Pengajian Keseratus
Duapuluh Tiga (123),
Assalamu’alailkum
War. Wab.
Bismillahirrahmanirrahiem.
“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata,”Tuhanku
jadikanlah negeri ini sebagai negeri yang aman, dan anugerahkanlah rezeki
buah-buahan kepada sebagian penduduknya yang beriman kepada Allah dan hari
akhir.” Allah berfirman,”Juga kepada orang-orang kafir pun Kuberi kesenangan
singkat, kemudian Kuseret dia kedalam adzab neraka yang merupakan tempat
kembali yang paling buruk.” : Al-Baqoroh : 126.
Seperti
tradisi pengajian ini, kita akan membahas kandungan ayat ini dengan pendekatan
ekelektik-multiperspektif secara holistis, baik dari perspektif teologi,
antropologi, historiografi maupun psikologi dll secara komprehensif, untuk
memperolah kedalaman dan hikmah yang setinggi-tingginya dari substansi ayat
ini.
Pokok Bahasan
Ayat
ini berkisah tentang doa Nabi Irahim a.s yang secara subyektif diartikan oleh
para mufassirin sebagai doa bagi tanah Haram, yaitu Mekah dan bagi ras
keturunan Ibrahim. Substansi doa Ibrahim berisi sublimasi tiga prinsip dasar,
yaitu kemakmuran, keamanan dan keimanan.
Jumhur mufassirin membatasi pada makna harfiah. Jika dikaji secara
komprehehsif, sudah tentu makna dalam ayat ini
mengandung pula nilai transenden. Jumhur mufassirin berpijak pada makna ‘hadzaa baladan’ :’ negeri ini’ yang
diartikan secara harfiah sebagai kota Mekah atau
negeri Hejaz secara keseluruhan. Landasan ini
membawa konsekwensi logis pada pemahaman harfiah bagi keseluruhan ayat ini.
Tetapi jika kita berpijak pada makna. ‘qoola,
wa man kafara fa-ummatti’uhu…dst… : ‘Juga kepada orang-orang kafir-pun
Kuberi……dst…hingga akhir ayat, maka sesungguhnya makna kemakmuran, keamanan
dan keimanan mengandung pula pengertian transenden, meskipun tidak terlepas dari
makna materialnya. Secara keseluruhan doa Ibrahim mengharapkan suatu idealitas
rasional di bumi yang bersifat imitatio
dei (keadaan serupa sorga). Prinsip
kemakmuran, keamanan dan keimanan lebih bermakna logos daripada mitos. Prinsip
ini lebih banyak merupakan tuntutan rasional sosial-ekonomi dan hanya sedikit
mengandung makna teologis-mitologis, yang dalam hal ini hanya dicukupkan dengan
beriman kepada Allah dan hari akhir.
Betapapun
redaksi ayat ini mempertegas posisi archetype
Ibrahim dalam historiografi dan mitologi Islam. Teolog Berthold A Pariera
(2004) bahkan mengatakan, kedudukan Ibrahim dalam agama Islam mungkin lebih
sentral daripada dalam agama Yahudi dan Kristen. Agama Islam dapat disebut
agama Ibrahim.
Trilogi
kemakmuran, keamanan dan keimanan menjadi prinsip Ibrahim yang lebih realistik, namun banyak mufassir
dan ulama menafsirkan secara gegabah, dengan mengacu kepada kondisi kemakmuran
para monarkhi Arab. Penafsiran duniawi yang gegabah seperti ini tentu bukan
substansi yang dimaksud ayat ini yang betapapun tetap berlandaskan pada
nilai-nilai transcendental. Makna harfiah disini hanya bersifat intermediate
untuk menuju kepada nilai yang lebih hakiki, seperti tercermin dalam kalimat,”man amana minhum billaahi
walyaumilaakhir(i)” : “sebagian penduduknya yang beriman kepada Allah dan hari
akhir.” Beriman kepada Allah dan hari akhir merupakan dasar ideologis sekaligus kondisi puncak yang harus dicapai dibalik
prinsip kemakmuran dan keamanan. Ini menunjukkan kepadatan nilai rasional dan nilai
transenden sekaligus. Jelasnya bahwa makna kemakmuran dan keamanan disini bukan
dalam pengertian logika material semata tetapi lebih kepada keutuhan realitas
fundamental yang hakiki, yaitu sublimasi logos dan mitos, suatu kebahagiaan dunia
material yang satu makna dengan
kebahagiaan spiritual di seberang kematian yang bersifat ruhaniyat.
Jumhur
mufassirin ingin menunjukkan kekecualian tanah Haram yang makmur, aman dan
beriman, dibandingkan dengan kondisi umum Timur Tengah yang penuh pergolakan
dan kekacauan sepanjang zaman. Betapapun kekecualian itu memang ada.
Rasionalitas dan kesakralan mitos
monoteis menyatu dalam spektrum kota Mekah yang kota suci sekaligus pusat
perdagangan. Keamanan kota Mekah telah memungkinkannya
tumbuh menjadi kota
suci sekaligus metropolitan. Sehingga alam yang tandus tidak menghalangi
terpenuhinya segala kebutuhan konsumtif termasuk segala buah-buahan, bahan
makanan, barang-barang kebutuhan, segala industri jasa dan perbankan yang
menempatkan pelayanan peribadatan (hajji dan umroh) sebagai prima komoditas.
Mekah selain kota suci adalah pusat perekonomian
dengan perputaran kapital yang tertinggi diseluruh Arabia ,
terutama di musim hajji. Jika equalibrium ini yang dimaksud dalam doa Ibrahim,
akan banyak pertanyaan bagi dunia non-Arab yang tidak termasuk dalam doa
Ibrahim.
Jika
ditinjau dari perspektif sosial-ekonomi doa Ibrahim memiliki bentuk rasial,
tetapi jika ditinjau dari perspektif teologis doa Ibrahim bersifat pembelaan
terhadap kedudukan Ka’bah Baitullah.
Negara
Wahabi
Pada
awal abad 18, imperium Utsmaniyyah mengalami kemunduran yang semakin serius. Di
wilayah pinggiran seperti di simenanjung Arab, muncul seorang pembangkang
Muhammad ibn Abdul Wahab yang bertekad memisahkan diri dari Istanbul . Abdul Wahab adalah seorang
pembaharu dan pendiri aliran Wahabiyah yang mencanangkan prinsip kembali kepada
Al-Qur’an dan Sunnah serta menolak fiqih abad pertengahan, mistisisme dan
filsafat. Inilah faham puritanisme dan fundamentalisme yang menganggap para
sultan Utsmaniyyah telah menyimpang dari Islam dan di cap sebagai kafir yang
patut dihukum mati. Tipikal pembaharuan yang instrumentatif ini berhasil
memerosotkan martabat Negara Syari’at Utsmaniyyah yang tampak menjadi tidak
otentik lagi. Abd. Wahab berjuang bagi berdirinya suatu wilayah yang bebas yang
menjadi basis bagi iman yang sejati, suatu daerah kantong dimana dijalankan
faham ke-Islaman yang pertama di awal abad ke 7. Tetapi Wahab memperjuangkan
keyakinannya itu dalam bentuk gerakan yang agresif yang menyebarkan ajarannya
dengan kekerasan yang kemudian menjadi prototype yang dianut oleh
gerakan-gerakan fundamentalis Islam di abad 20-21 dengan bentuk pergolakan dan
perubahan yang lebih dahsyat yang oleh Barat secara gegabah disebut
“terorisme”.
Sejarah
mencatat akhirnya Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1792) berhasil mendirikan
Negara Wahabi. Panglimanya Ibnu Saud diangkat menjadi raja dan menjadi cikal
bakal dinasti Saud yang memerintah simenanjung Arab yang kemudian berganti nama
menjadi Arab Saudi, berdasarkan nama dinasti Al-Saud yang memerintah hingga
masa sekarang dan menjadi negeri pemangku Ka’bah Baitullah. Dinasti Al-Saud
meng-klaim dirinya sebagai realisasi doa Ibrahim dengan menciptakan kemakmuran
dan keamanan di semananjung Arabia dan
menempatkan Arab Saudi sebagai salah satu negara termakmur di dunia, dengan
sumber minyak dan ziarah hajji sebagai penghasilan utama. Arab Saudi adalah
negara pengekspor minyak yang terbesar di dunia. Sebaliknya para pejuang
oposisi menuduhnya sebagai otokrat anti-demokrasi yang bengis dan korup, suatu
pemerintahan bar-bar yang primitive dan memalukan Islam. Dinasti Saud membasmi
setiap gerakan oposisi dengan keras dan kejam. Namun api oposisi tidak pernah
dapat dipadamkan. Oposisi di Arab Saudi meski menghadapi ancaman hukuman mati
terus hidup dan berkembang seperti api dalam sekam. Semakin banyak anak-anak
Arab Saudi yang sekolah di luar negeri, terutama di negara-negara Barat semakin
besar pula potensi oposisi terhadap monarkhi absolute itu. Semua pihak
menyadari bahwa perubahan sosial di negeri Wahabi itu hanya soal waktu, pasti
akan muncul juga sebagai fenomena zaman yang tidak mungkin dielakkan dari
tuntutan kebebasan dan keadilan.
Keamanan
Arab Saudi diperoleh bukan karena kekuatan negara Wahabi itu, melainkan karena
konsesi minyak yang diberikan kepada Amerika Serikat. Hampir seluruh industri
minyak Arab Saudi dijalankan oleh Aramco
sebuah perusahaan patungan keluarga kerajaan dengan Amerika Serikat dengan
kedudukan managemen yang didominasi pihak AS yang secara tradisional
menempatkan Arab Saudi sebagai pemasok utama kebutuhan minyak AS. Tentu ini
jauh dari keamanan menurut pengertian mitos doa Ibrahim yang sacral itu.
Keamanan Arab Saudi pada kenyataannya bergantung pada konsesi minyak dan
ketundukan pemerintah monarkhi pada politik Barat. Soal keamanan disini
ternyata sepenuhnya bersifat transaksi ekonomi dan politik. Tidak ada sangkut
pautnya dengan mitos doa Ibrahim. Namun demikian mitos itu tetap hidup dan
dihidupkan oleh monarkhi untuk memberikan legitimasi kekuasaan. Tetapi lebih
dari itu mitos itu perlu tetap hidup untuk menciptakan ketenteraman transenden
di hati setiap muslim. Mitos doa Ibrahim membuat kita tak pernah putus harapan.
Antara mitos dan logos memang berbeda, tetapi bisa saling mengisi pada ruang
masing-masing yang menjadikan hidup ini serasa lebih utuh dan lebih bermakna.
Apapun
tak-tik dan cara yang ditempuhnya, monarkhi Ibnu Saud telah dapat menghadirkan
kemakmuran dan keamanan di seluruh negeri. Kenyataan ini tidak dapat diabaikan
sebagai suatu prestasi yang penting. Meskipun cara-cara yang ditempuh kurang
memenuhi harapan martabat keislaman, tetapi hasilnya dinikmati dan disyukuri
sebagian besar penduduk negeri, dan memungkinkan Ka’bah Baitullah berperan
sebagai pusat peribadan ummat Islam diseluruh dunia. Masalah keamanan dan
kemakmuran ditangani oleh monarkhi dengan cara-cara pragmatis mendasarkan
kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi yang menempatkan Arab Saudi pada posisi tawar yang dianggap
layak. Sekian, kita lanjutkan Jumat depan. Terima Kasih.
Birrahmatillahi
Wabi’aunihi fi Sabilih,
Wassalamu’alaikum
War. Wab.
Pengasuh,
KH.
AGUS MIFTACH
Ketua
Umum Front Persatuan Nasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar