Pengajian Kelimapuluh
Empat.
Assalamu’alaikum
War. Wab.
“Huwalladzie
kholaqo lakum-mmaa fil-ardhi jamie’an tsummastawaa ilassamaa-i fasawwaahunna
sab’a samaawaatin; wa-huwa bi kulli syai’in ‘aliem” : “Dia-lah Allah, yang
menjadikan segala yang ada di bumi
untuk kamu dan Dia berkehendak
menciptakan langit, lalu dijadikannya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui
segala sesuatu”; (Al-Baqoroh : 29.)
Pokok Bahasan
Ayat ini mengandung peringatan Allah SWT berkaitan dengan
ayat-ayat sebelumnya yang mengungkapkan anugerah Allah kepada manusia, yaitu
menciptakan bumi dan langit sebagai habitat manusia. Maksudnya adalah agar manusia dapat mengambil manfaat
sebesar-besarnya bagi kelangsungan hidup mereka, dan agar dengan demikian
manusia bersyukur dengan berbakti kepada Allah Azza wa Jalla yang telah
menciptakannya, serta berbakti kepada keluarga dan masyarakat.
Tafsir Jalalain berpendapat bahwa kalimat “Dia berkehendak
menciptakan langit”, memiliki pengertian bahwa Allah menciptakan langit setelah
menciptakan bumi. Lafadz “hunna” sebagai kata ganti benda dimaksudkan adalah
“langit“ yang menurut letak kata mengandung makna “sengaja diciptakan sesudah
diciptakan bumi”.
Tafsir Ibnu Katsir mengartikan lafadz “al-istiwa” sebagai “menuju” dan “mengacu”, karena
lafadz itu di mu’tadikan dengan lafadz “ilaa”. Dengan rincian itu,
Tafsir Ibnu Katsir mengukuhkan penafsiran bahwa “bumi diciptakan lebih dahulu
dari langit”.
Tentang kalimat “wa-huwa
bi-kulli syai-in ‘aliem” pada akhir ayat didepan, bermakna, bahwa alam semesta
diatur dengan hukum-hukum Allah, baik benda-benda semesta yang besar maupun
yang kecil, yang tampak secara inderawi maupun tidak tampak, semuanya diatur,
dikuasai dan diketahui Allah SWT.
Ayat ini menginformasikan tentang semesta raya untuk membangkitkan
minat akal-pikiran manusia memikirkan semua itu dan menggali ilmu pengetahuan
untuk lebih memahami segala ciptaan Allah, sehingga manusia menjadi lebih
beriman dengan ketaatan tauchid yang lebih murni.
Ulasan.
Dalam hal penciptaan bumi dan langit perlu pula diperhatikan
Surah Al-Fussilat : 11 :”Tsumas-tawaa
ilassamaa-i, wa-hiya dukhoonun faqoola lahaa wa lil-ardhi’tiyaa thou’an ao
karhan; qolataa atainaa thoo-i’ien” : “Kemudian Dia menuju pada penciptaan
langit, dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan
kepada bumi :”Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau
terpaksa”, keduanya menjawab “Kami datang dengan suka hati”.
Setelah Allah mengungkapkan hal-ihwal tentang penciptaan
manusia yang dapat di telaah pada diri manusia sendiri, Allah menuturkan
petunjuk tentang penciptaan bumi dan langit yang dapat disaksikan secara
inderawi. Sebagian besar mufassir berpendapat bahwa bumi diciptakan lebih
dahulu dari langit. Sedangkan sebagian yang lain berpendapat bahwa langit
diciptakan lebih dahulu. Dasarnya adalah surah an-Nazi’at : 27-32, yang
maknanya : “Apakah kamu yang lebih sulit penciptaannya ataukah langit? Allah
telah membangunnya, Dia meninggikan bangunannya lalu menyempurnakannya. Dia
menjadikan malamnya gelap gulita dan menjadikan siangnya terang benderang. Dan
bumi sesudah itu dihamparkan……..dst..” Pendapat yang terakhir ini dikutip Ibnu
Jarir dari Qatadah r.anhum. Sementara pendapat yang pertama memiliki sumber
yang lebih meyakinkan, yaitu Ibnu Abas r.a.
Perbedaan pendapat adalah rahmat, demikian pula perbedaan
pendapat dikalangan mufassirin tentang hal ini. Sayangnya tidak ditindaklanjuti
dengan penelitian empirik, sehingga dapat menghadirkan bukti-bukti ilmiah yang
dapat dipertanggungjawabkan dan lebih dari itu dapat menjadi sumber pengajaran
yang baik dalam mendalami Al-Qur’an bagi generasi selanjutnya. Sungguh masalah
penciptan semesta bukan sekedar masalah penafsiran, tetapi lebih dari itu
merupakan masalah fundamental yang memerlukan penelitian yang mendalam.
Sejauh ini para sarjana Muslim belum melangkah tentang hal
ini. Indikator dalam Al-Qur’an merupakan dasar petunjuk untuk memasuki telaah
dan penelitian yang lebih mendalam. Peradaban
tauchid sesungguhnya terciptan dari proses ini.
Hakekat semesta alam
Betapapun perbedaan pendapat dikalangan mufassirin tidak
mengubah hakekat semesta alam itu sendiri yang menurut iman-Islami diciptakan
Allah SWT. Ini mutlak berbeda dengan
pandangan faham humanist (freemasonry) yang mendalilkan, bahwa : “semesta alam
merupakan kolektivitas dan totalitas kenyataan yang semata-mata energi, tanpa
adanya kesadaran penciptaan, melainkan terjadi dengan sendirinya”. Ini
merupakan fondasi semesta alam. Tentang dasar kesatuan hal-hal yang gaib
seperti diceritakan dalam dogma-dogma agama, menurut humanist sebenarnya tidak
ada atau disebut dengan istilah “non-realas”. Tegasnya faham humanist
berpendapat bahwa “semesta alam secara keseluruhan, tidak diciptakan dan
dikuasai oleh suatu Tuhan yang abadi atau hal-hal gaib lainnya yang tidak dapat
dilihat. Semesta alam dan manusia terjadi dengan sendirinya melalui proses
evolusi energi, kemudian berkembang menjadi energi dan materi, kemudian
berkembang menjadi sesuatu yang hidup dan bersifat abadi”.
Dengan dasar pemikiran itu, humanist berpendapat bahwa
manusian tidak bertanggungjawab kepada otoritas diluar dirinya. Bahkan
kepercayaan kepada Tuhan menurut mereka telah memperlambat pengembangan
individu dan masyarakat (Harun Yahya : Global-Freemasonry, Istanmbul : 2003).
Dengan konsep pemikiran bahwa semesta alam bersifat abadi,
maka humanist (freemasonry) berpendapat bahwa semesta alam tak berawal dan tak
berakhir. Artinya, mereka berpendapat bahwa kesatuan proses evolusi energi dan
materi merupakan sumber hakiki semesta alam dalam keabadian yang tak terukur.
Inilah yang kemudian dibakukan dalam fenomena tuhan materiil yang disebut “The
Great Archittec Of The Universe” (Arsitek Agung Semesta Alam).
Tetapi gagasan qabbalist itu runtuh oleh serangkaian
penemuan astronomi seperti fakta tentang latar sinar kosmik dan kalkulasi
perbandingan antara hydrogen dan hellium yang membuktikan bahwa semesta alam
menempuh suatu proses pengembangan dan memiliki permulaan. Permulaan itu
menurut para astronom terjadi sekitar 15-17 milyar tahun yang lalu dalam suatu
ledakan dahsyat yang disebut “Big-Bang”. Masyarakat ilmiah
menerima Teori Big-Bang ini yang sekaligus membuktikan bahwa semesta
alam tidak abadi. Sesuatu yang memiliki titik permulaan, akan memiliki titik
pengakhiran. Makin jelas bahwa pandangan humanist-qabbalist bertentangan dengan
akal sehat, dan lebih merupakan dogma anti-tuhan.
Seorang pemikir atheis Anthony
Flew bahkan
menyatakan : “Stratonician atheis harus dipermalukan oleh cosmological
consensus jaman ini yang menyediakan suatu bukti ilmiah, bahwa semesta alam
memiliki permulaan”. Dan dengan sendirinya memiliki pengakhiran. Bukti ini juga
memastikan bahwa semesta alam tidak terjadi dengan sendirinya melainkan
tercipta melalui “perubahan dan gerak” yang menjadi dasar hakekat “keberadaan”
dan “kebinasaan”. Menurut Aristoteles (384-322 SM) hakekat gerak dan perubahan
tidak bersumber dari dalam diri obyek yang bersangkutan, melainkan bersumber
dari Penggerak Pertama yang dirinya sendiri telah memiliki kesempurnaan.
Penggerak Pertama ini tidak digerakkan penggerak yang lain, tidak dibagi-bagi
(bersifat Esa), tidak bersifat fisik dan ruang, tidak berasal dari proses
sebab-akibat (di jagat raya seluruh gerak digerakkan yang lain). Penggerak
Pertama menurut Aristoteles haruslah memiliki kekuasaan yang tak terhingga dan
kekal yang menyebabkan gerak abadi, yang sendirinya tidak digerakkan dan bebas
materi, yang disebut dengan istilah Actus
Purus (keberadaan
yang murni), yang tidak lain adalah Allah Azza wa Jalla. Kita telah pernah
membahas pikiran Aristoteles guru Alexander de Grate ini pada pengajian
terdahulu. Artinya bahwa semesta alam sebagai keberadaan yang nisbi tidak
mungkin menciptakan dirinya sendiri, malainkan diciptakan oleh keberadaan yang
murni atau Actus Purus, yaitu Allah SWT. Aristoteles hibup 1000 th sebelum
Rasulullah SAW.
Keteladanan
Ilmu tafsir adalah pintu gerbang untuk memahani Al-Qur’an
secara textual. Tetapi itu saja belum cukup. Untuk lebih memahami
hakekat-hakekat tertinggi dalam kandungan ayat-ayat Al-Qur’an seperti manakah
yang lebih dahulu diciptakan Allah, bumi atau langit ? Diperlukan penelitian
empirik dan telaah yang lebih dalam dan menyeluruh dari sekedar ilmu tafsir
yang hanya salah satu cabang ilmu. Peradaban Islam dibangun atas dasar
keteladanan ilmu, bukan taqlid buta atau fanatisme kepada faham atau seseorang
yang sesungguhnya merupakan perilaku qabbalist.
Betapa tingginya makna keteladanan dalam distribusi
nilai-nilai Islam dapat kita simak pada Hadiest Rasulullah SAW berikut ini:
“Man
da’aa ila hudan, kaana lahu minal-ajri mitslu u-juuri man tabi’ahu laa yanqushu
dzaalika min u-juurihim syai-an; wa man da’aa ila dholalatin, kaana ‘alaihi
minal-itsmi mitslu aa-tsami man tabi’ahu laa yanqushu dzalika min a-tsaamihim
syai’a” : “Barangsiapa mengajak kepada petunjuk (dengan keteladanan), maka ia
mendapat pahala sejumlah yang diperoleh orang-orang yang mengikutinya tanpa
mengurangi pahala mereka sedikitpun; dan barangsiapa mengajak kepada kesesatan,
maka ia mendapat dosa yang diperoleh orang-orang yang mengikutinya tanpa
mengurangi dosa mereka sedikitpun”; (HR. Muslim dari Abu Hurairah r.a. H :
1860).
Sekian, terima kasih.
Birrahmatillahi wa bi’aunihi fi sabilih.
Wassalamu’alaikum War. Wab.
Jakarta, 5 Agustus 2005,
Pengasuh,
HAJI AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front Persatuan Nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar