Pengajian Keempatpuluh Empat.
Assalamu’alaikum War. Wab.
“Ao kashoyyibin-minassamaa-i
fiehi dzulumaatunn-waro’du-wwabarqu;
yaj’aluuna ashoobi’ahum fie adzaanihim-minasshowaa’iqi chadzarol-mauti; wallahu
muchietunm bil-kafiriena” : “Atau
seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap
gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya,
karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati; Dan Allah meliputi
orang-orang kafir” (Albaqoroh : 19).
Ayat tersebut merupakan bagian ke-12
dari 13 ayatul-munafqien (QS II:8-20), yang sudah kita bahas secara eklektik
sejak pengajian ke-33. Kita masih akan meneruskan ekeltik pembahasan dari
berbagai perspektif dalam rangka menggali hikmah yang sebanyak-banyaknya dan
setinggi-tingginya.
Tafsir Jalalain
Atau (perumpamaan mereka
itu) seperti hujan lebat (maksudnya seperti orang-orang yang ditimpa hujan
lebat; asal kata shayyibin dari shaaba-yashuubu, artinya turun) dari langit
(maksudnya awan) padanya (yakna pada awan itu) kegelapan (yang tebal) dan guruh
(maksudnya malaikat yang mengurusnya dalam arti menjalankan hukum alam). (Ada
pula yang mengatakan suara dari malaikat itu dalam arti interaksi alam), dan
kilat (yakni kilatan suara yang dikeluarkannya untuk menimbulkan kejutan seakan
menghardik); mereka menaruh (maksudnya orang-orang yang ditimpa hujan lebat
tadi) jemari-jemari mereka (maksudnya dengan ujung jari) pada telinga mereka,
dari (maksudnya disebabkan) bunyi petir (yang amat keras itu supaya tidak kedengaran)
karena takut mati (bila mendengarnya).(Demikianlah orang-orang tadi, jika
diturunkan Al-Qur’an kepada mereka, disebutkan kekafiran yang diserupakan
dengan gelap gulita, ancaman yang dibandingkan dengan guruh serta
keterangan-keterangan nyata yang disamakan dengan kilat; mereka menyumbat
anak-anak telinga mereka agar tidak mendengarnya, karena takut akan terpengaruh
dan cenderung kepada keimanan yang akan menyebabkan mereka meninggalkan agama
tradisional mereka, yang bagi mereka sama artinya dengan kematian). Dan Allah
meliputi orang-orang kafir (baik dengan ilmu maupun dengan kekuasanNya, hingga
tidak sesuatupun yang luput dariNya” (Al-Baqoroh 19).
Dalam ayat yang lalu Allah
memberikan perumpamaan atas orang-orang munafik dari ahli kitab, maka dalam ayat
ini Allah memberikan perumpamaan yang lain tentang hal-ihwal orang-orang
munafik itu. Mereka diumpamakan seperti orang-orang yang ditimpa hujan lebat
dalam gelap gulita, penuh dengan suara guruh-gemuruh yang menakutkan dan
kadang-kadang cahaya kilat menyambar sehingga mereka menutup telinga karena
takut binasa. Demikian hal-nya orang-orang munafik itu selalu dalam keadaan
ragu-ragu dan cemas dalam menghadapi cahaya Islam. Menurut anggapan mereka Islam hanyalah membawa
kemelaratan, kesengsaraan dan penderitaan. Kadangkala pikiran mereka
menyebabkan mereka tidak dapat melihat apa yang ada dibalik hujan lebat itu
(Islam) yaitu unsur yang membawa kehidupan di atas bumi.
Asbabun-nuzul.
Diketengahkan oleh Ibnu
Jarir, dari jalur Assadiyul Kabir, dari Abu Malik dan Abu Saleh, dari Ibnu
Abas, dari Murrah, dari Ibnu Mas’ud, segolongan sahabat r.anhum, kata mereka
:”Ada dua orang laki-laki dari kaum munafik warga kota Madinah, melarikan diri
dari Rasulullah SAW kepada golongan musyrik, mereka ditimpa hujan lebat yang
disebutkan Allah itu, diiringi guruh dan petir serta kilat yang
memancar-mancar. Merekapun menyumbat lubang telinga mereka dengan jari, karena
takut akan dimasuki ledakan yang menewaskan. Ketika kilat memancar merekapun
berjalan dalam cahayanya, tetapi jika cahayanya padam, mereka berhenti karena
tidak melihat apa-apa. Akhirnya dengan berjalan seperti itu sampailah mereka
ketempat yang dituju, lalu kata mereka :”Wahai cepatlah kiranya datang waktu
pagi, hingga kita dapat kembali menemui Muhammad dan berbaiat kepadanya.”.
Demikianlah mereka kembali menemuinya serta berbaiat kepadanya lalu masuk Islam
serta baiklah keislaman mereka”. Maka Allah-pun menjadikan perilaku kedua orang
munafik yang melarikan diri ini sebagai tamsil perbandingan bagi orang-orang munafik
yang ada di Madinah. Orang-orang munafik itu, jika mereka hadir dalam majelis
Nabi SAW, menaruh jari-jari mereka ke telinga masing-masing, karena takut akan
ucapan Nabi SAW, kalau-kalau ada wahyu turun mengenai diri mereka, atau
disebutkan sesuatu tentang perilaku mereka hingga mereka menemui ajal
karenanya, sebagaimana yang dilakukan serta dikhawatirkan oleh kedua orang
munafik yang melarikan diri tadi. Jika ada cahaya, merekapun berjalan. Artinya
jika telah banyak harta benda dan anak-anak serta beroleh harta rampasan atau
mencapai suatu kemenangan, merekapun maju kedepan, lalu kata mereka ketika itu:
“Benarlah agama Muhammad”, dan mereka berpegang teguh kepadanya tak ubah bagai
kedua orang munafik tadi yang berjalan setiap kilat memancar, dan jika hari
gelap merekapun berhenti, artinya jika harta benda dan anak-anak mereka habis,
punah, atau jika mereka ditimpa malapetaka, maka kata mereka :”Ini tidak lain
hanyalah karena ulah agama Muhammad, dan mereka berbalik kafir seperti halnya
kedua orang munafik tadi, yakni jika tidak mendapat keberuntungan duniawi
lagi”.
Ulasan
Sikap mental dan perilaku kaum
munafikin menggambarkan schemata yang tidak memahami stimulus Al-Ghoib.
Oleh karena itu dalam hidup ini mereka hanya mengerti satu dimensi yaitu dimensi
materiil semata. Inilah kebodohan yang nyata. Peradaban berhala pada
kenyataannya tidak mampu menciptakan diferensiasi psiko-kognitif pada tahapan
yang lebih tinggi. Psiko-kognitif munafikin dan kafirin mengalami fiksasi
regresi dan membentuk disposisi rigiditas dengan konvergen yang rendah, yang
hanya memuja dimensi fisik dengan manifes berbagai kesenangan hawa nafsu
belaka.
Perhatikan sabda Rasulullah SAW :
“Chujibatun-naaru bisysyahawaati, wa-chujibatul-jannatu bil-makaarihi”: “Neraka
dilingkari hal-hal yang menarik hawa nafsu, sedangkan sorga dilingkari hal-hal
yang tidak disenangi (hawa nafsu), (HR. Bukhari dari Abu Hurairah : 1744).
Ketidakmampuan schemata dalam
mengakseptasi stimulus Al-Ghoib menjadikan orang-orang munafikin dan kafirin
tidak pernah bisa memahami keberadaan alam akhirat atau realitas transcendental,
seperti sorga dan neraka pada kehidupan sesudah mati. Mereka juga tidak mampu
memahami dimensi Iman Tauhid kepada Al-Ghoib yang transcendent, yang tidak
mungkin terjejaki secara harafiah melalui pengamatan inderawi, melainkan harus
dijejaki melalui kinerja akal pikiran untuk menemukan hakekat keberadaan. Bahwa
Yang Esa adalah sumber hakekat yang
bersemayam dalam akal pikiran yang memiliki organ jiwa yang disebut Carl
Gustav Jung (1875-1959) trandendent-function yang membuat manusia
mampu memahami dan merasakan hakekat cinta-kasih ilahi yang abadi, jauh
melampaui struktur nilai duniawi yang temporer dan fana.
Sesungguhnya di dalam jiwa orang-orang
munafik terdapat pula transcendent-function sebagai organ jiwa yang ada
pada setiap orang, namun karena lemahnya pemahaman akal pikiran terhadap
aspek-aspek kebenaran yang hakiki dan nirjasadi, maka struktur nilai transenden
tidak dapat exiting dalam file index schemata, tidak bisa stabil
dalam jiwa, dan selalu terombang-ambing dengan tarikan hawa nafsu jasadi yang
semu dan menyesatkan, tetapi lebih mudah dipahami karena bersumber dari
dorongan instinktif das Es dalam diri manusia sendiri, seperti kenikmatan seks
dan stomach.
Filsuf besar Yunani, Plato
(427-347 SM) seribu tahun sebelum Rasulullah SAW menggambarkan nasib tragis
hakekat keterombang-ambingan jiwa manusia sbb. :
“Jiwa adalah laksana sebuah kereta yang bersais (fungsi rasional),
yang ditarik oleh dua kuda bersayap, yaitu kuda kebenaran yang lari ke atas ke
dunia idea yang hakiki, dan kuda keinginan atau nafsu, yang lari ke bawah, ke
dunia gejala yang semu. Dalam tarik-menarik ternyata nafsu-lah yang menang,
sehingga kereta itu jatuh ke dunia gejala dan dipenjarakanlah jiwa”.
Iman-Tauhid
adalah membebaskan jiwa manusia dari segala penjara hawa nafsu yang hanya
berisi gejala kebahagiaan yang semu dan menyesatkan, kepada hakekat idea yang
tertinggi, yaitu alam ukhrowi yang hakiki dan kekal yang berpuncak pada
pertemuan Ruh manusia dengan Sang Maha Pencipta Azza wa Jalla, seperti ungkapan
sufi besar Syaikh Abul Qodir al-Jaelani :
“Kehidupan
yang tak memiliki kematian ialah kehidupan dengan iradah-Nya (kehendak-Nya),
sehingga aku tak maujud di dalamnya, dan kematianku di dalamnya ialah kemaujudanku
dengan-Nya Azza wa Jalla. Hal ini adalah tujuanku yang paling mulya”, (Futuh
al-Ghaib, al-Jaelani). Semoga Iman-Tauhid menyelamatkan kita dari sifat-sifat
kemunafikan. Sekian, terima kasih.
Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi
Sabilih,
Wassalamu’alaikum War. Wab.
Jakarta, 27 Mei 2005.
Pengasuh,
HAJI
AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front Persatuan Nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar