11.7.17

Pengajian Keseratus Duapuluh Tiga (123),







Pengajian Keseratus Duapuluh Tiga (123),

Assalamu’alailkum War. Wab.
Bismillahirrahmanirrahiem.







Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata,”Tuhanku jadikanlah negeri ini sebagai negeri yang aman, dan anugerahkanlah rezeki buah-buahan kepada sebagian penduduknya yang beriman kepada Allah dan hari akhir.” Allah berfirman,”Juga kepada orang-orang kafir pun Kuberi kesenangan singkat, kemudian Kuseret dia kedalam adzab neraka yang merupakan tempat kembali yang paling buruk.” : Al-Baqoroh : 126.

Seperti tradisi pengajian ini, kita akan membahas kandungan ayat ini dengan pendekatan ekelektik-multiperspektif secara holistis, baik dari perspektif teologi, antropologi, historiografi maupun psikologi dll secara komprehensif, untuk memperolah kedalaman dan hikmah yang setinggi-tingginya dari substansi ayat ini.

Pokok Bahasan

Ayat ini berkisah tentang doa Nabi Irahim a.s yang secara subyektif diartikan oleh para mufassirin sebagai doa bagi tanah Haram, yaitu Mekah dan bagi ras keturunan Ibrahim. Substansi doa Ibrahim berisi sublimasi tiga prinsip dasar, yaitu  kemakmuran, keamanan dan keimanan. Jumhur mufassirin membatasi pada makna harfiah. Jika dikaji secara komprehehsif, sudah tentu makna dalam ayat ini  mengandung pula nilai transenden. Jumhur mufassirin berpijak pada makna ‘hadzaa baladan’ :’ negeri ini’ yang diartikan secara harfiah sebagai kota Mekah atau negeri Hejaz secara keseluruhan. Landasan ini membawa konsekwensi logis pada pemahaman harfiah bagi keseluruhan ayat ini. Tetapi jika kita berpijak pada makna. ‘qoola, wa man kafara fa-ummatti’uhu…dst… : ‘Juga kepada orang-orang kafir-pun Kuberi……dst…hingga akhir ayat, maka sesungguhnya makna kemakmuran, keamanan dan keimanan mengandung pula pengertian transenden, meskipun tidak terlepas dari makna materialnya. Secara keseluruhan doa Ibrahim mengharapkan suatu idealitas rasional di bumi yang bersifat imitatio dei  (keadaan serupa sorga). Prinsip kemakmuran, keamanan dan keimanan lebih bermakna logos daripada mitos. Prinsip ini lebih banyak merupakan tuntutan rasional sosial-ekonomi dan hanya sedikit mengandung makna teologis-mitologis, yang dalam hal ini hanya dicukupkan dengan beriman kepada Allah dan hari akhir.

Betapapun redaksi ayat ini mempertegas posisi archetype Ibrahim dalam historiografi dan mitologi Islam. Teolog Berthold A Pariera (2004) bahkan mengatakan, kedudukan Ibrahim dalam agama Islam mungkin lebih sentral daripada dalam agama Yahudi dan Kristen. Agama Islam dapat disebut agama Ibrahim.

Trilogi kemakmuran, keamanan dan keimanan menjadi prinsip Ibrahim  yang lebih realistik, namun banyak mufassir dan ulama menafsirkan secara gegabah, dengan mengacu kepada kondisi kemakmuran para monarkhi Arab. Penafsiran duniawi yang gegabah seperti ini tentu bukan substansi yang dimaksud ayat ini yang betapapun tetap berlandaskan pada nilai-nilai transcendental. Makna harfiah disini hanya bersifat intermediate untuk menuju kepada nilai yang lebih hakiki, seperti tercermin dalam kalimat,”man amana minhum billaahi walyaumilaakhir(i)” : “sebagian penduduknya yang beriman kepada Allah dan hari akhir.” Beriman kepada Allah dan hari akhir merupakan dasar ideologis  sekaligus kondisi puncak yang harus dicapai dibalik prinsip kemakmuran dan keamanan. Ini  menunjukkan kepadatan nilai rasional dan nilai transenden sekaligus. Jelasnya bahwa makna kemakmuran dan keamanan disini bukan dalam pengertian logika material semata tetapi lebih kepada keutuhan realitas fundamental yang hakiki, yaitu sublimasi logos dan mitos, suatu kebahagiaan dunia material  yang satu makna dengan kebahagiaan spiritual di seberang kematian yang bersifat ruhaniyat.

Jumhur mufassirin ingin menunjukkan kekecualian tanah Haram yang makmur, aman dan beriman, dibandingkan dengan kondisi umum Timur Tengah yang penuh pergolakan dan kekacauan sepanjang zaman. Betapapun kekecualian itu memang ada. Rasionalitas  dan kesakralan mitos monoteis menyatu dalam spektrum kota Mekah yang kota suci sekaligus pusat perdagangan. Keamanan kota Mekah telah memungkinkannya tumbuh menjadi kota suci sekaligus metropolitan. Sehingga alam yang tandus tidak menghalangi terpenuhinya segala kebutuhan konsumtif termasuk segala buah-buahan, bahan makanan, barang-barang kebutuhan, segala industri jasa dan perbankan yang menempatkan pelayanan peribadatan (hajji dan umroh) sebagai prima komoditas. Mekah selain kota suci adalah pusat perekonomian dengan perputaran kapital yang tertinggi diseluruh Arabia, terutama di musim hajji. Jika equalibrium ini yang dimaksud dalam doa Ibrahim, akan banyak pertanyaan bagi dunia non-Arab yang tidak termasuk dalam doa Ibrahim.
Jika ditinjau dari perspektif sosial-ekonomi doa Ibrahim memiliki bentuk rasial, tetapi jika ditinjau dari perspektif teologis doa Ibrahim bersifat pembelaan terhadap kedudukan Ka’bah Baitullah.

Negara Wahabi

Pada awal abad 18, imperium Utsmaniyyah mengalami kemunduran yang semakin serius. Di wilayah pinggiran seperti di simenanjung Arab, muncul seorang pembangkang Muhammad ibn Abdul Wahab yang bertekad memisahkan diri dari Istanbul. Abdul Wahab adalah seorang pembaharu dan pendiri aliran Wahabiyah yang mencanangkan prinsip kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah serta menolak fiqih abad pertengahan, mistisisme dan filsafat. Inilah faham puritanisme dan fundamentalisme yang menganggap para sultan Utsmaniyyah telah menyimpang dari Islam dan di cap sebagai kafir yang patut dihukum mati. Tipikal pembaharuan yang instrumentatif ini berhasil memerosotkan martabat Negara Syari’at Utsmaniyyah yang tampak menjadi tidak otentik lagi. Abd. Wahab berjuang bagi berdirinya suatu wilayah yang bebas yang menjadi basis bagi iman yang sejati, suatu daerah kantong dimana dijalankan faham ke-Islaman yang pertama di awal abad ke 7. Tetapi Wahab memperjuangkan keyakinannya itu dalam bentuk gerakan yang agresif yang menyebarkan ajarannya dengan kekerasan yang kemudian menjadi prototype yang dianut oleh gerakan-gerakan fundamentalis Islam di abad 20-21 dengan bentuk pergolakan dan perubahan yang lebih dahsyat yang oleh Barat secara gegabah disebut “terorisme”.

Sejarah mencatat akhirnya Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1792) berhasil mendirikan Negara Wahabi. Panglimanya Ibnu Saud diangkat menjadi raja dan menjadi cikal bakal dinasti Saud yang memerintah simenanjung Arab yang kemudian berganti nama menjadi Arab Saudi, berdasarkan nama dinasti Al-Saud yang memerintah hingga masa sekarang dan menjadi negeri pemangku Ka’bah Baitullah. Dinasti Al-Saud meng-klaim dirinya sebagai realisasi doa Ibrahim dengan menciptakan kemakmuran dan keamanan di semananjung Arabia dan menempatkan Arab Saudi sebagai salah satu negara termakmur di dunia, dengan sumber minyak dan ziarah hajji sebagai penghasilan utama. Arab Saudi adalah negara pengekspor minyak yang terbesar di dunia. Sebaliknya para pejuang oposisi menuduhnya sebagai otokrat anti-demokrasi yang bengis dan korup, suatu pemerintahan bar-bar yang primitive dan memalukan Islam. Dinasti Saud membasmi setiap gerakan oposisi dengan keras dan kejam. Namun api oposisi tidak pernah dapat dipadamkan. Oposisi di Arab Saudi meski menghadapi ancaman hukuman mati terus hidup dan berkembang seperti api dalam sekam. Semakin banyak anak-anak Arab Saudi yang sekolah di luar negeri, terutama di negara-negara Barat semakin besar pula potensi oposisi terhadap monarkhi absolute itu. Semua pihak menyadari bahwa perubahan sosial di negeri Wahabi itu hanya soal waktu, pasti akan muncul juga sebagai fenomena zaman yang tidak mungkin dielakkan dari tuntutan kebebasan dan keadilan.

Keamanan Arab Saudi diperoleh bukan karena kekuatan negara Wahabi itu, melainkan karena konsesi minyak yang diberikan kepada Amerika Serikat. Hampir seluruh industri minyak Arab Saudi dijalankan oleh Aramco sebuah perusahaan patungan keluarga kerajaan dengan Amerika Serikat dengan kedudukan managemen yang didominasi pihak AS yang secara tradisional menempatkan Arab Saudi sebagai pemasok utama kebutuhan minyak AS. Tentu ini jauh dari keamanan menurut pengertian mitos doa Ibrahim yang sacral itu. Keamanan Arab Saudi pada kenyataannya bergantung pada konsesi minyak dan ketundukan pemerintah monarkhi pada politik Barat. Soal keamanan disini ternyata sepenuhnya bersifat transaksi ekonomi dan politik. Tidak ada sangkut pautnya dengan mitos doa Ibrahim. Namun demikian mitos itu tetap hidup dan dihidupkan oleh monarkhi untuk memberikan legitimasi kekuasaan. Tetapi lebih dari itu mitos itu perlu tetap hidup untuk menciptakan ketenteraman transenden di hati setiap muslim. Mitos doa Ibrahim membuat kita tak pernah putus harapan. Antara mitos dan logos memang berbeda, tetapi bisa saling mengisi pada ruang masing-masing yang menjadikan hidup ini serasa lebih utuh dan lebih bermakna.

Apapun tak-tik dan cara yang ditempuhnya, monarkhi Ibnu Saud telah dapat menghadirkan kemakmuran dan keamanan di seluruh negeri. Kenyataan ini tidak dapat diabaikan sebagai suatu prestasi yang penting. Meskipun cara-cara yang ditempuh kurang memenuhi harapan martabat keislaman, tetapi hasilnya dinikmati dan disyukuri sebagian besar penduduk negeri, dan memungkinkan Ka’bah Baitullah berperan sebagai pusat peribadan ummat Islam diseluruh dunia. Masalah keamanan dan kemakmuran ditangani oleh monarkhi dengan cara-cara pragmatis mendasarkan kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi yang menempatkan  Arab Saudi pada posisi tawar yang dianggap layak. Sekian, kita lanjutkan Jumat depan. Terima Kasih.

Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi Sabilih,
Wassalamu’alaikum War. Wab.

Jakarta, 2 Febreuari 2007,
Pengasuh,



KH. AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front Persatuan Nasional



Tidak ada komentar:

Posting Komentar