11.7.17

Pengajian Kesembilanpuluh Empat (94),Malang






Pengajian Kesembilanpuluh Empat (94),Malang

Assalamu’alaikum War. Wab.
Bismillahirrahmanirrahiem,








“Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. Padahal diantara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai darinya, dan diantaranya sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah mata-air darinya, dan diantaranya sungguh ada yang meluncur jatuh karena takut kepada Allah. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan”; Al-Baqoroh : 74.

Sesuai tradisi, kita akan membahas ayat ini dengan pendekatan eklektik multiperspektif secara holistis, agar dapat dicapai kedalaman dan hikmah yang setinggi-tingginya dari kandungan ayat ini.

Pokok Bahasan

Dilihat dari redaksinya ayat ini masih dalam rangkaian yang tak terpisahkan dengan 7 ayat sebelumnya (Al-Baqoroh 67-73), dan merupakan antiklimaks. 7 ayat sebelumnya memuat mukjizat menghidupkan orang mati untuk mengetahui jati diri pembunuhnya. Tetapi ternyata mukjizat yang kasat mata itu tidak mengubah konstitusi jiwa Bani Israil, atau dipihak lain dapat disebut bahwa Musa a.s. telah gagal membangun komunikasi tauhid dan membentuk schemata Al-Ghoib dalam proses kejiwaan Bani Israil. Ini malah mengakibatkan fiksasi regresi Bani Israil pada struktur nilai paganisme. Itulah makna kalimat“hatimu menjadi keras seperti batu-fahiya kal-hijarot.” Bahkan lebih keras lagi, maksudnya batu yang keras sesungguhnya memiliki fitrah yang berubah, dapat terbelah dan dapat mengeluarkan mata air. Bahkan menurut Ibnu Katsir ada batu  yang meluncur jatuh karena takut kepada Allah. Dalam kaitan dengan hal itu Mujahid r.a. berkata :”Setiap batu yang memancarkan air, atau terbelah karena ditembus air, atau meluncur dari puncak gunung, semuanya itu karena takut kepada Allah sebagaimana Al-Qur’an menerangkan (vide, al-Isra’ : 44). Batu tersebut lebih lunak daripada hati Bani Israil yang senantiasa mendustakan kebenaran setelah mereka menyaksikannya dengan terang”.
Menurut  ar-Razi dan al-Qurtubi dan sebagian jumhur ‘ulama’, ayat ini bukan merupakan tamsil metaforis, melainkan riil dimana Allah Swt menciptakan sifat-sifat seperti itu pada batu sebagai karakter alami.
Kegagalan proses komunikasi spiritual antara Bani Israil dengan Nabi Musa a.s. menjadi pelajaran berharga dalam proses kerasulan selanjutnya yang merupakan evaluasi dan revaluasi dari capaian-capaian sebelumnya. Dalam hal ini agama Masehi dan terakhir Dinul-Islam adalah hasil dari proses komunikasi spiritual yang lebih baik dan lebih sempurna. Destruksi spiritual Bani Israil menjadi cermin bagi agama-agama samawi berikutnya, yaitu agama Masehi dan terutama Islam yang lebih menitikberatkan komunikasi spiritual dalam proses ilmu dan akal. Namun demikian harus diakui bahwa Bani Israil dan agama Yahudi adalah yang pertama meletakkan dasar dan menyebarkan faham monotheisme dengan menyembah kepada Tuhan semata (Yahweh/Allah), dan meskipun hanya sebagaian kecil, diantara Bani Israil terdapat pula orang-orang yang beriman hingga masa kini.

Paganisme dan materiaisme

Penulis Inggris Nesta H. Webster mengatakan, “Meskipun hukum Musa jelas mengutuk ilmu sihir, Bani Israil tidak mengindahkannya, mereka memeluk penyakit menular itu dan mencampuradukkan dengan tradisi suci yang telah mereka terima sebagai warisan gaib. Dasar kepercayaan paganis-Qabala adalah ilmu sihir (okultisme) yang di adopsi oleh Yahudi dari system kepercayaan para pendeta Pharao’s. Meskipun demikian  tidak semua paganis-Qabala Yahudi, ada juga yang bukan Yahudi. Pemimpin Illuminati abad 18 Adam Weishaput adalah seorang pakar okultisme. Adam menulis buku yang diberi judul,”Two Fragment on a Ritual” (Ritual Dua Fragment) yang berisi ajaran sihir tingkat tinggi.
Pada zamannya Musa a.s. mencoba menembus dominasi nilai paganisme dalam psikologi Bani Israil dengan pendekatan verbal melalui mekanisme mukjizat kasat mata yang bersifat fulgar. Tujuannya untuk mengubah konstitusi-jiwa Bani Israil dari paganisme kepada tauhid. Tetapi pendekatan mukjizat itu menurut pandangan Bani Israil tidak berhasil melampaui capaian sosial-paganisme sebagai suatu entitas peradaban yang membentuk masyarakat Mesir-Pharao’s dengan segala tradisi, budaya, keagungan dan kemewahan matarialisme-nya. Selama 4 abad sejak zaman Dinasti Amalik dan Yusuf a.s. Bani Israil telah menjadi bagian dari entitas itu. Struktur kejiwaan mereka telah dipenuhi dengan nilai-nilai paganisme sebagai suatu entitas yang membentuk peradaban tertinggi pada zamannya, yaitu Egyptian-Pharao’s. Inilah yang membuat mereka memandang sebelah mata ajaran Musa dengan segala mukjizatnya yang hanya bersifat insidental yang menurut pandangan mereka masih dibawah system okultisme Pharao’s (rejim Fir’aun-fir’aun) yang telah berhasil menciptakan entitas sosial sebuah negeri dengan peradaban tertinggi. Padahal kalau Bani Israil mau beriman kepada ajaran Musa a.s. mereka akan mampu menciptakan peradaban tauhid yang lebih tinggi dari Pharao’s.

Okultisme Pharao’s berpuncak pada religi penyembahan Dewa Matahari (Sol-Invictus = Matahari Tak Tertandingi) yang terus berlanjut pada zaman Yunani dan Romawi dengan warna-warni sinkretisme Judaism yang melahirkan peradaban Judeo-Griko yang menjadi dasar peradaban materialisme Barat modern. Penyembahan Sapi Betina yang dilakukan Bani Israil di kaki Sinai ketika Musa menerima wahyu Taurat, bersumber dari pemujaan kepada Hathor dan Aphis, yaitu para dewa Banteng Mesir yang merupakan bagian dari system Sol-Invictus yang telah dianut Bani Israil berabad-abad sebelumnya.

Seperti yang telah diterangkan dalam pengajian-pengajian terdahulu, persoalan inti pertikaian Bani Israil dengan Dinasti Ahmez, khususnya Fir’aun Ramses II lebih bermotif politik dan ekonomi, bukan agama. Bani Israil adalah kolaborator Dinasti Amalik yang menjajah Mesir seperti tampak dalam kedudukan tinggi Yusuf pada pemerintahan Fir’aun Futi Faragh atau Futipar serta privilege yang dinikmati Bani Israil pada masa-masa berikutnya (abad 19-15 SM). Situasi berubah ketika Dinasti Amalik ditumbangkan oleh Dinasti Ahmez yang pribumi (abad 15 SM). Upaya Bani Israil memberontak dibalas oleh Ramses II dengan penindasan rasial. Jadi jelas akar permasalahannya bukan agama, melainkan sosial ekonomi. Itulah sebabnya Bani Israil merasa tidak memiliki konflik yang mendasar dengan Fir’aun Mesir, bahkan mereka mengembangkan peradaban yang searah. Dipihak lain Musa a.s mengembangkan rejim dogmatis melalui mekanisme mukjizat tanpa melibatkan proses akal dan ilmu. Tujuannya untuk mengubah konstitusi jiwa Bani Israil secara instant. Hal yang bertentangan dengan sifat evolusi jiwa manusia dan faktanya hingga hari ini mainstream Bani Israil tetap tidak beriman kecuali hanya sebagian kecil saja. Apa yang disebut Judaism dan Talmud adalah sincretisme Taurat dengan Ocultisme-Egyptian yang jauh dari ajaran Tauhid Musa a.s.yang kemudian berkembang menjadi Qabala. Sinkretisme-paganis itu bahkan sudah terjadi sejak zaman Abraham dan mungkin lebih awal lagi. Bentuk akhirnya yang paling modern adalah “Global Illuminati-Freemasonry” yang secara efektif mempengaruhi arah peradaban dunia modern pada masa 3 abad terakhir ini melalui pertumbuhan ideology materialisme yang menjadi mainstream peradaban dunia modern dewasa ini.

Ketauhidan

Menurut Hegel, manusia adalah produk sejarah dan lingkungan sosial, dan bukan sekumpulan artibut alamiah yang sudah pasti. Manusia bergerak maju melewati beberapa tahapan kesadaran primitive dalam perjalanannya sampai saat ini, dan tahapan-tahapan ini  berhubungan dengan bentuk-bentuk konkret organisasi sosial, seperti suku, perbudakan, teokrasi, dan akhirnya masyarakat yang egaliter-demokratis.
Proses sejarah itu menjadikan system kapitalis dengan stabilitas politik dan ekonomi pasarnya dalam realitas kehidupan sosial tidak lepas dari warisan budaya tentang etika kerja, kebiasaan menabung, penghormatan terhadap keluarga, warisan keagamaan dan kualitas-kualitas moral yang sudah berurat akar yang menjadi faktor intrinsik yang mempengaruhi kepribadian suatu bangsa (modal personality). Dengan kata lain unsur-unsur spiritualisme seperti agama dan budaya tetap merupakan faktor-faktor penting dalam peradaban materialisme modern. Nah inilah tugas Islam diseluruh dunia. Dengan kualitas pemahaman tauhid yang modern Islam akan mampu mengisi kekosongan jiwa dan impersonalitas masyarakat konsumeris-liberal seperti diungkapkan Francis Fukuyama pada Pengajian ke 93 y.l. Islam memiliki ciri-ciri egaliter-liberal. Materialisme tidak ditolak dalam Islam, hanya diseimbangkan dengan spiritualisme. Dengan kata lain prinsip tauhid adalah prinsip keseimbangan. Equalibrium (keseimbangan tertinggi) dari semua variabel instinktif yang bersifat intrinsik dan variabel obyektif yang bersifat ekstrinsik adalah capaian ideal faham ketauhidan yang percaya bahwa Ruh Allah ada disetiap segala sesuatu. Perhatikan Firman Allah : “Langit yang tujuh, bumi, dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak memahami tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun (Al-Isra’ : 44).

Materialisme dalam bentuknya yang mutakhir adalah Liberalisme-Demokrasi yang sudah kita bahas pada Pengajian ke-93. Dengan pola Equilibrasi-Tauhid kita mengislamkan Liberalisme-Demokrasi dengan kualitas iman, moral dan etika. Maka inilah sublimasi Islam kepada tahapan emansipasi sosial yang lebih tinggi yang dapat menjadi jawaban damai atas konflik peradaban Barat vs Islam yang terus meningkat akhir-akhir ini.

Sekian, terima kasih. Kita lanjutkan pada pengajian berikutnya.
Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi Sabilih,
Wassalamu’alaikum War. Wab.

Jakarta, 2 Juni 2006,
Pengasuh,



KH. AGUS MIFTACH.   

Ketua Umum Front Persatuan Nasional.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar