Pengajian Keseratus
Sembilanbelas (119)
Assalamu’alaikum
War. Wab.
Bismillahirrahmanirrahiem,
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan
rela kepadamu sebelum kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah,”Sesungguhnya
petunjuk Allah itulah yang disebut petunjuk”. Dan sesungguhnya jika kamu
mengikuti keinginan mereka, setelah datang kepadamu pengetahuan, maka Allah
tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu. (120) Orang-orang yang telah
Kami berikan kepadanya Al-Kitab dan mereka membacanya dengan benar adalah
mereka yang beriman kepadanya. Dan barangsiapa yang kafir terhadapnya, maka
mereka itulah orang-orang yang merugi”.(121) : Al-Baqoroh : 120-121.
Kita
akan membahas kedua ayat ini dengan pendekatan eklektik-multiperspektif secara
holistis, baik dari perspektif teologis, antropologis, historiografis, maupun
psikologis dll secara komprehensif, agar diperoleh pemahaman dan hikmah yang
setinggi-tingginya dari kandungan ayat ini.
Pokok Bahasan
Asbabun-nuzul
ayat ini, sebagaimana dikemukakan oleh Tsa’labi dari Ibnu Abas, berkaitan
dengan Orang-orang Yahudi Madinah dan
orang-orang Nasrani Najran yang menginginkan Rasulullah saw salat dengan
menghadap kiblat yang mereka anut, yaitu Baitul Maqdis. Selama kurang lebih 17
bulan Rasulullah saw memang salat menghadap Baitul Maqdis, bukan karena
menuruti keinginan mereka, tetapi karena memang demikianlah ditentukan. Setelah
itu Allah memerintahkan agar Rasulullah saw salat dengan menghadap ke Ka’bah di
Masjidil Haram sebagai kiblat Umat Islam. Perubahan kiblat ini ditentang oleh
kaum Yahudi dan Nasrani, dan menjadi alasan mereka menolak ajaran Islam. Maka
turunlah ayat ini (QS 2 : 120).
Namun
demikian, tidak semua ahli kitab bersikap seperti itu, terdapat pula diantara
mereka orang-orang yang mengikuti Kitab-kitab yang diturunkan Allah kepada
mereka (Taurat dan Injil) dengan benar, yaitu memahami dengan jujur dengan
mengesampingkan ambisi hawa nafsu. Menurut Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abas, yang
dimaksud membaca dengan benar, ialah menghalalkan yang dihalalkan dan
mengharamkan yang diharamkan, tidak merubah-rubah atau menyelewengkan kalimat,
tidak menakwilkan secara menyesatkan dari makna yang sebenarnya.
Dilihat
dari asbabun-nuuzulnya ayat diatas dilatarbelakangi oleh konflik awal yang
biasa terjadi pada lahirnya sebuah ajaran baru dengan nilai-nilai lama yang
sudah mapan. Artinya sifat penafsirannya
adalah spesifik bukan menyeluruh. Tetapi banyak pihak yang menafsirkan ayat 120
ini dalam nuansa konflik yang latent dengan semua kaum Yahudi dan Nasrani
sepanjang masa. Ini menjadi penyebab mengakarnya konflik ideologis diantara
Umat Islam dengan Yahudi-Nasrani.
Orang-orang
Islam yang menafsirkan QS 2 : 120 menyimpang dari konteks asbabun-nuzulnya yang
sederhana dan spesifik, pada dasarnya berperilaku sama seperti orang-orang
Yahudi dan Nasrani yang menafsirkan ayat-ayat suci menurut hawa nafsunya
sendiri, dengan mengingkari dan menyesatkan dari makna harfiahnya.
Jalalain
mengungkapkan turunnya Al-Baqoroh : 121 berkaitan dengan kelompok orang yang datang dari Abessinia
yang kemudian masuk Islam, karena keyakinan mereka akan kebenaran Al-Qur;an.
Pendapat Jalalain itu bahkan tidak berkaitan dengan ahli-kitab.
Mengislamkan
Ka’bah
Penetapan
Ka’bah sebagai kiblat umat Islam, merupakan keputusan yang sangat penting.
Karena dengan demikian Rasulullah saw telah melepaskan diri dari sandera situs
teofani Baitul Maqdis yang secara tradisional dikaitkan dengan mitos Yahudi.
Ka’bah yang terletak di pusat kota
Mekah itu kemudian menjadi dasar peradaban Islam. Keberadaan Ka’bah bersifat
sentral sejak sebelum Islam dan merupakan situs teofani bagi pemujaan mahadewa
al-Lah, tuhan tertinggi masyarakat Quraisy pra Islam. Rasulullah saw
mengislamkan ritus kuno Ka’bah dan memberikan makna monoteis. Ibadah hajji
walaupun berkait dengan tradisi-tradisi pra Islam, mengekspresikan monoteisme
dalam system jama’ah yang kuat. Sementara bentuk geometris Ka’bah melambangkan
keteraturan kosmis. Ritual yang dilakukan diseputar Ka’bah mengingatkan para
jama’ah akan kewajiban mereka untuk membawa misi tatanan ilahiyah ini kedalam
kehidupan dunia yang penuh dengan kekacauan dan bencana. Struktur Ka’bah sama
dengan pola geometris psikolog CG. Jung (1875-1961) yang memiliki signifikasi archeytype (pola dasar). Thawaf jama’ah
hajji sebanyak tujuh kali mengelilingi
kubus granit Ka’bah dengan keempat sudut yang melambangkan empat penjuru dunia,
bisa disamakan dengan perjalanan matahari mengelilingi bumi menurut mitologi
purba. Islam artinya menyerahkan diri sepenuh-penuhnya kepada ritme kehidupan
dasar yang hakiki.
Meskipun
Ka’bah merupakan pusat peradaban baru, Islam tidak melepaskan diri sepenuhnya
dari sejarah peradaban Semit. Al-Qur’an berulangkali menyatakan tidak
membawakan kebenaran baru bagi manusia, melainkan hanya mengungkapkan hukum dasar
kehidupan manusia. Al-Qur’an merupakan pengingat kebenaran yang sebenarnya
sudah diketahui dan Nabi Muhammad saw menyatakan tidak membawa agama baru,
melainkan agama tauhid yang berciri kemanusiaan, keadilan dan pemerataan yang
telah turun sejak Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa. Hukum Tuhan yang
hakiki disebut Sunnatullah yang identik dengan hukum alam, maka menentang hukum
Tuhan (munkar) dapat disamakan dengan absurditas terhadap hukum alam, seperti
ikan yang mencoba hidup di tanah kering.
Kejayaan
Utsmaniyyah
Seperti
sudah dikemukakan pada pengajian-pengajian yang lalu, bahwa zaman Madinah belum
dapat dikatakan zaman ideal. Meskipun azas-azas telah dicanangkan, tetapi itu
adalah zaman awal yang masih diwarnai dengan gejolak dan perang dalam rangka
memenangkan revolusi.
Kejayaan
kerajaan Utsmaniyyah di abad ke 16 oleh para antropolog dianggap sebagai salah
satu puncak kebesaran peradaban Islam setelah kejayaan Al-Andalus sepanjang
abad 8-15. Sejarah mencatat Daulah Utsmaniyyah yang berpusat di Istambul, Turki
menjalankan pola konservativisme dengan bertumpu kepada syari’at. Dizaman awal
modern ini umat Islam tidak merasakan syari’at sebagai pengekang kebebasan.
Inti syari’at ialah realitas ritual dari suatu pola dasar mitologis yang dapat
menghubungkan realitas duniawi ini dengan transendensi ukhrowi. Walaupun Nabi
Muhammad saw telah wafat pada abad ke 7, tetapi hukum Islam tidak mandeg. Hukum
Tuhan adalah produk kreatif, maka hukum Islam terus berkembang sesuai kebutuhan.
Faktanya satu abad setelah wafatnya Rasulullah saw, kekuasaan Islam membentang
dari Himalaya hingga Pyrene, yang jelas
membutuhkan system hukum yang kompleks. Zaman Utsmaniyyah adalah zaman
kompilasi hukum Islam disegala bidang yang
menjadi warisan hingga di zaman modern sekarang ini. Kreativitas itu menggambarkan bahwa azas
salafiyah tidak mengurangi sedikitpun kreativitas dan produktivitas umat.
Maka,meski berkiblat pada Madinah di abad ke 7, Utsmaniyyah adalah kerajaan
modern di awal abad ke 16, dengan
birokrasi yang efisien. Disamping itu perkembangan intelektual sangat maju.
Masyarakat Utsmaniyyah memiliki keterbukaan terhadap keragaman budaya. Di masa
Daulah Utsmaniyyah ini bahkan tidak terdapat kontradiksi yang serius antara
Barat dengan Islam.
Kemunduran.
Terus
menerus berpegang pada ad fontes
(sumber asal) yaitu Madinah pada abad ke 7 membuat Islam berada dalam
konservativisme yang bergerak lamban, karena harus selalu melihat ke belakang
kepada mitologi salafiyah. Sementara Barat tengah menggeliat dengan pandangan
rasional yang melihat kedepan sepenuhnya. Barat sedang bergerak meninggalkan
mitos masa lalu menuju logos masa depan melalui proses sekularisasi dan liberalisasi
yang dinamik yang kemudian melahirkan zaman modern.
Pada
abad 18 Imperium Utsmaniyah sudah berada dalam kemunduran yang serius.
Efisiensi yang luar biasa di abad 16 telah berubah menjadi ketidakmampuan
terutama di wilayah pinggiran imperium yang jauh dari kontrol Istambul. Upaya-upaya
untuk membendung kemajua Barat dengan hanya mempelajari beberapa teknik militer
dan sains modern sama sekali tidak memadai. Gaya hidup dan pemikiran Barat telah
berkembang melalui proses 300 th dan telah membentuk norma-norma baru yang
mapan. Untuk melompat ke depan ke zaman Barat modern, warga Utsmaniyyah harus
mengembangkan kebudayaan rasional, meninggalkan struktur masyarakat
tradisional, dan melepaskan ikatan-ikatan sakral masa silam. Sebagian elit
mampu melakukan peralihan ini, tetapi sangat sulit prosesnya di basis tradisional yang pikiran dan hatinya
di penuhi etos konservatif hasil pendidikan tradisional keagamaan selama ini.
Perubahan radikal semacam itu dirasakan demikian asing bagi sebagian besar
lapisan akar rumput muslimin. Dipihak lain terdapat gerakan perlawanan terhadap
modernisasi Barat yang hegemonistis dengan cara kembali kepada ajaran agama
secara ekstrem dan mendasar yang kemudian melahirkan gerakan
fundamentalisme-radikal. Hingga hari ini kita masih berada dalam tarik menarik
pilihan-pilihan yang sulit itu dan memerlukan jalan tengah sebagai solusi gradual
yang dapat mewadahi semuanya. Apa yang kita lakukan selama dua setengah tahun
belakangan adalah bagian dari proses pencarian solusi itu.
Sekian,
bagi para sahabat Kristen selamat Natal
dan Tahun Baru 2007. Semoga sukses di hari-hari mendatang. Terima kasih,
Birrahmatillahi
Wabi’aunihi fi Sabilih,
Wassalamu’alaikum
War. Wab.
Pengasuh,
KH.
AGUS MIFTACH
Ketua
Umum Front Persatuan Nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar