Pengajian Kelimapuluh,
Assalamu’alaikum War. Wab.
“Wabasysyirilladziena
aamanuu wa’amilushshoolichaati anna-lahum jannatin tajrie min-tachtihal
an-haaru; kullamaa ruziquu minhaa min-tsamarotinr-rizqon; qooluu hadzalladzie
ruziqna min qoblu wa-u-tuubihii mutasyaabihan; wa-lahum fieha
azwaajunm-muthohharotunw-wahum fiehaa khooliduuna”. : “Dan sampaikanlah berita
gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka
disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka
diberi rezki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan : “Inilah
yang pernah diberikan kepada kami dahulu”; mereka diberi buah-buahan yang
serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka
kekal di dalamnya.”. (Al-Baqoroh : 25).
Seperti kelaziman dalam
pengajian kita, ayat tersebut akan kita bahas dari berbagai perspektif secara
holistis dengan metode eklektik untuk menggapai hikmah yang setinggi-tingginya
yang dapat kita raih.
Pokok Bahasan
Menurut Tafsir Ibnu Katsir,
Al-Qur’an disajikan dalam susunan yang disebut “al-Matsani”, artinya
dengan dua sisi, yaitu ”targhib” dan “tarhib” atau “memotivasi”
dan “menakut-nakuti”. Pada ayat
sebelumnya (QS 2 : 24) yang sudah kita bahas pada pengajian terdahulu (ke-49),
Allah menuturkan azab dan nestapa yang disediakan bagi orang-orang munafik dan
kafir, maka pada ayat ini (QS 2 : 25) Allah menerangkan kondisi kebahagiaan dan
kenikmatan abadi yang disediakan-Nya bagi orang-orang yang membuktikan
keimanannya dengan berbagai amal saleh.
Tafsir Jalalain menekankan
bahwa “Iman” yang dihargai Allah SWT, adalah iman yang dibuktikan dengan amal
kebajikan. Itulah iman yang hidup. Sebaliknya Allah SWT tidak menghargai amal
apabila tidak didasarkan pada iman yang benar (iman-tauhid).
Dengan demikian, maka amal
saleh atau perbuatan baik dimaksud adalah sebagai buah atau implementasi dari
keimanan. Maka tidak ada amal saleh tanpa iman. Yang dimaksud amal saleh adalah
segala perbuatan baik yang telah ditentukan oleh agama Allah.
Tafsir Jalalain lebih lanjut
mengemukakan bahwa surga dalam arti bahasa adalah “aman”, termasuk dalam
lingkup pengertian alam gaib (transcendental), tidak diketahui secara persis
hakekatnya oleh indera dan akal manusia, hanya Allah saja yang mengetahuinya.
Yang harus dipercaya, sorga adalah tempat yang penuh kenikmatan (dalam
pengertian rohani dan jasmani) yang disediakan bagi orang-orang yang beriman.
Bentuk kenikmatan itu tidak dapat dibandingkan dengan kenikmatan duniawi.
Penggambaran kenikmatan dalam ayat tersebut diatas bersifat simbolik, agar
dapat dengan mudah dipahamai indera dan akal manusia.
Oleh karena itu bagi seorang
yang tinggi derajad keimanannya, tidak terlalu memerlukan penggambaran inderawi
tersebut, seperti kata Syaikh Abdul Qodir al-Jaelani dalam Futuh al-Ghoib,
“Siapa yang menginginkan pertemuan dengan Sang Maha Pencipta, maka
tinggalkanlah dunia dan akherat sekaligus, karena keduanya hanyalah ciptaan.
Kembalinya Ruh kita keharibaan Ruh Sang Maha Pencipta adalah capaian surga
(sebagai realitas transcendental) yang tertinggi”.
Landasan amal saleh
sebagaimana dimaksud ayat tersebut, telah ditentukan azas-azasnya oleh
Rasulullah SAW, dalam sebuah rangkaian hadiest yang panjang, yang inti-inti nya
sebagai berikut :
“Abu Hurairah r.a. berkata :
“Pada suatu hari Rasulullah tampak ditengah-tengah orang banyak. Lalu datang
seorang laki-laki kepada beliau seraya bertanya : ‘Wahai Rasulullah apakah iman
itu ?’. Beliau menjawab, (Iman adalah) hendaknya kamu beriman kepada Allah,
kepada Malaikat-Nya, kepada Kitab-Nya, beriman bahwa kamu akan bertemu
dengan-Nya, beriman kepada Rasul-Nya, dan kamu beriman dengan adanya hari
kebangkitan di akhirat’. Lelaki itu bertanya lagi :’Wahai Rasulullah apakah
Islam itu ?’ Beliau menjawab : ‘Hendaklah kamu menyembah
Allah semata dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun,
kamu dirikan sholat wajib, kamu tunaikan zakat yang difardhukan, dan kamu
lakukan puasa Romadhon. Lelaki itu bertanya lagi :
‘Ya Rasulullahi mal-Ichsan ?
qoo-laa : ‘an-ta’budallaaha ka-annaka taroohu; fa-innaka in-laa taroohu
fa-innahu yarooka’ : ‘Wahai Rasulullah apakah Ichsan tu ?’ Beliau menjawab :
‘Hendaklah kamu menyembah Allah seolah-olah kamu melihat-Nya. Jika kamu tidak
melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihat-Mu”; (Shahih Muslim dari Abu
Hurairah r.a.: H.2).
Ulasan.
Three in one :
“Iman-Islam-Ichsan” adalah kunci untuk membentuk amal saleh yang menjadi
prasyarat untuk mencapai surga Allah dan surga tertinggi, yaitu perjumpaan
dengan Allah Azza wa Jalla. “Kunci pertama dan utama ” yang harus dipecahkan
terlebih dahulu adalah masalah ketauhidan, seperti sabda Rasulullah :
‘an-ta’budallaaha wala tusyriku bihi syai-an’ : ‘hendaknya kamu menyembah Allah
semata dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu-pun’. Inilah masalah
pokok sejak zaman Ibrahim, Musa dan Isa dan terus melanjut dizaman Rasulullah
SAW dan dimasa sekarang.
Lawan ketauhidan adalah
kemusyrikan. Budaya dan peradaban kemusyrikan menurut peneliti Amerika abad 20 Owens
berakar pada doktrin Qabbala. (Qabbala sendiri punya arti ‘yang terpenuhi’).
Menurut Owens Doktrin Qabbalistic menyebabkan persepsi tentang ketuhanan
diwarnai pandangan kaum ortodox. Ajaran Judaism yang berpusat pada Iman Tauhid
Bangsa Israel yang semula berpegang pada “Tuhan Yang Esa” menjadi bergeser
setelah Qabbalist menyatakan bahwa tuhan adalah format yang paling tinggi, sebagai
“unity-called” yang disebut “Ein-Sof”, yang menurut Qabbalist
terlalu suci.
Maka tuhan yang satu itu
tidak dapat melakukan semua pekerjaan ketuhanan yang sangat banyak, lalu
memancarkan keistimewaan ketuhanannya dalam jumlah besar ketuhanan kolektif
dengan membentuk banyak dewa. Qabbalist menyebut rejim dewa-dewa ini dengan “Sefiroth”
yang berarti wajah tuhan. Dengan cara itu menurut Qabbalist tuhan turun dari
kesatuan yang tidak dapat dimengerti ke dalam pengertian manusia, melalui
meditasi dan spekulasi. Inilah system polytheisme atau kemusyrikan yang menjadi
akar paganisme dan menjadi target utama kita untuk dibersihkan dari dalam
nurani kita.
Al-Jaelani mengatakan dalam
“Fiqhus-Suffi” ketika kita bersyahadat kita melepaskan semua unsur kepercayaan
selain Allah Azza wa Jalla dari setiap relung diri kita. Wajah kita hanya
menghadap kepada Allah semata.
Penyesatan teosofi Qabbalist
tidak berhenti pada doktrin ketuhanan kolektif, tetapi lebih absurd lagi kepada
format seksual, dimana tuhan terdiri rangkap pria dan wanita, yaitu supernal
Bapa dan Bunda yang diistilahkan dengan “Hokmah dan Binah”.
Qabballa Hokmah yang kreatif dengan Binah menghasilkan “creation”.
Organisasi Fusi Qabbalist modern, global-freemasonry, memberi makna creation
sebagai “the power of evolution” yang
menekankan bahwa “asal manusia tidak diciptakan, melainkan tercipta
dengan sendirinya melalui seleksi alam”, sebagaimana telah kita bahas pada
pengajian terdahulu (vide. Peng. Ke-49).
Owens melanjutkan laporan
penelitiannya : Gambaran ketuhanan kompleks dikhayalkan lebih lanjut oleh Qabballist, seperti adanya kesatuan format
anthropomorphis, dimana tuhan adalah satu recension Qabbalistic, Adam Kadmon,
yaitu asal-usul atau archetypal orang
laki-laki. Orang laki-laki terbagi bersama dengan Tuhan, kedua-duanya satu
percikan ilahi yang tidak diciptakan, dan merupakan suatu format organic yang
kompleks. Penyamaan Adam yang aneh ini sebagai tuhan telah didukung oleh suatu code Qabbalistic; sejumlah istilah
dalam bahasa Ibrani menyamakan Adam dan Jehovah (the
Tetragramaton Yod he vav he). Penafsiran Qabbalisitic Adam equaled :”Adam
adalah Tuhan”.
Dengan affirmation ini
dilegitimasi pernyataan bahwa semua manusia dalam perwujudan paling tinggi
seperti tuhan. Teosofi sesat ini merupakan suatu mitologi penyembahan berhala
yang menciptakan kemerosotan Judaism demikian parah. Menurut peneliti Owens, Yahudi Qabbalist
melanggar batas akal sehat sedemikian rupa dimana mereka membuat manusia ke
dalam strata para dewa. Dan lebih sesat lagi, menurut teosofi Qabbala, yang
sesungguhnya tercipta bukanlah ras manusia, melainkan hanya ras Yahudi. Selain
ras Yahudi tidak dipertimbangkan dalam derajat manusia. Doktrin jahat ini telah
merusak Taurat.
Menurut Owens terdapat
persamaan yang lekat antara doktrin Qabbala dengan faham penyembah berhala
Mesir Pharao’s (abad ke-15 SM) yang percaya bahwa keberadaan selalu hidup,
dengan kata lain, mereka menolak ajaran agama Allah yang memastikan bahwa
keberadaan adalah ciptaan Allah dari ketiadaan dan akan kembali kepada
ketiadaan.
Qabbala menyatakan hal yang
sama dengan kepercayaan Mesir Pharao’s, bahwa manusia tidak diciptakan dan
terjadi dengan sendirinya (vide, Pengajian ke-47,48 dan 49). Menurut Owens,
dalam terminology modern Orang Mesir Pharao’s adalah materialism, dan doktrin
Qabbala dapat disebut “secular-humanism”. Suatu kenyataan bahwa dua konsep
ideology materialism dan secular-humanism telah mendominasi dunia selama dua
abad terakhir. Itu artinya bahwa selama ini dunia telah tersesat kedalam peradaban
Qabbala. Inilah kekuatan global-freemasonry (organisasi Fusi-Qabbalist modern),
dengan kekuatan organisasi dan jaringannya dengan “the Great Qabballa” yang
dinamakan “The Great Archittec Of The Universe” (Arsitek Agung Semesta Alam)
yang merupakan “Neo En-Sof”..
Nah, itulah sumber
kemusyrikan yang senantiasa membayangi iman-tauhid. Bagi Kaum Muslimin harus
selalu kembali kepada dasar syahadatain, dan menjalankan asas “three in
one, Iman-Islam-Ichsan“ semaksimal mungkin. Itulah landasan semua amal saleh,
yang menjadi prasyarat untuk mencapai derajat transcendental seperti
digambarkan dalam ayat tersebut diatas.
Sekian, terima kasih.
Birrahmatillahi Wabi’aunihi
fi Sabilih.
Wassalamu’alaikum War. Wab.
Jakarta, 8 Juli 2005,
Pengasuh,
KH. AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front Persatuan
Nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar