7.7.17

Pengajian Kelimapuluh Empat. -TWU







Pengajian Kelimapuluh Empat.






Assalamu’alaikum War. Wab.

“Huwalladzie kholaqo lakum-mmaa fil-ardhi jamie’an tsummastawaa ilassamaa-i fasawwaahunna sab’a samaawaatin; wa-huwa bi kulli syai’in ‘aliem” : “Dia-lah Allah, yang menjadikan  segala yang ada di bumi untuk  kamu dan Dia berkehendak menciptakan langit, lalu dijadikannya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu”; (Al-Baqoroh : 29.)

Pokok Bahasan

Ayat ini mengandung peringatan Allah SWT berkaitan dengan ayat-ayat sebelumnya yang mengungkapkan anugerah Allah kepada manusia, yaitu menciptakan bumi dan langit sebagai habitat manusia. Maksudnya  adalah agar manusia dapat mengambil manfaat sebesar-besarnya bagi kelangsungan hidup mereka, dan agar dengan demikian manusia bersyukur dengan berbakti kepada Allah Azza wa Jalla yang telah menciptakannya, serta berbakti kepada keluarga dan masyarakat.
Tafsir Jalalain berpendapat bahwa kalimat “Dia berkehendak menciptakan langit”, memiliki pengertian bahwa Allah menciptakan langit setelah menciptakan bumi. Lafadz “hunna” sebagai kata ganti benda dimaksudkan adalah “langit“ yang menurut letak kata mengandung makna “sengaja diciptakan sesudah diciptakan bumi”.
Tafsir Ibnu Katsir mengartikan lafadz “al-istiwa” sebagai “menuju” dan “mengacu”, karena lafadz itu di mu’tadikan dengan lafadz “ilaa”. Dengan rincian itu, Tafsir Ibnu Katsir mengukuhkan penafsiran bahwa “bumi diciptakan lebih dahulu dari langit”.

Tentang kalimat “wa-huwa bi-kulli syai-in ‘aliem” pada akhir ayat didepan, bermakna, bahwa alam semesta diatur dengan hukum-hukum Allah, baik benda-benda semesta yang besar maupun yang kecil, yang tampak secara inderawi maupun tidak tampak, semuanya diatur, dikuasai dan diketahui Allah SWT.
Ayat ini menginformasikan tentang semesta raya untuk membangkitkan minat akal-pikiran manusia memikirkan semua itu dan menggali ilmu pengetahuan untuk lebih memahami segala ciptaan Allah, sehingga manusia menjadi lebih beriman dengan ketaatan tauchid yang lebih murni.


Ulasan.

Dalam hal penciptaan bumi dan langit perlu pula diperhatikan Surah Al-Fussilat : 11 :”Tsumas-tawaa ilassamaa-i, wa-hiya dukhoonun faqoola lahaa wa lil-ardhi’tiyaa thou’an ao karhan; qolataa atainaa thoo-i’ien” : “Kemudian Dia menuju pada penciptaan langit, dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi :”Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa”, keduanya menjawab “Kami datang dengan suka hati”.

Setelah Allah mengungkapkan hal-ihwal tentang penciptaan manusia yang dapat di telaah pada diri manusia sendiri, Allah menuturkan petunjuk tentang penciptaan bumi dan langit yang dapat disaksikan secara inderawi. Sebagian besar mufassir berpendapat bahwa bumi diciptakan lebih dahulu dari langit. Sedangkan sebagian yang lain berpendapat bahwa langit diciptakan lebih dahulu. Dasarnya adalah surah an-Nazi’at : 27-32, yang maknanya : “Apakah kamu yang lebih sulit penciptaannya ataukah langit? Allah telah membangunnya, Dia meninggikan bangunannya lalu menyempurnakannya. Dia menjadikan malamnya gelap gulita dan menjadikan siangnya terang benderang. Dan bumi sesudah itu dihamparkan……..dst..” Pendapat yang terakhir ini dikutip Ibnu Jarir dari Qatadah r.anhum. Sementara pendapat yang pertama memiliki sumber yang lebih meyakinkan, yaitu Ibnu Abas r.a.

Perbedaan pendapat adalah rahmat, demikian pula perbedaan pendapat dikalangan mufassirin tentang hal ini. Sayangnya tidak ditindaklanjuti dengan penelitian empirik, sehingga dapat menghadirkan bukti-bukti ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan dan lebih dari itu dapat menjadi sumber pengajaran yang baik dalam mendalami Al-Qur’an bagi generasi selanjutnya. Sungguh masalah penciptan semesta bukan sekedar masalah penafsiran, tetapi lebih dari itu merupakan masalah fundamental yang memerlukan penelitian yang mendalam.
Sejauh ini para sarjana Muslim belum melangkah tentang hal ini. Indikator dalam Al-Qur’an merupakan dasar petunjuk untuk memasuki telaah dan penelitian yang lebih mendalam. Peradaban  tauchid sesungguhnya terciptan dari proses ini.

Hakekat semesta alam

Betapapun perbedaan pendapat dikalangan mufassirin tidak mengubah hakekat semesta alam itu sendiri yang menurut iman-Islami diciptakan Allah SWT.  Ini mutlak berbeda dengan pandangan faham humanist (freemasonry) yang mendalilkan, bahwa : “semesta alam merupakan kolektivitas dan totalitas kenyataan yang semata-mata energi, tanpa adanya kesadaran penciptaan, melainkan terjadi dengan sendirinya”. Ini merupakan fondasi semesta alam. Tentang dasar kesatuan hal-hal yang gaib seperti diceritakan dalam dogma-dogma agama, menurut humanist sebenarnya tidak ada atau disebut dengan istilah “non-realas”. Tegasnya faham humanist berpendapat bahwa “semesta alam secara keseluruhan, tidak diciptakan dan dikuasai oleh suatu Tuhan yang abadi atau hal-hal gaib lainnya yang tidak dapat dilihat. Semesta alam dan manusia terjadi dengan sendirinya melalui proses evolusi energi, kemudian berkembang menjadi energi dan materi, kemudian berkembang menjadi sesuatu yang hidup dan bersifat abadi”.
Dengan dasar pemikiran itu, humanist berpendapat bahwa manusian tidak bertanggungjawab kepada otoritas diluar dirinya. Bahkan kepercayaan kepada Tuhan menurut mereka telah memperlambat pengembangan individu dan masyarakat (Harun Yahya : Global-Freemasonry, Istanmbul : 2003).

Dengan konsep pemikiran bahwa semesta alam bersifat abadi, maka humanist (freemasonry) berpendapat bahwa semesta alam tak berawal dan tak berakhir. Artinya, mereka berpendapat bahwa kesatuan proses evolusi energi dan materi merupakan sumber hakiki semesta alam dalam keabadian yang tak terukur. Inilah yang kemudian dibakukan dalam fenomena tuhan materiil yang disebut “The Great Archittec Of The Universe” (Arsitek Agung Semesta Alam).

Tetapi gagasan qabbalist itu runtuh oleh serangkaian penemuan astronomi seperti fakta tentang latar sinar kosmik dan kalkulasi perbandingan antara hydrogen dan hellium yang membuktikan bahwa semesta alam menempuh suatu proses pengembangan dan memiliki permulaan. Permulaan itu menurut para astronom terjadi sekitar 15-17 milyar tahun yang lalu dalam suatu ledakan dahsyat yang disebut “Big-Bang”. Masyarakat ilmiah menerima Teori Big-Bang  ini yang sekaligus membuktikan bahwa semesta alam tidak abadi. Sesuatu yang memiliki titik permulaan, akan memiliki titik pengakhiran. Makin jelas bahwa pandangan humanist-qabbalist bertentangan dengan akal sehat, dan lebih merupakan dogma anti-tuhan.

Seorang pemikir atheis Anthony Flew bahkan menyatakan : “Stratonician atheis harus dipermalukan oleh cosmological consensus jaman ini yang menyediakan suatu bukti ilmiah, bahwa semesta alam memiliki permulaan”. Dan dengan sendirinya memiliki pengakhiran. Bukti ini juga memastikan bahwa semesta alam tidak terjadi dengan sendirinya melainkan tercipta melalui “perubahan dan gerak” yang menjadi dasar hakekat “keberadaan” dan “kebinasaan”. Menurut Aristoteles (384-322 SM) hakekat gerak dan perubahan tidak bersumber dari dalam diri obyek yang bersangkutan, melainkan bersumber dari Penggerak Pertama yang dirinya sendiri telah memiliki kesempurnaan. Penggerak Pertama ini tidak digerakkan penggerak yang lain, tidak dibagi-bagi (bersifat Esa), tidak bersifat fisik dan ruang, tidak berasal dari proses sebab-akibat (di jagat raya seluruh gerak digerakkan yang lain). Penggerak Pertama menurut Aristoteles haruslah memiliki kekuasaan yang tak terhingga dan kekal yang menyebabkan gerak abadi, yang sendirinya tidak digerakkan dan bebas materi, yang disebut dengan istilah Actus Purus (keberadaan yang murni), yang tidak lain adalah Allah Azza wa Jalla. Kita telah pernah membahas pikiran Aristoteles guru Alexander de Grate ini pada pengajian terdahulu. Artinya bahwa semesta alam sebagai keberadaan yang nisbi tidak mungkin menciptakan dirinya sendiri, malainkan diciptakan oleh keberadaan yang murni atau Actus Purus, yaitu Allah SWT. Aristoteles hibup 1000 th sebelum Rasulullah SAW.

Keteladanan

Ilmu tafsir adalah pintu gerbang untuk memahani Al-Qur’an secara textual. Tetapi itu saja belum cukup. Untuk lebih memahami hakekat-hakekat tertinggi dalam kandungan ayat-ayat Al-Qur’an seperti manakah yang lebih dahulu diciptakan Allah, bumi atau langit ? Diperlukan penelitian empirik dan telaah yang lebih dalam dan menyeluruh dari sekedar ilmu tafsir yang hanya salah satu cabang ilmu. Peradaban Islam dibangun atas dasar keteladanan ilmu, bukan taqlid buta atau fanatisme kepada faham atau seseorang yang sesungguhnya merupakan perilaku qabbalist.

Betapa tingginya makna keteladanan dalam distribusi nilai-nilai Islam dapat kita simak pada Hadiest Rasulullah SAW berikut ini:
“Man da’aa ila hudan, kaana lahu minal-ajri mitslu u-juuri man tabi’ahu laa yanqushu dzaalika min u-juurihim syai-an; wa man da’aa ila dholalatin, kaana ‘alaihi minal-itsmi mitslu aa-tsami man tabi’ahu laa yanqushu dzalika min a-tsaamihim syai’a” : “Barangsiapa mengajak kepada petunjuk (dengan keteladanan), maka ia mendapat pahala sejumlah yang diperoleh orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun; dan barangsiapa mengajak kepada kesesatan, maka ia mendapat dosa yang diperoleh orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun”; (HR. Muslim dari Abu Hurairah r.a. H : 1860).

Sekian, terima kasih.

Birrahmatillahi wa bi’aunihi fi sabilih.
Wassalamu’alaikum War. Wab.

Jakarta, 5 Agustus 2005,
Pengasuh,



HAJI AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front Persatuan Nasional.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar