11.7.17

Pengajian Kesertatus Delapan (108),


Pengajian Kesertatus Delapan (108),

Oleh : KH. Agus Miftach

Assalamu’alaikum War. Wab,
Bismillahirrahmanirrahiem,

Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu ayat-ayat yeng jelas, dan tidak ada yang ingkar kepadanya kecuali orang-orang yang fasik. (99) Patutkah mereka ingkar kepada ayat-ayat Allah? Dan setiap kali mereka mengikat janji, segolongan mereka melemparkannya. Bahkan sebagian besar dari mereka tidak beriman. (100) Dan setelah datang kepada mereka seorang rasul dari sisi Allah yang membenarkan apa (kitab) yang ada pada mereka, sebagian dari orang-orang yang diberi Kitab (Taurat) melemparkan Kitab Allah ke belakang (punggungnya) seolah-olah mereka tidak mengetahui. (101) Dan mereka mengikuti apa yang di baca oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman, padahal Sulaiman tidaklah kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir. Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedangkan keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan,”Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir.” Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan  istrinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberikan mudharat  kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa menukarkannya (Kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual diri dengan sihir, kalau mereka mengetahui. (102) Sesungguhnya jika mereka beriman dan bertakwa, niscaya pahala pada sisi Allah itu lebih baik, kalau mereka mengetahui. (103)” : Al-Baqoroh : 99-103.

Rangkaian ayat yang cukup panjang ini akan kita bahas dengan pendekatan eklektik multiperspektif teologi, antropologi, historiografi, psikologi dll secara holistis untuk mencapai hikmah pemahaman yang setinggi-tingginya dari kandungan ayat-ayat diatas.

Pokok Bahasan.

Dikemukakan oleh Ibnu Abu Hatim dari jalur Sa’id atau Ikrimah dari Ibnu Abas r.a., katanya : Ibnu Shuriya al-Qathwaini (pemuka Yahudi) mengatakan kepada Nabi SAW,”Hai Muhammad ! Tidak satupun yang kamu bawa itu yang kami kenali, dan tidak satu pun ayat yang jelas yang diturunkan Allah kepadamu”. Riwayat ini menjadi asbabun-nuzul ayat ke 99 diatas, “Walaqod anzalnaa ilaika aayaatim-bayyinati(n)” : “Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu ayat-ayat yang jelas…..dst”.

Ibnu Katsir menerangkan yang dimaksud ayat-ayat yang jelas itu adalah tanda-tanda keNabian Muhammad SAW. Diantaranya berbagai berita rahasia tentang kaum Yahudi yang terkandung dalam Al-Qur’an, yang sebenarnya hanya diketahui oleh para rahib (‘ulama’) Yahudi. Yang terkandung pula dalam Taurat yang telah dirubah-rubah oleh kaum Yahudi di masa sebelumnya maupun di masa Rasulullah SAW. Sedangkan Nabi Muhammad SAW tidak pernah mempelajari ihwal rahasia-rahasia Yahudi itu. Pengetahuan Nabi Muhammad SAW yang mendalam tentang hal itu adalah menunjukkan tanda kenabiannya. Bahkan kalangan Yahudi mengakui,”Muhammad lebih mengetahui apa yang diturunkan Allah kepada mereka daripada mereka sendiri.”. Meski demikian kaum Yahudi tetap tidak beriman kepada Rasulullah SAW. 

Jumhur mufassirin mengungkapkan bahwa Nabi SAW diutus kepada kaum Yahudi  untuk mengingatkan janji mereka kepada Allah dan janji mereka ihwal Muhammad SAW. Menanggapi hal ini seorang pemuka Yahudi Malik Ibnush-Shaif berkata,”Demi Allah, Allah tidak mengambil janji dari kami ihwal keimanan kepada Muhammad, dan Kami-pun tidak pernah berjanji kepada-Nya.” Riwayat ini menjadi asbabun-nuzul ayat ke-100,”Awakullamaa ‘aahadud ‘ahdan nabadzahu fariequm-minhum….dst” :”Patutkah mereka (ingkar janji kepada ayat-ayat Allah), dan setiap kali mereka mengikat janji, segolongan mereka melemparkannya?.....dst.

Jumhur mufassirin menerangkan bahwa sesungguhnya  sifat dan karakter Nabi Muhammad SAW terdapat dalam Kitab-kitab Taurat dan Injil, tetapi Bani Israil dan kaum Nasrani tidak pernah mengakuinya dan selalu mendustakannya. Ibnu Katsir mengungkapkan, kaum Yahudi dan Nasrani sebenarnya mengetahui bahwa mereka diperintahkan untuk mengikuti dan mendukung Rasul yang diutus kepada semua umat manusia, Nabi yang ummi, yang (namanya) mereka dapati tertulis dalam Taurat dan Injil.” (vide, al-A’raf : 157). Tetapi mereka menyembunyikan kebenaran itu, dan pura-pura tidak mengetahuinya seperti terungkap dalam akhir ayat 101, “….ka-annahum laa ya’lamuun(a)” : “……seolah-olah mereka tidak mengetahuinya”. Dalam kaitan dengan hal ini al-Hasan mengeluarkan kecaman sbb, “Adalah benar , bahwa tiada perjanjian yang mereka (Bani Israil)  ikrarkan di bumi ini melainkan mereka melanggarnya dan mencampakkanya”.

Perhatian kaum Yahudi selalu lebih tertuju kepada okultisme (ilmu sihir). Bahkan diriwayatkan dari sumber Aisyah Ummul Mukmini r.a., seorang Yahudi bernama Lubaid ibnul A’sam pernah mencoba menyantet Rasulullah SAW dengan “rontokan rambut dan mayang kurma kering” yang diletakkan di bibir sumur Dzi Arwan. Upaya mencelakai Rasulullah dengan ilmu santet ini gagal, Allah SWT telah menyelamatkan Rasul-Nya.

Ibnu Katsir mengungkapkan, bahwa kaum Yahudi mengikuti dan belajar dari kitab-kitab sihir dari zaman kerajaan Sulaiman. Dalam kaitan ini kaum Yahudi senantiasa mengagungkan nama Sulaiman dan kerajaannya yang jaya seakan Sulaiman dan mereka merupakan satu kaum dan satu keyakinan. Dalam hal ini Ibnu Katsir menegaskan bahwa Sulaiman bukanlah kafir, tetapi setan-setan itulah yang kafir, mereka telah mengajari manusia ilmu sihir.

As-Sa’di bercerita : “Setan-setan itu dapat naik ke langit, untuk mencuri dengar pembicaraan para malaikat tentang takdir dan perkara  bumi seperti kematian, hal-hal gaib, atau persoalan tertentu. Lalu memberitahukannya kepada para dukun yang kemudian menyebarkannya kepada khalayak. Kesesuaian perkataan para dukun dengan peristiwa-peristiwa di bumi termasuk peramalan, menumbuhkan kepercayaan yang menyesatkan umat manusia dari keimanan. Yang pertama percaya kepada setan tentu para dukun itu yang kemudian memperluas pengajaran kepada orang-orang yang mengikutinya yang bahkan kemudian menuliskannya menjadi sejumlah kitab yang sampai kepada Bani Israil dimana terdapat didalamnya pengajaran jin tentang kegaiban. Pada zamannya Raja Sulaiman merampas semua kitab sesat itu dan menanamnya dibawah singgasananya, sehingga tak seorangpun termasuk setan berani mengambilnya,”siapapun berani mengajarkan kesesatan ini akan kupenggal lehernya”, demikian Raja Sulaiman mengancam.

Sejarah mencatat Raja Bani Israil Sulaiman wafat pada th. 930 SM. Ia digantikan oleh puteranya Rehabeam atau Rahub’am (logat Arab) yang tidak becus. Negara menjadi kacau, perpecahan dan perang saudara melanda seluruh negeri.

Ibnu Katsir mengungkapkan , atas petunjuk setan seklompok Bani Israil menggali situs dibawah singgasana Sulaiman, dan mereka menemukan buku-buku pengajaran sihir itu. Mereka berkesimpulan bahwa kekuatan dan kesaktian Sulaiman selama ini adalah berkat ilmu sihir itu. Jadi mereka berkesimpulan ternyata Sulaiman itu adalah tukang sihir. Inilah yang dibantah ayat 102, dengan kalimat,”…wa maa kafaru sulaimaanu walakinnasysyayaathiina kafaru…..dst” : “….padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), melainkan setan-stan itulah yang kafir…dst.” Namun Bani Israil telah nekad menjadikan kitab-kitab sihir itu bagian dari kitab-kitab suci mereka. Kitab-kitab sihir itu pula yang digunakan Bani Israil untuk membantah hujjah Rasulullah SAW.

Tentang Harut dan Marut yang di sebut di ayat 102, terjadi beragam penafsiran. Kalimat baku pada ayat ini “malakaini” yang diartikan dua malaikat. Artinya Harut dan Marut itu jenis malaikat. Tapi perbuatannya yang mengajarkan sihir yang berarti kekafiran bertentangan dengan fitrah malaikat yang selalu taat kepaa Allah SWT. Bani Israil bahkan berpendapat bahwa Harut dan Marut itu sebenarnya adalah Jibril dan Mikail. Para ulama tentu saja mengabaikan pendapat kalangan Bani Israil. Namun demikian Ibnu Katsir menerangkan bahwa kalimat “malakaini” lebih merupakan bentuk penyesatan yang ditujukan kepada Bani Israil. Al-Qurthubi diikuti Ibnu Katsir membakukan pendapat yang diikuti jumhur mufassirin, bahwa Harut dan Marut adalah badal setan, artinya dua orang yang mengikuti ajaran setan, dan mengajarkan kekafiran yaitu sihir kepada manusia untuk disesatkan.

Tentang kalimat,”…innamaa nahnu fitnatun falaa takfur,” : “….Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir.” Menurut Abu Ja’far ar-Razi dan As-Sadi merupakan seleksi bagi orang yang benar-benar mau menempuh jalan sihir yang berarti kekufuran itu. Dalam hal ini Harut dan Marut mengetahui orang yang beriman atau kafir. Diriwayatkan cahaya keimanan  membumbung ke langit pergi meninggalkan orang yang memeluk sihir, berganti dengan asap hitam kemurkaan Allah. Sesungguhnya mempelajari ilmu sihir adalah mempelajari segala sesuatu yang tercela.

Sebuah hadiest riwayat Muslim dalam shahihnya dari Jabir bin Abdullah r.a., bahwa Nabi SAW bersabda : “(rangkaian dari matan yang panjang) “…..anggota pasukan setan melapor kepada rajanya,”aku tidak akan meninggalkan manusia sebelum aku berhasil menceraikan antara dia dengan istrinya. Lalu aku mendekatinya, mengakrabinya dan menempelnya”. Maka raja Iblis berkata,”Bagus kamu.”

Rasulullah SAW bersabda,”Had bagi tukang sihir adalah ditebas lehernya dengan pedang.” (HR. Tirmidzi). Ini menjadi dasar instruksi Khalifah Umar bin Khattab r.a. kepada seluruh gubernurnya agar menghukum mati semua tukang sihir, baik laki-laki maupun perempuan tanpa kecuali (Diriwayatkan Bukhari dalam shahihnya).

Dengan uraian ini, maka jumhur Ulama mengakui adanya ilmu sihir sebagai bentuk kekufuran yang harus diberantas, tetapi kaum Muktazilah tidak mengakui keberadaan ilmu sihir.

Okultisme Qabala

Meski kisah Harut dan Marut hanya bersifat kitabiyah dan kurang didukung fakta, namun tumbuh suburnya okultisme dalam kehidupan spiritual Bani Israil memiliki konteks dengan arke ini. Negeri Babil yang disebut mufassirin sebagai lokasi Harut dan Marut bersesuaian dengan fakta-fakta arkeologis dan antropologis agama-agma kuno paganis yang bercorak okultisme yang tumbuh di Babilonia sebagai pusat peradaban. Qabala-Israili dimulai dari pengasingan di Babilonia abad ke-6 SM.  Ibrahim bin Tarih yang merupakan datuk cikal bakal Bani Israil berasal dari Aur-Khaldan abad ke-25 SM, yang secara antropologis dalam lingkup Babilonia.

Ilmu sihir atau okultisme dilingkungan Bani Israil berbentuk system qabala yang tersistemasikan dalam tiga kitab suci qabala, yaitu Sefer Yetzerah (kitab genesis), Sefer Zohar (kitab keagungan) dan   Sefer Bahir (kitab cahaya). Orang yang berjasa menyusun pelajaran oral menjadi tekstual ini ialah Rabbi Akiva ben Josef (Ketua Sandherin), dan pembantunya Rabbi Simon ben Joachai . Ketiga kitab qabala itu saling berkait dan harus dipelajari dan difungsikan bersama-sama. Sefer Zohar berisi ayat-ayat dan amsal rahasia yang hanya dapat dipahami melalui Sefer Yetzerah. Kedua kitab adalah produk sebelum masehi. Sedangkan Sefer Bahir merupakan himpunan keduanya pada tingkat yang lebih tinggi, yang merupakan produk sesudah masehi. Inilah tiga kitab suci okultisme. Meskipun tidak ada bukti empiric pertalian sistem qabala dengan Harut dan Marut yang kitabiyah itu, namun qabala menyajikan fakta yang kuat tentang adanya system okultisme (sihir) di dunia. Sekian.

Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi Sabilih,
Wassalamu’alaikum War. Wab.

Jakarta, 8 September 2006,
Pengasuh,

K.H. AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front Persatuan Nasional


Tidak ada komentar:

Posting Komentar