Pengajian Keduapuluh Satu,
Dzalikal-kitabuu la roeba fieh, hudan-lil-muttaqien,
(Bagian ke III).
Assalamu’alaikum War. Wab.
“Dzalikal-kitabuu la roeba fieh,
hudan-lil-muttaqien “: “Inilah Kitab (Qur’an) yang tiada keraguan didalamnya,
petunjuk bagi mereka yang bertaqwa” (Al-Baqoroh : 2).
Kita telah membahas
hikmah ayat ini pada dua bagian terdahulu, dan terus kita lanjutkan secara
eklektik pada bagian ketiga ini.
Sublimasi.
Istilah sublimasi
disini didasarkan pada term-psikoanalitis yang bermakna “transferabilitas
progresif dari suatu keadaan dengan diferensiasi yang rendah kepada suatu
keadaan dengan diferensiasi yang lebih tinggi, yang berkaitan dengan budaya
manusia” (Carl Gustav
Jung, 1875-1959).
Berdasarkan catatan
historiografis, bahwa peradaban dunia sejak 30 abad Sebelum Masehi didominasi
oleh faham Cenayangisme atau ilmu sihir, animisme, panteisme dan politeisme
yang berintikan kepada budaya mitologis atau takhayul dan penyembahan kepada
unsur-unsur kekuatan alam seperti hantu, arwah, benda-benda dan dewa-dewa, yang
kesemuanya merupakan tahap tahap peradaban spiritual manusia (Marcus AS, 2002).
Periode ini saya namakan sebagai peradaban
mitologis.
Mesir Fir’aun 15
abad Sebelum Masehi merupakan puncak peradaban mitologis dunia pada waktu itu.
Kerajaan Mesir yang tumbuh di delta Sungai Nil yang subur, tidak diragukan
merupakan peradaban agraris yang terbesar dan termaju didunia waktu itu. Rejim
mitologis Mesir tentu terkait dengan Sungai Nil yang menjadi sumber kehidupan
ekonomi mereka. Pada dasarnya bangsa Mesir waktu itu menyembah Sungai Nil
melalui berbagai kisah takhayul yang membentuk dewa-dewa Nil, yang pada
perkembangannya kemudian membentuk religi dan ritual peribadatan. Mereka
percaya tuhan bersemayam didalam Sungai Nil. Aliran Sungai Nil yang menciptakan
kesuburan dianggap sebagai nafas tuhan yang menghidupi seluruh bangsa Mesir.
Inilah akar kebudayaan dan peradabaan Mesir Fir’aun. Harus diakui dari dasar
kepercayaan mitologis ini lahir kebudayaan agraris Mesir yang tinggi, yang pada
zamannya bahkan merupakan pucak peradaban dunia.
Delta yang subur, dewa-dewa berhala,
kitab-kitab mitologis, pendeta-pendeta magis dan ahli-ahli sihir, kuil-kuil
berhala, istana Fir’aun dengan segala kebesaran dan keagungannya menurut
pandangan mereka, adalah kekayaan peradaban Mesir. Nation-State berdiri diatas semua landasan itu, dan semua identitas
mitologis itu merupakan kekuatan nasionalisme tradisional Mesir. Politik
perbudakan yang merupakan ras-diskriminasi diterapkan untuk melindungi
nasionalisme Mesir purba terhadap kemungkinan pengambilalihan kerajaan oleh
etnis Yahudi yang merupakan lapis ekonomi strategis. Pada dasarnya apa yang
terjadi di Mesir dan apa yang dilakukan Fir’aun terhadap etnis Yahudi adalah
keniscayaan kebudayaan manusia.
Allah Ta’alaa mengutus Musa a.s. ke
Mesir, pada dasarnya untuk memberikan stimulus bagi terciptanya sublimasi
kebudayaan manusia dari penyembahan alam kepada penyembahan Tuhan yang
sebenarnya. Meskipun secara eksplisit Musa a.s, diutus untuk ummat Yahudi (Bani
Israil), pada dasarnya Nabi Musa a.s memberi peringatan dan pelajaran kepada
umat manusia tentang hakekat Tuhan. Kerasulan Musa merupakan periode penting
dalam meletakkan dasar-dasar sublimasi budaya manusia dari menyembah alam
kepada menyembah Allah Tuhan Pencipta Alam Semesta. Periode Musa merupakan
debut yang penting untuk meletakkan dasar-dasar peradaban agama samawi yang
monotheis. Kisah perjalanan Musa dan Harun memimpin eksodus etnis Yahudi dari
Mesir ke Yerussalem di Palestina memuat pelajaran berharga bagi umat manusia
tentang proses kanalisasi dasar-dasar ketauhidan. Betapa sulitnya
transferabilitas progresif dari nilai-nilai mitologis-politeisme atau
kemusyrikan kepada nilai-nilai ketauhidan. Betapa sulitnya sublimasi budaya
terjadi, dari budaya penyembahan berhala kepada budaya penyembahan Allah.
Betapa sulitnya orang beriman, dari mempercayai ketakhayulan kepada mempercayai
alam akherat. Betapa sulitnya orang beriman kepada Tuhan yang ghoib daripada
berhala-berhala yang bersifat materiil. Inilah hakekat yang diajarkan Musa a.s,
yaitu sublimasi dari fase mitologis kepada transcendental, transferabilitas
dari nilai-nilai penyembahan berhala dan kemusyrikan kepada peribadatan kepada
Allah Rabb Al-Alamien dan nilai-nilai ketauhidan (Al-Qoshosh :3-47).
Apa yang terjadi seandainya Musa tidak
membawa etnis Yahudi keluar dari Mesir?, kemungkinan yang terdekat adalah
perang etnis yang akan dapat
menghancurkan peradaban agraris Mesir yang tinggi, dan kemungkinan akan
membawa kemunduran besar peradaban manusia. Meski hal itu tak terjadi, namun
kekejaman-kekejaman Fir’aun dalam menjalankan politik apartheid-nya telah
melampaui batas dengan menimbulkan perpecahan, penindasan terhadap golongan
Yahudi, bahkan menyembelih anak laki-laki etnis Yahudi. Dari sekedar mempertahankan
supremasi kepentingan pribumi Mesir, akhirnya Fir’aun melakukan kedzaliman dan
merusak peradaban manusia (Al-Qoshosh : 4). Namun Allah tidak memerintahkan
Musa dan Harun untuk membunuh Fir’aun dan mengambilalih kekuasaan Mesir,
melainkan Allah memerintahkan agar Musa memimpin Bani Israil (etnis Yahudi)
meninggalkan Mesir menuju tanah air nenek moyang mereka Yerussalem.
Ditenggelamkannya Fir’aun dan Hamman beserta seluruh pasukannya di Laut Merah
ialah untuk mencegah kedzaliman lebih jauh terhadap Bani Israil (Al-Qoshosh :
40).
Perjalanan
Rohani
Eksodus Bani Israil (Kaum Yahudi) dari
Mesir ke Yerussalem yang dipimpin Musa a.s, sesungguhnya bukan sekedar
melepaskan diri dari kedzaliman apartheid Fir’aun, namun lebih hakiki merupakan
perjalanan rohani yang secara pskologis membentuk proses perubahan budaya atau
sublimasi dalam perspektif psikoanalitis, dari mainstream budaya mitologis
penyembahan berhala kepada Iman Tauhid dan peribadatan kepada Allah
Rabb-Al-Alamien. Namun perubahan dari situasi traumatis kepada pembebasan tidak
serta merta membentuk Gestalt yang
progresif. Banyak diantara orang-orang Yahudi yang kejiwaannya sulit berubah
dan tetap bertahan kepada kepercayaan lama. Kesulitan mereka menangkap makna
transenden dalam ajaran Tauhid Musa a.s, membuat sebagian atau sebagian besar
Bani Israil tidak berhasil melakukan progresi, bahkan terjadi regresi dimana
mereka kembali kepada nilai-nila lama ketika mereka masih di Mesir. Selama 40
th Musa a.s, membawa Kaum Yahudi berputar-putar mengelilingi padang pasir dan
berkali-kali menunda membawa mereka memasuki Yerussalem atau Kana’an dalam
Perjanjian Lama sebagai negeri yang dijanjikan, semata karena belum tercapainya
sublimasi Tauhid dikalangan Yahudi. Setelah generasi pertama yang lahir di
Mesir habis, dan lahir generasi baru dalam perjalanan rohani yang panjang itu,
proses sublimasi Tauhid itu terjadi. Bayi-bayi yang baru lahir dimasa eksodus
tidak lagi mengalami proses kanalisasi berhalaisme seperti para orang tua
mereka ketika di Mesir. Sebaliknya sejak dini mereka mengalami proses
kanalisasi ajaran Musa a.s, sebagai
suatu proses psikologis (Gardner Murphy, 1947) yang menentukan struktur
nilai yang membentuk psyche yang
menjadi landasan sikap mental dan perilaku Tauhid. Generasi inilah yang relatif
berhasil membentuk Gestalt Ketauhidan dalam proses psikologis, meski
tidak terlalu kokoh, tapi cukup memenuhi syarat minimal untuk memasuki tahap
dasar peradaban Tauhid. Mereka inilah yang memasuki Yerussalem atau Kana’an
negeri yang dijanjikan dalam Taurat (Perjanjian Lama). Nabi Besar Musa a.s
sendiri wafat sebelum ummat yang diasuhnya itu memasuki Yerussalem. Namun Allah
telah menjanjikannya dan mengijinkan arwahnya menyaksikan bangsanya memasuki
Yerussalem dengan Iman Tauhid.
Itulah perjuangan Tauhid dari zaman
antara 3500 tahun yang silam, dan senantiasa memberikan pelajaran berharga bagi
umat manusia sepanjang zaman.
Kerasulan Musa a.s mengandung sejumlah
misi besar, yaitu :
-
Tetap
dipertahankannya peradaban ekonomi agraris di Mesir,
-
Mendorong
sublimasi budaya manusia, dari penyembahan berhala kepada penyembahan Allah
Yang Maha Esa, (Al-Qoshosh : 43),
-
Mengajarkan
proses evolusi dan akulturasi dalam pembentukan Iman Tauhid
Sejarah akhirnya mencatat bahwa
Yerussalem, Palestina dan Mesir adalah sumber-sumber peradaban Tauhid yang
penting di dunia hingga masa sekarang. Sekian.
Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi
Sabilih,
Wassalamu’alaikum War. Wab.
Jakarta, 10 Desember 2004,
Pengasuh,
HAJI AGUS MIFTACH.
Ketua
Umum Front Persatuan Nasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar