Pengajian
Kedelapanpuluh Empat (84).
Assalamu’alaikum
War. Wab.
Bismillahirrahmanirrahiem,
“Lalu orang-orang yang dzalim
mengganti perintah dengan (mengerjakan) yang tidak diperintahkan kepada mereka.
Sebab itu Kami timpakan atas orang-orang yang dzalim itu siksa dari langit
karena mereka berbuat fasik” ; Al-Baqoroh : 59
Sesuai
dengan tradisi pengajian ini, kita akan melakukan pembahasan secara ekelektik
dari berbagai sudut pandang secara holisitis agar memperoleh hikmah yang
setinggi-tingginya dari kandungan ayat ini.
Pokok
Bahasan.
Secara
redaksional ayat ini merupakan rangkaian langsung dengan ayat sebelumnya, yang
berkaitan dengan masuknya Bani Israil dibawah pimpinan Yusya’ bin Nun a.s. ke
Baitul Maqdis atau Jerusalem.Tafsir Ibnu Katsir menerangkan, bahwa Allah
memerintahkan agar Bani Israil memasuki pintu Baitul Maqdis sambil bersujud,
maksudnya tunduk hormat kepada Allah seraya berdo’a , ‘Hapuskanlah kesalahan
kami’, niscaya Kami mengampuni kesalahan-kesalahanmu’. Tetapi Bani Israil mengganti ucapan itu dan memasuki pintuk gerbang Jerusalem dengan merayap
diatas pantatnya sebagai ejekan, seraya berkata :’habbatun fi sya’rah’ (biji pada rambut).
Tafsir
Ibnu Katsir sebagaimana ayat sebelumnya menafsirkan ayat-ayat ini dalam
kaitannya dengan Bani Israil eksodusan Mesir dibawah pimpinan Yusya’ atau Yosua
(Bibel) khalifah Musa, yang memimpin Bani Israil eksodusan Mesir memasuki pintu
gerbang Baitul Maqdis (Jerusalem) setelah 40 th menjadi nomaden di Padang
Sahara. Peristiwa itu diperkirakan terjadi pada akhir abad ke-13, didasarkan
pada bukti non-kitabiyah, yaitu prasasti untuk memperingati keberhasilan
serangan Fir’aun Merneptah pd th.
1207 SM. Tetapi para antropolog mengajukan bukti-bukti bahwa sesungguhnya Yosua
tidak pernah memasuki Jerusalem
yang waktu itu dikuasai pribumi Yebus.
Apalagi jika didasarkan pada bukti-bukti arkeologis yang digali di wilayah
dataran tinggi Kana’an Tengah yang menjadi wilayah munculnya Kerajaan Israel
pada abad 11 SM, tidak didapati bukti-bukti adanya kelompok-kelompok orang
asing yang datang di kawasan itu. Ini didasarkan pada budaya material kawasan
itu yang sama dengan budaya material kawasan pantai yang dihuni kaum pribumi
Kana’an. Dengan kata lain penafsiran ayat ini yang dikaitkan oleh Tafsir Ibnu
Katsir dan Tafsir Jalalain dengan eksodusan Bani Israil dari Mesir dibawah
pimpinan Yusya’ atau Yosua sangat diragukan kebenarannya (vide, Pengajian
Kedelapanpuluh Tiga). Demikian pula narasi Bibel. Yosua dan kelompok yang
dipimpinnya diduga memasuki wilayah perbukitan Kana’an Tengah dan mengembangkan
peternakan biri-biri, kambing dan lembu untuk mengatasi tanah yang tandus yang
tidak cocok untuk pertanian. Tetapi budaya material yang dijumpai pada kelompok
ini menunjukkan bahwa mereka bukan orang asing, melainkan dalam rumpun pribumi
Kana’an yang menyingkir dari kota-kota pantai yang banyak dilanda perang,
gejolak dan ekspkloitasi ekonomi. Dilihat dari bukti-bukti antropoligis ini
bahkan cerita tentang eksodus itu sendiri masih harus dipertanyakan
kebenarannya. Karena cukup banyak tersedia bukti-bukti arkeologis bahwa
sesungguhnya orang-orang Israel
itu adalah pribumi Kana’an. Artinya bukan mustahil eksodus itu hanya mitos
belaka, mengingat tidak adanya bukti bukti empirik yang mendukung narasi kisah
itu. Ini menjadi tantangan bagi sarjana Muslim untuk menggali dan lebih
mendalami Al-Qur’anul Kariem dengan menjaga independensinya dari pengaruh
tradisional Bibel.
Okultisme.
Untuk
sementara saya berpendapat eksodus itu ada, tetapi tidak fantastic seperti
narasi Bibel dan para mufasir. Tentang kisah para mufasir dan narasi Bibel, tidak
dapat dijadikan pedoman karena bertentangan dengan fakta-fakta yang ada. Maka
kita lanjutkan pembahasan ini berdasarkan fakta dan asumsi kitabiyah yang
relevan. Cerita mufasir tentang Bani Israil berjalan diatas pantat dan ucapan ‘habbatun fii sya’rah’ (biji pada rambut)
sebagai ejekan kepada Firman Allah, jelas
tidak relevan, maka kita anggap tidak ada.
Peradaban
dunia yang menjadi mainstream kebudayaan umat manusia pada zaman itu adalah
“penyembahan berhala”. Maka tidak heran bahwa kecenderungan memberikan
peribadatan kepada berhala-berhala mitologis itu hidup pula dikalangan Bani
Israil. Demikian pula ketika mereka memasuki Baitul Maqdis di zaman itu dimana
masih terdapat banyak situs paganisme yang begitu menarik perhatian mereka,
membuat mereka kembali tergelincir pada kemusyrikan setelah mereka mendapatkan
kemenangan di jalan tauhid dibawah pimpinan Daud a.s.
Kemusyrikan
atau sinkretisme itulah yang menjadi dasar kepercayaan kuno Bani Israil yang
disebut Qabala. Diambil dari kata
Ibrani Qibil yang maknanya
‘menerima’, yaitu menerima ajaran sihir (okultisme) rahasia. Ajaran Qabala itu
berada dilingkungan yang terbatas, disampaikan secara oratif oleh para pendeta
tinggi kepada kelompok tertentu yang menjadi anggotanya. Salah seorang pendeta
tinggi itu adalah Samiri si pembuat
patung Al-Baqoroh ketika Musa menerima wahyu Taurat di bukit Tursina.
Semula
ajaran Qabala disampaikan dengan tradisi lisan saja, tetapi para pendeta tinggi
itu kemudian memutuskan untuk menuliskannya diatas scroll (gulungan) papyrus
agar dapat mewaris kegenerasi-generasi berikutnya. Untuk itu ditugasi Rabbi
(Guru) Akiva ben Josef (Ketua Majelis
Tinggi Pendeta Sandherin) dan pembantunya Rabbi Simon ben Joachai. Penulisan itu menghasilkan dua kitab Qabala,
yaitu “Sefer Yetzerah” yang merupakan
kita genesis yang berisi tentang penciptaan semesta alam; dan “Sefer Zohar” atau kitab keagungan yang
berisi ajaran-ajaran rahasia dan amsal yang hanya dapat dipahami melalui Sefer
Yetzerah. Beberapa abad sesudah Masehi di Eropa muncul kitab Qabala versi baru
yang disebut “Sefer Bahir” atau kitab
cahaya. Ketiganya ditulis dalam bahasa Ibrani dan dianggap kitab suci Qabala.
Untuk kepentingan penyebarannya kitab-kitab suci Qabala itu kemudian
diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa Eropa.
Inti
ajaran Qabala adalah okultisme (sihir) yang menentang keberadaan Allah sebagai Tuhan
dan memuja Iblis yang disebut Lucifer. Iblis
dalam bahasa Semit, baik Ibrani maupun Arab bermakna ‘pemberontak’, tetapi
dengan nama ‘Lucifer’, maknanya menjadi ‘pembawa cahaya’. Menurut iman Qabalis,
Lucifer yang terhormat telah diperlakukan tidak adil, dan sesungguhnya Lucifer
adalah satu-satunya tuhan yang patut disembah. Lucifer adalah tuhan yang sejati.
Segala sesuatu yang berkaitan dengan cahaya, api atau matahari menjadi symbol
Qabalis, karena menurut kepercayaan Qabala kekuasaan bersumber dari cahaya, api
dan matahari, tiga symbol penyembahan Lucifer yang diciptakan dari hakekat api.
Dalam
ajaran Qabala terdapat 10 hierarkhi sefrotim
(penyinaran) yang disebut ‘sitra ahra’ (sisi lain). Sefrotim-sefrotim itu
direpresentasikan oleh makhluk-makhluk supra natural yang disebut ‘Shedim’
yang terdiri sejumlah roh yang semuanya tercipta dari api, dan roh
yang tertinggi adalah Lucifer sang pembawa cahaya. Maka api menjadi ilah
terpenting dalam system Qabala. Menurut ajaran Qabala manusia tidak butuh
Allah, karena manusia bisa menjadi suci setara dengan tuhan. Paham deseptik ini
mereka sebut ‘humanisme’, artinya
manusia berdaulat mengatur hidupnya sendiri di dunia.
Multikulturisme
Dari
point of reference budaya tunggal, apalagi dengan prinsip monotheisme
ketauhidan Islam, maka faham Okultisme Qabala adalah sesat. Tetapi dari frame
of reference multikulturisme dengan prinsip hablun-minannaas dengan nilai-nilai
rahmatan lil alamien didalamnya, maka dalam memandang okultisme qabala dan
faham serta peradaban diluar Islam lainnya, kita berpegang pada Al-Kafiruun
ayat 6 : “Lakum dienukum waliya-dien” ;
“Bagimu agamamu dan, bagiku agamaku”. Setiap agama dijalankan menurut
keyakinan para pemeluknya.
Di
zaman modern dimana kesadaran multikulturisme menjadi frame of reference umat
manusia di dunia, tidak satu bangsa atau satu kekuatanpun dapat memaksakan
berlakunya budaya tunggal, apapun bentuknya, kecuali akan menghadapi perlawanan
social budaya secara latent. Bahkan dalam masyarakat mono-primordial satu
budaya atau satu agama, didalamnya akan terpecah-belah menjadi sejumlah sekte
yang bisa saling bertentangan satu sama lain, seperti katholik dan protestan,
atau sunni dan shi’ah, demikian pula dalam basis-basis peradaban dunia lainnya.
Dengan kata lain, pada tingkat populasi dan modernitas dunia dewasa ini, tidak
mungkin membentuk komunitas public, negara-bangsa atau masyarakat bangsa-bangsa
dengan frame of reference budaya tunggal. Multikulturisme telah diterima umat
manusia sebagai ideology universal untuk memelihara kebebasan, perdamaian,
kesetaraan, persaudaraan, kemakmuran dan keadilan di dunia. Liberalisme dan
Liberal-constitution hanyalah istilah, kita bisa membuat istilah lain, tetapi
implementasi multikulturisme itu telah menjadi jalan terbaik bagi umat manusia untuk
memungkinkan terus berlangsungnya peradaban manusia di muka bumi ini. Sekian,
terima kasih.
Birrahmatillahi
Wabi’aunihi fi Sabilih,
Wassalamu’alaikum
War. Wab.
Pengasuh,
HAJI
AGUS MIFTACH
Keutua
Umum Front Persatuan Nasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar