7.7.17

Pengajian Kelimapuluh,-TWU


Pengajian Kelimapuluh,

Assalamu’alaikum War. Wab.

“Wabasysyirilladziena aamanuu wa’amilushshoolichaati anna-lahum jannatin tajrie min-tachtihal an-haaru; kullamaa ruziquu minhaa min-tsamarotinr-rizqon; qooluu hadzalladzie ruziqna min qoblu wa-u-tuubihii mutasyaabihan; wa-lahum fieha azwaajunm-muthohharotunw-wahum fiehaa khooliduuna”. : “Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan : “Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu”; mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya.”. (Al-Baqoroh : 25).

Seperti kelaziman dalam pengajian kita, ayat tersebut akan kita bahas dari berbagai perspektif secara holistis dengan metode eklektik untuk menggapai hikmah yang setinggi-tingginya yang dapat kita raih.

Pokok Bahasan

Menurut Tafsir Ibnu Katsir, Al-Qur’an disajikan dalam susunan yang disebut “al-Matsani”, artinya dengan dua sisi, yaitu ”targhib” dan “tarhib” atau “memotivasi” dan “menakut-nakuti”.  Pada ayat sebelumnya (QS 2 : 24) yang sudah kita bahas pada pengajian terdahulu (ke-49), Allah menuturkan azab dan nestapa yang disediakan bagi orang-orang munafik dan kafir, maka pada ayat ini (QS 2 : 25) Allah menerangkan kondisi kebahagiaan dan kenikmatan abadi yang disediakan-Nya bagi orang-orang yang membuktikan keimanannya dengan berbagai amal saleh.

Tafsir Jalalain menekankan bahwa “Iman” yang dihargai Allah SWT, adalah iman yang dibuktikan dengan amal kebajikan. Itulah iman yang hidup. Sebaliknya Allah SWT tidak menghargai amal apabila tidak didasarkan pada iman yang benar (iman-tauhid).

Dengan demikian, maka amal saleh atau perbuatan baik dimaksud adalah sebagai buah atau implementasi dari keimanan. Maka tidak ada amal saleh tanpa iman. Yang dimaksud amal saleh adalah segala perbuatan baik yang telah ditentukan oleh agama Allah. 

Tafsir Jalalain lebih lanjut mengemukakan bahwa surga dalam arti bahasa adalah “aman”, termasuk dalam lingkup pengertian alam gaib (transcendental), tidak diketahui secara persis hakekatnya oleh indera dan akal manusia, hanya Allah saja yang mengetahuinya. Yang harus dipercaya, sorga adalah tempat yang penuh kenikmatan (dalam pengertian rohani dan jasmani) yang disediakan bagi orang-orang yang beriman. Bentuk kenikmatan itu tidak dapat dibandingkan dengan kenikmatan duniawi. Penggambaran kenikmatan dalam ayat tersebut diatas bersifat simbolik, agar dapat dengan mudah dipahamai indera dan akal manusia.

Oleh karena itu bagi seorang yang tinggi derajad keimanannya, tidak terlalu memerlukan penggambaran inderawi tersebut, seperti kata Syaikh Abdul Qodir al-Jaelani dalam Futuh al-Ghoib, “Siapa yang menginginkan pertemuan dengan Sang Maha Pencipta, maka tinggalkanlah dunia dan akherat sekaligus, karena keduanya hanyalah ciptaan. Kembalinya Ruh kita keharibaan Ruh Sang Maha Pencipta adalah capaian surga (sebagai realitas transcendental) yang tertinggi”.

Landasan amal saleh sebagaimana dimaksud ayat tersebut, telah ditentukan azas-azasnya oleh Rasulullah SAW, dalam sebuah rangkaian hadiest yang panjang, yang inti-inti nya sebagai berikut :

“Abu Hurairah r.a. berkata : “Pada suatu hari Rasulullah tampak ditengah-tengah orang banyak. Lalu datang seorang laki-laki kepada beliau seraya bertanya : ‘Wahai Rasulullah apakah iman itu ?’. Beliau menjawab, (Iman adalah) hendaknya kamu beriman kepada Allah, kepada Malaikat-Nya, kepada Kitab-Nya, beriman bahwa kamu akan bertemu dengan-Nya, beriman kepada Rasul-Nya, dan kamu beriman dengan adanya hari kebangkitan di akhirat’. Lelaki itu bertanya lagi :’Wahai Rasulullah apakah Islam itu ?’ Beliau menjawab : ‘Hendaklah kamu menyembah Allah semata dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun, kamu dirikan sholat wajib, kamu tunaikan zakat yang difardhukan, dan kamu lakukan puasa Romadhon. Lelaki itu bertanya lagi :

‘Ya Rasulullahi mal-Ichsan ? qoo-laa : ‘an-ta’budallaaha ka-annaka taroohu; fa-innaka in-laa taroohu fa-innahu yarooka’ : ‘Wahai Rasulullah apakah Ichsan tu ?’ Beliau menjawab : ‘Hendaklah kamu menyembah Allah seolah-olah kamu melihat-Nya. Jika kamu tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihat-Mu”; (Shahih Muslim dari Abu Hurairah r.a.: H.2).

Ulasan.

Three in one : “Iman-Islam-Ichsan” adalah kunci untuk membentuk amal saleh yang menjadi prasyarat untuk mencapai surga Allah dan surga tertinggi, yaitu perjumpaan dengan Allah Azza wa Jalla. “Kunci pertama dan utama ” yang harus dipecahkan terlebih dahulu adalah masalah ketauhidan, seperti sabda Rasulullah : ‘an-ta’budallaaha wala tusyriku bihi syai-an’ : ‘hendaknya kamu menyembah Allah semata dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu-pun’. Inilah masalah pokok sejak zaman Ibrahim, Musa dan Isa dan terus melanjut dizaman Rasulullah SAW dan dimasa sekarang.

Lawan ketauhidan adalah kemusyrikan. Budaya dan peradaban kemusyrikan menurut peneliti Amerika abad 20 Owens berakar pada doktrin Qabbala. (Qabbala sendiri punya arti ‘yang terpenuhi’). Menurut Owens Doktrin Qabbalistic menyebabkan persepsi tentang ketuhanan diwarnai pandangan kaum ortodox. Ajaran Judaism yang berpusat pada Iman Tauhid Bangsa Israel yang semula berpegang pada “Tuhan Yang Esa” menjadi bergeser setelah Qabbalist menyatakan bahwa tuhan adalah format yang paling tinggi, sebagai “unity-called” yang disebut “Ein-Sof”, yang menurut Qabbalist terlalu suci.

Maka tuhan yang satu itu tidak dapat melakukan semua pekerjaan ketuhanan yang sangat banyak, lalu memancarkan keistimewaan ketuhanannya dalam jumlah besar ketuhanan kolektif dengan membentuk banyak dewa. Qabbalist menyebut rejim dewa-dewa ini dengan “Sefiroth” yang berarti wajah tuhan. Dengan cara itu menurut Qabbalist tuhan turun dari kesatuan yang tidak dapat dimengerti ke dalam pengertian manusia, melalui meditasi dan spekulasi. Inilah system polytheisme atau kemusyrikan yang menjadi akar paganisme dan menjadi target utama kita untuk dibersihkan dari dalam nurani kita.

Al-Jaelani mengatakan dalam “Fiqhus-Suffi” ketika kita bersyahadat kita melepaskan semua unsur kepercayaan selain Allah Azza wa Jalla dari setiap relung diri kita. Wajah kita hanya menghadap kepada Allah semata.

Penyesatan teosofi Qabbalist tidak berhenti pada doktrin ketuhanan kolektif, tetapi lebih absurd lagi kepada format seksual, dimana tuhan terdiri rangkap pria dan wanita, yaitu supernal Bapa dan Bunda yang diistilahkan dengan “Hokmah dan Binah”. Qabballa Hokmah yang kreatif dengan Binah menghasilkan “creation”. Organisasi Fusi Qabbalist modern, global-freemasonry, memberi makna creation sebagai “the power of evolution” yang  menekankan bahwa “asal manusia tidak diciptakan, melainkan tercipta dengan sendirinya melalui seleksi alam”, sebagaimana telah kita bahas pada pengajian terdahulu (vide. Peng. Ke-49).

Owens melanjutkan laporan penelitiannya : Gambaran ketuhanan kompleks dikhayalkan lebih lanjut oleh  Qabballist, seperti adanya kesatuan format anthropomorphis, dimana tuhan adalah satu recension Qabbalistic, Adam Kadmon, yaitu asal-usul atau  archetypal orang laki-laki. Orang laki-laki terbagi bersama dengan Tuhan, kedua-duanya satu percikan ilahi yang tidak diciptakan, dan merupakan suatu format organic yang kompleks. Penyamaan Adam yang aneh ini sebagai tuhan telah didukung  oleh suatu code Qabbalistic; sejumlah istilah dalam bahasa Ibrani menyamakan Adam dan Jehovah (the Tetragramaton Yod he vav he). Penafsiran Qabbalisitic Adam equaled :”Adam adalah Tuhan”.

Dengan affirmation ini dilegitimasi pernyataan bahwa semua manusia dalam perwujudan paling tinggi seperti tuhan. Teosofi sesat ini merupakan suatu mitologi penyembahan berhala yang menciptakan kemerosotan Judaism demikian parah.  Menurut peneliti Owens, Yahudi Qabbalist melanggar batas akal sehat sedemikian rupa dimana mereka membuat manusia ke dalam strata para dewa. Dan lebih sesat lagi, menurut teosofi Qabbala, yang sesungguhnya tercipta bukanlah ras manusia, melainkan hanya ras Yahudi. Selain ras Yahudi tidak dipertimbangkan dalam derajat manusia. Doktrin jahat ini telah merusak Taurat.

Menurut Owens terdapat persamaan yang lekat antara doktrin Qabbala dengan faham penyembah berhala Mesir Pharao’s (abad ke-15 SM) yang percaya bahwa keberadaan selalu hidup, dengan kata lain, mereka menolak ajaran agama Allah yang memastikan bahwa keberadaan adalah ciptaan Allah dari ketiadaan dan akan kembali kepada ketiadaan.

Qabbala menyatakan hal yang sama dengan kepercayaan Mesir Pharao’s, bahwa manusia tidak diciptakan dan terjadi dengan sendirinya (vide, Pengajian ke-47,48 dan 49). Menurut Owens, dalam terminology modern Orang Mesir Pharao’s adalah materialism, dan doktrin Qabbala dapat disebut “secular-humanism”. Suatu kenyataan bahwa dua konsep ideology materialism dan secular-humanism telah mendominasi dunia selama dua abad terakhir. Itu artinya bahwa selama ini dunia telah tersesat kedalam peradaban Qabbala. Inilah kekuatan global-freemasonry (organisasi Fusi-Qabbalist modern), dengan kekuatan organisasi dan jaringannya dengan “the Great Qabballa” yang dinamakan “The Great Archittec Of The Universe” (Arsitek Agung Semesta Alam) yang merupakan “Neo En-Sof”..

Nah, itulah sumber kemusyrikan yang senantiasa membayangi iman-tauhid. Bagi Kaum Muslimin harus selalu kembali kepada dasar syahadatain, dan menjalankan asas “three in one, Iman-Islam-Ichsan“ semaksimal mungkin. Itulah landasan semua amal saleh, yang menjadi prasyarat untuk mencapai derajat transcendental seperti digambarkan dalam ayat tersebut diatas.

Sekian, terima kasih.
Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi Sabilih.
Wassalamu’alaikum War. Wab.

Jakarta, 8 Juli 2005,
Pengasuh,

KH. AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front Persatuan Nasional.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar