11.7.17

Pengajian Keseratus Sembilanbelas (119)







Pengajian Keseratus Sembilanbelas (119)

Assalamu’alaikum War. Wab.
Bismillahirrahmanirrahiem,












Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu sebelum kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah,”Sesungguhnya petunjuk Allah itulah yang disebut petunjuk”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka, setelah datang kepadamu pengetahuan, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu. (120) Orang-orang yang telah Kami berikan kepadanya Al-Kitab dan mereka membacanya dengan benar adalah mereka yang beriman kepadanya. Dan barangsiapa yang kafir terhadapnya, maka mereka itulah orang-orang yang merugi”.(121) : Al-Baqoroh : 120-121.

Kita akan membahas kedua ayat ini dengan pendekatan eklektik-multiperspektif secara holistis, baik dari perspektif teologis, antropologis, historiografis, maupun psikologis dll secara komprehensif, agar diperoleh pemahaman dan hikmah yang setinggi-tingginya dari kandungan ayat ini.




Pokok Bahasan

Asbabun-nuzul ayat ini, sebagaimana dikemukakan oleh Tsa’labi dari Ibnu Abas, berkaitan dengan  Orang-orang Yahudi Madinah dan orang-orang Nasrani Najran yang menginginkan Rasulullah saw salat dengan menghadap kiblat yang mereka anut, yaitu Baitul Maqdis. Selama kurang lebih 17 bulan Rasulullah saw memang salat menghadap Baitul Maqdis, bukan karena menuruti keinginan mereka, tetapi karena memang demikianlah ditentukan. Setelah itu Allah memerintahkan agar Rasulullah saw salat dengan menghadap ke Ka’bah di Masjidil Haram sebagai kiblat Umat Islam. Perubahan kiblat ini ditentang oleh kaum Yahudi dan Nasrani, dan menjadi alasan mereka menolak ajaran Islam. Maka turunlah ayat ini (QS 2 : 120).

Namun demikian, tidak semua ahli kitab bersikap seperti itu, terdapat pula diantara mereka orang-orang yang mengikuti Kitab-kitab yang diturunkan Allah kepada mereka (Taurat dan Injil) dengan benar, yaitu memahami dengan jujur dengan mengesampingkan ambisi hawa nafsu. Menurut Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abas, yang dimaksud membaca dengan benar, ialah menghalalkan yang dihalalkan dan mengharamkan yang diharamkan, tidak merubah-rubah atau menyelewengkan kalimat, tidak menakwilkan secara menyesatkan dari makna yang sebenarnya.

Dilihat dari asbabun-nuuzulnya ayat diatas dilatarbelakangi oleh konflik awal yang biasa terjadi pada lahirnya sebuah ajaran baru dengan nilai-nilai lama yang sudah mapan. Artinya  sifat penafsirannya adalah spesifik bukan menyeluruh. Tetapi banyak pihak yang menafsirkan ayat 120 ini dalam nuansa konflik yang latent dengan semua kaum Yahudi dan Nasrani sepanjang masa. Ini menjadi penyebab mengakarnya konflik ideologis diantara Umat Islam dengan Yahudi-Nasrani.
Orang-orang Islam yang menafsirkan QS 2 : 120 menyimpang dari konteks asbabun-nuzulnya yang sederhana dan spesifik, pada dasarnya berperilaku sama seperti orang-orang Yahudi dan Nasrani yang menafsirkan ayat-ayat suci menurut hawa nafsunya sendiri, dengan mengingkari dan menyesatkan dari  makna harfiahnya.
Jalalain mengungkapkan turunnya Al-Baqoroh : 121 berkaitan dengan  kelompok orang yang datang dari Abessinia yang kemudian masuk Islam, karena keyakinan mereka akan kebenaran Al-Qur;an. Pendapat Jalalain itu bahkan tidak berkaitan dengan ahli-kitab.

Mengislamkan Ka’bah
Penetapan Ka’bah sebagai kiblat umat Islam, merupakan keputusan yang sangat penting. Karena dengan demikian Rasulullah saw telah melepaskan diri dari sandera situs teofani Baitul Maqdis yang secara tradisional dikaitkan dengan mitos Yahudi. Ka’bah yang terletak di pusat kota Mekah itu kemudian menjadi dasar peradaban Islam. Keberadaan Ka’bah bersifat sentral sejak sebelum Islam dan merupakan situs teofani bagi pemujaan mahadewa al-Lah, tuhan tertinggi masyarakat Quraisy pra Islam. Rasulullah saw mengislamkan ritus kuno Ka’bah dan memberikan makna monoteis. Ibadah hajji walaupun berkait dengan tradisi-tradisi pra Islam, mengekspresikan monoteisme dalam system jama’ah yang kuat. Sementara bentuk geometris Ka’bah melambangkan keteraturan kosmis. Ritual yang dilakukan diseputar Ka’bah mengingatkan para jama’ah akan kewajiban mereka untuk membawa misi tatanan ilahiyah ini kedalam kehidupan dunia yang penuh dengan kekacauan dan bencana. Struktur Ka’bah sama dengan pola geometris psikolog CG. Jung (1875-1961) yang memiliki signifikasi archeytype (pola dasar). Thawaf jama’ah hajji  sebanyak tujuh kali mengelilingi kubus granit Ka’bah dengan keempat sudut yang melambangkan empat penjuru dunia, bisa disamakan dengan perjalanan matahari mengelilingi bumi menurut mitologi purba. Islam artinya menyerahkan diri sepenuh-penuhnya kepada ritme kehidupan dasar yang hakiki.
Meskipun Ka’bah merupakan pusat peradaban baru, Islam tidak melepaskan diri sepenuhnya dari sejarah peradaban Semit. Al-Qur’an berulangkali menyatakan tidak membawakan kebenaran baru bagi manusia, melainkan hanya mengungkapkan hukum dasar kehidupan manusia. Al-Qur’an merupakan pengingat kebenaran yang sebenarnya sudah diketahui dan Nabi Muhammad saw menyatakan tidak membawa agama baru, melainkan agama tauhid yang berciri kemanusiaan, keadilan dan pemerataan yang telah turun sejak Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa. Hukum Tuhan yang hakiki disebut Sunnatullah yang identik dengan hukum alam, maka menentang hukum Tuhan (munkar) dapat disamakan dengan absurditas terhadap hukum alam, seperti ikan yang mencoba hidup di tanah kering.

Kejayaan Utsmaniyyah

Seperti sudah dikemukakan pada pengajian-pengajian yang lalu, bahwa zaman Madinah belum dapat dikatakan zaman ideal. Meskipun azas-azas telah dicanangkan, tetapi itu adalah zaman awal yang masih diwarnai dengan gejolak dan perang dalam rangka memenangkan revolusi.

Kejayaan kerajaan Utsmaniyyah di abad ke 16 oleh para antropolog dianggap sebagai salah satu puncak kebesaran peradaban Islam setelah kejayaan Al-Andalus sepanjang abad 8-15. Sejarah mencatat Daulah Utsmaniyyah yang berpusat di Istambul, Turki menjalankan pola konservativisme dengan bertumpu kepada syari’at. Dizaman awal modern ini umat Islam tidak merasakan syari’at sebagai pengekang kebebasan. Inti syari’at ialah realitas ritual dari suatu pola dasar mitologis yang dapat menghubungkan realitas duniawi ini dengan transendensi ukhrowi. Walaupun Nabi Muhammad saw telah wafat pada abad ke 7, tetapi hukum Islam tidak mandeg. Hukum Tuhan adalah produk kreatif, maka hukum Islam terus berkembang sesuai kebutuhan. Faktanya satu abad setelah wafatnya Rasulullah saw, kekuasaan Islam membentang dari Himalaya hingga Pyrene, yang jelas membutuhkan system hukum yang kompleks. Zaman Utsmaniyyah adalah zaman kompilasi hukum Islam disegala bidang yang  menjadi warisan hingga di zaman modern sekarang ini.  Kreativitas itu menggambarkan bahwa azas salafiyah tidak mengurangi sedikitpun kreativitas dan produktivitas umat. Maka,meski berkiblat pada Madinah di abad ke 7, Utsmaniyyah adalah kerajaan modern  di awal abad ke 16, dengan birokrasi yang efisien. Disamping itu perkembangan intelektual sangat maju. Masyarakat Utsmaniyyah memiliki keterbukaan terhadap keragaman budaya. Di masa Daulah Utsmaniyyah ini bahkan tidak terdapat kontradiksi yang serius antara Barat dengan Islam.

Kemunduran.

Terus menerus berpegang pada ad fontes (sumber asal) yaitu Madinah pada abad ke 7 membuat Islam berada dalam konservativisme yang bergerak lamban, karena harus selalu melihat ke belakang kepada mitologi salafiyah. Sementara Barat tengah menggeliat dengan pandangan rasional yang melihat kedepan sepenuhnya. Barat sedang bergerak meninggalkan mitos masa lalu menuju logos masa depan melalui proses sekularisasi dan liberalisasi yang dinamik yang kemudian melahirkan zaman modern.
Pada abad 18 Imperium Utsmaniyah sudah berada dalam kemunduran yang serius. Efisiensi yang luar biasa di abad 16 telah berubah menjadi ketidakmampuan terutama di wilayah pinggiran imperium yang jauh dari kontrol Istambul. Upaya-upaya untuk membendung kemajua Barat dengan hanya mempelajari beberapa teknik militer dan sains modern sama sekali tidak memadai. Gaya hidup dan pemikiran Barat telah berkembang melalui proses 300 th dan telah membentuk norma-norma baru yang mapan. Untuk melompat ke depan ke zaman Barat modern, warga Utsmaniyyah harus mengembangkan kebudayaan rasional, meninggalkan struktur masyarakat tradisional, dan melepaskan ikatan-ikatan sakral masa silam. Sebagian elit mampu melakukan peralihan ini, tetapi sangat sulit prosesnya  di basis tradisional yang pikiran dan hatinya di penuhi etos konservatif hasil pendidikan tradisional keagamaan selama ini. Perubahan radikal semacam itu dirasakan demikian asing bagi sebagian besar lapisan akar rumput muslimin. Dipihak lain terdapat gerakan perlawanan terhadap modernisasi Barat yang hegemonistis dengan cara kembali kepada ajaran agama secara ekstrem dan mendasar yang kemudian melahirkan gerakan fundamentalisme-radikal. Hingga hari ini kita masih berada dalam tarik menarik pilihan-pilihan yang sulit itu dan memerlukan jalan tengah sebagai solusi gradual yang dapat mewadahi semuanya. Apa yang kita lakukan selama dua setengah tahun belakangan adalah bagian dari proses pencarian solusi itu.

Sekian, bagi para sahabat Kristen selamat Natal dan Tahun Baru 2007. Semoga sukses di hari-hari mendatang. Terima kasih,

Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi Sabilih,
Wassalamu’alaikum War. Wab.
Jakarta, 29 Desember 2006,
Pengasuh,



KH. AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front Persatuan Nasional.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar