7.7.17

Pengajian Keduapuluh,-TWU


Pengajian Keduapuluh,
Dzalikalkitaabu la roeba fihm hudanlilmuttaqien,
(Bagian Ke II)

Assalamu’alaikum War. Wab.

Dzalikalkitaabu la roeba fih, hudanlilmuttaqien :”Inilah Kitab (Qur’an) yang tiada keraguan didalamnya, petunjuk bagi mereka yang bertaqwa” (Al-Baqoroh : 2).

Ini merupakan bagian ke II dari penggalian hikmah ayat kedua surah Al-Baqoroh. Pada bagian ke I kita telah mengangkat kisah Nabi Musa yang berjuang untuk membebaskan Kaum Yahudi atau Bani Israel dari kekejaman politik ras-diskriminasi yang dijalankan Raja Fir’aun di Mesir yang berakhir dengan eksodus Bani Israel meninggalkan Mesir sesuai dengan Firman Allah kepada Musa a.s.

Kita masih akan melanjutkan pembahasan mengenai hal itu, tetap dengan pendekatan eklektik agar memperoleh berbagai perspektif secara komprehensif.

Nasionalisme Arab Mesir


Fir’aun adalah Maharaja Arab Mesir yang merupakan puncak-puncak peradaban Mesir purba. Mesir adalah bentuk peradaban yang bersumber dari zaman mitologi yang telah berlangsung ribuan tahun sebelumnya, dan telah berurat akar dalam kebudayaan masyarakat Mesir. Dewa-dewa atau berhala-berhala yang disembah, termasuk Fir’aun sendiri mewakili satu peradaban dimana manusia dikuasai oleh mite-mite dan berada dibawah pengaruh magis perubahan alam.

Masa sekitar abad ke 15 SM adalah masa kejenuhan peradaban mitologis dimana manusia mulai tidak puas dengan spirit mitologis yang tidak sesuai dengan akal pikiran. Tetapi perkembangan ini bergerak lamban, baru pada sekitar abad 6-5 SM di Yunani bangkit para pemikir, para filsuf yang mencoba menggunakan akal pikirannya, diantaranya yang termasyhur adalah Thales, Xenophanes, Anaximandros, Pytagoras, Herakleitos, Socrates dan Plato. Sementara itu di daratan Tiongkok muncul filsuf besar Khonghucu , Laotzu, Mengzi, Hsun-tzu, Mo-tzu dll;  di India muncul Buddha Gautama dsb.

Semua itu menggambarkan dinamika baru perubahan dunia pada masa itu yang menandai perlawanan akal pikiran terhadap kekuasaan mitologis yang dianggap sudah dekaden dan tidak berdaya menciptakan energi kemajuan zaman.

Di Mesir pada masa sekitar abad ke 15 SM dikuasai oleh kekuatan religi tradisional yang berpusat pada Fir’aun yang sekaligus merupakan simbol nasionalisme Arab Mesir.

Nasionalisme dalam pengertian modern belum ada. Yang dimaksud nasionalisme disini ialah kesatuan adat dan budaya yang bersumber dari spirit dan ajaran agama tradisional berupa religi penyembahan berhala dan Fir’aun dengan semua ritualitasnya, yang mempengaruhi perilaku dan sikap mental bangsa Mesir.

Disamping pribumi di Mesir terdapat ras keturunan asing Yahudi yang sudah berada di Mesir sejak ratusan tahun sebelumnya. Untuk mencegah agar ras Yahudi tidak merebut kekuasaan di Mesir, maka rejim Fir’aun menjalankan politik apartheid atau ras-diskriminasi dan menempatkan ras Yahudi sebagai kasta budak yang inferior dan tertindas. Kedzaliman, kekejaman dan ketidakadilan sosial  atas nama apapun termasuk nasionalisme memang tidak dapat dibenarkan, dan akan berakhir dengan kehancuran.

Energi perubahan.

Ketidakmampuan Bani Israil memberikan perlawanan secara fisik kepada Fir’aun, dan tidak adanya ruang untuk menggugat kedzaliman itu, membuat kalangan elite Yahudi di Mesir melakukan regresi bermotif yaitu refundamentalisasi nilai-nilai ketauhidan yang diajarkan nenek moyang mereka, Ibrahim, Ishak dan Ya’qub (Israil).

Bahwa sesungguhnya Tuhan bagi Kaum Yahudi hanyalah Allah, dan hanya Allah-lah yang dapat membebaskan mereka. Maka mereka kembali ke konstitusi psyche yang asasi itu dan dibangunlah kembali spirit intrinsik itu sedemikian rupa, sehingga akhirnya semua Yahudi di Mesir percaya akan datangnya “Mesiah” atau juru selamat yang bakal membebaskan mereka dari kedzaliman Fir’aun. Itu merupakan fase perlawanan spiritual Yahudi terhadap rejim tradisional Fir’aun.

Do’a dan perjuangan spiritual para pemimpin Yahudi didengar Allah Yang Rahman dan Rahiem, maka diutuslah seorang Rasul diantara mereka, yaitu Musa a.s. untuk memimpin proses pembebasan itu, dan memberikan tatanan sosial keagamaan dengan Kitab Taurat. Maka ciri terpenting dari perubahan yang bersifat Tauhidiyah adalah berpijak pada firman. Energi perubahan itu bersumber pada Firman Allah, bukan ideologi sosial, termasuk ideologi nasionalisme. Ketauhidan jauh lebih hakiki dan lebih tinggi dari semua ideologi sosial, termasuk ideologi tentang state-system. Keyakinan tentang kepastian kebenaran Firman Allah merupakan energi tunggal dalam perubahan sosial Tauhidiyah : “Dzalikal kitaabu la roeba fih, hudanlilmuttaqien” : Inilah Kitab yang tidada keraguan didalamnya, dan menjadi petunjuk bagi mereka yang bertakwa” (QS II:2).

Tetapi revolusi yang dilancarkan Musa adalah revolusi pembebasan. Disana tidak ada pemberontakan dan perebutan kekuasaan. Musa dan Harun dan para pemimpin Yahudi tidak menggulingkan tahta Fir’aun dan merebut kekuasaan tradisional negeri yang besar itu serta membangun tahta Yahudi diatas singgasana Fir’aun. Mereka hanya meninggalkan Mesir untuk melakukan pembebasan diri dari kedzaliman ras-diskriminasi peradaban mitologis penyembahan berhala itu, dan Musa menjadikan momentum itu untuk membawa Bani Israil kembali kepada Tauhid, refundamentalisasi monotheisme.

Landasan perubahan sosial ini hingga eksodus mereka ke Yerussalem adalah Firman. Firman Allah telah menempatkan manusia diatas otoritas kosmik. Menyatunya manusia dengan Allah, telah menempatkan derajad manusia diatas derajad kosmik. Ruh manusia yang transenden memiliki energi untuk abadi, sedangkan semesta alam yang agnostic akan sirna dalam kefanaan sesuai dengan hukum ruang dan waktu. Bahkan secara pasti Kitab Allah menerangkan tentang Hari Kiamat, yaitu hari berakhirnya peradaban kosmik atau Big Bang kedua kelak. Sementara Ruh manusia adalah bagian dari Zat Allah yang akan kembali dalam keabadian nirjasadi yang transenden, yaitu kehidupan sesudah mati atau alam akherat, yang tidak dikenal dalam agama tradisional Mesir dan agama-agama bumi pada umumnya.

Spirit transenden itulah yang memberikan kemenangan Musa atas Fir’aun, kemenangan iman atas nafsu, kemenangan transenden atas kefanaan kemenangan Tauhid atas thoghut : “Wa laqod ba’atsna fi kulli ummatin rosuulan, ani’budulloha, wajtanibutthoghuut “: “ Dan sesungguhnya kami telah mengutus rosul bagi setiap ummat (untuk menyerukan) :”Beribadahlah kepada Allah semata, dan jauhilah thoghut” (An-Nahl : 36).

Tantangan kebudayaan


Tapi perjalanan perubahan sosial berdasarkan firman tidak semulus mukjizat yang sifatnya emergency treatment. Diperlukan proses sosiologis dan psikologis yang bersifat ekstra organis dan intra organis. Tantangan kebudayaan thoghut yang sudah berurat akar di masyarakat Mesir telah banyak menimbulkan pengaruh sosiologis dan psikologis bagi kalangan Bani Israil.

Diantara mereka sebagian besar telah ikut serta dalam budaya dan tradisi penyembahan berhala agama Mesir purba, yang mempengaruhi nilai-nilai kesadaran dan ketidaksadaran mereka, baik individu maupun kolektif. Budaya dan peradaban penyembahan berhala betapapun telah membentuk habit dan disposisi psikologis yang mempengaruhi psyche, dalam banyak kasus bahkan mengubah konstitusi jiwa orang-orang Yahudi kepada bentuk kemusyrikan yang inheren dalam spirit intrinsik yang aslinya berbentuk Tauhid.

Perjalanan Musa dengan Bani Israil-nya akan kita lanjutkan pada bagian ke III Pengajian Keduapuluhsatu mendatang. Sekian.

Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi Sabilih,
Wassalamu’alaikum War. Wab.
Jakarta, 3 Desember 2004
Pengasuh,
KH AGUS MIFTACH.
Ketua Umum Front Persatuan Nasional







Tidak ada komentar:

Posting Komentar