Pengajian Keseratus Tujuhbelas (117),
Oleh : KH. Agus Miftach
Assalamu’alaikum War. Wab.
Bismillahirrahmanirrahiem,
‘Dan orang-orang yang tidak mengetahui
berkata,”Mengapa Allah tidak berbicara kepada kami atau mendatangkan suatu ayat
kepada kami ?” Demikian pula ucapan-ucapan orang sebelumnya adalah seperti
ucapan orang-orang itu. Hati mereka mirip. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan
ayat-ayat itu kepada kaum yang meyakini.” : Al-Baqoroh : 118.
Kita akan membahas ayat ini dengan pendekatan
eklektik-multiperspektif, baik dari perspektif teologis, antropologis,
historiografis maupun psikologis dll, secara holistis, agar diperoleh pemahaman
yang komprehensif dan hikmah yang setinggi-tingginya dari kandungan ayat ini.
Pokok Bahasan
Asbabunnuzul ayat ini, diketengahkan Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim, dari jalur
Sa’id atau Ikrimah dari Ibnu Abas, katanya, “Rafi’ bin Khuzamah berbicara
kepada Rasulullah saw :”Hai Muhammad, sekiranya anda memang seorang Rasulullah
seperti yang anda nyatakan; maka sampaikanlah kepada Allah Tuhanmu, supaya Dia
berbicara dengan kami, agar kami mendengar pembicaraan-Nya secara langsung.”
Sebagai jawaban atas perkataan yang memojokkan itu, turunlah ayat, “Wa
qolalladziena laa ya’lamuuna….dst : “Dan orang-orang yang tidak mengetahui
berkata…..dst….sampai akhir ayat Al-Baqoroh 118)
Rafi’ bin Khuzamah bukan Yahudi melainkan
tokoh musrik (paganis) Arab . Atas dasar itu maka jumhur mufassirin berpendapat
bahwa kalimat, “Waqolalladziena laa ya’lamuuna…” ditujukan kepada musrik
(paganis) Arab, bukan musrik Ahlul-Kitab. Namun sikap mereka disejajarkan
dengan sikap orang-orang musrik Yahudi, seperti tercermin dalam kalimat,”Kadzaalika
qoolalladziena min qoblihim….dst..”: “Demikian pula ucapan orang-orang
sebelumnya…”, yang dimaksud adalah orang-orang Yahudi di zaman Musa a.s.
(vide, Al-Baqoroh : 55) yang sudah pernah kita bahas.
Artinya terdapat konsistensi sikap kaum paganis di zaman Musa
a.s abad ke 15 SM dengan paganis Arab pada abab ke 7 M. Meskipun telah
berselang 22 abad ketidaksadaran kolektif kaum paganis (musrik) tidak banyak
berubah, tetap di dominasi file index schemata yang kualitasnya sama, yaitu
hedonism-materialism. Sekaligus QS 2 : 118 ini menunjukkan hambatan mendasar
yang dihadapi agama Semit awal (agama Yahudi) dan agama Semit akhir (agama
Islam), tetap sama, yaitu paganisme yang memang sudah berurat akar dalam
kehidupan masyarakat purba di Kana’an dan di Hejaz sejak abad ke 25 SM.
Dalam rentang waktu 22 abad sejak Musa a.s
hingga Muhammad saw telah banyak diutus para Nabi dan Rasul, diantaranya
termasuk Nabi Isa Al-Masih a.s. yang ternyata tidak banyak mengubah struktur
nilai-nilai paganisme dalam ketidaksadaran kolektif Bani Israil yang kemudian
dianut pula oleh suku-suku bangsa Arab, khususnya di Hejaz. Sejarah mencatat
penguasa pagan di tanah Hejaz pada sekitar abad ke 25 SM adalah Jurhum yang
menjadi mertua Ismail a.s. Kemudian penguasa pagan dekat sebelum kelahiran Nabi
Muhammad saw adalah Amr bin Lubayyi dari Banu Khuza’ah Al-Quraisy yang berasal
dari ras Musta’ribah keturunan Ismail dan putri Jurhum.
Sejarah mencatat suku Quraisy yang di awal
kenabian merupakan mainstream yang melawan Rasulullah saw, di akhir kenabian
terutama setelah Futuh Mekah menjadi mainstream yang mendukung Rasulullah dan
dalam perkembangan selanjutnya merupakan
kekuatan dominan kaum Muslimin terutama dalam lapis elite kepemimpinannya. Ini
memberikan bukti kebenaran bagi kalimat akhir ayat 118 ini, “Qod
bayyanal-aayaati liqoumi yuuqinuun(a)” : “Kami telah menjelaskan ayat-ayat itu
kepada kaum yang meyakini”.
Perubahan
peradaban
Kalangan Islam menyebutkan peradaban pra
Islam sebagai peradaban jahiliyah yang digambarkan sebagai zaman tanpa norma
dimana manusia Hejaz hidup sebagai hewan, sehingga datangnya agama Islam yang
memanusiakan mereka. Pandangan ini terlalu ekstrem, berlebih-lebihan, perlu diluruskan agar kita memperoleh
kebenaran yang riil.
Zaman jahiliyah lebih merupakan mitos
daripada kenyataan. Zaman jahiliyah
tidak dikenal dalam sejarah obyektif di Hejaz yang di tulis para sejarahwan,
yang ada adalah zaman pra Islam yang merupakan perabadan paganisme Hejaz yang
sudah berlangsung ribuan tahun sebelumnya dan terakhir dibangun dan dikokohkan
oleh penguasa Hejaz Amr bin Lubayyi. Penerus Lubayyi adalah Abu Sofyan penguasa
Quraisy, di zaman inilah Muhammad lahir (20 April 571 M/ 9 Rabbi’ul Awwal Tahun
Fiel ke-1), yang kemudian memperjuangan sebuah perubahan yang mendasar yang
mencetuskan revolusi peradaban yang dahsyat di kawasan itu yang membawa seluruh
Hejaz dan Arabia ke zaman peradaban pra-modernis yang kelak menjadi tangga bagi
umat manusia untuk menuju peradaban modern seperti yang kita alami di zaman
ini.
Sebelum masa kenabian, Hejaz khususnya Mekah
tengah menikmati kemakmuran materi yang sangat besar dibanding masa masa
sebelumnya. Ini membawa sejumlah konsekwensi terjadinya perubahan penilaian terhadap nilai-nilai
kehidupan paganisme lama yang dipandang rendah. Dimasa kemakmuran yang tinggi
itu orang-orang kaya tidak lagi memperdulikan anggota masyarakat yang
lemah-papa, tetapi hanya sibuk menumpuk harta benda mereka. Terjadi
desakralisasi paganisme menuju demoralisasi sosial, dehumanisasi,
hedonisme-materialisme yang berlebihan yang diwarnai dengan system perbudakan,
yang pada gilirannya mengancam konflik yang luas antara kaum kaya dan kaum
miskin.
Ditengah suasana ini mulai muncul kesadaran
pada sebagian orang yang merasakan bahwa nilai-nilai paganisme lama tidak memadai
lagi sebagai sistem sosial. Inilah awal modernitas. Di Arab yang masih paganis
itu, sesungguhnya di kenal “Allah” atau dituliskan dengan “Alah” yang dalam
pengertian paganis sebagai Tuhan dari
tuhan-tuhan, merupakan pantheon Mahadewa tertinggi. Diyakini bahwa Allah atau
Alah ini sama dengan Allah yang disembah
kaum Yahudi dengan sebutan Yahweh dan kaum Nasrani dengan sebutan El. Sejauh
ini kalangan Yahudi dan Nasrani memandang rendah klaim itu, karena bangsa Arab
tidak memiliki nabi sendiri yang menerima wahyu dari Allah dan tidak memiliki
kitab suci sendiri.
Titik tolak perubahan terjadi pada th. 610 M,
tahun ketika Raja Khosrow II menginvasi wilayah Byzantium. Atau pada tgl. 17
Ramadhan th awal kenabian, saat Muhammad bin Abdullah menerima wahyu yang
pertama (Al-Alaq : 1-5) di gua Hira. Wahyu terus mengalir selama 22 th (atau 23
th hijriyah) yang kemudian dihimpunkan menjadi Kitab Suci Al-Qur’anul Kariem
dalam proses sejak masa Khalif Abu Bakar dan final pada masa Khalif Utsman.
Detail tentang hal ini sudah sering kita bahas pada pengajian terdahulu dan
masih akan kita bahas kelak.
Dalam Al-Qur’an Allah memberikan perintah
yang kongkret. Orang tidak dibenarkan
menimbun kekayaan pribadi tanpa berbagi secara merata kepada yang miskin
dan papa yang juga harus diperlakukan dengan hormat dengan system zakat,infak
dn sodakoh. Seperti tradisi nabi-nabi Ibrani Muhammad saw menekankan kasih
sayang kepada kamum melarat, tertindas, janda, yatim piatu yang harus menjadi
tanggung jawab Jamaah dan setiap Muslim. Ini dipandang lebih tinggi daripada
pengabdian intelektual kepada serangkaian doktrin agama yang kompleks. Islam
lebih mementingkan efektivitas perintah moral daripada ortodoksi teologis.
Denyut perubahan sosial terjadi di Mekah,
yang pertama merespons ajaran Muhammad
adalah kelompok marginal, kaum budak, para wanita dan orang-orang malang
tertindas lainnya; suku-suku yang terpinggirkan dalam persaingan politik dan
ekonomi menjadi kekuatan-kekuatan yang pertama. Inilah kaum assabiqunal
awwalun, kaum yang lemah secara material tetapi kuat secara spiritual dan penuh
daya perubahan. Lawannya sudah tentu kaum yang mapan secara ekonomi dan politik
yang jelas tidak ingin mengubah status-quo yang menguntungkan kedudukan mereka.
Dengan semangat revolusioner Muhammad saw
menyerukan kepada kaum kapitalis-hedonis itu agar mereka meninggalkan
tuhan-tuhan pagan mereka dan hanya menyembah Allah semata (tauhidiyah).
Aristokrasi Mekah merespons dengan menindas komunitas Muslim yang masih kecil
itu yang memaksa Rasulullah saw hijrah (migrasi) bersama 70 keluarga ke
settlement di Yatsrib sekitar 250 mil arah utara yang kemudian berganti nama
dengan Madinah ar-Rasul (Kota Rasul). Justru Hijrah atan migrasi ini
menciptakan titik balik dimana Rasulullah saw berhasil membentuk masyarakat
(Jamaah) yang pertama dengan sistem sosial dan spiritualitas yang Qur’aniyah.
Walaupun belum ideal karena masih tingginya konflik dan gejolak politik
menghadapi aristokrasi Mekah yang kuat dan para sekutunya yang menjangkau pula
suku-suku Yahudi dan paganis di Madinah yang merasa terdesak dengan kehadiran
Islam.
Dalam posisi migrasi inilah kaum Muslimin
memposisikan dirinya sebagai masyarakat modern yang revolusioner dimana
keterikatan mereka tidak lagi tergantung kepada hubungan kekerabatan, tetapi
lebih berdasarkan hubungan ideologis. Perkembangan setelah itu serangkaian
perang revolusioner melawan aristokrasi Mekah dengan para sekutunya yang
berakhir dengan kemenangan kaum revolusioner Islam. Para sejarawan mencatat
pada th. 630 M, Rasulullah saw menaklukkan kota Mekah tanpa pertumpahan darah
berkat diplomasinya yang ulung menghadapi penguasa Quraisy Abu Sofyan yang
kemudian menjadi mujahid besar di garda terdepan dalam perluasan pengaruh Islam
ke seluruh Arabia, yang disusul dengan penaklukan Byzantium (Romawi Timur) dan
Parsi.
Pra Modernis
Kekerasan yang terjadi di awal kelahiran
Islam lebih merupakan reaksi terhadap tekanan arus peradaban lama yang
bertujuan menghancurkan atau membatalkan kelahiran Islam yang revolusioner,
egaliter, proletar dan monoteistik. Hakekat ajaran Islam tetap harmoni dan
kesatuan. Islam artinya kedamaian dan penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah
Azza wa Jalla. Islam memiliki bentuk transendensi yang kuat, luas dan
individualistik yang menjadikannya memiliki kemampuan mengembangkan
universalitas. Madinah meskipun memiliki konsep ideal tetapi belum dapat
dijadikan contoh ideal dikarenakan banyaknya konflik dan petempuran untuk
mempertahankan masyarakat revolusioner baru itu. Idealitas Islam sebagai puncak
peradaban pra modernis justru tampak di Spanyol Al-Andalusia.
Pada abad ke 9 Bani Umayyah yang dipelopori
Abdurrahman ad-Dakhil berhasil mendirikan kekuasaan Islam di Al-Andalus dan
dalam waktu yang cepat tumbuh menjadi imperium yang kuat dan akhirnya imperium yang
terbesar di dunia yang berhasil membangun pusat peradaban dunia selama 6 abad
kemudian. Al-Andalusia menyajikan hubungan harmonis antara Islam, Kristen dan
Yahudi selama lebih 600 th dibawah pemerintahan sekuler dengan birokrasi modern
yang efektif. 7 abad dalam kedamaian dan kejayaan memungkinkan seluruh
komunitas dalam imperium besar al-Andalus mengembangkan kultur dan mencapai
puncak-puncak peradaban tertinggi. Inilah zaman kejayaan arsitektur, kesenian,
matematika, kedokteran, kimia, sain dan peletakan dasar-dasar tekonologi modern
yang kemudian mencapai momentum puncaknya oleh para reformis Yahudi dan
Protestan pada abad ke-19 yang terus berlangsung hingga masa mutakhir sekarang
ini.
Proses pembentukan peradaban modern membuat
kita tetap berada dalam spirit kalimat penutup ayat didepan,”Qod bayyanal
aayaati liqoumi yuuqinuun(a)” : “Kami telah menjelaskan ayat-ayat itu kepada
kaum yang meyakini.
Sekian, terima kasih, Wassalamu’alaikum War.
Wab.
Jakarta, 15 Desember 2006,
Pengasuh,
KH. AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front Persatuan Nasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar