Pengajian Kesertatus Delapan (108),
Oleh : KH. Agus Miftach
Assalamu’alaikum War. Wab,
Bismillahirrahmanirrahiem,
“Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan
kepadamu ayat-ayat yeng jelas, dan tidak ada yang ingkar kepadanya kecuali
orang-orang yang fasik. (99) Patutkah mereka ingkar kepada ayat-ayat Allah? Dan
setiap kali mereka mengikat janji, segolongan mereka melemparkannya. Bahkan
sebagian besar dari mereka tidak beriman. (100) Dan setelah datang kepada
mereka seorang rasul dari sisi Allah yang membenarkan apa (kitab) yang ada pada
mereka, sebagian dari orang-orang yang diberi Kitab (Taurat) melemparkan Kitab
Allah ke belakang (punggungnya) seolah-olah mereka tidak mengetahui. (101) Dan
mereka mengikuti apa yang di baca oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman,
padahal Sulaiman tidaklah kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya setan-setan
itulah yang kafir. Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang
diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut,
sedangkan keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum
mengatakan,”Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu
kafir.” Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir
itu mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak
memberikan mudharat kepadanya dan tidak
memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa
menukarkannya (Kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di
akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual diri dengan sihir, kalau
mereka mengetahui. (102) Sesungguhnya jika mereka beriman dan bertakwa, niscaya
pahala pada sisi Allah itu lebih baik, kalau mereka mengetahui. (103)” :
Al-Baqoroh : 99-103.
Rangkaian ayat yang cukup panjang ini akan
kita bahas dengan pendekatan eklektik multiperspektif teologi, antropologi,
historiografi, psikologi dll secara holistis untuk mencapai hikmah pemahaman
yang setinggi-tingginya dari kandungan ayat-ayat diatas.
Pokok Bahasan.
Dikemukakan oleh Ibnu Abu Hatim dari jalur
Sa’id atau Ikrimah dari Ibnu Abas r.a., katanya : Ibnu Shuriya al-Qathwaini
(pemuka Yahudi) mengatakan kepada Nabi SAW,”Hai Muhammad ! Tidak satupun yang
kamu bawa itu yang kami kenali, dan tidak satu pun ayat yang jelas yang
diturunkan Allah kepadamu”. Riwayat ini menjadi asbabun-nuzul ayat ke 99
diatas, “Walaqod anzalnaa ilaika aayaatim-bayyinati(n)” : “Dan sesungguhnya
Kami telah menurunkan kepadamu ayat-ayat yang jelas…..dst”.
Ibnu Katsir menerangkan yang dimaksud
ayat-ayat yang jelas itu adalah tanda-tanda keNabian Muhammad SAW. Diantaranya
berbagai berita rahasia tentang kaum Yahudi yang terkandung dalam Al-Qur’an,
yang sebenarnya hanya diketahui oleh para rahib (‘ulama’) Yahudi. Yang
terkandung pula dalam Taurat yang telah dirubah-rubah oleh kaum Yahudi di masa
sebelumnya maupun di masa Rasulullah SAW. Sedangkan Nabi Muhammad SAW tidak
pernah mempelajari ihwal rahasia-rahasia Yahudi itu. Pengetahuan Nabi Muhammad
SAW yang mendalam tentang hal itu adalah menunjukkan tanda kenabiannya. Bahkan
kalangan Yahudi mengakui,”Muhammad lebih mengetahui apa yang diturunkan Allah kepada
mereka daripada mereka sendiri.”. Meski demikian kaum Yahudi tetap tidak
beriman kepada Rasulullah SAW.
Jumhur mufassirin mengungkapkan bahwa Nabi
SAW diutus kepada kaum Yahudi untuk
mengingatkan janji mereka kepada Allah dan janji mereka ihwal Muhammad SAW.
Menanggapi hal ini seorang pemuka Yahudi Malik Ibnush-Shaif berkata,”Demi
Allah, Allah tidak mengambil janji dari kami ihwal keimanan kepada Muhammad,
dan Kami-pun tidak pernah berjanji kepada-Nya.” Riwayat ini menjadi
asbabun-nuzul ayat ke-100,”Awakullamaa ‘aahadud ‘ahdan nabadzahu
fariequm-minhum….dst” :”Patutkah mereka (ingkar janji kepada ayat-ayat Allah),
dan setiap kali mereka mengikat janji, segolongan mereka
melemparkannya?.....dst.
Jumhur mufassirin menerangkan bahwa
sesungguhnya sifat dan karakter Nabi
Muhammad SAW terdapat dalam Kitab-kitab Taurat dan Injil, tetapi Bani Israil
dan kaum Nasrani tidak pernah mengakuinya dan selalu mendustakannya. Ibnu
Katsir mengungkapkan, kaum Yahudi dan Nasrani sebenarnya mengetahui bahwa
mereka diperintahkan untuk mengikuti dan mendukung Rasul yang diutus kepada
semua umat manusia, Nabi yang ummi, yang (namanya) mereka dapati tertulis dalam
Taurat dan Injil.” (vide, al-A’raf : 157). Tetapi mereka menyembunyikan
kebenaran itu, dan pura-pura tidak mengetahuinya seperti terungkap dalam akhir
ayat 101, “….ka-annahum laa ya’lamuun(a)” : “……seolah-olah mereka tidak
mengetahuinya”. Dalam kaitan dengan hal ini al-Hasan mengeluarkan kecaman
sbb, “Adalah benar , bahwa tiada perjanjian yang mereka (Bani Israil) ikrarkan di bumi ini melainkan mereka
melanggarnya dan mencampakkanya”.
Perhatian kaum Yahudi selalu lebih tertuju
kepada okultisme (ilmu sihir). Bahkan diriwayatkan dari sumber Aisyah Ummul
Mukmini r.a., seorang Yahudi bernama Lubaid ibnul A’sam pernah mencoba
menyantet Rasulullah SAW dengan “rontokan rambut dan mayang kurma kering” yang
diletakkan di bibir sumur Dzi Arwan. Upaya mencelakai Rasulullah dengan ilmu
santet ini gagal, Allah SWT telah menyelamatkan Rasul-Nya.
Ibnu Katsir mengungkapkan, bahwa kaum Yahudi
mengikuti dan belajar dari kitab-kitab sihir dari zaman kerajaan Sulaiman.
Dalam kaitan ini kaum Yahudi senantiasa mengagungkan nama Sulaiman dan
kerajaannya yang jaya seakan Sulaiman dan mereka merupakan satu kaum dan satu
keyakinan. Dalam hal ini Ibnu Katsir menegaskan bahwa Sulaiman bukanlah kafir,
tetapi setan-setan itulah yang kafir, mereka telah mengajari manusia ilmu
sihir.
As-Sa’di bercerita : “Setan-setan itu dapat
naik ke langit, untuk mencuri dengar pembicaraan para malaikat tentang takdir
dan perkara bumi seperti kematian,
hal-hal gaib, atau persoalan tertentu. Lalu memberitahukannya kepada para dukun
yang kemudian menyebarkannya kepada khalayak. Kesesuaian perkataan para dukun
dengan peristiwa-peristiwa di bumi termasuk peramalan, menumbuhkan kepercayaan
yang menyesatkan umat manusia dari keimanan. Yang pertama percaya kepada setan
tentu para dukun itu yang kemudian memperluas pengajaran kepada orang-orang
yang mengikutinya yang bahkan kemudian menuliskannya menjadi sejumlah kitab
yang sampai kepada Bani Israil dimana terdapat didalamnya pengajaran jin
tentang kegaiban. Pada zamannya Raja Sulaiman merampas semua kitab sesat itu
dan menanamnya dibawah singgasananya, sehingga tak seorangpun termasuk setan
berani mengambilnya,”siapapun berani mengajarkan kesesatan ini akan kupenggal
lehernya”, demikian Raja Sulaiman mengancam.
Sejarah mencatat Raja Bani Israil Sulaiman
wafat pada th. 930 SM. Ia digantikan oleh puteranya Rehabeam atau Rahub’am
(logat Arab) yang tidak becus. Negara menjadi kacau, perpecahan dan perang
saudara melanda seluruh negeri.
Ibnu Katsir mengungkapkan , atas petunjuk
setan seklompok Bani Israil menggali situs dibawah singgasana Sulaiman, dan
mereka menemukan buku-buku pengajaran sihir itu. Mereka berkesimpulan bahwa
kekuatan dan kesaktian Sulaiman selama ini adalah berkat ilmu sihir itu. Jadi
mereka berkesimpulan ternyata Sulaiman itu adalah tukang sihir. Inilah yang
dibantah ayat 102, dengan kalimat,”…wa maa kafaru sulaimaanu
walakinnasysyayaathiina kafaru…..dst” : “….padahal Sulaiman tidak kafir (tidak
mengerjakan sihir), melainkan setan-stan itulah yang kafir…dst.” Namun Bani
Israil telah nekad menjadikan kitab-kitab sihir itu bagian dari kitab-kitab
suci mereka. Kitab-kitab sihir itu pula yang digunakan Bani Israil untuk
membantah hujjah Rasulullah SAW.
Tentang Harut dan Marut yang di sebut di ayat
102, terjadi beragam penafsiran. Kalimat baku pada ayat ini “malakaini”
yang diartikan dua malaikat. Artinya Harut dan Marut itu jenis malaikat. Tapi
perbuatannya yang mengajarkan sihir yang berarti kekafiran bertentangan dengan
fitrah malaikat yang selalu taat kepaa Allah SWT. Bani Israil bahkan
berpendapat bahwa Harut dan Marut itu sebenarnya adalah Jibril dan Mikail. Para
ulama tentu saja mengabaikan pendapat kalangan Bani Israil. Namun demikian Ibnu
Katsir menerangkan bahwa kalimat “malakaini” lebih merupakan bentuk penyesatan
yang ditujukan kepada Bani Israil. Al-Qurthubi diikuti Ibnu Katsir membakukan
pendapat yang diikuti jumhur mufassirin, bahwa Harut dan Marut adalah badal setan,
artinya dua orang yang mengikuti ajaran setan, dan mengajarkan kekafiran yaitu
sihir kepada manusia untuk disesatkan.
Tentang kalimat,”…innamaa nahnu fitnatun
falaa takfur,” : “….Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu
janganlah kamu kafir.” Menurut Abu Ja’far ar-Razi dan As-Sadi merupakan
seleksi bagi orang yang benar-benar mau menempuh jalan sihir yang berarti
kekufuran itu. Dalam hal ini Harut dan Marut mengetahui orang yang beriman atau
kafir. Diriwayatkan cahaya keimanan
membumbung ke langit pergi meninggalkan orang yang memeluk sihir,
berganti dengan asap hitam kemurkaan Allah. Sesungguhnya mempelajari ilmu sihir
adalah mempelajari segala sesuatu yang tercela.
Sebuah hadiest riwayat Muslim dalam shahihnya
dari Jabir bin Abdullah r.a., bahwa Nabi SAW bersabda : “(rangkaian dari matan
yang panjang) “…..anggota pasukan setan melapor kepada rajanya,”aku tidak akan
meninggalkan manusia sebelum aku berhasil menceraikan antara dia dengan
istrinya. Lalu aku mendekatinya, mengakrabinya dan menempelnya”. Maka raja
Iblis berkata,”Bagus kamu.”
Rasulullah SAW bersabda,”Had bagi tukang
sihir adalah ditebas lehernya dengan pedang.” (HR. Tirmidzi). Ini menjadi
dasar instruksi Khalifah Umar bin Khattab r.a. kepada seluruh gubernurnya agar
menghukum mati semua tukang sihir, baik laki-laki maupun perempuan tanpa
kecuali (Diriwayatkan Bukhari dalam shahihnya).
Dengan uraian ini, maka jumhur Ulama mengakui
adanya ilmu sihir sebagai bentuk kekufuran yang harus diberantas, tetapi kaum
Muktazilah tidak mengakui keberadaan ilmu sihir.
Okultisme Qabala
Meski kisah Harut dan Marut hanya bersifat
kitabiyah dan kurang didukung fakta, namun tumbuh suburnya okultisme dalam
kehidupan spiritual Bani Israil memiliki konteks dengan arke ini. Negeri Babil
yang disebut mufassirin sebagai lokasi Harut dan Marut bersesuaian dengan
fakta-fakta arkeologis dan antropologis agama-agma kuno paganis yang bercorak
okultisme yang tumbuh di Babilonia sebagai pusat peradaban. Qabala-Israili
dimulai dari pengasingan di Babilonia abad ke-6 SM. Ibrahim bin Tarih yang merupakan datuk cikal
bakal Bani Israil berasal dari Aur-Khaldan abad ke-25 SM, yang secara
antropologis dalam lingkup Babilonia.
Ilmu sihir atau okultisme dilingkungan Bani
Israil berbentuk system qabala yang tersistemasikan dalam tiga kitab suci
qabala, yaitu Sefer Yetzerah (kitab genesis), Sefer Zohar (kitab
keagungan) dan Sefer Bahir (kitab
cahaya). Orang yang berjasa menyusun pelajaran oral menjadi tekstual ini ialah Rabbi
Akiva ben Josef (Ketua Sandherin), dan pembantunya Rabbi Simon ben
Joachai . Ketiga kitab qabala itu saling berkait dan harus dipelajari dan
difungsikan bersama-sama. Sefer Zohar berisi ayat-ayat dan amsal rahasia yang
hanya dapat dipahami melalui Sefer Yetzerah. Kedua kitab adalah produk sebelum
masehi. Sedangkan Sefer Bahir merupakan himpunan keduanya pada tingkat yang
lebih tinggi, yang merupakan produk sesudah masehi. Inilah tiga kitab suci
okultisme. Meskipun tidak ada bukti empiric pertalian sistem qabala dengan
Harut dan Marut yang kitabiyah itu, namun qabala menyajikan fakta yang kuat
tentang adanya system okultisme (sihir) di dunia. Sekian.
Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi Sabilih,
Wassalamu’alaikum War. Wab.
Jakarta, 8 September 2006,
Pengasuh,
K.H. AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front Persatuan Nasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar