Pengajian Keseratus Limabelas (115).
Oleh : KH. Agus Miftach
Assalamu’alaikum War. Wab.
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat,
maka kemanapun kamu menghadap, disanalah wajah Allah. Sesungguhnya Allah
Mahaluas lagi Maha Mengetahui” : Albaqoroh : 115.
Kita akan
membahas ayat ini dengan pendekatan eklektik multiperspektif, baik dari
perspektif teologis, antropologis, historiografis maupun psikologis secara
holistis dalam rangka mencapai kajian yang komprehensif dan hikmah yang setinggi-tingginya
dari kandungan ayat ini.
Pokok Bahasan
Ibnu Katsir mengemukakan dalam tafsirnya,
bahwa ayat ini berkaitan dengan perubahan kiblat shalat. Di masa awal Islam di
Mekah Rasulullah saw shalat menghadap Ka’bah, kemudian menghadap ke Baitul
Maqdis di Jerusalem hingga masa 17 bulan sesudah Hijrah, Sesudah itu kembali
menghadap ke Ka’bah di Mekah (vide, Moenawar Cholil, 2001 : Jilid 1, hal. 570).
Perihal perubahan-perubahan kiblat ini Rasulullah saw mendapat kecaman, baik
dari kalangan Bani Israil maupun dari kalanangan paganis Qurasiy. Kalangan Bani
Israil mencoba mempengaruhi Rasulullah saw agar tetap berkiblat ke
Masjidil Aqsha di Jerusalem untuk menunjukkan kesinambungan agama
Ibrahim dan rangkaian nabi-nabi Yahudi. Kaum Yahudi (Bani Israil) menjanjikan
akan beriman jika Muhammad saw mau mengubah kiblat kembali ke Masjidil Aqsha
(Baitul Maqdis) yang oleh masyarakat Yahudi disebut juga Haekal Sulaiman atau
Haekal Yahweh. Perlu dicatat kalangan Islam menganggap Ka’bah dan
Masjidil-Haram didirikan Nabi Ibrahim dan putranya Nabi Ismail.
Sementara itu kaum paganis (musyrik) Quraisy
mengecam Rasulullaah saw sebagai orang yang inkonsisten, plin-plan dengan
merubah-rubah kiblat, maka para pemuka paganis Quraisy menyerukan khalayak agar
tidak mengikuti Muhammad orang yng tidak punya pendirian.
Tentu saja Rasulullah saw tidak mempercayai
dan tidak memperdulikan janji-janji kaum Yahudi yang palsu itu. Juga tidak
memperdulikan kecaman orang-orang Quraisy paganis (musyrik) yang munafik itu.
Perubahan kiblat dengan penetapan terakhir menghadap ke Ka’bah tetap
dilaksankan sebagaimana telah difirmankan dan diikuti dengan takdzim oleh Kaum
Muslimin.
Sementara itu Muslim, Tirmidzi dan Nasa’i
dari Ibnu Umar, mengemukakan bahwa ayat ini berkaitan dengan, “ kebiasaan Nabi
saw shalat sunah di atas kendaraannya kemana saja ia menghadap,”; ayat ini
turun sewaktu beliau dalam perjalanan kembali dari Mekah ke Madinah. Peristiwa
ini kemudian menjadi dasar moderasi kiblat bagi orang yang menjalankan shalat
di atas kendaraan yang dipebolehkan menghadap kemana saja kendaraan itu
terarah.
Dalam riwayat lain, diungkapkan oleh
Tirmidzi, Ibnu Majah dan Daruquthni dari jalur Asy’ats As-Saman, dari Ashim bin
Abdullah, dan Abdullah bin Amir bin Rabi’ah dari bapaknya dikatakan,”Kami bersama
Nabi saw dalam suatu perjalanan di malam yang gelap gulita hingga kami tidak
mengetahui lagi arah kiblat. Maka kami melakukan shalat diatas kendaraan
masing-masing. Dipagi harinya kami sampaikan hal ini kepada Nabi saw,…..maka
turunlah ayat ini (Al-Baqoroh 115)”.
Sementara itu Daruquthni dan Ibnu Murdawih
dari jalur Arzami dari Atha dari Jabar, diungkapkan, “Rasulullah saw mengirim
pasukan dimana aku ikut didalamnya. Ketika datang malam yang gelap gulita, kami
tidak tahu arah kiblat. Sebagian sahabat menunjuk arah kiblat itu disini (arah
Utara), lalu mereka membuat shaf-shaf; sebagian lain menunjuk kearah lain (arah
Selatan), dan merekapun membuat shaf-shaf. Ketika pagi tiba, ternyata shaf-shaf
itu tidak menghadap kearah kiblat. Ketika telah kembali kami menanyakan hal ini
kepada Rasulullah saw. Beliau diam, lalu turunlah ayat ini (Al-Baqoroh 115)’.
Riwayat ini memberikan dasar moderasi kiblat
berdasarkan situasi-situasi darurat. Hal yang pokok disini ialah ketentuan baku
mengenai shalat fardhu yang harus dijalankan dalam keadaan apapun. Berbagai
ketentuan pendukung seperti menghadap kiblat dapat dilakukan secara artificial
dengan niat dan bacaan,”mustaqbilal qiblati”., dan dapat menghadap arah manapun
yang dimungkinkan pada situasi itu, karena sesungguhnya kepunyaan Allah-lah
semua arah mata angin. Kemanapun kita menghadap disanalah Wajah Allah. Ini
menjadikan ketentuan menghadap kiblat hanya bermakna simbolik, semata-mata bagi
ketertiban ritual dan persatuan ummat, sifatnya duniawi. Manakala keadaan tidak
memungkinkan ketentuan itu dapat diabaikan. Namun jika mengetahui arah kiblat
sebaiknya shalat dijalankan dengan menghadap kiblat sesuai dengan prinsip
tartib dan tartil dalam pelaksanaan syariat.
Monumen Qiblatain
Diatas tanah bekas rumah Bani Salamah
dibangun sebuah Masjid yang cukup bagus yang kemudian terkenal dengan sebutan Masjid
Bani Salamah yang masih berdiri hingga masa sekarang. Lokasinya ditepi
jalan menuju kampus Universitas Madinah
di dekat Istana Raja di jalur jalan menuju Wadi Aqiq. Dimasa awal Islam ketika
kaum Muslimin masih menjalankan shalat dengan kiblat Baitul Maqdis di
Jerusalem; saat itu Rasulullah saw sedang menjadi imam sholat ashar yang
diikuti para shahabat di Mesjid itu ketika turun wahyu Al-Baqoroh 144 yang
memerintahkan perubahan kiblat dari Masjidil Aqsha ke Ka’bah Masjidil-Haram. Pada saat itu juga Rasulullah
saw berputar mengubah arah kiblat sehingga segenap jamaah shalat-pun berputar
mengikuti arah perubahan kiblat tsb. Dengan demikian jama’ah shalat ashar itu
mengalami dua kiblat (Qiblatain). Ini merupakan peristiwa luar biasa dan
bersejarah. Inilah yang kemudian menjadikan Masjid Bani Salamah itu terkenal
dengan sebutan Masjid Qiblatain berfungsi pula sebagai Monumen
Qiblatain.
Masjidil Haram
Sejauh ini klaim kalangan Islam bahwa Ka’bah
dan Masjidil Haram dibangun oleh Nabi Ibrahim dan putranya Nabi Ismail lebih
bersifat spiritual yang menggambarkan benang merah antara generasi pertama
agama monotheisme dan generasi akhir.
Bukti-bukti arkeologis mengenai hal ini kurang mendukung, namun bukti-bukti
spiritual dan narasi mitologis dari sumber-sumber subyektif kitabiyah menjadi
bagian dari mistisisme monotheisme yang sustainable. Ini penting untuk
legitimasi Islam dalam persaingan dengan agama-agama monotheisme-Semit yang
datang lebih dahulu, yaitu agama Yahudi dan agama Nasrani. Sejauh ini para
sejarawan, antropolog dan arkeolog modern tidak memiliki bukti-bukti empirik
yang mendukung arche Ibrahim dan Ismail di lembah Bakkah ini. Tetapi
semua pihak menghormati keyakinan religius Islam mengenai hal ini yang bersifat
situs teofani dan bukan sebagai situs arkeologis. Jika klaim Islam dibandingkan
dengan waktu kehidupan Ibrahim dianggap memiliki relevansi, maka diperkirakan
Ka’bah Masjidil-Haram dibangun pada abad ke-25 SM. Tetapi bukti-bukti
keberadaan bangsa Arab kuno baru tercatat dalam sejarah modern pada sekitar
abad ke-11 SM.
Namun Antropolog Islam Ahmad Shalaby
(1991) menyebutkan pada sekitar abad 25
SM, yakni saat Ibrahim dan keluarganya tiba di tanah Kana’an, dikawasan itu
telah berdiam suatu rumpun bangsa yang disebutnya sebagai “Kabilah Kana’an”
yang berdasarkan entitas budaya dan letak geografisnya dikelompokkan ke dalam
bangsa Arab. Ahmad Shalaby juga memasukkan bangsa Yebus yang
berperadaban tinggi dan menguasai Jerusalem ke dalam rumpun bangsa Arab. Ini
berbeda dengan logika sejarah Semit yang dikembangkan selama ini dimana datuk
bangsa Arab adalah Ismail putera Ibrahiem dari ibu Siti Hajar (orang Mesir).
Sementara datuk bangsa Israel adalah Ishak putra Ibrahim dari ibu Siti Sarah
(orang Khaldea). Dengan fakta ini maka keberadaan bangsa Arab tidak berpangkal
sepenuhnya pada ras Semit Ibrahim-Ismail, melainkan berdasarkan proses evolusi
entitas sosial budaya dan letak geografis. Jadi terdapat fakta
histories-antropologis, bahwa bangsa Arab sudah mapan di bumi Kana’an jauh
sebelum kedatangan Ibrahim di Kana’an, dan jelas bukan merupakan keturunan
Ibrahiem yang berasal dari Aur-Khaldan, Mesopotamia.
Tentang ras keturunan Ismail, disebutkan
adanya ras Arab istimewa yang disebut “Arab Muta’ribah” yang bersumber dari keturunan Ismail dengan
putri Jurhum penguasa Mekah pada sekitar abad ke 25 SM. Artinya sebelum
kedatangan Ibrahim-Ismail di Mekah sudah berdiri peradaban yang berpuncak pada
dinasti Jurhum itu, bukan kawasan kosong tak bertuan seperti mitos selama ini.
Ras Arab Musta’ribah itulah yang kemudian menjadi ras utama para pemuka dan
pejuang Islam seperti suku Qurasiy yang didalamnya terdapat Nabi Muhammad saw
dan generasi awal pemimpin Islam yang
berdarah Semit.
Ismail adalah putra Ibrahim dari istri kedua
Siti Hajar gadis Mesir yang dihadiahkan Fir’aun Futiphar Al-Amalik kepada
Ibrahim sebagai maskawin pernikahan Fir’aun dengan Sarah yang kemudian gagal.
Sumber-sumber Bibel tidak pernah menyebut adanya perjalanan Ibrahim dan Ismail
ke lembah Bakkah (Mekah). Tapi sumber-sumber Islam secara fulgar mengungkapkan
hal itu dan merupakan bagian dari system spiritual Islam yang penting.
Keberadaan Hajar dan Ismail yang semata-mata
spiritualistik tidak diabadikan dalam obyektif-historis, melainkan dalam
bentuk ritus dan mitos hajji yang memang merupakan wilayah mistis yang tidak
perlu dirasionalkan. Demikian pula keberadaan Ibrahim dan Ismail di lembah
Bakkah diabadikan dalam bentuk ritus ‘Iedul Qurban’.
Agama monotheisme dan khususnya yang terakhir
agama Islam memang bukan seperangkat fakta-fakta empirik dan akurasi fakta
sejarah, melainkan merupakan system spiritual dari perpaduan mitos dan logos
yang membangun fantasi, mistik, rasionalitas dan ritualitas. Bahkan dari sejak
sejarah Ibrahim hingga Muhammad dan sesudahnya agama monotheisme tidak sepi dari berbagai kompromi tradisi sinkretisme dengan
alasan-alasan rasional-kultural. Itulah
a.l yang menjadikan Islam memiliki kemampuan membentuk dunia pra-modernis yang
sukses selama 1000 th. Namun di masa modern ini, semakin terasa ketertinggalan
agama-agama monotheis dalam proses rasionalitas sikap moral dan social
behaviour-nya yang dirasa perlu adanya tajdid (pembaharuan). Sekian, terima
kasih, birrahmatillahi wa bi’aunihi fi sablilih,
Wassalamu’alaikum War. Wab.
Jakarta, 1 Desember 2006,
Pengasuh,
KH. AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front Persatuan Nasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar