Pengajian Kesembilanpuluh Lima (95),
Assalamu’alaikum
War. Wab.
Bismillahirrahmanirrahiem,
“Apakah kamu masih
mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal segolongan dari mereka
mendengar Firman Allah, kemudian mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya,
sedang mereka mengetahui ? (75). Apabila mereka bertemu dengan orang-orang yang
beriman, mereka berkata,”Kamipun telah beriman,” tetapi apabila mereka berada
sesama mereka saja, lalu mereka berkata,”Apakah kamu menceritakan kepada mereka
(orang-orang mukmin) apa yang diterangkan Allah kepadamu, agar dengan demikian
mereka dapat mengalahkan hujjahmu dihadapan Tuhanmu, tidakkah kamu mengerti ?”
(76). Tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah mengetahui segala yang mereka
sembunyikan dan segala yang mereka nyatakan ? (77).”; Al-Baqoroh : 75-77.
Seperti
tradisi pengajian ini, kita akan melakukan pembahasan ayat-ayat ini dengan
pendekatan eklektik, dari berbagai sudut pandang, baik teologis,
historiografis, antropologis maupun psikologis secara holistis, agar
mendapatkan hikmah yang setinggi-tingginya dari kandungan setiap ayat yang kita
bahas.
Pokok
Bahasan
Ketiga
ayat diatas,meskipun secara redaksional bukan lagi rangkaian yang utuh dengan 8
ayat sebelumnya, namun secara substansial berada dalam satu alur
histories-psikologis yang berkaitan dengan karakter atau struktur kepribadian
(basic personality structure) Bani Israil yang bercorak sinkretis-paganis
(vide, Pengajian ke 92-94).
Ayat
ke-75 diatas menerangkan bahwa elite Bani Israil di masa lalu memahami Firman
Allah yang mereka terima, namun mereka kemudian mencampurnya dengan faham
paganisme-pharao’s, sehingga menjadi sinkretisme (kemusyrikan), yang menurut
keyakinan mereka menjadi bentuk sublimasi-spiritual yang lebih tinggi derajat-nya
dari sekedar wahyu Taurat yang hanya berisi rejim dogmatis dan ritualitas yang
kaku (vide, Pengajian ke-94). Ini menjadi landasan kalimat,”Afatathma’uuna” : ‘Apakah kamu masih mengharapkan……dst ?’,yang makna sebenarnya adalah, bahwa
dengan pola sinkretisme-nya itu iman Bani Israil sungguh tidak dapat
diharapkan.
Menurut
Qatadah r.a. pengubahan itu menyangkut substansi halal menjadi haram, kebenaran
menjadi kebatilan, dan sebaliknya.
Tentang
klaim para mufassirin mengenai adanya berita kerasulan Muhammad SAW dalam
Taurat, tidak pernah diakui Bani Israil. Dan lebih dari itu Bani Israil
terbiasa nengubah isi Kitab suci mereka berdasarkan kebutuhan sosial mereka,
sehingga secara eksplisit memang tidak terbaca harfiahnya, tetapi secara
implisit dapat digali, dianalisis, ditafsirkan dan disimpulkan. Tentu saja ini
membuka ruang debatable. Tetapi agama-agama besar memang tidak jauh dari
hal-hal semacam itu, seperti kontroversi tentang keilahian dan kemanusiaan
Yesus yang menjadi menghangat dengan kemunculan novel-sejarah Dan Brown : the Davinci Code (2004/2005),
dan terakhir dengan munculnya “Kodeks
Tchacos (Injil Yudas),2006” yang mengguncang teologi tradisional Kristen.
Kita doakan umat Kristen mampu melintasi krisis yang mendasar itu.
Berkaitan dengan Yesus Kristus para narator
Bibel juga mengklaim bahwa diutusnya Yesus telah diberitakan dalam Taurat
sebagai Mesias atau Juru Selamat Bani Israil. Bahkan Taurat dinamakan Old Testament (Perjanjian Lama) dan merupakan
Liturgi utama Kitab Suci Kaum Nasrani. Tetapi Bani Israil tidak mengakui klaim
para narator Bibel itu. Juru Selamat dimaksud Bani Israil adalah keturunan Daud
yang akan membangun kerajaan duniawi Bani Israil yang jaya seperti kerajaan
Daud dan Sulaiman, bukan kerajaan sorgawi yang transenden seperti yang
didalilkan Yesus al-Masih yang menurut pandangan Kaum Yahudi adalah seorang
pengkhianat.
Berkaitan
dengan ayat ke-76 diatas, dapat dipastikan bahwa pernyataan keimanan mereka
yang dinyatakan dengan kalimat,”qooluu
aamannaa” adalah bohong belaka. Menurut narasi jumhur mufassirin, itu lebih
ditujukan agar mereka tetap memperoleh akses ke lingkungan Bani Aus dan Bani Khazraj yang sebelum Islam pernah
menjadi sekutu dekat mereka, dan kini sebagian besar telah beriman. Secara
internal Bani Israil memiliki sikap keras untuk tidak mengakui kerasulan
Munammad SAW meskipun mereka mengetahui tanda-tanda kebenarannya dalam Taurat,
tetapi mereka akan senantiasa menyembunyikan tanda-tanda itu, karena dirasa
akan merugikan kedudukan sosial mereka. Artinya mereka tetap kafir terhadap
Risalah Muhammad SAW, seperti mereka juga kafir terhadap Risalah Nabi Isa a.s.
sebelumnya.
Berbagai
politik kamuflage yang mereka gunakan dalam menghadapi Kaum Muslimin,
sesungguhnya tidak ada gunanya karena telah diketahui oleh Rasulullah SAW
sebagaimana diungkapkan dalam ayat ke-77 dengan kalimat,”annallaha ya’lamu….dst.” : ‘bahwa Allah mengetahui yang mereka
sembunyikan dan mereka nyatakan’.
Membebaskan
Jerusalem.
Ketika
menerima perjanjian damai dengan Kaum Muslimin di Madinah sebenarnya Bani
Israil yang terdiri dua suku besar Bani
Quraizhah dan Bani Nadhir
memiliki agenda tersembunyi, yaitu ingin membentuk aliansi militer dengan Kaum
Muslimin untuk merebut Jerusalem dari tangan kekuasaan kaum Nasrani. Sejak
kehancuran Jerusalem
oleh Nebukadnezar dari Babilonia pada th. 597 SM disusul deportasi para
bangsawan ke Babilonia dan diaspora ke Mesir, Transyordania dan keberbagai
kawasan lainnya, selalu terdapat kerinduan Bani Israil untuk kembali berkuasa
di Jerusalem .
Tetapi kehancuran Jerusalem yang demikian parah
dan lemahnya kedudukan politik dan ekonomi kota
suci itu membuat upaya rehabilitasi dan rekonstruksi Jerusalem selalu mengalami kegagalan.
Pada
masa Rasulullah SAW Jerusalem
berada dibawah kekuasaan Kaisar Romawi Heraklius
yang menganut agama Kristen. Dengan
kemampuannya sendiri sudah barangtentu Bani Israil tidak akan mampu merebut Jerusalem dari kekuasaan
Romawi yang besar dan kuat itu. Maka mereka ingin membangun aliansi dengan Kaum
Muslimin untuk tujuan itu. Tetapi pertumbuhan Kaum Muslimin yang demikian pesat
menjadikannya pusat kekuasaan di Madinah. Akibatnya Bani Israil tidak mendapat
kesempatan menekan Kaum Muslimin untuk mewujudkan ambisi mereka itu. Ini
membuat Bani Israil bersikap “membalik” dan tanpa kehormatan sedikitpun
mengingkari perjanjian damai dengan Kaum Muslimin. Mereka mulai menghimpun
kekuatan dari unsur-unsur suku Aus dan Khazraj yang belum beriman, orang-orang
munafik dll yang merasa dirugikan dengan kemunculan kekuasaan Islam, untuk bersama-sama
melawan Rasulullah SAW secara terang-terangan. Secara politis mereka berupaya
mengembalikan bangsa Arab kepada faham paganisme lama dan meninggalkan Islam.
Ini menjadi asbabun-nuzul turunnya Al-Baqoroh : 109 :”Sebagian ahli-kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu
kepada kekafiran setelah kamu beriman karena dengki yang (timbul) dari diri
mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka maafkanlah dan
biarkanlah mereka sampai Allah mendatangkan perintahNya. Sesungguhnya Allah Mahakuasa
atas segala sesuatu”.
Sejarah
mencatat Jerusalem berhasil dibebaskan oleh gabungan pasukan Islam dibawah
pimpinan para panglima besar Abu Ubaidah
ibn Jarrah, Khalid bin Walid, Mu’awiyah bin Abu Sofyan dan Amru ibn Ash, pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibn Chattab pada abad
pertama hijriyah (13-23 H/634-644 M). Partriarch
(Uskup Agung) Sophronius didampingi
Panglima Roma Timur Artavon telah
menyerahkan secara damai kota Jerusalem langsung kepada Khalifah Umar yang
datang dari ibukota Madinah-al Munawarah mengendarai seekor unta merah biasa
tanpa tanda-tanda kebesaran apapun dan hanya ditemani seorang sahaya-nya dengan
perbekalan layaknya seorang pengembara biasa. Kesederhanaan Khalifah Umar r.a.
pemimpin tertinggi imperium terbesar di dunia pada masa itu adalah bagian yang
menakjubkan dunia dan menjadi catatan yang agung dalam sejarah. Sikap Umar yang
sangat menghormati perbedaan agama dan budaya (multikulturisme) menjadi
keajaiban yang lain lagi dari seorang Amirul-Mukminin dan menjadi cahaya yang
bersinar terang di kota suci Jerusalem .
Baitul
Maqdis (Bait Suci)
Di
bukit Zion yang suci yang disebut oleh Ummat
Islam dengan Baitul Maqdis (Bait Suci) atau Masjid al-Aqsha (Masjid yang Jauh)
yang merupakan situs suci Haekal Sulaiman (the Temple of Solomon ),
Patriarch
Shopronius
menawarkan Gereja suci yang dibangun Kaisar Heraklius (610-641 M) untuk Shalat
Dzuhur Khalif Umar dan rombongannya. Umar berkata : “Kalau saya Shalat di situ, saya khawatir dibelakang hari orang Islam
akan merampas Gereja Tuan dan menjadikannya sebuah Masjid”. Umar lalu
menggariskan sebuah tapak untuk pembangunan Masjid. Diatas tanah kosong itulah
Khalif Umar beserta para panglimanya melaksanakan Shalat Dzuhur berjama’ah. Baru
setengah abad kemudian diatas tapak itu Khalif
Abdul Malik (65-86 H/685-705 M) penguasa Islam dari Dinasti Umayyah
mendirikan Masjid Umar yang terkenal itu dan merupakan bangunan Muslim pertama
di situs Haekal.
Khalif
Umar juga mengunjungi “Batukarang Suci” di bukit Zion , situs dimana Ya’qub a.s. (Israil)
menerima wahyu yang pertama. Dimasa kebesaran Haekal Sulaiman yang dibangun Raja/Nabi Sulaiman a,s. (970-930 SM)
Batukarang Suci itu disebut Matzevot
dan berada ditempat yang paling suci dari Haekal yaitu Devir atau Holy of Holies. Haekal
Sulaiman dihancurkan oleh Kaisar Babilonia Nebukadnezar
pada th. 597 SM. Dibangun kembali oleh Nabi
Nehemia dan Nabi Ezra dengan
bantuan Kaisar Parsi Cyrus the Great
(550-530 SM) yang berhasil menaklukkan Babilonia dan Palestina. Haekal Sulaiman memperoleh kemegahannya
kembali pada masa Herod the Great Raja
Israel
yang diangkat Romawi (37-4 SM) meski tanpa Tabut Perjanjian yang lenyap sejak
penyerbuan Nebukadnezar yang kedua 586 SM. Pada th. 65-75 M bangsa Yahudi
melancarkan pemberontakan besar terhadap kekaisaran Romawi yang menjajah Jerusalem . Dalam rangka
memadamkan Pemberontakan itu Panglima Titus
pada th. 70 M menduduki dan menghancurkan Haekal Sulaiman yang dianggap
sebagai sumber kekuatan Yahudi. Setelah menang Panglima Titus bahkan menghalau bangsa Yahudi keluar Palestina. Inilah
diaspora yang kedua bangsa Yahudi yang menyebar keberbagai kawasan setelah
diaspora pertama di masa Nebukadnezar.
Dua
setengah abad kemudian Kaisar Romawi Constantine
the Great (306-337 M) mendirikan Gereja Kristen di bukit Zion yang kemudian dianggap sebagai tempat
suci oleh umat Kristen. Gereja itu dihancurkan oleh Kaisar Parsi Khosru Parviz (589-628 M) ketika
menyerang Imperium Romawi dan merebut Jerusalem .
Gereja itu dibangun kembali oleh Kaisar Heraklius
(610-641 M) setelah berhasil menghalau Imperium Parsi itu.
Adalah
Khalif Abdul Malik pula yang kemudian membangun Qubbet as Skhrah atau Dome of
the Rock (Kubah Karang) yang indah-megah di situs Matzevot di bukit Haekal yang dipandang suci baik oleh Yahudi
maupun Islam. Pada peristiwa Isra’-Mi’raj
(621 M) Nabi Muhammad SAW Shalat Sunnat Dua Raka’at di Batukarang itu lalu
Mi’raj. Jadi pada peristiwa Isra’-Mi’raj yang disebut Masjidil Aqsha itu hanya situs
teofani Haekal Sulaiman yang berupa dataran kosong di puncak bukit Zion , dan tanda
kesuciannya hanyalah Batukarang itu. Bangunan Masjid megah baru didirikan awal
abad ke-8 pada th. 709 oleh Khalifah Umayyah Al-Walid I. Masjid ini runtuh oleh gempa bumi 11 September 747. Khalifah Abbasiyah Al-Manshur membangun kembali Masjid
Al-Walid itu pada th. 757. Mesjid itu runtuh kembali oleh gempa pada th. 771.
Ketika Khalifah Al-Mahdi memegang tampuk kekuasaan (775-785) dia memerintahkan
agar Masjid itu dibangun kembali dan diperluas dengan mengerahkan dana dari
semua gubernur propinsi dan komandan daerah militer. Ini merupakan era
terpentig dari riwayat Masjid di Baitul Muqaddas ini. Kini ia memiliki sebuah
kubah yang jauh lebih lebar dan lebih
indah dari sebelumnya, dan keseluruhannya merupakan arsitektur istana religius
yang luas dengan kemegahan dan keindahan yang belum pernah ada sebelumnya.
Masjid inilah yang kemudian disebut sebagai Masjid al-Aqsha (Masjid yang Jauh)
hingga sekarang.
Banyak
hal yang harus kita pelajari. Sekian.
Birrahmatillahi
Wabi’aunihi fi Sabilih,
Wassalamu’alaikum
War. Wab.
Pengasuh,
K.H.
AGUS MIFTACH
Ketua
Umum Front Persatuan Nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar