7.7.17

Pengajian Keduapuluh Satu,-TWU

Pengajian Keduapuluh Satu,
Dzalikal-kitabuu la roeba fieh, hudan-lil-muttaqien,
(Bagian ke III).

Assalamu’alaikum War. Wab.

“Dzalikal-kitabuu la roeba fieh, hudan-lil-muttaqien “: “Inilah Kitab (Qur’an) yang tiada keraguan didalamnya, petunjuk bagi mereka yang bertaqwa” (Al-Baqoroh : 2).
Kita telah membahas hikmah ayat ini pada dua bagian terdahulu, dan terus kita lanjutkan secara eklektik pada bagian ketiga ini.

Sublimasi.

Istilah sublimasi disini didasarkan pada term-psikoanalitis yang bermakna “transferabilitas progresif dari suatu keadaan dengan diferensiasi yang rendah kepada suatu keadaan dengan diferensiasi yang lebih tinggi, yang berkaitan dengan budaya manusia” (Carl Gustav Jung, 1875-1959).

Berdasarkan catatan historiografis, bahwa peradaban dunia sejak 30 abad Sebelum Masehi didominasi oleh faham Cenayangisme atau ilmu sihir, animisme, panteisme dan politeisme yang berintikan kepada budaya mitologis atau takhayul dan penyembahan kepada unsur-unsur kekuatan alam seperti hantu, arwah, benda-benda dan dewa-dewa, yang kesemuanya merupakan tahap tahap peradaban spiritual manusia (Marcus AS, 2002). Periode ini saya namakan sebagai peradaban mitologis.

Mesir Fir’aun 15 abad Sebelum Masehi merupakan puncak peradaban mitologis dunia pada waktu itu. Kerajaan Mesir yang tumbuh di delta Sungai Nil yang subur, tidak diragukan merupakan peradaban agraris yang terbesar dan termaju didunia waktu itu. Rejim mitologis Mesir tentu terkait dengan Sungai Nil yang menjadi sumber kehidupan ekonomi mereka. Pada dasarnya bangsa Mesir waktu itu menyembah Sungai Nil melalui berbagai kisah takhayul yang membentuk dewa-dewa Nil, yang pada perkembangannya kemudian membentuk religi dan ritual peribadatan. Mereka percaya tuhan bersemayam didalam Sungai Nil. Aliran Sungai Nil yang menciptakan kesuburan dianggap sebagai nafas tuhan yang menghidupi seluruh bangsa Mesir. Inilah akar kebudayaan dan peradabaan Mesir Fir’aun. Harus diakui dari dasar kepercayaan mitologis ini lahir kebudayaan agraris Mesir yang tinggi, yang pada zamannya bahkan merupakan pucak peradaban dunia.
Delta yang subur, dewa-dewa berhala, kitab-kitab mitologis, pendeta-pendeta magis dan ahli-ahli sihir, kuil-kuil berhala, istana Fir’aun dengan segala kebesaran dan keagungannya menurut pandangan mereka, adalah kekayaan peradaban Mesir. Nation-State berdiri diatas semua landasan itu, dan semua identitas mitologis itu merupakan kekuatan nasionalisme tradisional Mesir. Politik perbudakan yang merupakan ras-diskriminasi diterapkan untuk melindungi nasionalisme Mesir purba terhadap kemungkinan pengambilalihan kerajaan oleh etnis Yahudi yang merupakan lapis ekonomi strategis. Pada dasarnya apa yang terjadi di Mesir dan apa yang dilakukan Fir’aun terhadap etnis Yahudi adalah keniscayaan kebudayaan manusia.
Allah Ta’alaa mengutus Musa a.s. ke Mesir, pada dasarnya untuk memberikan stimulus bagi terciptanya sublimasi kebudayaan manusia dari penyembahan alam kepada penyembahan Tuhan yang sebenarnya. Meskipun secara eksplisit Musa a.s, diutus untuk ummat Yahudi (Bani Israil), pada dasarnya Nabi Musa a.s memberi peringatan dan pelajaran kepada umat manusia tentang hakekat Tuhan. Kerasulan Musa merupakan periode penting dalam meletakkan dasar-dasar sublimasi budaya manusia dari menyembah alam kepada menyembah Allah Tuhan Pencipta Alam Semesta. Periode Musa merupakan debut yang penting untuk meletakkan dasar-dasar peradaban agama samawi yang monotheis. Kisah perjalanan Musa dan Harun memimpin eksodus etnis Yahudi dari Mesir ke Yerussalem di Palestina memuat pelajaran berharga bagi umat manusia tentang proses kanalisasi dasar-dasar ketauhidan. Betapa sulitnya transferabilitas progresif dari nilai-nilai mitologis-politeisme atau kemusyrikan kepada nilai-nilai ketauhidan. Betapa sulitnya sublimasi budaya terjadi, dari budaya penyembahan berhala kepada budaya penyembahan Allah. Betapa sulitnya orang beriman, dari mempercayai ketakhayulan kepada mempercayai alam akherat. Betapa sulitnya orang beriman kepada Tuhan yang ghoib daripada berhala-berhala yang bersifat materiil. Inilah hakekat yang diajarkan Musa a.s, yaitu sublimasi dari fase mitologis kepada transcendental, transferabilitas dari nilai-nilai penyembahan berhala dan kemusyrikan kepada peribadatan kepada Allah Rabb Al-Alamien dan nilai-nilai ketauhidan (Al-Qoshosh :3-47).

Apa yang terjadi seandainya Musa tidak membawa etnis Yahudi keluar dari Mesir?, kemungkinan yang terdekat adalah perang etnis yang akan dapat  menghancurkan peradaban agraris Mesir yang tinggi, dan kemungkinan akan membawa kemunduran besar peradaban manusia. Meski hal itu tak terjadi, namun kekejaman-kekejaman Fir’aun dalam menjalankan politik apartheid-nya telah melampaui batas dengan menimbulkan perpecahan, penindasan terhadap golongan Yahudi, bahkan menyembelih anak laki-laki etnis Yahudi. Dari sekedar mempertahankan supremasi kepentingan pribumi Mesir, akhirnya Fir’aun melakukan kedzaliman dan merusak peradaban manusia (Al-Qoshosh : 4). Namun Allah tidak memerintahkan Musa dan Harun untuk membunuh Fir’aun dan mengambilalih kekuasaan Mesir, melainkan Allah memerintahkan agar Musa memimpin Bani Israil (etnis Yahudi) meninggalkan Mesir menuju tanah air nenek moyang mereka Yerussalem. Ditenggelamkannya Fir’aun dan Hamman beserta seluruh pasukannya di Laut Merah ialah untuk mencegah kedzaliman lebih jauh terhadap Bani Israil (Al-Qoshosh : 40).

 

Perjalanan Rohani


Eksodus Bani Israil (Kaum Yahudi) dari Mesir ke Yerussalem yang dipimpin Musa a.s, sesungguhnya bukan sekedar melepaskan diri dari kedzaliman apartheid Fir’aun, namun lebih hakiki merupakan perjalanan rohani yang secara pskologis membentuk proses perubahan budaya atau sublimasi dalam perspektif psikoanalitis, dari mainstream budaya mitologis penyembahan berhala kepada Iman Tauhid dan peribadatan kepada Allah Rabb-Al-Alamien. Namun perubahan dari situasi traumatis kepada pembebasan tidak serta merta membentuk Gestalt yang progresif. Banyak diantara orang-orang Yahudi yang kejiwaannya sulit berubah dan tetap bertahan kepada kepercayaan lama. Kesulitan mereka menangkap makna transenden dalam ajaran Tauhid Musa a.s, membuat sebagian atau sebagian besar Bani Israil tidak berhasil melakukan progresi, bahkan terjadi regresi dimana mereka kembali kepada nilai-nila lama ketika mereka masih di Mesir. Selama 40 th Musa a.s, membawa Kaum Yahudi berputar-putar mengelilingi padang pasir dan berkali-kali menunda membawa mereka memasuki Yerussalem atau Kana’an dalam Perjanjian Lama sebagai negeri yang dijanjikan, semata karena belum tercapainya sublimasi Tauhid dikalangan Yahudi. Setelah generasi pertama yang lahir di Mesir habis, dan lahir generasi baru dalam perjalanan rohani yang panjang itu, proses sublimasi Tauhid itu terjadi. Bayi-bayi yang baru lahir dimasa eksodus tidak lagi mengalami proses kanalisasi berhalaisme seperti para orang tua mereka ketika di Mesir. Sebaliknya sejak dini mereka mengalami proses kanalisasi  ajaran Musa a.s, sebagai suatu proses psikologis (Gardner Murphy, 1947) yang menentukan struktur nilai yang membentuk psyche yang menjadi landasan sikap mental dan perilaku Tauhid. Generasi inilah yang relatif berhasil membentuk Gestalt Ketauhidan dalam proses psikologis, meski tidak terlalu kokoh, tapi cukup memenuhi syarat minimal untuk memasuki tahap dasar peradaban Tauhid. Mereka inilah yang memasuki Yerussalem atau Kana’an negeri yang dijanjikan dalam Taurat (Perjanjian Lama). Nabi Besar Musa a.s sendiri wafat sebelum ummat yang diasuhnya itu memasuki Yerussalem. Namun Allah telah menjanjikannya dan mengijinkan arwahnya menyaksikan bangsanya memasuki Yerussalem dengan Iman Tauhid.
Itulah perjuangan Tauhid dari zaman antara 3500 tahun yang silam, dan senantiasa memberikan pelajaran berharga bagi umat manusia sepanjang zaman.

Kerasulan Musa a.s mengandung sejumlah misi besar, yaitu :
-          Tetap dipertahankannya peradaban ekonomi agraris di Mesir,
-          Mendorong sublimasi budaya manusia, dari penyembahan berhala kepada penyembahan Allah Yang Maha Esa, (Al-Qoshosh : 43),
-          Mengajarkan proses evolusi dan akulturasi dalam pembentukan Iman Tauhid

Sejarah akhirnya mencatat bahwa Yerussalem, Palestina dan Mesir adalah sumber-sumber peradaban Tauhid yang penting di dunia hingga masa sekarang. Sekian.
Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi Sabilih,
Wassalamu’alaikum War. Wab.

Jakarta, 10 Desember 2004,
Pengasuh,



HAJI AGUS MIFTACH.
Ketua Umum Front Persatuan Nasional




Tidak ada komentar:

Posting Komentar