11.7.17

Pengajian Kesembilanpuluh Lima (95),MALANG






Pengajian Kesembilanpuluh Lima (95),

Assalamu’alaikum War. Wab.
Bismillahirrahmanirrahiem,














“Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal segolongan dari mereka mendengar Firman Allah, kemudian mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui ? (75). Apabila mereka bertemu dengan orang-orang yang beriman, mereka berkata,”Kamipun telah beriman,” tetapi apabila mereka berada sesama mereka saja, lalu mereka berkata,”Apakah kamu menceritakan kepada mereka (orang-orang mukmin) apa yang diterangkan Allah kepadamu, agar dengan demikian mereka dapat mengalahkan hujjahmu dihadapan Tuhanmu, tidakkah kamu mengerti ?” (76). Tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah mengetahui segala yang mereka sembunyikan dan segala yang mereka nyatakan ? (77).”; Al-Baqoroh : 75-77.

Seperti tradisi pengajian ini, kita akan melakukan pembahasan ayat-ayat ini dengan pendekatan eklektik, dari berbagai sudut pandang, baik teologis, historiografis, antropologis maupun psikologis secara holistis, agar mendapatkan hikmah yang setinggi-tingginya dari kandungan setiap ayat yang kita bahas.

Pokok Bahasan

Ketiga ayat diatas,meskipun secara redaksional bukan lagi rangkaian yang utuh dengan 8 ayat sebelumnya, namun secara substansial berada dalam satu alur histories-psikologis yang berkaitan dengan karakter atau struktur kepribadian (basic personality structure) Bani Israil yang bercorak sinkretis-paganis (vide, Pengajian ke 92-94).

Ayat ke-75 diatas menerangkan bahwa elite Bani Israil di masa lalu memahami Firman Allah yang mereka terima, namun mereka kemudian mencampurnya dengan faham paganisme-pharao’s, sehingga menjadi sinkretisme (kemusyrikan), yang menurut keyakinan mereka menjadi bentuk sublimasi-spiritual yang lebih tinggi derajat-nya dari sekedar wahyu Taurat yang hanya berisi rejim dogmatis dan ritualitas yang kaku (vide, Pengajian ke-94). Ini menjadi landasan kalimat,”Afatathma’uuna” : ‘Apakah kamu masih mengharapkan……dst  ?’,yang makna sebenarnya adalah, bahwa dengan pola sinkretisme-nya itu iman Bani Israil sungguh tidak dapat diharapkan.
Menurut Qatadah r.a. pengubahan itu menyangkut substansi halal menjadi haram, kebenaran menjadi kebatilan, dan sebaliknya.
Tentang klaim para mufassirin mengenai adanya berita kerasulan Muhammad SAW dalam Taurat, tidak pernah diakui Bani Israil. Dan lebih dari itu Bani Israil terbiasa nengubah isi Kitab suci mereka berdasarkan kebutuhan sosial mereka, sehingga secara eksplisit memang tidak terbaca harfiahnya, tetapi secara implisit dapat digali, dianalisis, ditafsirkan dan disimpulkan. Tentu saja ini membuka ruang debatable. Tetapi agama-agama besar memang tidak jauh dari hal-hal semacam itu, seperti kontroversi tentang keilahian dan kemanusiaan Yesus yang menjadi menghangat dengan kemunculan novel-sejarah Dan Brown : the Davinci Code (2004/2005), dan terakhir dengan munculnya “Kodeks Tchacos (Injil Yudas),2006” yang mengguncang teologi tradisional Kristen. Kita doakan umat Kristen mampu melintasi krisis yang mendasar itu.
 Berkaitan dengan Yesus Kristus para narator Bibel juga mengklaim bahwa diutusnya Yesus telah diberitakan dalam Taurat sebagai Mesias atau Juru Selamat Bani Israil. Bahkan Taurat dinamakan Old Testament (Perjanjian Lama) dan merupakan Liturgi utama Kitab Suci Kaum Nasrani. Tetapi Bani Israil tidak mengakui klaim para narator Bibel itu. Juru Selamat dimaksud Bani Israil adalah keturunan Daud yang akan membangun kerajaan duniawi Bani Israil yang jaya seperti kerajaan Daud dan Sulaiman, bukan kerajaan sorgawi yang transenden seperti yang didalilkan Yesus al-Masih yang menurut pandangan Kaum Yahudi adalah seorang pengkhianat.  

Berkaitan dengan ayat ke-76 diatas, dapat dipastikan bahwa pernyataan keimanan mereka yang dinyatakan dengan kalimat,”qooluu aamannaa” adalah bohong belaka. Menurut narasi jumhur mufassirin, itu lebih ditujukan agar mereka tetap memperoleh akses ke lingkungan Bani Aus dan Bani Khazraj yang sebelum Islam pernah menjadi sekutu dekat mereka, dan kini sebagian besar telah beriman. Secara internal Bani Israil memiliki sikap keras untuk tidak mengakui kerasulan Munammad SAW meskipun mereka mengetahui tanda-tanda kebenarannya dalam Taurat, tetapi mereka akan senantiasa menyembunyikan tanda-tanda itu, karena dirasa akan merugikan kedudukan sosial mereka. Artinya mereka tetap kafir terhadap Risalah Muhammad SAW, seperti mereka juga kafir terhadap Risalah Nabi Isa a.s. sebelumnya.
Berbagai politik kamuflage yang mereka gunakan dalam menghadapi Kaum Muslimin, sesungguhnya tidak ada gunanya karena telah diketahui oleh Rasulullah SAW sebagaimana diungkapkan dalam ayat ke-77 dengan kalimat,”annallaha ya’lamu….dst.” : ‘bahwa Allah mengetahui yang mereka sembunyikan dan mereka nyatakan’.

Membebaskan Jerusalem.

Ketika menerima perjanjian damai dengan Kaum Muslimin di Madinah sebenarnya Bani Israil yang terdiri dua suku besar Bani Quraizhah dan Bani Nadhir memiliki agenda tersembunyi, yaitu ingin membentuk aliansi militer dengan Kaum Muslimin untuk merebut Jerusalem dari tangan kekuasaan kaum Nasrani. Sejak kehancuran Jerusalem oleh Nebukadnezar dari Babilonia pada th. 597 SM disusul deportasi para bangsawan ke Babilonia dan diaspora ke Mesir, Transyordania dan keberbagai kawasan lainnya, selalu terdapat kerinduan Bani Israil untuk kembali berkuasa di Jerusalem. Tetapi kehancuran Jerusalem yang demikian parah dan lemahnya kedudukan politik dan ekonomi kota suci itu membuat upaya rehabilitasi dan rekonstruksi Jerusalem selalu mengalami kegagalan.

Pada masa Rasulullah SAW Jerusalem berada dibawah kekuasaan Kaisar Romawi Heraklius yang  menganut agama Kristen. Dengan kemampuannya sendiri sudah barangtentu Bani Israil tidak akan mampu merebut Jerusalem dari kekuasaan Romawi yang besar dan kuat itu. Maka mereka ingin membangun aliansi dengan Kaum Muslimin untuk tujuan itu. Tetapi pertumbuhan Kaum Muslimin yang demikian pesat menjadikannya pusat kekuasaan di Madinah. Akibatnya Bani Israil tidak mendapat kesempatan menekan Kaum Muslimin untuk mewujudkan ambisi mereka itu. Ini membuat Bani Israil bersikap “membalik” dan tanpa kehormatan sedikitpun mengingkari perjanjian damai dengan Kaum Muslimin. Mereka mulai menghimpun kekuatan dari unsur-unsur suku Aus dan Khazraj yang belum beriman, orang-orang munafik dll yang merasa dirugikan dengan kemunculan kekuasaan Islam, untuk bersama-sama melawan Rasulullah SAW secara terang-terangan. Secara politis mereka berupaya mengembalikan bangsa Arab kepada faham paganisme lama dan meninggalkan Islam. Ini menjadi asbabun-nuzul turunnya Al-Baqoroh : 109 :”Sebagian ahli-kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka sampai Allah mendatangkan perintahNya. Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu”.

Sejarah mencatat Jerusalem berhasil dibebaskan oleh gabungan pasukan Islam dibawah pimpinan para panglima besar Abu Ubaidah ibn Jarrah, Khalid bin Walid, Mu’awiyah bin Abu Sofyan dan Amru ibn Ash, pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibn Chattab pada abad pertama hijriyah (13-23 H/634-644 M). Partriarch (Uskup Agung) Sophronius didampingi Panglima Roma Timur Artavon telah menyerahkan secara damai kota Jerusalem langsung kepada Khalifah Umar yang datang dari ibukota Madinah-al Munawarah mengendarai seekor unta merah biasa tanpa tanda-tanda kebesaran apapun dan hanya ditemani seorang sahaya-nya dengan perbekalan layaknya seorang pengembara biasa. Kesederhanaan Khalifah Umar r.a. pemimpin tertinggi imperium terbesar di dunia pada masa itu adalah bagian yang menakjubkan dunia dan menjadi catatan yang agung dalam sejarah. Sikap Umar yang sangat menghormati perbedaan agama dan budaya (multikulturisme) menjadi keajaiban yang lain lagi dari seorang Amirul-Mukminin dan menjadi cahaya yang bersinar terang di kota suci Jerusalem.


Baitul Maqdis (Bait Suci)

Di bukit Zion yang suci yang disebut oleh Ummat Islam dengan Baitul Maqdis (Bait Suci) atau Masjid al-Aqsha (Masjid yang Jauh) yang merupakan situs suci Haekal Sulaiman (the Temple of Solomon), Patriarch
Shopronius menawarkan Gereja suci yang dibangun Kaisar Heraklius (610-641 M) untuk Shalat Dzuhur Khalif Umar dan rombongannya. Umar berkata : “Kalau saya Shalat di situ, saya khawatir dibelakang hari orang Islam akan merampas Gereja Tuan dan menjadikannya sebuah Masjid”. Umar lalu menggariskan sebuah tapak untuk pembangunan Masjid. Diatas tanah kosong itulah Khalif Umar beserta para panglimanya melaksanakan Shalat Dzuhur berjama’ah. Baru setengah abad kemudian diatas tapak itu Khalif Abdul Malik (65-86 H/685-705 M) penguasa Islam dari Dinasti Umayyah mendirikan Masjid Umar yang terkenal itu dan merupakan bangunan Muslim pertama di situs Haekal.
Khalif Umar juga mengunjungi “Batukarang Suci” di bukit Zion, situs dimana Ya’qub a.s. (Israil) menerima wahyu yang pertama. Dimasa kebesaran Haekal Sulaiman yang dibangun Raja/Nabi Sulaiman a,s. (970-930 SM) Batukarang Suci itu disebut Matzevot dan berada ditempat yang paling suci dari Haekal yaitu Devir atau Holy of Holies. Haekal Sulaiman dihancurkan oleh Kaisar Babilonia Nebukadnezar pada th. 597 SM. Dibangun kembali oleh Nabi Nehemia dan Nabi Ezra dengan bantuan Kaisar Parsi Cyrus the Great (550-530 SM) yang berhasil menaklukkan Babilonia dan Palestina.  Haekal Sulaiman memperoleh kemegahannya kembali pada masa Herod the Great Raja Israel yang diangkat Romawi (37-4 SM) meski tanpa Tabut Perjanjian yang lenyap sejak penyerbuan Nebukadnezar yang kedua 586 SM. Pada th. 65-75 M bangsa Yahudi melancarkan pemberontakan besar terhadap kekaisaran Romawi yang menjajah Jerusalem. Dalam rangka memadamkan Pemberontakan itu Panglima Titus pada th. 70 M menduduki dan menghancurkan Haekal Sulaiman yang dianggap sebagai sumber kekuatan Yahudi. Setelah menang Panglima Titus bahkan menghalau bangsa Yahudi keluar Palestina. Inilah diaspora yang kedua bangsa Yahudi yang menyebar keberbagai kawasan setelah diaspora pertama di masa Nebukadnezar.
Dua setengah abad kemudian Kaisar Romawi Constantine the Great (306-337 M) mendirikan Gereja Kristen di bukit Zion yang kemudian dianggap sebagai tempat suci oleh umat Kristen. Gereja itu dihancurkan oleh Kaisar Parsi Khosru Parviz (589-628 M) ketika menyerang Imperium Romawi dan merebut Jerusalem. Gereja itu dibangun kembali oleh Kaisar Heraklius (610-641 M) setelah berhasil menghalau Imperium Parsi itu.

Adalah Khalif Abdul Malik pula yang kemudian membangun Qubbet as Skhrah atau Dome of the Rock (Kubah Karang) yang indah-megah di situs Matzevot di bukit Haekal yang dipandang suci baik oleh Yahudi maupun Islam. Pada peristiwa Isra’-Mi’raj (621 M) Nabi Muhammad SAW Shalat Sunnat Dua Raka’at di Batukarang itu lalu Mi’raj. Jadi pada peristiwa Isra’-Mi’raj yang disebut Masjidil Aqsha itu hanya situs teofani Haekal Sulaiman yang berupa dataran kosong di puncak bukit Zion, dan tanda kesuciannya hanyalah Batukarang itu. Bangunan Masjid megah baru didirikan awal abad ke-8 pada th. 709 oleh Khalifah Umayyah Al-Walid I. Masjid ini runtuh oleh gempa bumi  11 September 747. Khalifah Abbasiyah Al-Manshur membangun kembali Masjid Al-Walid itu pada th. 757. Mesjid itu runtuh kembali oleh gempa pada th. 771. Ketika Khalifah Al-Mahdi memegang tampuk kekuasaan (775-785) dia memerintahkan agar Masjid itu dibangun kembali dan diperluas dengan mengerahkan dana dari semua gubernur propinsi dan komandan daerah militer. Ini merupakan era terpentig dari riwayat Masjid di Baitul Muqaddas ini. Kini ia memiliki sebuah kubah yang  jauh lebih lebar dan lebih indah dari sebelumnya, dan keseluruhannya merupakan arsitektur istana religius yang luas dengan kemegahan dan keindahan yang belum pernah ada sebelumnya. Masjid inilah yang kemudian disebut  sebagai Masjid al-Aqsha (Masjid yang Jauh) hingga sekarang.
Banyak hal yang harus kita pelajari. Sekian.
Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi Sabilih,
Wassalamu’alaikum War. Wab.

Jakarta 6 Juni 2006,
Pengasuh,



K.H. AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front Persatuan Nasional.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar