Pengajian
Kesembilanpuluh Empat (94),Malang
Assalamu’alaikum
War. Wab.
Bismillahirrahmanirrahiem,
“Kemudian setelah itu hatimu
menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. Padahal diantara batu-batu
itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai darinya, dan diantaranya sungguh
ada yang terbelah lalu keluarlah mata-air darinya, dan diantaranya sungguh ada
yang meluncur jatuh karena takut kepada Allah. Dan Allah sekali-kali tidak
lengah dari apa yang kamu kerjakan”; Al-Baqoroh : 74.
Sesuai
tradisi, kita akan membahas ayat ini dengan pendekatan eklektik multiperspektif
secara holistis, agar dapat dicapai kedalaman dan hikmah yang
setinggi-tingginya dari kandungan ayat ini.
Pokok
Bahasan
Dilihat
dari redaksinya ayat ini masih dalam rangkaian yang tak terpisahkan dengan 7
ayat sebelumnya (Al-Baqoroh 67-73), dan merupakan antiklimaks. 7 ayat
sebelumnya memuat mukjizat menghidupkan orang mati untuk mengetahui jati diri
pembunuhnya. Tetapi ternyata mukjizat yang kasat mata itu tidak mengubah konstitusi
jiwa Bani Israil, atau dipihak lain dapat disebut bahwa Musa a.s. telah gagal
membangun komunikasi tauhid dan membentuk schemata Al-Ghoib dalam proses
kejiwaan Bani Israil. Ini malah mengakibatkan fiksasi regresi Bani Israil pada
struktur nilai paganisme. Itulah makna kalimat“hatimu menjadi keras seperti
batu-fahiya kal-hijarot.” Bahkan
lebih keras lagi, maksudnya batu yang keras sesungguhnya memiliki fitrah yang
berubah, dapat terbelah dan dapat mengeluarkan mata air. Bahkan menurut Ibnu
Katsir ada batu yang meluncur jatuh
karena takut kepada Allah. Dalam kaitan dengan hal itu Mujahid r.a. berkata
:”Setiap batu yang memancarkan air, atau terbelah karena ditembus air, atau
meluncur dari puncak gunung, semuanya itu karena takut kepada Allah sebagaimana
Al-Qur’an menerangkan (vide, al-Isra’ : 44). Batu tersebut lebih lunak daripada
hati Bani Israil yang senantiasa mendustakan kebenaran setelah mereka
menyaksikannya dengan terang”.
Menurut ar-Razi dan al-Qurtubi dan sebagian jumhur
‘ulama’, ayat ini bukan merupakan tamsil metaforis, melainkan riil dimana Allah
Swt menciptakan sifat-sifat seperti itu pada batu sebagai karakter alami.
Kegagalan
proses komunikasi spiritual antara Bani Israil dengan Nabi Musa a.s. menjadi
pelajaran berharga dalam proses kerasulan selanjutnya yang merupakan evaluasi
dan revaluasi dari capaian-capaian sebelumnya. Dalam hal ini agama Masehi dan
terakhir Dinul-Islam adalah hasil dari proses komunikasi spiritual yang lebih
baik dan lebih sempurna. Destruksi spiritual Bani Israil menjadi cermin bagi
agama-agama samawi berikutnya, yaitu agama Masehi dan terutama Islam yang lebih
menitikberatkan komunikasi spiritual dalam proses ilmu dan akal. Namun demikian
harus diakui bahwa Bani Israil dan agama Yahudi adalah yang pertama meletakkan
dasar dan menyebarkan faham monotheisme dengan menyembah kepada Tuhan semata
(Yahweh/Allah), dan meskipun hanya sebagaian kecil, diantara Bani Israil
terdapat pula orang-orang yang beriman hingga masa kini.
Paganisme
dan materiaisme
Penulis
Inggris Nesta H. Webster mengatakan, “Meskipun hukum Musa jelas mengutuk ilmu
sihir, Bani Israil tidak mengindahkannya, mereka memeluk penyakit menular itu
dan mencampuradukkan dengan tradisi suci yang telah mereka terima sebagai
warisan gaib. Dasar kepercayaan paganis-Qabala adalah ilmu sihir (okultisme)
yang di adopsi oleh Yahudi dari system kepercayaan para pendeta Pharao’s.
Meskipun demikian tidak semua
paganis-Qabala Yahudi, ada juga yang bukan Yahudi. Pemimpin Illuminati abad 18
Adam Weishaput adalah seorang pakar okultisme. Adam menulis buku yang diberi
judul,”Two Fragment on a Ritual”
(Ritual Dua Fragment) yang berisi ajaran sihir tingkat tinggi.
Pada
zamannya Musa a.s. mencoba menembus dominasi nilai paganisme dalam psikologi
Bani Israil dengan pendekatan verbal melalui mekanisme mukjizat kasat mata yang
bersifat fulgar. Tujuannya untuk mengubah konstitusi-jiwa Bani Israil dari
paganisme kepada tauhid. Tetapi pendekatan mukjizat itu menurut pandangan Bani
Israil tidak berhasil melampaui capaian sosial-paganisme sebagai suatu entitas
peradaban yang membentuk masyarakat Mesir-Pharao’s dengan segala tradisi,
budaya, keagungan dan kemewahan matarialisme-nya. Selama 4 abad sejak zaman
Dinasti Amalik dan Yusuf a.s. Bani Israil telah menjadi bagian dari entitas
itu. Struktur kejiwaan mereka telah dipenuhi dengan nilai-nilai paganisme
sebagai suatu entitas yang membentuk peradaban tertinggi pada zamannya, yaitu
Egyptian-Pharao’s. Inilah yang membuat mereka memandang sebelah mata ajaran
Musa dengan segala mukjizatnya yang hanya bersifat insidental yang menurut
pandangan mereka masih dibawah system okultisme Pharao’s (rejim Fir’aun-fir’aun)
yang telah berhasil menciptakan entitas sosial sebuah negeri dengan peradaban
tertinggi. Padahal kalau Bani Israil mau beriman kepada ajaran Musa a.s. mereka
akan mampu menciptakan peradaban tauhid yang lebih tinggi dari Pharao’s.
Okultisme
Pharao’s berpuncak pada religi penyembahan Dewa Matahari (Sol-Invictus = Matahari Tak Tertandingi) yang terus berlanjut pada
zaman Yunani dan Romawi dengan warna-warni sinkretisme Judaism yang melahirkan
peradaban Judeo-Griko yang menjadi dasar peradaban materialisme Barat modern.
Penyembahan Sapi Betina yang dilakukan Bani Israil di kaki Sinai ketika Musa
menerima wahyu Taurat, bersumber dari pemujaan kepada Hathor dan Aphis, yaitu
para dewa Banteng Mesir yang merupakan bagian dari system Sol-Invictus yang
telah dianut Bani Israil berabad-abad sebelumnya.
Seperti
yang telah diterangkan dalam pengajian-pengajian terdahulu, persoalan inti
pertikaian Bani Israil dengan Dinasti Ahmez, khususnya Fir’aun Ramses II lebih
bermotif politik dan ekonomi, bukan agama. Bani Israil adalah kolaborator
Dinasti Amalik yang menjajah Mesir seperti tampak dalam kedudukan tinggi Yusuf
pada pemerintahan Fir’aun Futi Faragh atau Futipar serta privilege yang
dinikmati Bani Israil pada masa-masa berikutnya (abad 19-15 SM). Situasi
berubah ketika Dinasti Amalik ditumbangkan oleh Dinasti Ahmez yang pribumi (abad 15 SM). Upaya Bani Israil memberontak
dibalas oleh Ramses II dengan penindasan rasial. Jadi jelas akar
permasalahannya bukan agama, melainkan sosial ekonomi. Itulah sebabnya Bani
Israil merasa tidak memiliki konflik yang mendasar dengan Fir’aun Mesir, bahkan
mereka mengembangkan peradaban yang searah. Dipihak lain Musa a.s mengembangkan
rejim dogmatis melalui mekanisme mukjizat tanpa melibatkan proses akal dan
ilmu. Tujuannya untuk mengubah konstitusi jiwa Bani Israil secara instant. Hal
yang bertentangan dengan sifat evolusi jiwa manusia dan faktanya hingga hari
ini mainstream Bani Israil tetap tidak beriman kecuali hanya sebagian kecil
saja. Apa yang disebut Judaism dan Talmud adalah sincretisme Taurat dengan
Ocultisme-Egyptian yang jauh dari ajaran Tauhid Musa a.s.yang kemudian
berkembang menjadi Qabala. Sinkretisme-paganis itu bahkan sudah terjadi sejak
zaman Abraham dan mungkin lebih awal lagi. Bentuk akhirnya yang paling modern
adalah “Global Illuminati-Freemasonry”
yang secara efektif mempengaruhi arah peradaban dunia modern pada masa 3 abad
terakhir ini melalui pertumbuhan ideology materialisme yang menjadi mainstream
peradaban dunia modern dewasa ini.
Ketauhidan
Menurut
Hegel, manusia adalah produk sejarah
dan lingkungan sosial, dan bukan sekumpulan artibut alamiah yang sudah pasti.
Manusia bergerak maju melewati beberapa tahapan kesadaran primitive dalam
perjalanannya sampai saat ini, dan tahapan-tahapan ini berhubungan dengan bentuk-bentuk konkret
organisasi sosial, seperti suku, perbudakan, teokrasi, dan akhirnya masyarakat
yang egaliter-demokratis.
Proses
sejarah itu menjadikan system kapitalis dengan stabilitas politik dan ekonomi
pasarnya dalam realitas kehidupan sosial tidak lepas dari warisan budaya
tentang etika kerja, kebiasaan menabung, penghormatan terhadap keluarga,
warisan keagamaan dan kualitas-kualitas moral yang sudah berurat akar yang
menjadi faktor intrinsik yang mempengaruhi kepribadian suatu bangsa (modal
personality). Dengan kata lain unsur-unsur spiritualisme seperti agama dan
budaya tetap merupakan faktor-faktor penting dalam peradaban materialisme
modern. Nah inilah tugas Islam diseluruh dunia. Dengan kualitas pemahaman
tauhid yang modern Islam akan mampu mengisi kekosongan jiwa dan impersonalitas
masyarakat konsumeris-liberal seperti diungkapkan Francis Fukuyama pada
Pengajian ke 93 y.l. Islam memiliki ciri-ciri egaliter-liberal. Materialisme
tidak ditolak dalam Islam, hanya diseimbangkan dengan spiritualisme. Dengan
kata lain prinsip tauhid adalah prinsip keseimbangan. Equalibrium (keseimbangan
tertinggi) dari semua variabel instinktif yang bersifat intrinsik dan variabel
obyektif yang bersifat ekstrinsik adalah capaian ideal faham ketauhidan yang
percaya bahwa Ruh Allah ada disetiap segala sesuatu. Perhatikan Firman Allah : “Langit yang tujuh, bumi, dan semua yang
ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan
bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak memahami tasbih mereka.
Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun (Al-Isra’ : 44).
Materialisme
dalam bentuknya yang mutakhir adalah Liberalisme-Demokrasi yang sudah kita
bahas pada Pengajian ke-93. Dengan pola Equilibrasi-Tauhid kita mengislamkan
Liberalisme-Demokrasi dengan kualitas iman, moral dan etika. Maka inilah
sublimasi Islam kepada tahapan emansipasi sosial yang lebih tinggi yang dapat
menjadi jawaban damai atas konflik peradaban Barat vs Islam yang terus
meningkat akhir-akhir ini.
Sekian,
terima kasih. Kita lanjutkan pada pengajian berikutnya.
Birrahmatillahi
Wabi’aunihi fi Sabilih,
Wassalamu’alaikum
War. Wab.
Pengasuh,
KH.
AGUS MIFTACH.
Ketua
Umum Front Persatuan Nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar