Pengajian Keseratus Satu (101),
Assalamu’alaikum
War. Wab.
Bismillahirrahmanirrahiem,
“Dan mereka berkata,”Hati kami tertutup”.
Namun, sebenarnya Allah telah melaknat mereka karena kekafiran mereka; maka
sedikit sekali mereka yang beriman”; Al-Baqoroh : 88.
Kita
akan membahas ayat ini secara eklektik multiperspektif baik dari perspektif
teologis, antropolgis, historiografis maupun psikologis secara holisitis, untuk mencapai pemahaman
yang komprehensif dan hikmah yang setinggi-tingginya.
Pokok
Bahasan
Lafadh
“Ghulfun” adalah jamak dari ‘aghlaf’ yang artinya dibungkus dalam
keadaan tertutup rapat, menggambarkan hati atau kondisi batin dan sikap mental
Bani Israil yang menutup diri atau tertutup dari ajaran Rasulullah SAW. Secara
redaksional ayat ini berkaitan dengan Bani Israil di zaman Rasulullah SAW.
Jumhur
mufassirin berpendapat, yang sebenarnya bukan Bani Israil yang menutup diri,
tetapi Allah-lah yang menutup hati mereka disebabkan oleh penyimpangan dan
kekafiran mereka terhadap Firman-firman Allah Azza wa Jalla. Dalam hal ini
jumhur mufassirin menuduh Bani Israil, karena dorongan hawa nafsu telah
mengubah dan menyelewengkan Kitab-kitab Allah yang diturunkan kepada mereka.
Ibnu
Katsir menerangkan bahwa hati Bani
Israil telah dipenuhi ilmu pengetahuan mereka sendiri yang mereka yakini
kebenarannya, sehingga tidak ada ruang lagi bagi informasi dan pengetahuan dari
ajaran Rasulullah SAW. Ini artinya konstitusi jiwa Bani Israil telah dipenuhi
struktur nilai paganisme sebagaimana sudah sering saya kemukakan pada
pengajian-pengajian terdahulu. Kemapanan nilai-nila paganisme dalam struktur
kepribadian dasar (basic personality
structure) Bani Israil berasal dari proses 2500 th sebelum kerasulan
Muhammad SAW, yaitu sejak zaman Yusuf a.s. yang berkompromi dengan Fir’aun Futi
Faragh dari Dinasti Amalik yang menjajah Mesir pada masa sekitar abad 19 SM. Kemapanan
nilai-nilai paganisme telah membentuk ketidaksadaran kolektif dan mempengaruhi seluruh kepribadian umum (modal personality) Bani Israil sepanjang
masa.
Dari
sudut pandang jumhur mufassirin Bani Israil sesat dan kafir karena tidak mau
menerima ajaran Rasulullah SAW. Sedangkan dari sudut pandang Bani Israil,
mereka merasa dirinya pada posisi yang seharusnya. Bani Israil menganggap
dirinya ditakdirkan sebagai sumber peradaban dunia. Mereka telah menuliskan
nilai-nilai peradabannya dalam 39 kitab-kitab para rasul dari zaman ke zaman
dan satu kitab Talmud yang berisi tentang tradisi, hukum dan moralitas.
Penulisan semua kitab-kitab suci Bani Israil itu berlangsung selama kurang
lebih 925 th, sejak Raja Daud yang
memerintah di Jerusalem
pada th. 1000 SM. Mereka menilai ajaran
Muhammad SAW jauh berada dibawah nilai ajaran yang mereka miliki. Atau dianggap
hanya meniru-niru, mengklaim sepihak, dan mengaku-aku saja. Dan lebih dari itu
mereka menganggap tidak sah adanya kerasulan diluar Bani Israil. Satu-satunya
sumber kerasulan adalah Bani Israil sebagai Sya’bullah
al-Mukhtar (bangsa yang terpilih).
Tidak ada kerasulan yang bersumber dari bangsa lain. Ini membuat kondisi
psikologis Bani Israil mengalami fiksasi-regresi atau mandeg pada nilai-nilai
lama. Progresi yang kemudian terjadi, tetap bersumber pada nilai-nilai lama itu
(paganisme). Nilai-nilai paganisme di zaman modern adalah materialisme yang
dibawakan oleh “the Global Freemasonry” suatu organisasi persaudaraan dunia
yang berakar pada nilai-nilai Judeo-Griko yang kemudian menjadi fondasi
peradaban Barat modern.
Konflik
sepanjang masa.
Seperti
sudah sering dibahas dalam pengajian-pengajian terdahulu bahwa konflik antara
Yahudi dan Arab terjadi sejak Raja pertama Israel Saul (1010 SM) hingga masa
sekarang atau sudah berlangsung selama
3000 th lebih. Di zaman Rasulullah SAW konflik itu tetap intens dengan
tema-tema perbenturan nilai-nilai Arab-Islam dengan nilai-nilai Yahudi. Konflik
ini bahkan berkembang menjadi tindak kekerasan, perang dan pembunuhan.
Diantaranya Perang Qainuqa dimana Rasulullah SAW memimpin langsung penyerbuan
ke wilayah Bani Qainuqa yang berakhir dengan pengusiran Bani Qainuqa dari
kampung halamannya dan perampasan harta mereka oleh Tentara Islam
Setelah
itu terjadi serangkaian pembunuhan para tokoh Yahudi oleh para militant
Arab-Islam yang dibenarkan dan disetujui Rasulullah SAW, a.l. pembunuhan Abu Afak seorang tokoh Yahudi Madinah
dari keturunan Amr bin Auf. Pelaku pembunuhan ini adalah sahabat Nabi, Salim
bin Umair yang membantai Abu Afak ketika tidur di rumahnya. Tokoh Yahudi
berikutnya yang jadi korban pembunuhan adalah Ashmaa binti Marwan seorang ibu yang masih menyusui bayinya.
Pembunuhnya adalah sahabat Nabi Umair
bin Auf yang menikam Ashmaa ketika tidur setelah memisahkannya dari bayinya.
Tokoh Yahudi ketiga yang dibunuh adalah Ka’ab
Ibnul Asyraf. Rencana pembunuhan Ka’ab bahkan dimintakan persetujuan
Rasulullah SAW terlebih dahulu. Eksekutornya adalah Muhammad bin Maslamah
dibantu empat orang sahabat. Tokoh Yahudi keemat yang dibunuh adalah Ibnu Sunainah seorang pedagang besar yang
dibunuh oleh sahabat Nabi, Muhayyisah bin Mas’ud yang sebenarnya merupakan
teman dekat dan berhutang budi kepada Ibnu Sunainah. Muhayyisah melakukan
pembunuhan itu setelah mendengar sabda Nabi SAW : “Siapa saja orang Yahudi yang kamu jumpai, bunuhlah olehmu”.
Pembunuhan-pembunuhan
itu dimaksudkan untuk menghentikan gerakan-gerakan pengacauan terhadap
masyarakat Islam, terutama yang dipimpin oleh
Ka’ab Ibnul Asyraf. Pada kenyataannya setelah pembunuhan keempat tokoh
Yahudi itu suasana kota
Madinah menjadi stabil dan kondusif bagi Kaum Muslimin.
Peristiwa
diatas yang dituturkan dengan jelas dalam ‘Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW
jilid-2 (KH. Moenawar Cholil, 2001)’ jelas menunjukkan kentalnya budaya
kekerasan dalam peradaban Arab, termasuk dikalangan elite Islam. Dengan kata
lain peperangan antara Yahudi dengan Arab adalah bagian dari kebudayaan Semit.
Kekerasan dan peperangan bagi mereka adalah hal biasa dan sudah menjadi
tradisi, seperti tampak dalam rangkaian pembunuhan diatas. Dengan demikian kita
akan lebih memahami akar dari konflik Israel-Palestina yang sesungguhnya
merupakan persoalan internal kaum Semit yang memiliki tradisi perang dan
kekerasan sebagai bahasa-peradaban. Dalam bahasa Samuel P Huntington, ini
disebut deklinisme dimana
bangsa-bangsa terjebak dalam cengkeraman sejarahnya secara-deterministic.
Trauma-sejarah.
Dalam
sejarah tidak ada solusi final. Selama makhluk manusia ada, tidak ada jalan
keluar dari trauma-trauma sejarah. Huntington
mengatakan,’Sumber utama konflik di dunia baru bukanlah ideology atau ekonomi,
melainkan budaya yang menjadi factor pemecah belah umat manusia dan sumber
konflik yang dominant’ (1993). Dalil-dalil ini menjelaskan betapa dalamnya akar
konflik Israel-Palestina/Arab yang bahkan tak terpecahkan selama 3000 th. The
Global Illuminati-Freemasonry, organisasi paganisme modern yang diantara
pilarnya adalah Judaisme, bahkan menjadikan trauma sejarah itu sebagai landasan
taktis-nya untuk mencapai tujuan ideologis “Novus
Ordo Seclorum” seperti tercermin dalam surat tokoh Freemasonry Amerika
Serikat Albert Pike kepada Guiseppe
Mazzini tgl. 15 Agustus 1871 yang menjelaskan rencananya untuk mewujudkan
Perang Dunia Ketiga pada awal abad 21, yang akan diawali dari perang
Israel-Palestina yang akan didorong diperluas kearah Parang Israel-Arab, dan
akhirnya Perang Barat melawan Islam yang berkembang menjadi Perang Dunia.
Pemimpin Kadima-Israel Ehud Olmert dan pemimpin Hamas-Palestina Ismail Haniya
adalah pelaku-pelaku konflik yang efektif. Apakah mereka agen-agen Freenasonry
? Kini peperangan tak hanya di bumi Palestina, tetapi meluas ke Lebanan dengan
jumlah korban yang semakin provokatif. Hingga Minggu 16/7 dipihak Lebanon 148 orang meninggal akibat gempuran Israel , sementara dipihak Israel 25 orang tewas (15 orang
sipil) akibat serangan kelompok Hezbollah.
Walaupun hipotesaHuntington tentang ‘perang
peradaban’ (clash of civilization) dibantah oleh Fouad Ajami dari John Hopkin University (vide, Peng.99-100), tetapi dalam kasus
Israel-Arab pernyataan Huntington
yang menegaskan, bahwa ‘garis pemisah antara peradaban akan menjelma menjadi
garis pertempuran’, terbukti benar. Namun kebenaran ini memang sudah terhampar
nyata di dunia selama 3000 th lebih. Tidak ada yang baru dalam hal ini.
Walaupun hipotesa
MJ.
Akbar seorang penulis Muslim India mengungkapkan, bahwa interaksi antara
peradaban Barat dan Islam dikedua sisi dipandang sebagai benturan peradaban.
“Konfrontasi Barat berikutnya” dapat dipastikan
datang dari dunia Muslim. Akbar mengungkapkan adanya perjuangan
dikalangan bangsa-bangsa Islam mulai dari Maghribi hingga Pakistan yang menginginkan tatanan
dunia baru berdasarkan idealisme Islam. Ini mendasari konflik peradaban yang
bersifat ideologis-fundamentalis yang lebih kuat dan lebih berakar daripada
ideology politik. Pola seperti itu pula yang menjadi frame of reference Huntington .
Kalau
mengikuti Hipotesa Huntington dan rencana Pike,
pecahnya konflik bersenjata Israel-Palestina/Arab yang terbaru ini akan segera
membelah dunia dalam garis batas peradaban Barat yang pro Israel dan Islam yang pro Palestina.
Tetapi kalau kita menimba pikiran Fouad Ajami, belum tentu demikian. Karena
sesungguhnya semua nilai peradaban telah bergeser oleh modernisasi Barat. Bagi
Huntington dan Saddam Husein perang Teluk adalah perang peradaban Barat melawan
Islam. Tetapi sesungguhnya tidak demikian. Frame-work yang sebenarnya dari
perang itu dipandang oleh negara-negara Arab dari perspektif pragmatic
perimbangan kekuatan bukan dari sudut fundamentalisme agama. Faktanya kekuatan
yang berhasil dihimpun Amerika Serikat meliputi Saudi Arabia , Turki, Mesir, Suriah,
Perancis, Inggris dan para petualang lainnya. Pragmatisme seperti itu juga akan
terjadi dalam sessi perang Israel-Palestina sekarang ini.
Sebagai
Negara Kebangsaan, RI harus tetap mendukung perjuangan kemerdekaan bangsa
Palestina, tetapi kita tahu pasti bahwa itu bukan perang agama.
Sekian,
terima kasih, kita lanjutkan pengajian berikutnya.
Birrahmatillahi
Wabi’aunihi fi Sabilih,
Wassalamu’alaikum
War. Wab.
Pengasuh,
KH.
AGUS MIFTACH
Ketua
Umum Front Persatuan Nasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar