11.7.17

Pengajian Keseratus Limabelas (115).



Pengajian Keseratus Limabelas (115).

Oleh : KH. Agus Miftach

Assalamu’alaikum War. Wab.

Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap, disanalah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Mahaluas lagi Maha Mengetahui” : Albaqoroh : 115.

Kita akan  membahas ayat ini dengan pendekatan eklektik multiperspektif, baik dari perspektif teologis, antropologis, historiografis maupun psikologis secara holistis dalam rangka mencapai kajian yang komprehensif dan hikmah yang setinggi-tingginya dari kandungan ayat ini.

Pokok Bahasan

Ibnu Katsir mengemukakan dalam tafsirnya, bahwa ayat ini berkaitan dengan perubahan kiblat shalat. Di masa awal Islam di Mekah Rasulullah saw shalat menghadap Ka’bah, kemudian menghadap ke Baitul Maqdis di Jerusalem hingga masa 17 bulan sesudah Hijrah, Sesudah itu kembali menghadap ke Ka’bah di Mekah (vide, Moenawar Cholil, 2001 : Jilid 1, hal. 570). Perihal perubahan-perubahan kiblat ini Rasulullah saw mendapat kecaman, baik dari kalangan Bani Israil maupun dari kalanangan paganis Qurasiy. Kalangan Bani Israil mencoba mempengaruhi Rasulullah saw agar tetap  berkiblat ke  Masjidil Aqsha di Jerusalem untuk menunjukkan kesinambungan agama Ibrahim dan rangkaian nabi-nabi Yahudi. Kaum Yahudi (Bani Israil) menjanjikan akan beriman jika Muhammad saw mau mengubah kiblat kembali ke Masjidil Aqsha (Baitul Maqdis) yang oleh masyarakat Yahudi disebut juga Haekal Sulaiman atau Haekal Yahweh. Perlu dicatat kalangan Islam menganggap Ka’bah dan Masjidil-Haram didirikan Nabi Ibrahim dan putranya Nabi Ismail.
Sementara itu kaum paganis (musyrik) Quraisy mengecam Rasulullaah saw sebagai orang yang inkonsisten, plin-plan dengan merubah-rubah kiblat, maka para pemuka paganis Quraisy menyerukan khalayak agar tidak mengikuti Muhammad orang yng tidak punya pendirian.

Tentu saja Rasulullah saw tidak mempercayai dan tidak memperdulikan janji-janji kaum Yahudi yang palsu itu. Juga tidak memperdulikan kecaman orang-orang Quraisy paganis (musyrik) yang munafik itu. Perubahan kiblat dengan penetapan terakhir menghadap ke Ka’bah tetap dilaksankan sebagaimana telah difirmankan dan diikuti dengan takdzim oleh Kaum Muslimin.

Sementara itu Muslim, Tirmidzi dan Nasa’i dari Ibnu Umar, mengemukakan bahwa ayat ini berkaitan dengan, “ kebiasaan Nabi saw shalat sunah di atas kendaraannya kemana saja ia menghadap,”; ayat ini turun sewaktu beliau dalam perjalanan kembali dari Mekah ke Madinah. Peristiwa ini kemudian menjadi dasar moderasi kiblat bagi orang yang menjalankan shalat di atas kendaraan yang dipebolehkan menghadap kemana saja kendaraan itu terarah.

Dalam riwayat lain, diungkapkan oleh Tirmidzi, Ibnu Majah dan Daruquthni dari jalur Asy’ats As-Saman, dari Ashim bin Abdullah, dan Abdullah bin Amir bin Rabi’ah dari bapaknya dikatakan,”Kami bersama Nabi saw dalam suatu perjalanan di malam yang gelap gulita hingga kami tidak mengetahui lagi arah kiblat. Maka kami melakukan shalat diatas kendaraan masing-masing. Dipagi harinya kami sampaikan hal ini kepada Nabi saw,…..maka turunlah ayat ini (Al-Baqoroh 115)”.

Sementara itu Daruquthni dan Ibnu Murdawih dari jalur Arzami dari Atha dari Jabar, diungkapkan, “Rasulullah saw mengirim pasukan dimana aku ikut didalamnya. Ketika datang malam yang gelap gulita, kami tidak tahu arah kiblat. Sebagian sahabat menunjuk arah kiblat itu disini (arah Utara), lalu mereka membuat shaf-shaf; sebagian lain menunjuk kearah lain (arah Selatan), dan merekapun membuat shaf-shaf. Ketika pagi tiba, ternyata shaf-shaf itu tidak menghadap kearah kiblat. Ketika telah kembali kami menanyakan hal ini kepada Rasulullah saw. Beliau diam, lalu turunlah ayat ini (Al-Baqoroh 115)’.

Riwayat ini memberikan dasar moderasi kiblat berdasarkan situasi-situasi darurat. Hal yang pokok disini ialah ketentuan baku mengenai shalat fardhu yang harus dijalankan dalam keadaan apapun. Berbagai ketentuan pendukung seperti menghadap kiblat dapat dilakukan secara artificial dengan niat dan bacaan,”mustaqbilal qiblati”., dan dapat menghadap arah manapun yang dimungkinkan pada situasi itu, karena sesungguhnya kepunyaan Allah-lah semua arah mata angin. Kemanapun kita menghadap disanalah Wajah Allah. Ini menjadikan ketentuan menghadap kiblat hanya bermakna simbolik, semata-mata bagi ketertiban ritual dan persatuan ummat, sifatnya duniawi. Manakala keadaan tidak memungkinkan ketentuan itu dapat diabaikan. Namun jika mengetahui arah kiblat sebaiknya shalat dijalankan dengan menghadap kiblat sesuai dengan prinsip tartib dan tartil dalam pelaksanaan syariat.

Monumen Qiblatain

Diatas tanah bekas rumah Bani Salamah dibangun sebuah Masjid yang cukup bagus yang kemudian terkenal dengan sebutan Masjid Bani Salamah yang masih berdiri hingga masa sekarang. Lokasinya ditepi jalan  menuju kampus Universitas Madinah di dekat Istana Raja di jalur jalan menuju Wadi Aqiq. Dimasa awal Islam ketika kaum Muslimin masih menjalankan shalat dengan kiblat Baitul Maqdis di Jerusalem; saat itu Rasulullah saw sedang menjadi imam sholat ashar yang diikuti para shahabat di Mesjid itu ketika turun wahyu Al-Baqoroh 144 yang memerintahkan perubahan kiblat dari Masjidil Aqsha ke Ka’bah  Masjidil-Haram. Pada saat itu juga Rasulullah saw berputar mengubah arah kiblat sehingga segenap jamaah shalat-pun berputar mengikuti arah perubahan kiblat tsb. Dengan demikian jama’ah shalat ashar itu mengalami dua kiblat (Qiblatain). Ini merupakan peristiwa luar biasa dan bersejarah. Inilah yang kemudian menjadikan Masjid Bani Salamah itu terkenal dengan sebutan Masjid Qiblatain berfungsi pula sebagai Monumen Qiblatain.

Masjidil Haram

Sejauh ini klaim kalangan Islam bahwa Ka’bah dan Masjidil Haram dibangun oleh Nabi Ibrahim dan putranya Nabi Ismail lebih bersifat spiritual yang menggambarkan benang merah antara generasi pertama agama  monotheisme dan generasi akhir. Bukti-bukti arkeologis mengenai hal ini kurang mendukung, namun bukti-bukti spiritual dan narasi mitologis dari sumber-sumber subyektif kitabiyah menjadi bagian dari mistisisme monotheisme yang sustainable. Ini penting untuk legitimasi Islam dalam persaingan dengan agama-agama monotheisme-Semit yang datang lebih dahulu, yaitu agama Yahudi dan agama Nasrani. Sejauh ini para sejarawan, antropolog dan arkeolog modern tidak memiliki bukti-bukti empirik yang mendukung arche Ibrahim dan Ismail di lembah Bakkah ini. Tetapi semua pihak menghormati keyakinan religius Islam mengenai hal ini yang bersifat situs teofani dan bukan sebagai situs arkeologis. Jika klaim Islam dibandingkan dengan waktu kehidupan Ibrahim dianggap memiliki relevansi, maka diperkirakan Ka’bah Masjidil-Haram dibangun pada abad ke-25 SM. Tetapi bukti-bukti keberadaan bangsa Arab kuno baru tercatat dalam sejarah modern pada sekitar abad ke-11 SM.

Namun Antropolog Islam Ahmad Shalaby (1991) menyebutkan pada  sekitar abad 25 SM, yakni saat Ibrahim dan keluarganya tiba di tanah Kana’an, dikawasan itu telah berdiam suatu rumpun bangsa yang disebutnya sebagai “Kabilah Kana’an” yang berdasarkan entitas budaya dan letak geografisnya dikelompokkan ke dalam bangsa Arab. Ahmad Shalaby juga memasukkan bangsa Yebus yang berperadaban tinggi dan menguasai Jerusalem ke dalam rumpun bangsa Arab. Ini berbeda dengan logika sejarah Semit yang dikembangkan selama ini dimana datuk bangsa Arab adalah Ismail putera Ibrahiem dari ibu Siti Hajar (orang Mesir). Sementara datuk bangsa Israel adalah Ishak putra Ibrahim dari ibu Siti Sarah (orang Khaldea). Dengan fakta ini maka keberadaan bangsa Arab tidak berpangkal sepenuhnya pada ras Semit Ibrahim-Ismail, melainkan berdasarkan proses evolusi entitas sosial budaya dan letak geografis. Jadi terdapat fakta histories-antropologis, bahwa bangsa Arab sudah mapan di bumi Kana’an jauh sebelum kedatangan Ibrahim di Kana’an, dan jelas bukan merupakan keturunan Ibrahiem yang berasal dari Aur-Khaldan, Mesopotamia.

Tentang ras keturunan Ismail, disebutkan adanya ras Arab istimewa yang disebut “Arab Muta’ribah”  yang bersumber dari keturunan Ismail dengan putri Jurhum penguasa Mekah pada sekitar abad ke 25 SM. Artinya sebelum kedatangan Ibrahim-Ismail di Mekah sudah berdiri peradaban yang berpuncak pada dinasti Jurhum itu, bukan kawasan kosong tak bertuan seperti mitos selama ini. Ras Arab Musta’ribah itulah yang kemudian menjadi ras utama para pemuka dan pejuang Islam seperti suku Qurasiy yang didalamnya terdapat Nabi Muhammad saw dan generasi awal pemimpin Islam yang  berdarah Semit. 

Ismail adalah putra Ibrahim dari istri kedua Siti Hajar gadis Mesir yang dihadiahkan Fir’aun Futiphar Al-Amalik kepada Ibrahim sebagai maskawin pernikahan Fir’aun dengan Sarah yang kemudian gagal. Sumber-sumber Bibel tidak pernah menyebut adanya perjalanan Ibrahim dan Ismail ke lembah Bakkah (Mekah). Tapi sumber-sumber Islam secara fulgar mengungkapkan hal itu dan merupakan bagian dari system spiritual Islam yang penting. Keberadaan Hajar dan Ismail yang semata-mata  spiritualistik tidak diabadikan dalam obyektif-historis, melainkan dalam bentuk ritus dan mitos hajji yang memang merupakan wilayah mistis yang tidak perlu dirasionalkan. Demikian pula keberadaan Ibrahim dan Ismail di lembah Bakkah diabadikan dalam bentuk ritus ‘Iedul Qurban’.

Agama monotheisme dan khususnya yang terakhir agama Islam memang bukan seperangkat fakta-fakta empirik dan akurasi fakta sejarah, melainkan merupakan system spiritual dari perpaduan mitos dan logos yang membangun fantasi, mistik, rasionalitas dan ritualitas. Bahkan dari sejak sejarah Ibrahim hingga Muhammad dan sesudahnya agama monotheisme  tidak sepi dari  berbagai kompromi tradisi sinkretisme dengan alasan-alasan rasional-kultural.  Itulah a.l yang menjadikan Islam memiliki kemampuan membentuk dunia pra-modernis yang sukses selama 1000 th. Namun di masa modern ini, semakin terasa ketertinggalan agama-agama monotheis dalam proses rasionalitas sikap moral dan social behaviour-nya yang dirasa perlu adanya tajdid (pembaharuan). Sekian, terima kasih, birrahmatillahi wa bi’aunihi fi sablilih,

Wassalamu’alaikum War. Wab.

Jakarta, 1 Desember 2006,
Pengasuh,


KH. AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front Persatuan Nasional


Tidak ada komentar:

Posting Komentar