11.7.17

Pengajian Kedelapanpuluh Empat (84).






Pengajian Kedelapanpuluh Empat (84).

Assalamu’alaikum War. Wab.
Bismillahirrahmanirrahiem,






“Lalu orang-orang yang dzalim mengganti perintah dengan (mengerjakan) yang tidak diperintahkan kepada mereka. Sebab itu Kami timpakan atas orang-orang yang dzalim itu siksa dari langit karena mereka berbuat fasik” ; Al-Baqoroh : 59

Sesuai dengan tradisi pengajian ini, kita akan melakukan pembahasan secara ekelektik dari berbagai sudut pandang secara holisitis agar memperoleh hikmah yang setinggi-tingginya dari kandungan ayat ini.

Pokok Bahasan.

Secara redaksional ayat ini merupakan rangkaian langsung dengan ayat sebelumnya, yang berkaitan dengan masuknya Bani Israil dibawah pimpinan Yusya’ bin Nun a.s. ke Baitul Maqdis atau Jerusalem.Tafsir Ibnu Katsir menerangkan, bahwa Allah memerintahkan agar Bani Israil memasuki pintu Baitul Maqdis sambil bersujud, maksudnya tunduk hormat kepada Allah seraya berdo’a , ‘Hapuskanlah kesalahan kami’, niscaya Kami mengampuni kesalahan-kesalahanmu’. Tetapi Bani Israil mengganti  ucapan itu dan memasuki pintuk gerbang Jerusalem dengan merayap diatas pantatnya sebagai ejekan, seraya berkata :’habbatun fi sya’rah’ (biji pada rambut).
Tafsir Ibnu Katsir sebagaimana ayat sebelumnya menafsirkan ayat-ayat ini dalam kaitannya dengan Bani Israil eksodusan Mesir dibawah pimpinan Yusya’ atau Yosua (Bibel) khalifah Musa, yang memimpin Bani Israil eksodusan Mesir memasuki pintu gerbang Baitul Maqdis (Jerusalem) setelah 40 th menjadi nomaden di Padang Sahara. Peristiwa itu diperkirakan terjadi pada akhir abad ke-13, didasarkan pada bukti non-kitabiyah, yaitu prasasti untuk memperingati keberhasilan serangan Fir’aun Merneptah pd th. 1207 SM. Tetapi para antropolog mengajukan bukti-bukti bahwa sesungguhnya Yosua tidak pernah memasuki Jerusalem yang waktu itu dikuasai pribumi Yebus. Apalagi jika didasarkan pada bukti-bukti arkeologis yang digali di wilayah dataran tinggi Kana’an Tengah yang menjadi wilayah munculnya Kerajaan Israel pada abad 11 SM, tidak didapati bukti-bukti adanya kelompok-kelompok orang asing yang datang di kawasan itu. Ini didasarkan pada budaya material kawasan itu yang sama dengan budaya material kawasan pantai yang dihuni kaum pribumi Kana’an. Dengan kata lain penafsiran ayat ini yang dikaitkan oleh Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir Jalalain dengan eksodusan Bani Israil dari Mesir dibawah pimpinan Yusya’ atau Yosua sangat diragukan kebenarannya (vide, Pengajian Kedelapanpuluh Tiga). Demikian pula narasi Bibel. Yosua dan kelompok yang dipimpinnya diduga memasuki wilayah perbukitan Kana’an Tengah dan mengembangkan peternakan biri-biri, kambing dan lembu untuk mengatasi tanah yang tandus yang tidak cocok untuk pertanian. Tetapi budaya material yang dijumpai pada kelompok ini menunjukkan bahwa mereka bukan orang asing, melainkan dalam rumpun pribumi Kana’an yang menyingkir dari kota-kota pantai yang banyak dilanda perang, gejolak dan ekspkloitasi ekonomi. Dilihat dari bukti-bukti antropoligis ini bahkan cerita tentang eksodus itu sendiri masih harus dipertanyakan kebenarannya. Karena cukup banyak tersedia bukti-bukti arkeologis bahwa sesungguhnya orang-orang Israel itu adalah pribumi Kana’an. Artinya bukan mustahil eksodus itu hanya mitos belaka, mengingat tidak adanya bukti bukti empirik yang mendukung narasi kisah itu. Ini menjadi tantangan bagi sarjana Muslim untuk menggali dan lebih mendalami Al-Qur’anul Kariem dengan menjaga independensinya dari pengaruh tradisional Bibel.
Orang-orang Israel yang sebenarnya adalah pribumi Kana’an yang pindah dari wilayah kota pantai ke wilayah pebukitan Kana’an Tengah perlahan-lahan membentuk identitas tersendiri dan tumbuh menjadi komunitas yang cukup kuat. Tak pelak lagi mereka mulai terlibat bentrokan dengan kota-kota lain disekitarnya seiring dengan meningkatnya populasi dan pengaruh ekonomi kelompok ini. Inilah agaknya yang menjadi dasar narasi  Yusya’ atau Yosua  dalam Bibel. Jangankan Yusya’ yang hidup pada akhir abad ke-13 SM, sedangkan Raja Israel pertama Saul yang menjadi penerus Yusya pada abad ke-11 SM, tidak pernah memasuki Jerusalem. Saul beribukota di Gibeon. Baru pada masa Daud pada abad ke-10 SM Bani Israel memasuki Jerusalem setelah menaklukkan kota Bangsa Yebus  itu secara militer (vide, Pengajian ke-83). Maka yang dimaksud dengan orang-orang dzalim yang mengganti perintah Allah dengan mengerjakan yang tidak diperintahkan kepada mereka seperti dimaksud ayat diatas, tidak berkaitan dengan Yusya’ atau Yosua dan tidak berkaitan dengan eksodusan Mesir dan apalagi dengan berbagai perilaku mereka tsb diatas. Tetapi ini lebih berkaitan dengan Daud dan Bani Israel dari Hebron yang terpengaruh dengan budaya penyembahan berhala yang masih berkembang luas di Jerusalem waktu itu, seperti pemujaan kepada Dewa Ba’al dan pasangannya Dewi Anat. Yang lebih tinggi lagi Dewa El dengan kedua istrinya yaitu Dewi Astarte dan Dewi Asyera. Inilah yang dimaksud kefasikan itu dimana Bani Israil terpengaruh menyembah Dewa-dewa Kana’an Kuno itu setelah mereka diberikan oleh Allah kemenangan dan kekuasaan atas Baitul Maqdis dibawah pimpinan Daud a.s. Sekali lagi tidak ada kekeliruan dalam ayat Al-Qur’an, melainkan kekeliruan dalam penafsirannya.

Okultisme.
Untuk sementara saya berpendapat eksodus itu ada, tetapi tidak fantastic seperti narasi Bibel dan para mufasir. Tentang kisah para mufasir dan narasi Bibel, tidak dapat dijadikan pedoman karena bertentangan dengan fakta-fakta yang ada. Maka kita lanjutkan pembahasan ini berdasarkan fakta dan asumsi kitabiyah yang relevan. Cerita mufasir tentang Bani Israil berjalan diatas pantat dan ucapan ‘habbatun fii sya’rah’ (biji pada rambut)  sebagai ejekan kepada Firman Allah, jelas tidak relevan, maka kita anggap tidak ada.
Peradaban dunia yang menjadi mainstream kebudayaan umat manusia pada zaman itu adalah “penyembahan berhala”. Maka tidak heran bahwa kecenderungan memberikan peribadatan kepada berhala-berhala mitologis itu hidup pula dikalangan Bani Israil. Demikian pula ketika mereka memasuki Baitul Maqdis di zaman itu dimana masih terdapat banyak situs paganisme yang begitu menarik perhatian mereka, membuat mereka kembali tergelincir pada kemusyrikan setelah mereka mendapatkan kemenangan di jalan tauhid dibawah pimpinan Daud a.s.
Kemusyrikan atau sinkretisme itulah yang menjadi dasar kepercayaan kuno Bani Israil yang disebut Qabala. Diambil dari kata Ibrani Qibil yang maknanya ‘menerima’, yaitu menerima ajaran sihir (okultisme) rahasia. Ajaran Qabala itu berada dilingkungan yang terbatas, disampaikan secara oratif oleh para pendeta tinggi kepada kelompok tertentu yang menjadi anggotanya. Salah seorang pendeta tinggi itu adalah Samiri si pembuat patung Al-Baqoroh ketika Musa menerima wahyu Taurat di bukit Tursina.
Semula ajaran Qabala disampaikan dengan tradisi lisan saja, tetapi para pendeta tinggi itu kemudian memutuskan untuk menuliskannya diatas scroll (gulungan) papyrus agar dapat mewaris kegenerasi-generasi berikutnya. Untuk itu ditugasi Rabbi (Guru) Akiva ben Josef (Ketua Majelis Tinggi Pendeta Sandherin) dan pembantunya Rabbi Simon ben Joachai. Penulisan itu menghasilkan dua kitab Qabala, yaitu “Sefer Yetzerah” yang merupakan kita genesis yang berisi tentang penciptaan semesta alam; dan “Sefer Zohar” atau kitab keagungan yang berisi ajaran-ajaran rahasia dan amsal yang hanya dapat dipahami melalui Sefer Yetzerah. Beberapa abad sesudah Masehi di Eropa muncul kitab Qabala versi baru yang disebut “Sefer Bahir” atau kitab cahaya. Ketiganya ditulis dalam bahasa Ibrani dan dianggap kitab suci Qabala. Untuk kepentingan penyebarannya kitab-kitab suci Qabala itu kemudian diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa Eropa.
Inti ajaran Qabala adalah okultisme (sihir) yang menentang keberadaan Allah sebagai Tuhan dan memuja Iblis yang disebut Lucifer. Iblis dalam bahasa Semit, baik Ibrani maupun Arab bermakna ‘pemberontak’, tetapi dengan nama ‘Lucifer’, maknanya menjadi ‘pembawa cahaya’. Menurut iman Qabalis, Lucifer yang terhormat telah diperlakukan tidak adil, dan sesungguhnya Lucifer adalah satu-satunya tuhan yang patut disembah. Lucifer adalah tuhan yang sejati. Segala sesuatu yang berkaitan dengan cahaya, api atau matahari menjadi symbol Qabalis, karena menurut kepercayaan Qabala kekuasaan bersumber dari cahaya, api dan matahari, tiga symbol penyembahan Lucifer yang diciptakan dari hakekat api.
Dalam ajaran Qabala terdapat  10 hierarkhi  sefrotim (penyinaran) yang disebut ‘sitra ahra’  (sisi lain). Sefrotim-sefrotim itu direpresentasikan oleh makhluk-makhluk supra natural yang disebut ‘Shedim’  yang terdiri sejumlah roh yang semuanya tercipta dari api, dan roh yang tertinggi adalah Lucifer  sang pembawa cahaya. Maka api menjadi ilah terpenting dalam system Qabala. Menurut ajaran Qabala manusia tidak butuh Allah, karena manusia bisa menjadi suci setara dengan tuhan. Paham deseptik ini mereka sebut ‘humanisme’, artinya manusia berdaulat mengatur hidupnya sendiri di dunia.

Multikulturisme

Dari point of reference budaya tunggal, apalagi dengan prinsip monotheisme ketauhidan Islam, maka faham Okultisme Qabala adalah sesat. Tetapi dari frame of reference multikulturisme dengan prinsip hablun-minannaas dengan nilai-nilai rahmatan lil alamien didalamnya, maka dalam memandang okultisme qabala dan faham serta peradaban diluar Islam lainnya, kita berpegang pada Al-Kafiruun ayat 6 : “Lakum dienukum waliya-dien” ; “Bagimu agamamu dan, bagiku agamaku”. Setiap agama dijalankan menurut keyakinan para pemeluknya.
Di zaman modern dimana kesadaran multikulturisme menjadi frame of reference umat manusia di dunia, tidak satu bangsa atau satu kekuatanpun dapat memaksakan berlakunya budaya tunggal, apapun bentuknya, kecuali akan menghadapi perlawanan social budaya secara latent. Bahkan dalam masyarakat mono-primordial satu budaya atau satu agama, didalamnya akan terpecah-belah menjadi sejumlah sekte yang bisa saling bertentangan satu sama lain, seperti katholik dan protestan, atau sunni dan shi’ah, demikian pula dalam basis-basis peradaban dunia lainnya. Dengan kata lain, pada tingkat populasi dan modernitas dunia dewasa ini, tidak mungkin membentuk komunitas public, negara-bangsa atau masyarakat bangsa-bangsa dengan frame of reference budaya tunggal. Multikulturisme telah diterima umat manusia sebagai ideology universal untuk memelihara kebebasan, perdamaian, kesetaraan, persaudaraan, kemakmuran dan keadilan di dunia. Liberalisme dan Liberal-constitution hanyalah istilah, kita bisa membuat istilah lain, tetapi implementasi multikulturisme itu telah menjadi jalan terbaik bagi umat manusia untuk memungkinkan terus berlangsungnya peradaban manusia di muka bumi ini. Sekian, terima kasih.

Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi Sabilih,
Wassalamu’alaikum War. Wab.
Jakarta, 24 Maret 2006,
Pengasuh,



HAJI AGUS MIFTACH
Keutua Umum Front Persatuan Nasional








Tidak ada komentar:

Posting Komentar