Pengajian
Keduapuluh,
Dzalikalkitaabu
la roeba fihm hudanlilmuttaqien,
(Bagian
Ke II)
Assalamu’alaikum
War. Wab.
Dzalikalkitaabu
la roeba fih, hudanlilmuttaqien :”Inilah Kitab (Qur’an) yang tiada keraguan
didalamnya, petunjuk bagi mereka yang bertaqwa” (Al-Baqoroh : 2).
Ini merupakan
bagian ke II dari penggalian hikmah ayat kedua surah Al-Baqoroh. Pada bagian ke
I kita telah mengangkat kisah Nabi Musa yang berjuang untuk membebaskan Kaum
Yahudi atau Bani Israel dari kekejaman politik ras-diskriminasi yang dijalankan
Raja Fir’aun di Mesir yang berakhir dengan eksodus Bani Israel meninggalkan
Mesir sesuai dengan Firman Allah kepada Musa a.s.
Kita masih
akan melanjutkan pembahasan mengenai hal itu, tetap dengan pendekatan eklektik
agar memperoleh berbagai perspektif secara komprehensif.
Nasionalisme
Arab Mesir
Fir’aun
adalah Maharaja Arab Mesir yang merupakan puncak-puncak peradaban Mesir purba.
Mesir adalah bentuk peradaban yang bersumber dari zaman mitologi yang telah
berlangsung ribuan tahun sebelumnya, dan telah berurat akar dalam kebudayaan
masyarakat Mesir. Dewa-dewa atau berhala-berhala yang disembah, termasuk
Fir’aun sendiri mewakili satu peradaban dimana manusia dikuasai oleh mite-mite
dan berada dibawah pengaruh magis perubahan alam.
Masa sekitar
abad ke 15 SM adalah masa kejenuhan peradaban mitologis dimana manusia mulai
tidak puas dengan spirit mitologis yang tidak sesuai dengan akal pikiran.
Tetapi perkembangan ini bergerak lamban, baru pada sekitar abad 6-5 SM di
Yunani bangkit para pemikir, para filsuf yang mencoba menggunakan akal
pikirannya, diantaranya yang termasyhur adalah Thales, Xenophanes,
Anaximandros, Pytagoras, Herakleitos, Socrates dan Plato. Sementara
itu di daratan Tiongkok muncul filsuf besar Khonghucu , Laotzu, Mengzi, Hsun-tzu,
Mo-tzu dll; di India muncul Buddha
Gautama dsb.
Semua itu
menggambarkan dinamika baru perubahan dunia pada masa itu yang menandai
perlawanan akal pikiran terhadap kekuasaan mitologis yang dianggap sudah
dekaden dan tidak berdaya menciptakan energi kemajuan zaman.
Di Mesir pada
masa sekitar abad ke 15 SM dikuasai oleh kekuatan religi tradisional yang
berpusat pada Fir’aun yang sekaligus merupakan simbol nasionalisme Arab Mesir.
Nasionalisme
dalam pengertian modern belum ada. Yang dimaksud nasionalisme disini ialah
kesatuan adat dan budaya yang bersumber dari spirit dan ajaran agama
tradisional berupa religi penyembahan berhala dan Fir’aun dengan semua
ritualitasnya, yang mempengaruhi perilaku dan sikap mental bangsa Mesir.
Disamping
pribumi di Mesir terdapat ras keturunan asing Yahudi yang sudah berada di Mesir
sejak ratusan tahun sebelumnya. Untuk mencegah agar ras Yahudi tidak merebut
kekuasaan di Mesir, maka rejim Fir’aun menjalankan politik apartheid atau
ras-diskriminasi dan menempatkan ras Yahudi sebagai kasta budak yang inferior
dan tertindas. Kedzaliman, kekejaman dan ketidakadilan sosial atas nama apapun termasuk nasionalisme memang
tidak dapat dibenarkan, dan akan berakhir dengan kehancuran.
Energi
perubahan.
Ketidakmampuan
Bani Israil memberikan perlawanan secara fisik kepada Fir’aun, dan tidak adanya
ruang untuk menggugat kedzaliman itu, membuat kalangan elite Yahudi di Mesir
melakukan regresi bermotif yaitu refundamentalisasi nilai-nilai ketauhidan yang
diajarkan nenek moyang mereka, Ibrahim, Ishak dan Ya’qub (Israil).
Bahwa
sesungguhnya Tuhan bagi Kaum Yahudi hanyalah Allah, dan hanya Allah-lah yang
dapat membebaskan mereka. Maka mereka kembali ke konstitusi psyche yang
asasi itu dan dibangunlah kembali spirit intrinsik itu sedemikian rupa,
sehingga akhirnya semua Yahudi di Mesir percaya akan datangnya “Mesiah”
atau juru selamat yang bakal membebaskan mereka dari kedzaliman Fir’aun. Itu
merupakan fase perlawanan spiritual Yahudi terhadap rejim tradisional Fir’aun.
Do’a dan
perjuangan spiritual para pemimpin Yahudi didengar Allah Yang Rahman dan
Rahiem, maka diutuslah seorang Rasul diantara mereka, yaitu Musa a.s. untuk
memimpin proses pembebasan itu, dan memberikan tatanan sosial keagamaan dengan
Kitab Taurat. Maka ciri terpenting dari perubahan yang bersifat Tauhidiyah
adalah berpijak pada firman. Energi perubahan itu bersumber pada Firman Allah,
bukan ideologi sosial, termasuk ideologi nasionalisme. Ketauhidan jauh lebih
hakiki dan lebih tinggi dari semua ideologi sosial, termasuk ideologi tentang state-system.
Keyakinan tentang kepastian kebenaran Firman Allah merupakan energi tunggal
dalam perubahan sosial Tauhidiyah : “Dzalikal kitaabu la roeba fih,
hudanlilmuttaqien” : Inilah Kitab yang tidada keraguan didalamnya, dan menjadi
petunjuk bagi mereka yang bertakwa” (QS II:2).
Tetapi
revolusi yang dilancarkan Musa adalah revolusi pembebasan. Disana tidak ada
pemberontakan dan perebutan kekuasaan. Musa dan Harun dan para pemimpin Yahudi
tidak menggulingkan tahta Fir’aun dan merebut kekuasaan tradisional negeri yang
besar itu serta membangun tahta Yahudi diatas singgasana Fir’aun. Mereka hanya
meninggalkan Mesir untuk melakukan pembebasan diri dari kedzaliman
ras-diskriminasi peradaban mitologis penyembahan berhala itu, dan Musa
menjadikan momentum itu untuk membawa Bani Israil kembali kepada Tauhid,
refundamentalisasi monotheisme.
Landasan
perubahan sosial ini hingga eksodus mereka ke Yerussalem adalah Firman. Firman
Allah telah menempatkan manusia diatas otoritas kosmik. Menyatunya manusia
dengan Allah, telah menempatkan derajad manusia diatas derajad kosmik. Ruh
manusia yang transenden memiliki energi untuk abadi, sedangkan semesta alam
yang agnostic akan sirna dalam kefanaan sesuai dengan hukum ruang dan waktu.
Bahkan secara pasti Kitab Allah menerangkan tentang Hari Kiamat, yaitu hari
berakhirnya peradaban kosmik atau Big Bang kedua kelak. Sementara Ruh manusia
adalah bagian dari Zat Allah yang akan kembali dalam keabadian nirjasadi yang
transenden, yaitu kehidupan sesudah mati atau alam akherat, yang tidak dikenal
dalam agama tradisional Mesir dan agama-agama bumi pada umumnya.
Spirit
transenden itulah yang memberikan kemenangan Musa atas Fir’aun, kemenangan iman
atas nafsu, kemenangan transenden atas kefanaan kemenangan Tauhid atas thoghut
: “Wa laqod ba’atsna fi kulli ummatin rosuulan, ani’budulloha,
wajtanibutthoghuut “: “ Dan sesungguhnya kami telah mengutus rosul bagi setiap
ummat (untuk menyerukan) :”Beribadahlah kepada Allah semata, dan jauhilah thoghut”
(An-Nahl : 36).
Tantangan
kebudayaan
Tapi
perjalanan perubahan sosial berdasarkan firman tidak semulus mukjizat yang
sifatnya emergency treatment. Diperlukan proses sosiologis dan
psikologis yang bersifat ekstra organis dan intra organis. Tantangan kebudayaan
thoghut yang sudah berurat akar di masyarakat Mesir telah banyak
menimbulkan pengaruh sosiologis dan psikologis bagi kalangan Bani Israil.
Diantara
mereka sebagian besar telah ikut serta dalam budaya dan tradisi penyembahan
berhala agama Mesir purba, yang mempengaruhi nilai-nilai kesadaran dan
ketidaksadaran mereka, baik individu maupun kolektif. Budaya dan peradaban
penyembahan berhala betapapun telah membentuk habit dan disposisi
psikologis yang mempengaruhi psyche, dalam banyak kasus bahkan mengubah
konstitusi jiwa orang-orang Yahudi kepada bentuk kemusyrikan yang inheren dalam
spirit intrinsik yang aslinya berbentuk Tauhid.
Perjalanan
Musa dengan Bani Israil-nya akan kita lanjutkan pada bagian ke III Pengajian
Keduapuluhsatu mendatang. Sekian.
Birrahmatillahi
Wabi’aunihi fi Sabilih,
Wassalamu’alaikum
War. Wab.
Jakarta, 3
Desember 2004
Pengasuh,
KH AGUS
MIFTACH.
Ketua Umum
Front Persatuan Nasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar