11.7.17

Pengajian Keseratus Tujuhbelas (117),


Pengajian Keseratus Tujuhbelas (117),

Oleh : KH. Agus Miftach

Assalamu’alaikum War. Wab.
Bismillahirrahmanirrahiem,

Dan orang-orang yang tidak mengetahui berkata,”Mengapa Allah tidak berbicara kepada kami atau mendatangkan suatu ayat kepada kami ?” Demikian pula ucapan-ucapan orang sebelumnya adalah seperti ucapan orang-orang itu. Hati mereka mirip. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan ayat-ayat itu kepada kaum yang meyakini.” : Al-Baqoroh : 118.

Kita akan membahas ayat ini dengan pendekatan eklektik-multiperspektif, baik dari perspektif teologis, antropologis, historiografis maupun psikologis dll, secara holistis, agar diperoleh pemahaman yang komprehensif dan hikmah yang setinggi-tingginya dari kandungan ayat ini.

Pokok Bahasan

Asbabunnuzul ayat ini, diketengahkan  Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim, dari jalur Sa’id atau Ikrimah dari Ibnu Abas, katanya, “Rafi’ bin Khuzamah berbicara kepada Rasulullah saw :”Hai Muhammad, sekiranya anda memang seorang Rasulullah seperti yang anda nyatakan; maka sampaikanlah kepada Allah Tuhanmu, supaya Dia berbicara dengan kami, agar kami mendengar pembicaraan-Nya secara langsung.” Sebagai jawaban atas perkataan yang memojokkan itu, turunlah ayat, “Wa qolalladziena laa ya’lamuuna….dst : “Dan orang-orang yang tidak mengetahui berkata…..dst….sampai akhir ayat Al-Baqoroh 118)

Rafi’ bin Khuzamah bukan Yahudi melainkan tokoh musrik (paganis) Arab . Atas dasar itu maka jumhur mufassirin berpendapat bahwa kalimat, “Waqolalladziena laa ya’lamuuna…” ditujukan kepada musrik (paganis) Arab, bukan musrik Ahlul-Kitab. Namun sikap mereka disejajarkan dengan sikap orang-orang musrik Yahudi, seperti tercermin dalam kalimat,”Kadzaalika qoolalladziena min qoblihim….dst..”: “Demikian pula ucapan orang-orang sebelumnya…”, yang dimaksud adalah orang-orang Yahudi di zaman Musa a.s. (vide, Al-Baqoroh : 55) yang sudah pernah kita bahas.

Artinya terdapat  konsistensi sikap kaum paganis di zaman Musa a.s abad ke 15 SM dengan paganis Arab pada abab ke 7 M. Meskipun telah berselang 22 abad ketidaksadaran kolektif kaum paganis (musrik) tidak banyak berubah, tetap di dominasi file index schemata yang kualitasnya sama, yaitu hedonism-materialism. Sekaligus QS 2 : 118 ini menunjukkan hambatan mendasar yang dihadapi agama Semit awal (agama Yahudi) dan agama Semit akhir (agama Islam), tetap sama, yaitu paganisme yang memang sudah berurat akar dalam kehidupan masyarakat purba di Kana’an dan di Hejaz sejak abad ke 25 SM.

Dalam rentang waktu 22 abad sejak Musa a.s hingga Muhammad saw telah banyak diutus para Nabi dan Rasul, diantaranya termasuk Nabi Isa Al-Masih a.s. yang ternyata tidak banyak mengubah struktur nilai-nilai paganisme dalam ketidaksadaran kolektif Bani Israil yang kemudian dianut pula oleh suku-suku bangsa Arab, khususnya di Hejaz. Sejarah mencatat penguasa pagan di tanah Hejaz pada sekitar abad ke 25 SM adalah Jurhum yang menjadi mertua Ismail a.s. Kemudian penguasa pagan dekat sebelum kelahiran Nabi Muhammad saw adalah Amr bin Lubayyi dari Banu Khuza’ah Al-Quraisy yang berasal dari ras Musta’ribah keturunan Ismail dan putri Jurhum.

Sejarah mencatat suku Quraisy yang di awal kenabian merupakan mainstream yang melawan Rasulullah saw, di akhir kenabian terutama setelah Futuh Mekah menjadi mainstream yang mendukung Rasulullah dan dalam perkembangan selanjutnya  merupakan kekuatan dominan kaum Muslimin terutama dalam lapis elite kepemimpinannya. Ini memberikan bukti kebenaran bagi kalimat akhir ayat 118 ini, “Qod bayyanal-aayaati liqoumi yuuqinuun(a)” : “Kami telah menjelaskan ayat-ayat itu kepada kaum yang meyakini”.

 Perubahan peradaban

Kalangan Islam menyebutkan peradaban pra Islam sebagai peradaban jahiliyah yang digambarkan sebagai zaman tanpa norma dimana manusia Hejaz hidup sebagai hewan, sehingga datangnya agama Islam yang memanusiakan mereka. Pandangan ini terlalu ekstrem, berlebih-lebihan,  perlu diluruskan agar kita memperoleh kebenaran yang riil.

Zaman jahiliyah lebih merupakan mitos daripada kenyataan.  Zaman jahiliyah tidak dikenal dalam sejarah obyektif di Hejaz yang di tulis para sejarahwan, yang ada adalah zaman pra Islam yang merupakan perabadan paganisme Hejaz yang sudah berlangsung ribuan tahun sebelumnya dan terakhir dibangun dan dikokohkan oleh penguasa Hejaz Amr bin Lubayyi. Penerus Lubayyi adalah Abu Sofyan penguasa Quraisy, di zaman inilah Muhammad lahir (20 April 571 M/ 9 Rabbi’ul Awwal Tahun Fiel ke-1), yang kemudian memperjuangan sebuah perubahan yang mendasar yang mencetuskan revolusi peradaban yang dahsyat di kawasan itu yang membawa seluruh Hejaz dan Arabia ke zaman peradaban pra-modernis yang kelak menjadi tangga bagi umat manusia untuk menuju peradaban modern seperti yang kita alami di zaman ini.

Sebelum masa kenabian, Hejaz khususnya Mekah tengah menikmati kemakmuran materi yang sangat besar dibanding masa masa sebelumnya. Ini membawa sejumlah konsekwensi terjadinya  perubahan penilaian terhadap nilai-nilai kehidupan paganisme lama yang dipandang rendah. Dimasa kemakmuran yang tinggi itu orang-orang kaya tidak lagi memperdulikan anggota masyarakat yang lemah-papa, tetapi hanya sibuk menumpuk harta benda mereka. Terjadi desakralisasi paganisme menuju demoralisasi sosial, dehumanisasi, hedonisme-materialisme yang berlebihan yang diwarnai dengan system perbudakan, yang pada gilirannya mengancam konflik yang luas antara kaum kaya dan kaum miskin.

Ditengah suasana ini mulai muncul kesadaran pada sebagian orang yang merasakan bahwa nilai-nilai paganisme lama tidak memadai lagi sebagai sistem sosial. Inilah awal modernitas. Di Arab yang masih paganis itu, sesungguhnya di kenal “Allah” atau dituliskan dengan “Alah” yang dalam pengertian paganis sebagai  Tuhan dari tuhan-tuhan, merupakan pantheon Mahadewa tertinggi. Diyakini bahwa Allah atau Alah  ini sama dengan Allah yang disembah kaum Yahudi dengan sebutan Yahweh dan kaum Nasrani dengan sebutan El. Sejauh ini kalangan Yahudi dan Nasrani memandang rendah klaim itu, karena bangsa Arab tidak memiliki nabi sendiri yang menerima wahyu dari Allah dan tidak memiliki kitab suci sendiri.

Titik tolak perubahan terjadi pada th. 610 M, tahun ketika Raja Khosrow II menginvasi wilayah Byzantium. Atau pada tgl. 17 Ramadhan th awal kenabian, saat Muhammad bin Abdullah menerima wahyu yang pertama (Al-Alaq : 1-5) di gua Hira. Wahyu terus mengalir selama 22 th (atau 23 th hijriyah) yang kemudian dihimpunkan menjadi Kitab Suci Al-Qur’anul Kariem dalam proses sejak masa Khalif Abu Bakar dan final pada masa Khalif Utsman. Detail tentang hal ini sudah sering kita bahas pada pengajian terdahulu dan masih akan kita bahas kelak.

Dalam Al-Qur’an Allah memberikan perintah yang kongkret. Orang tidak dibenarkan  menimbun kekayaan pribadi tanpa berbagi secara merata kepada yang miskin dan papa yang juga harus diperlakukan dengan hormat dengan system zakat,infak dn sodakoh. Seperti tradisi nabi-nabi Ibrani Muhammad saw menekankan kasih sayang kepada kamum melarat, tertindas, janda, yatim piatu yang harus menjadi tanggung jawab Jamaah dan setiap Muslim. Ini dipandang lebih tinggi daripada pengabdian intelektual kepada serangkaian doktrin agama yang kompleks. Islam lebih mementingkan efektivitas perintah moral daripada ortodoksi teologis.

Denyut perubahan sosial terjadi di Mekah, yang  pertama merespons ajaran Muhammad adalah kelompok marginal, kaum budak, para wanita dan orang-orang malang tertindas lainnya; suku-suku yang terpinggirkan dalam persaingan politik dan ekonomi menjadi kekuatan-kekuatan yang pertama. Inilah kaum assabiqunal awwalun, kaum yang lemah secara material tetapi kuat secara spiritual dan penuh daya perubahan. Lawannya sudah tentu kaum yang mapan secara ekonomi dan politik yang jelas tidak ingin mengubah status-quo yang menguntungkan kedudukan mereka.

Dengan semangat revolusioner Muhammad saw menyerukan kepada kaum kapitalis-hedonis itu agar mereka meninggalkan tuhan-tuhan pagan mereka dan hanya menyembah Allah semata (tauhidiyah). Aristokrasi Mekah merespons dengan menindas komunitas Muslim yang masih kecil itu yang memaksa Rasulullah saw hijrah (migrasi) bersama 70 keluarga ke settlement di Yatsrib sekitar 250 mil arah utara yang kemudian berganti nama dengan Madinah ar-Rasul (Kota Rasul). Justru Hijrah atan migrasi ini menciptakan titik balik dimana Rasulullah saw berhasil membentuk masyarakat (Jamaah) yang pertama dengan sistem sosial dan spiritualitas yang Qur’aniyah. Walaupun belum ideal karena masih tingginya konflik dan gejolak politik menghadapi aristokrasi Mekah yang kuat dan para sekutunya yang menjangkau pula suku-suku Yahudi dan paganis di Madinah yang merasa terdesak dengan kehadiran Islam.

Dalam posisi migrasi inilah kaum Muslimin memposisikan dirinya sebagai masyarakat modern yang revolusioner dimana keterikatan mereka tidak lagi tergantung kepada hubungan kekerabatan, tetapi lebih berdasarkan hubungan ideologis. Perkembangan setelah itu serangkaian perang revolusioner melawan aristokrasi Mekah dengan para sekutunya yang berakhir dengan kemenangan kaum revolusioner Islam. Para sejarawan mencatat pada th. 630 M, Rasulullah saw menaklukkan kota Mekah tanpa pertumpahan darah berkat diplomasinya yang ulung menghadapi penguasa Quraisy Abu Sofyan yang kemudian menjadi mujahid besar di garda terdepan dalam perluasan pengaruh Islam ke seluruh Arabia, yang disusul dengan penaklukan Byzantium (Romawi Timur) dan Parsi.

Pra Modernis

Kekerasan yang terjadi di awal kelahiran Islam lebih merupakan reaksi terhadap tekanan arus peradaban lama yang bertujuan menghancurkan atau membatalkan kelahiran Islam yang revolusioner, egaliter, proletar dan monoteistik. Hakekat ajaran Islam tetap harmoni dan kesatuan. Islam artinya kedamaian dan penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah Azza wa Jalla. Islam memiliki bentuk transendensi yang kuat, luas dan individualistik yang menjadikannya memiliki kemampuan mengembangkan universalitas. Madinah meskipun memiliki konsep ideal tetapi belum dapat dijadikan contoh ideal dikarenakan banyaknya konflik dan petempuran untuk mempertahankan masyarakat revolusioner baru itu. Idealitas Islam sebagai puncak peradaban pra modernis justru tampak di Spanyol Al-Andalusia.

Pada abad ke 9 Bani Umayyah yang dipelopori Abdurrahman ad-Dakhil berhasil mendirikan kekuasaan Islam di Al-Andalus dan dalam waktu yang cepat tumbuh menjadi imperium yang kuat dan akhirnya imperium yang terbesar di dunia yang berhasil membangun pusat peradaban dunia selama 6 abad kemudian. Al-Andalusia menyajikan hubungan harmonis antara Islam, Kristen dan Yahudi selama lebih 600 th dibawah pemerintahan sekuler dengan birokrasi modern yang efektif. 7 abad dalam kedamaian dan kejayaan memungkinkan seluruh komunitas dalam imperium besar al-Andalus mengembangkan kultur dan mencapai puncak-puncak peradaban tertinggi. Inilah zaman kejayaan arsitektur, kesenian, matematika, kedokteran, kimia, sain dan peletakan dasar-dasar tekonologi modern yang kemudian mencapai momentum puncaknya oleh para reformis Yahudi dan Protestan pada abad ke-19 yang terus berlangsung hingga masa mutakhir sekarang ini.

Proses pembentukan peradaban modern membuat kita tetap berada dalam spirit kalimat penutup ayat didepan,”Qod bayyanal aayaati liqoumi yuuqinuun(a)” : “Kami telah menjelaskan ayat-ayat itu kepada kaum yang meyakini.
Sekian, terima kasih, Wassalamu’alaikum War. Wab.

Jakarta, 15 Desember 2006,
Pengasuh,

KH. AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front Persatuan Nasional



Tidak ada komentar:

Posting Komentar