7.7.17

Pengajian Kesembilanbelas, 29 Oktober 2004

 Pengajian Kesembilanbelas, 29 Oktober 2004
Aif laam miem. Dzaalikal-kitaabu la roeba fih, hudanllilmuttaqien,
(bagian ke I)

Assalamu’alaikum War. Wab.
“Dzalikal-Kitaabu, laa roeba fiih, hudanllil-muttaqien” : “Inilah Kitab (Qur’an) yang tiada keraguan didalamnya, petunjuk bagi mereka yang bertaqwa” (Al-Baqoroh : 2).
Pada pengajian kedelapanbelas, 22 Oktober 2004 yang lalu, kita telah mengkhatamkan kajian hikmah Al-Fatehah, yang kita tempuh selama 4 bulan selama Juni-Oktober 2004, dalam 18 serial majelis pengajian. Syukur alhamdulillah.
Ini merupakan awal kajian hikmah Surat Al-Baqoroh. Seperti tradisi selama ini, kita membahas secara eklektik dengan kebebasan ijtihad dan pemikiran untuk mencapai hakekat dan emansipasi yang tertinggi..

Berdasarkan firman.
Perbedaan pokok antara agama-agama samawi dan agama-agama ardhi termasuk filsafat terletak pada prinsip perubahan, dimana agama samawi mendasarkan pada firman, sedangkan agama ardhi termasuk filsafat mendasarkan pada perubahan semesta alam. “Dzalikal-kitaab” maknanya adalah “kumpulan Firman”, yang menjadi landasan untuk beribadah dan berperilaku. Oleh sebab itu untuk mencapai hakekat kebenaran tidak diperlukan meditasi, melainkan diperlukan ketaqwaan, yakni konsistensi dalam pelaksanaan Firman. Semakin tinggi tingkat konsistensi, semakin tinggi pula tingkat ketaqwaan, sehingga disebut Muttaqien.
Ajaran agama samawi tidak bersumber pada pengalaman spiritual seorang suci atau seorang bijak seperti Sidharta Gautama atau Khonghucu, melainkan bersumber pada Firman yang disampaikan melalui para Nabi suci. Sunnah dalam Islam yang bersumber pada ucapan dan perilaku Rasulullah SAW pada dasarnya merupakan sample implementasi Firman Allah dalam realitas kehidupan. Oleh karena itu disebutkan dengan “Uswatun Khasanah”, suri tauladan yang terbaik dari pengamalan Al-Qur’anul-Kariem, Kitab dengan kebenaran mutlak.
Para penganut agama samawi meskipun memiliki beberapa tafsir yang berbeda, pada dasarnya memiliki United of Books (kesamaan kitab) dan United of History (kesamaan sejarah) serta United of God (kesamaan Tuhan). Generasi pertama bersumber dari ras yang sama, yaitu keturunan Ibrahim a.s. atau Abraham menurut versi Perjanjian Lama. Pertentangan yang timbul diantara penganut agama samawi lebih bersifat duniawi dan fanatisme primordial. Inti ajaran samawi adalah monotheisme yang dianut baik oleh Yahudi, Kristen maupun Islam dengan personalitas Allah. Bertaqwa artinya mentaati Firman Allah dalam dimensi logika dan transcendental. Bertaqwa secara psikologis artinya mengoptimalkan fungsi transenden sebagai organ jiwa yang membuat manusia mengenal hakekat kasih sayang. Menjadi Muttaqien artinya rela sepenuhnya mengikuti Firman Allah dalam seluruh sikap mental dan perilaku.
Firman dari Allah diwahyukan melalui seorang utusan suci yang sudah dipersiapkan sejak masa kanak-kanak. Wahyu itu diterima utusan suci atau nabi suci berupa pengertian atau serangkaian kalimat suci yang muncul melalui fungsi transenden dan mendominasi seluruh proses psikologis, kognitif dan konatif, sehingga  nabi suci tersebut semata-mata hanya berfungsi sebagai alat Allah untuk memberikan petunjuk dan membimbing ummat manusia di jalan muttaqien dan tauhid (monotheistis) yang transenden.

Berdasarkan alam

Perkembangan filsafat dan agama-agama ardhi (bumi) didasarkan pada perubahan alam. Harmonisme pada Khonghuchu adalah pemahaman tentang perlunya keselarasan dan keseimbangan antara kedudukan manusia sebagai centrum dengan semesta alam. Kontemplasi dalam Taoisme dan Buddhisme adalah bertujuan mencari hakekat keseimbangan manusia dengan perubahan semesta alam, tujuannya untuk mencapai harmonisme agnostic. Proses psikologis melalui meditasi dan penggunaan logika untuk menemukan inti kebenaran inderawi menjadi tujuan puncaknya. Tidak ada dimensi transenden dalam agama bumi dan filsafat, seperti yang sudah sering kita bahas sebelumnya. Puncak proses psikologis yang mereka tempuh adalah suatu keadaan konstan yang hakiki yang tidak berubah lagi yang disebut kalangan Buddhis dan Hindu sebagai Nirbana atau Yang Penghabisan. Tao menyebutnya dengan Kekosongan Abadi. Khonghucu menyebut puncak pencapaian inderawinya dengan istilah ‘Te” yaitu kebajikan dan kekuatan moral yang mendasarkan pada harmonisme-kosmik. Meskipun sama-sama bersumber dari fungsi transenden dalam proses psikologis, berdasarkan basis spiritualnya agama ardhi dan filsafat tidak mencapai realitas transenden seperti dalam agama-agama samawi. Nirbana dan Harmonisme masih berada dalam tataran inderawi-duniawi atau masih berada dalam lingkup agostisisme tanpa adanya kehidupan akherat.

Perubahan sosial berdasarkan Firman
Ketertindasan kaum yahudi yang dianggap budak di Mesir sekitar abad ke 15 SM menumbuhkan kepercayaan Mesiah, akan datangnya juruselamat dari Allah Tuhan mereka yang akan membebaskan mereka dari kekejaman Fir’aun.. Dikalangan yahudi beredar ramalan bakal lahirnya bayi laki-laki yang akan diutus Allah menjadi sang penyelamat. Reaksi Fir’aun ialah memerintahkan pembunuhan terhadap setiap bayi laki-laki yahudi yang lahir pada masa itu.
Adalah Yukabad seorang ibu keluarga yahudi yang secara bersembunyi dalam kamar yang sempit dirumahnya melahirkan bayi laki-laki. Yukabad yang beriman, menerima ilham dari Allah agar menghanyutkan bayi laki-lakinya ke Sungai Nil. Allah berjanji akan mengembalikan bayinya kelak. Meskipun bersedih Yukabad mempercayai sepenuhnya janji Allah. Yukabad yang penuh kasih kepada bayinya itu menyuruh anak perempuannya untuk terus mengamati adik bayinya yang terapung di Sungai Nil, seraya terus berdo’a. Ternyata bayi itu mengikuti aliran yang berbelok kearah istana Fir’aun, dan ditemukan oleh permaisuri Fir’aun yang demikian bahagia mendapatkan bayi laki-laki sehat dan rupawan yang memang didambakan. Dengan bujuk rayunya Fir’aun berkenan mengangkat bayi laki-laki itu sebagai anak angkatnya dan diberi nama Pangeran Musa. Yukabad yang mengetahui nasib anaknya itu hanya bisa bersyukur kepada Allah.  Tapi permaisuri tak menemukan ibu susu yang cocok dengan bayi Musa, hingga kakak perempuan Musa yang menyamar berhasil membawa Yukabad ibu kandung Musa yang disamarkan ke Istana untuk menjadi ibu susu bayi Musa. Inilah janji Allah yang akan mengembalikan bayinya kepada ibundanya. Setelah dewasa Musa adalah Pangeran Kerajaan Mesir yang agung yang gagah perkasa dan berperang untuk kebesaran kerajaan Mesir. Tetapi sebuah insiden telah membuatnya tidak sengaja membunuh orang Mesir yang tengah terlibat  perkelahian dengan orang yahudi. Kasus ini membuat Musa melarikan diri dari negeri Mesir ke negeri Madyan sebelah selatan Palestina. Ditempat itulah Musa bertemu Nabi Syuaib a.s, dan menjadi menantunya. Dari mertuanya Syuaib a.s, Musa banyak belajar tentang Firman Allah dalam risalah-risalah suci yang harus disampaikan kepada ummat. Setelah delapan tahun di Madyan, Musa kembali ke Mesir disertai istrinya. Diperjalanan mereka beristirahat di bukit Sinai. Ditempat itulah Musa melihat api suci yang berkobar anggun, dan Musa mendengar langsung Firman Allah kepadanya :”Wahai Musa Aku adalah Tuhanmu. Tanggalkanlah alas kaki-mu, engkau berada dilembah suci Thuwa.” Dengan gemetar Musa menjawab :”Ya Allah aku mendengar suara-Mu”. Selanjutnya Allah berfirman : Aku telah memilihmu, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan kepadamu. Sesungguhnya aku adalah Allah, tiada Tuhan selain Aku. Sembahlah Aku dan dirikanlah sholat untuk mengingat-Ku”. Musa tersungkur bersujud lemas. Ia telah diangkat menjadi Rasulullah dan telah menerima wahyu Taurat yang pertama. Lebih lanjut Firman Allah : “Temuilah Fir’aun. Sesungguhnya ia telah melampaui batas”.
Musa adalah seorang laki-laki yang perkasa, tinggi tegap dan berotot kuat, tapi tidak pandai berbicara. Menghadapi Fir’aun diperlukan kelincahan dan kecermatan berbicara. Menyadari hal itu Musa mengucapkan do’anya yang terkenal :  “Rabbishrohli shodri wayassirli amri. Wahlul ‘uqdatan billisaani yafqohuu qauli”. “Tuhanku, lapangkanlah dadaku, mudahkanlah urusanku, dan lepaskanlah kekakuan lidahku, agar mereka mengerti perkataanku”.
Selanjutnya untuk mengatasi kelemahan Musa dalam berdiplomasi, Allah mengangkat Harun sepupu Musa, sebagai Nabi yang bertugas mendampingi Musa a.s. Kepada keduanya Allah berfirman : “Jangan kalian berdua takut dan khawatir akan siksa Fir’aun. Aku menyertai kalian”.
Maka pergilah Musa dan Harun kehadapan Fir’aun maharaja Mesir yang besar yang telah menyatakan dirinya sebagai Tuhan. Kepada Fir’aun dengan lugas Musa berkata : “Sesungguhnya engkau bukan tuhan seperti katamu”. Dan tentang bani Israil (kaum yahudi) di Mesir, Musa bersabda kepada Fir’aun : “Bebaskan mereka dari perbudakan, Karena sesungguhnya engkau tidak berhak merampas kemerdekaan mereka”. Fir’aun menjawab dengan mengerahkan para ahli sihir untuk membinasakan Musa dan Harun. Tetapi mukjizat Allah telah menyelamatkan keduanya sekaligus membuka mata dan kesadaran hati para ahli sihir sehingga mereka beriman kepada Allah mengikuti ajaran Musa a.s. Fir’aun murka dan mengancam menyalibkan semua ahli sihir itu, yang dijawab oleh para ahli sihir yang bertaubat itu dengan do’a mereka yang terkenal : “ Rabbanaa afrigh alainaa sabran watawaffanaa muslimin”: “Tuhan kami limpahkanlah kesabaran pada kami dan wafatkanlah kami dalam keadaan muslim”.
Sejarah mencatat bahwa hampir semua para bekas ahli sihir yang bertaubat itu syahid dalam penyiksaan Fir’aun. Allah meridhoi mereka dan sorga menantikan kehadiran mereka.
Fir’aun lebih mengkhawatirkan kejatuhan kerajaannya daripada melihat kebenaran yang dibawa Musa. Atas saran Menteri Haman, Fir’aun merencanakan pembunuhan terhadap semua laki-laki Israil (yahudi), termasuk Musa dan Harun yang merupakan tokoh-tokoh paling berpengaruh saat itu. Tetapi mereka menghadapi kenyataan datangnya bencana yang dahsyat dari Allah, berupa serbuan berbagai binatang seperti kutu busuk, belalang, katak, bahkan darah yang memasuki istana Fir’aun dan rumah-rumah penduduk Mesir disertai dengan hujan lebat tiada henti yang mengancam keselamatan seluruh negeri. Tidak ada yang berdaya. Rakyat Mesir berbondong-bondong kerumah Musa dan Harun, dan meminta kedua nabi itu agar berdo’a kepada Allah menyelematkan mereka  dari bencana. Mereka berjanji termasuk Fir’aun akan beriman kepada Allah. Musa yang berjiwa pengasih itupun berdo’a kepada Allah, dan bencanapun berhenti, tetapi Fir’aun dan para pendukungnya mengingkari janjinya, mereka kembali kafir dan memusuhi Allah. Bahkan Fir’aun menuduh Musa dan Harun sebagai biang keladi bencana itu, dan terus melancarkan kekejaman-kekejaman terhadap kaum yahudi.
Akhirnya di satu malam yang gelap, bani Israil dibawah pimpinan Musa dan Harun mengambil keputusan meninggalkan Mesir kembali ke Palestina. Jumlah mereka ribuan, beserta ternak dan bawaan mereka masing-masing. Di pagi hari-nya Fir’aun segera melakukan pengejaran disertai pasukan yang kuat. Rombongan eksodus itu terjebak di tepi pantai Laut Merah dalam keadaan panik, sementara pasukan Fir’aun kian mendekat. Pada saat yang kritis itu Allah berfirman kepada Musa a.s, agar Musa memukulkan tongkatnya ke Laut Merah. Maka Laut Merah terbelah membentuk 12 jalan bagi 12 suku bani Israil yang mengikuti Musa. Rombongan 12 suku kaum yahudi itu segera menyeberang jalan mukjizat itu, sementara pasukan Fir’aun mengejar dibelakang. Ketika seluruh rombongan bani Israil itu tiba diseberang, pasukan Fir’aun sudah dekat. Pada saat itu Allah berfirman agar Musa memukulkan kembali tongkatnya ke laut. Maka gemuruhlah air laut menutup kembali dan lenyaplah jalan mukjizat itu beserta pasukan Fir’aun yang tenggelam didalamnya. Pada saat sakaratul maut Fir’aun menyatakan beriman kepada Allah dan Musa sebagai Utusan Allah, tetapi taubat itu terlambat. Sebagai pelajaran bagi ummat manusia jasad Fir’aun tetap utuh dan hingga kini dibalsem di museum Mesir. Sekian bagian ke I, kita lanjutkan bagian ke II pada pengajian berikutnya.
Wassalamu’alaikum War, Wab.
Pengasuh,


HAJI AGUS MIFTACH.
Keua Umum Front Persatuan Nasional



Tidak ada komentar:

Posting Komentar