7.7.17

Pengajian Keempatpuluh Empat.-TWU





Pengajian Keempatpuluh Empat.



Assalamu’alaikum War. Wab.

“Ao kashoyyibin-minassamaa-i fiehi  dzulumaatunn-waro’du-wwabarqu; yaj’aluuna ashoobi’ahum fie adzaanihim-minasshowaa’iqi chadzarol-mauti; wallahu muchietunm  bil-kafiriena” : “Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati; Dan Allah meliputi orang-orang kafir” (Albaqoroh : 19).

Ayat tersebut merupakan bagian ke-12 dari 13 ayatul-munafqien (QS II:8-20), yang sudah kita bahas secara eklektik sejak pengajian ke-33. Kita masih akan meneruskan ekeltik pembahasan dari berbagai perspektif dalam rangka menggali hikmah yang sebanyak-banyaknya dan setinggi-tingginya.

Tafsir Jalalain

Atau (perumpamaan mereka itu) seperti hujan lebat (maksudnya seperti orang-orang yang ditimpa hujan lebat; asal kata shayyibin dari shaaba-yashuubu, artinya turun) dari langit (maksudnya awan) padanya (yakna pada awan itu) kegelapan (yang tebal) dan guruh (maksudnya malaikat yang mengurusnya dalam arti menjalankan hukum alam). (Ada pula yang mengatakan suara dari malaikat itu dalam arti interaksi alam), dan kilat (yakni kilatan suara yang dikeluarkannya untuk menimbulkan kejutan seakan menghardik); mereka menaruh (maksudnya orang-orang yang ditimpa hujan lebat tadi) jemari-jemari mereka (maksudnya dengan ujung jari) pada telinga mereka, dari (maksudnya disebabkan) bunyi petir (yang amat keras itu supaya tidak kedengaran) karena takut mati (bila mendengarnya).(Demikianlah orang-orang tadi, jika diturunkan Al-Qur’an kepada mereka, disebutkan kekafiran yang diserupakan dengan gelap gulita, ancaman yang dibandingkan dengan guruh serta keterangan-keterangan nyata yang disamakan dengan kilat; mereka menyumbat anak-anak telinga mereka agar tidak mendengarnya, karena takut akan terpengaruh dan cenderung kepada keimanan yang akan menyebabkan mereka meninggalkan agama tradisional mereka, yang bagi mereka sama artinya dengan kematian). Dan Allah meliputi orang-orang kafir (baik dengan ilmu maupun dengan kekuasanNya, hingga tidak sesuatupun yang luput dariNya” (Al-Baqoroh 19).
Dalam ayat yang lalu Allah memberikan perumpamaan atas orang-orang munafik dari ahli kitab, maka dalam ayat ini Allah memberikan perumpamaan yang lain tentang hal-ihwal orang-orang munafik itu. Mereka diumpamakan seperti orang-orang yang ditimpa hujan lebat dalam gelap gulita, penuh dengan suara guruh-gemuruh yang menakutkan dan kadang-kadang cahaya kilat menyambar sehingga mereka menutup telinga karena takut binasa. Demikian hal-nya orang-orang munafik itu selalu dalam keadaan ragu-ragu dan cemas dalam menghadapi cahaya Islam.  Menurut anggapan mereka Islam hanyalah membawa kemelaratan, kesengsaraan dan penderitaan. Kadangkala pikiran mereka menyebabkan mereka tidak dapat melihat apa yang ada dibalik hujan lebat itu (Islam) yaitu unsur yang membawa kehidupan di atas bumi.



Asbabun-nuzul.
Diketengahkan oleh Ibnu Jarir, dari jalur Assadiyul Kabir, dari Abu Malik dan Abu Saleh, dari Ibnu Abas, dari Murrah, dari Ibnu Mas’ud, segolongan sahabat r.anhum, kata mereka :”Ada dua orang laki-laki dari kaum munafik warga kota Madinah, melarikan diri dari Rasulullah SAW kepada golongan musyrik, mereka ditimpa hujan lebat yang disebutkan Allah itu, diiringi guruh dan petir serta kilat yang memancar-mancar. Merekapun menyumbat lubang telinga mereka dengan jari, karena takut akan dimasuki ledakan yang menewaskan. Ketika kilat memancar merekapun berjalan dalam cahayanya, tetapi jika cahayanya padam, mereka berhenti karena tidak melihat apa-apa. Akhirnya dengan berjalan seperti itu sampailah mereka ketempat yang dituju, lalu kata mereka :”Wahai cepatlah kiranya datang waktu pagi, hingga kita dapat kembali menemui Muhammad dan berbaiat kepadanya.”. Demikianlah mereka kembali menemuinya serta berbaiat kepadanya lalu masuk Islam serta baiklah keislaman mereka”. Maka Allah-pun menjadikan perilaku kedua orang munafik yang melarikan diri ini sebagai tamsil perbandingan bagi orang-orang munafik yang ada di Madinah. Orang-orang munafik itu, jika mereka hadir dalam majelis Nabi SAW, menaruh jari-jari mereka ke telinga masing-masing, karena takut akan ucapan Nabi SAW, kalau-kalau ada wahyu turun mengenai diri mereka, atau disebutkan sesuatu tentang perilaku mereka hingga mereka menemui ajal karenanya, sebagaimana yang dilakukan serta dikhawatirkan oleh kedua orang munafik yang melarikan diri tadi. Jika ada cahaya, merekapun berjalan. Artinya jika telah banyak harta benda dan anak-anak serta beroleh harta rampasan atau mencapai suatu kemenangan, merekapun maju kedepan, lalu kata mereka ketika itu: “Benarlah agama Muhammad”, dan mereka berpegang teguh kepadanya tak ubah bagai kedua orang munafik tadi yang berjalan setiap kilat memancar, dan jika hari gelap merekapun berhenti, artinya jika harta benda dan anak-anak mereka habis, punah, atau jika mereka ditimpa malapetaka, maka kata mereka :”Ini tidak lain hanyalah karena ulah agama Muhammad, dan mereka berbalik kafir seperti halnya kedua orang munafik tadi, yakni jika tidak mendapat keberuntungan duniawi lagi”.

 

Ulasan


Sikap mental dan perilaku kaum munafikin menggambarkan schemata yang tidak memahami stimulus Al-Ghoib. Oleh karena itu dalam hidup ini mereka hanya mengerti satu dimensi yaitu dimensi materiil semata. Inilah kebodohan yang nyata. Peradaban berhala pada kenyataannya tidak mampu menciptakan diferensiasi psiko-kognitif pada tahapan yang lebih tinggi. Psiko-kognitif munafikin dan kafirin mengalami fiksasi regresi dan membentuk disposisi rigiditas dengan konvergen yang rendah, yang hanya memuja dimensi fisik dengan manifes berbagai kesenangan hawa nafsu belaka.
Perhatikan sabda Rasulullah SAW : “Chujibatun-naaru bisysyahawaati, wa-chujibatul-jannatu bil-makaarihi”: “Neraka dilingkari hal-hal yang menarik hawa nafsu, sedangkan sorga dilingkari hal-hal yang tidak disenangi (hawa nafsu), (HR. Bukhari dari Abu Hurairah : 1744).
Ketidakmampuan schemata dalam mengakseptasi stimulus Al-Ghoib menjadikan orang-orang munafikin dan kafirin tidak pernah bisa memahami keberadaan alam akhirat atau realitas transcendental, seperti sorga dan neraka pada kehidupan sesudah mati. Mereka juga tidak mampu memahami dimensi Iman Tauhid kepada Al-Ghoib yang transcendent, yang tidak mungkin terjejaki secara harafiah melalui pengamatan inderawi, melainkan harus dijejaki melalui kinerja akal pikiran untuk menemukan hakekat keberadaan. Bahwa Yang Esa  adalah sumber hakekat yang bersemayam dalam akal pikiran yang memiliki organ jiwa yang disebut Carl Gustav Jung (1875-1959) trandendent-function yang membuat manusia mampu memahami dan merasakan hakekat cinta-kasih ilahi yang abadi, jauh melampaui struktur nilai duniawi yang temporer dan fana.
Sesungguhnya di dalam jiwa orang-orang munafik terdapat pula transcendent-function sebagai organ jiwa yang ada pada setiap orang, namun karena lemahnya pemahaman akal pikiran terhadap aspek-aspek kebenaran yang hakiki dan nirjasadi, maka struktur nilai transenden tidak dapat exiting dalam file index schemata, tidak bisa stabil dalam jiwa, dan selalu terombang-ambing dengan tarikan hawa nafsu jasadi yang semu dan menyesatkan, tetapi lebih mudah dipahami karena bersumber dari dorongan instinktif das Es dalam diri manusia sendiri, seperti kenikmatan seks dan stomach.
Filsuf besar Yunani, Plato (427-347 SM) seribu tahun sebelum Rasulullah SAW menggambarkan nasib tragis hakekat keterombang-ambingan jiwa manusia sbb. :
“Jiwa adalah laksana  sebuah kereta yang bersais (fungsi rasional), yang ditarik oleh dua kuda bersayap, yaitu kuda kebenaran yang lari ke atas ke dunia idea yang hakiki, dan kuda keinginan atau nafsu, yang lari ke bawah, ke dunia gejala yang semu. Dalam tarik-menarik ternyata nafsu-lah yang menang, sehingga kereta itu jatuh ke dunia gejala dan dipenjarakanlah jiwa”.
Iman-Tauhid adalah membebaskan jiwa manusia dari segala penjara hawa nafsu yang hanya berisi gejala kebahagiaan yang semu dan menyesatkan, kepada hakekat idea yang tertinggi, yaitu alam ukhrowi yang hakiki dan kekal yang berpuncak pada pertemuan Ruh manusia dengan Sang Maha Pencipta Azza wa Jalla, seperti ungkapan sufi besar Syaikh Abul Qodir al-Jaelani :
“Kehidupan yang tak memiliki kematian ialah kehidupan dengan iradah-Nya (kehendak-Nya), sehingga aku tak maujud di dalamnya, dan kematianku di dalamnya ialah kemaujudanku dengan-Nya Azza wa Jalla. Hal ini adalah tujuanku yang paling mulya”, (Futuh al-Ghaib, al-Jaelani). Semoga Iman-Tauhid menyelamatkan kita dari sifat-sifat kemunafikan. Sekian, terima kasih.
Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi Sabilih,
Wassalamu’alaikum War. Wab.
Jakarta, 27 Mei 2005.
Pengasuh,


HAJI AGUS MIFTACH

Ketua Umum Front Persatuan Nasional.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar