); Al-Baqoroh : 109-110.
Rangkaian kedua ayat ini akan kita bahas
seperti tradisi kita, dengan pendekatan eklektik multipersepektif, baik dari
perspektif teologi, antropologi, historiografi maupun psikologi dll secara
komprehehnsif dan holisitis agar dapat tercapai hikmah yang setinggi-tingginya
dari kandungan kedua ayat ini.
Pokok Bahasan
Ayat 109
ini turun sebagai sanggahan
terhadap Hayiy bin Akhtab dan Abi Yasir bin Akhtab, dua tokoh Yahudi yang
bersikap sangat anti-Arab dan anti Rasulullah saw. Ayat 109 ini
menginformasikan bahwa kalangan Yahudi menginginkan agar kaum Muslimin kembali kafir atau kembali kepada kepercayaan
lama mereka sebagai paganis. Meski demikian pada fase ini Allah menitahkan agar
Kaum Muslimin bersikap sabar-tabah dengan membiarkan, memaafkan dan menanggung
derita tekanan, hingga tiba waktunya Allah menjatuhkan putusanNya berupa
penaklukan terhadap Yahudi sekaligus pertolongan bagi Muslimin.
Selama masa bersabar itu kaum Muslimin
diperintahkan untuk menegakkan sholat dan menunaikan zakat yang berfungsi
memperteguh iman dan persatuan. Menurut Ibnu Katsir ayat ini kemudian di nasakh
dengan ayat yang memerintahkan “membunuh” kaum musyrikin dimana saja kaum
Muslimin menemukannya. Demikian pula Abu al-Aliyah, Rabi’ bin Anas, Qatadah dan
as-Sirri mengatakan ayat ini di nasakh dengan ayat tentang pedang.
Tidak lama kemudian memang terjadi penyerbuan
kaum Muslimin kepada dua suku besar Bani Israil di Madinah, yaitu Bani Quraizah
dan Bani Nadir yang berakhir dengan kekalahan Yahudi, dan penjatuhan hukuman
bagi para pemimpinnya, karena telah berkhianat.
Penegakan sholat dan zakat mendapatkan
penekanan lagi pada ayat ke 110 sebagai amal ibadah yang berdampak bukan hanya
bagi peneguhan jiwa dan persatuan, melainkan juga bagi manfaat transenden yang
lebih besar di alam akhirat kelak. Disini dikemukakan manfaat duniawi dan
ukhrowi sekaligus bagi sholat dan zakat. Ibadah yang menggambarkan ekuilibrium
duniawi-ukhrowi merupakan ciri khas Islam yang menjadikannya memimpin peradaban
selama lebih 700 th sejak abad ke-8 hingga abad ke-16. Akhir kalimat ayat ke
110,”innallaaha bimaa ta’maluuna bashier(un)” : “sesungguhnya Allah melihat
apa-apa yang kamu kerjakan”, menggambarkan sisi pragmatisme Islam yang
menjadikannya memiliki kekuatan untuk terus berkembang di zaman modern.
Memimpin peradaban
Di awal modern pada abad ke -16 Islam masih
merupakan kekuatan global terkuat, baik secara politik maupun ekonomi. Meskipun
hanya berjumlah sepertiga penduduk dunia, ummat Islam menebar merata di
sepanjang Timur Tengah, Asia dan Afrika, maka kerajaan Islam dianggap sebagai
mikrokosmos sejarah dunia, menandakan kaum Muslimin mampu berperan pada
sebagian besar dunia berperadaban di zaman awal modern.
Ada tiga kerajaan Islam baru yang berdiri di awal
abad 16, yaitu Utsmaniyah yang berpusat di Turki yang wilayahnya
membentang dari Asia Kecil, Anatolia, Irak, Suriah hingga Afrika Utara; Safawiyah
berpusat di Iran dan Mongol di India. Ketiga kerajaan memiliki ideology
keislaman yang berbeda. Imperium Mongol dianggap mewakili filosofi rasionalisme
universal yang toleran yang terkenal dengan istilah “falsafah”. Sementara para
Syah Safawiyah menjadikan faham minoritas elitis Syi’ah menjadi ideology
negara. Sedangkan Turki Utsmaniyah berazaskan pada faham Suni yang menjunjung
tinggi syariat. Tak dapat disangkal ketiganya merupakan imperium modern yang
diperintah secara sistematis, rasional dan birokratik.
Pada awal kejayaannya, negara Utsmaniyah oleh
para analis Barat dikatakan jauh lebih efisien dan efektif dibandingkan dengan
kerajaan Eropa manapun. Puncak kebesaran Utsmaniyah ketika berada dibawah
pemerintahan Sulaiman Agung (1520-1566). Masa itu ekspansinya mencapai Yunani,
Balkan dan Hungaria, dan hanya dinodai kegagalannya merebut Wina pada th. 1529.
Sementara itu imperium Safawiyah di Iran membangun jalan raya, perhotelan,
merasionalisasi ekonomi dan modernisasi perdagangan internasional menjadikannya
yang terdepan. Sedangkan Imperium Mongol mencapai masa gemilang dibidang
industri pertanian dan arsitektur.
Ketiga imperium Islam itu menerangi dunia
dengan kebangkitan cultural. Abad ke-16 adalah zaman paling gemilang bagi
arsitektur Utsmaniyah, seni lukis Sfawiyah dan monumen-monumen Mongol ala Taj
Mahal yang berkekuatan abadi. Inilah zaman dunia yang diterangi dengan kemajuan
akal dan ilmu. Tanpa melintasi zaman transformative ini, dunia tidak akan
pernah sampai pada tingkat modernitas seperti sekarang ini. Sayang oleh
berbagai pergulatan politik internal, ketiga imperium itu kembali terjebak
kedalam konservativisme, sebagaimana dikatakan ilmuwan Amerika Marshall G.S.
Hodgson.
Kemunduran.
Masyarakat konservatis pra modernis di dunia
Islam itu menghadapi bahaya, terutama karena transisi yang sulit dari
konservatif ke semangat modern, sementara etos Barat modern yang sekuler tengah
merebak hebat. Akibatnya malah membangkitkan semangat fundamentalisme di
sebagian masyarakat muslim yang membawa keadaan semakin mundur ke belakang ke
zaman puritanisme yang berada dibelakang garis pra-modernis.
Landasan peradaban pra-modernis Islam adalah
struktur perekonomian agraris dengan segala keterbatasannya terutama sumber
daya dan permodalan. Innovasi berjalan lambat karena alur tradisional
membutuhkan modal tinggi, terutama meliputi sarana-pra sarana dan tenaga kerja
serta modal awal yang menjadi semakin mahal. Agaknya daya dan nilai
pra-modernis tidak mampu lagi memikul beban perkembangan zaman yang terus
bergerak maju. Dan segera tertinggal ketika peradaban Barat modern mulai
memperkenalkan modernisasi teknologi dan reinvestasi yang memungkinkan
terjadinya inovasi terus-menerus.
Masyarakat Barat modern adalah hasil dari
pemikiran rasional yang berjalur tunggal, hasil dari logos yang selalu
memandang ke depan (kebalikan mitos yang selalu memandang kebelakang). Logos
selalu berupaya mengetahui, memperluas kemampuan dan mengendalikan lingkungan
yang menjadi sumber energi bagi kebangkitan ekonomi modern yang agresif. Pada zaman
ini keterbatasan budaya ekonomi agraris telah ditinggalkan menuju kepada budaya
ekonomi modern yang berasaskan pada teknologi dan investasi yang tak terbatas.
Perlu diperhatikan adalah pola pendidikan
dimana system hafalan yang tidak mendorong orisinalitas siswa mulai
ditinggalkan di Barat. Demikian pula pendidikan tidak tunduk pada nilai-nilai
sosial yang statis, melainkan selalu berorientasi pada gagasan gagasan baru
kedepan dengan kebebasan berekspresi sepenuhnya, dalam rangka menciptakan
inovasi disegala bidang.
Memasuki abad 20 dapat dikatakan kepemimpinan
peradaban Islam tinggal menjadi sejarah, berganti kepemimpinan peradaban Barat
modern dengan ciri rasionalisme sepenuhnya, dengan meninggalkan mitos-gereja
jauh di belakang garis tradisional. Sekian, selamat memasuki sepuluh hari kedua
bulan suci Ramadhan, semoga maghfirah melimpahi kita semua.
Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi Sabilih,
Wassalamu’alaikum War. Wab.
Bogor, 7 Oktober 2006,
Pengasuh,
KH. AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front Persatuan Nasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar