Pengajian Keduapuluh Dua
Dzalikal-kitabuu la roeba fieh, hudan-lil-muttaqien,
(Bagian ke IV),
Assalamu’alaikum War. Wab.
“Dzalikal-kitabuu la reoba fieh,
hudan-lil-muttaqien”:”Inilah Kitab (Qur’an) yang tiada keraguan didalamnya,
petunjuk bagi mereka yang bertaqwa “, (Al-Baqoroh : 2).
Ini adalah bagian ke
IV eklektik dari pembahasan hikmah ayat tersebut, yang kita kaitkan dengan
perjalanan sejarah dan perubahan sosial yang didasarkan pada Firman.
Dari Palestina ke
Mesir.
Perintis Hijrah Bani Israil dari
Palestina ke Mesir adalah putra-putra Ya’qub a.s atau yang disebut juga Israil.
Pertama kali kedatangan mereka adalah untuk alasan ekonomi, yaitu membeli bahan
pangan secara barter, dengan harta benda yang mereka miliki. Melalui jalan
tragedi yang menjadi Sirru Rububiyah (Rahasia-rahasia Ketuhanan) Yusuf
salah seorang putra Ya’qub berhasil masuk dalam lingkaran kekuasaan di Mesir.
Selanjutnya kita menyaksikan skenario Allah Ta’ala dalam suatu proses yang
akhirnya menempatkan Yusuf a.s dalam pusat kekuasaan di Mesir, sebagai Raja
Muda wakil Fir’aun. Yusuflah yang memindahkan keluarganya dari Palestina ke
Mesir. Ke 12 putra Ya’qub termasuk Yusuf adalah cikal bakal 12 suku besar
Yahudi. Allah-lah yang menggiring Bani Israil berhijrah dari Palestina ke Mesir.
Alasan pertama kepindahan itu adalah ekonomi dimana Mesir merupakan delta
Sungai Nil yang sangat subur, jauh lebih subur dibanding dengan Palestina yang
menggurun dengan vegetasi yang didominasi buah Tin, yang menjadi nama negeri
itu : “Fillistin (Palestina) yang bermakna didalamnya banyak terdapat buah
Tin”. Alasan yang lebih mendasar ialah dalam rangka memperkenalkan kepada umat
manusia budaya peribadatan Tauhid yang monotheistis, dengan jangkauan keabadian
transcendental Alam Akherat yang waktu itu belum banyak dikenal umat
manusia, khususnya di Mesir yang merupakan pusat peradaban dunia pada waktu
itu. Yahudi adalah bangsa yang pertama-tama dipilih oleh Allah untuk
menjalankan peribadatan Tauhid. Bangsa Yahudi dalam arti ras berpangkal dari
Ya’qub (Israil) dengan keduabelas puteranya yang menjadi nenek moyang ras Bani
Israil (Yahudi).. Masa Kerasulan Yusuf a.s di Mesir diperkirakan berlangsung
pada kurun 5 abad sebelum kerasulan Musa a.s (vide, Pengajian Ketujuhbelas),
atau sekitar abad ke-20 SM. Dalam masa 5 abad keluarga Ya’qub a.s tumbuh
menjadi Bani Israil yang besar, merupakan etnik kedua di Mesir yang mendominasi
lapis ekonomi menengah, meliputi perdagangan, jasa, pendidikan umum (non-agama)
dan tenaga terampil diberbagai sektor, yang akhirnya memaksa Fir’aun
menjalankan politik rasial, untuk melindungi kepentingan pribumi Mesir (vide,
Pengajian Keduapuluh Satu).
Dengan demikian maka pertumbuhan Bani
Israil sebagai suatu ras justru terjadi di Mesir dalam pertumbuhan populasi dan
budaya selama kurang lebih 500 tahun. Dalam kurun 5 abad itu telah terjadi
perkembangan budaya dan percampuran budaya antara Yahudi dengan Mesir, yaitu
percampuran budaya agama samawi yang monotheis (tauhid) dengan agama Nil yang
polytheis (musyrik). Terdapat pengaruh budaya Yahudi yang transenden dalam
budaya Mesir purba, dan sebaliknya terdapat pengaruh budaya Mesir yang
mitologis kedalam budaya Yahudi. Percampuran budaya ini menimbulkan
ketidakjelasan misi samawi yang diemban Bani Israil sebagai bangsa pertama yang
dipilih Allah untuk menjalankan peribadatan Tauhid. Percampuran budaya itu
dikhawatirkan akan dapat menimbulkan sublimasi sekuler berupa budaya
nasionalisme Mesir. Itu berarti penyimpangan dari misi kerasulan Yusuf a.s di
Mesir 5 abad sebelumnya (sekitar abad ke
20 SM), yang bertujuan bagi penegakan Tauhid di muka bumi.
Dari Mesir ke Palestina.
Mesir pada sekitar abad ke-15 SM
diwarnai dengan ketegangan etnis antara pribumi dengan ras Yahudi, yang setiap
saat dapat pecah bentrokan rasial bahkan perang etnis. Suasana eksplosif itu
dipicu oleh politik apartheid yang dijalankan Fir’aun dengan alasan untuk
melindungi kepentingan mayoritas pribumi (vide, Pengajian Keduapuluh Satu).
Untuk meneguhkan otoritasnya bahkan Fir’aun mentahbiskan dirinya sebagai Tuhan.
Sebagian warga Yahudi yang tidak tahan terhadap tekanan penguasa bahkan ikut
menyembah Fir’aun dan berhala-berhala mitologis Mesir, diantaranya yang
terkenal ialah Al-Baqoroh-Sapi Betina Dewa Kemakmuran dan Kesuburan yang
menjadi lambang kehidupan delta Nil yang subur itu. Dalam suasana itulah Allah
Ta’ala mengutus Nabi Musa a.s untuk melakukan berbagai solusi sosial dan
spiritual diantara konflik etnis Yahudi dan pribumi Arab Mesir (vide, Pengajian
Keduapuluh Satu), yang berakhir dengan ekosudus Bani Israil dari Mesir kembali
ketanah leluhur di Yerussalem (Palestina) atau yang disebut dalam Kitab
Perjanjian Lama dengan Negeri Kana’an Yang Dijanjikan. Seperti telah
diungkapkan dalam Pengajian keduapuluh Satu, eksodus dari Mesir ke Palestina
bukan sekedar perjalanan dalam makna duniawi, namun merupakan perjalan rohani untuk membentuk
proses sublimasi psikologis dari budaya berhalaisme kepada budaya Tauhid. Namun
seperti telah diuraikan terdahulu bahwa
sublimasi budaya tidak terjadi pada generasi pertama, dan baru terjadi pada
generasi kedua yang lahir diperjalanan eksodus yang sengaja diperlama oleh Musa
a.s untuk mencapai proses kanalisasi Tauhid pada generasi baru.
Pada proses hijrah kembali ke
Yerussalem di Palestina ini, tepatnya ketika tiba di ujung Utara Laut Merah di
kaki bukit Sinai, Musa menerima Wahyu Allah melengkapi Wahyu yang sudah
diterima sebelumnya (vide, Pengajian Keduapuluh), yang dalam risalah Yahudi
terkenal sebagai “10 Perintah Allah” atau “The Ten Commandment”, yang
berisi pokok-pokok Syariat Taurat (Al-A’rof : 142-145).
Regresi.
Regresi adalah suatu bentuk mekanisme
pertahanan dalam term-psikoanalisis yang menggambarkan suatu proses psikologis
yang gagal mencapai kemajuan atau progresi, akibat diferensiasi Self yang
rendah, sehingga kembali kepada nilai-nilai lama atau regresi. Itulah yang
terjadi pada Bani Israil generasi eksodus pertama (Al-A’rof : 148). Progresi
dan regresi adalah gerak psikologis maju-mundur yang menggambarkan
kualitas-kualitas kejiwaan.
Sebagaimana telah diterangkan dalam pengajian terdahulu
bahwa proses akulturasi diantara budaya Yahudi dan budaya Mesir telah
melahirkan sub-kultur penyembahan berhala dikalangan orang-orang Yahudi, dan
sebaliknya pengenalan Allah dikalangan para penyembah berhala Mesir. Itulah
sebabnya dikalangan para ahli sihir Mesir yang merupakan ilmuwan tinggi pada
zaman itu, tidak sulit terjadi transferabilitas progresif dari spirit
penyembahan berhala kepada spirit Tauhid seperti diterangkan dalam As-Syu’ara’
: 46-48, karena memang mereka sudah pernah mengetahui sebelumnya ketika mereka
mempelajari spiritual budaya Yahudi (vide, Pengajian Kesembilanbelas).
Penindasan apartheid rejim Fir’aun
terhadap Bani Israil, secara psikologis bermakna environment interference
(interferensi lingkungan), yang bersifat ekstra organis, yang dengan sendirinya
mendapatkan reaksi intra organis, baik yang bersifat kontradiksi maupun
adaptasi. Ajaran Tauhid dari masa Yusuf a.s yang sudah jauh berlalu pada masa
sekitar 500 tahun sebelumnya agaknya tidak lagi kokoh dalam konstitusi jiwa
Yahudi. Itulah sebabnya dalam menghadapi interferensi lingkungan mereka tidak
mampu melakukan regresi bermotif kepada Tauhidiyah untuk melahirkan perlawanan
dan pembentukan energi sublimasi sesudahnya, melainkan melakukan adaptasi
dengan menerima struktur nilai berhalaisme dalam konstitusi-jiwa yang
melahirkan sub-kultur sinkretisme, yaitu tidak meninggalkan iman kepada Allah
namun menjalankan penyembahan berhala. Inilah kemusyrikan yang sebenarnya, yang
merupakan sub-kultur yang berkembang luas di Mesir pada waktu itu.
Al-Baqoroh (Sapi Betina).
Belum jauh mereka meninggalkan Mesir
ketika tiba dikaki bukit Sinai, disaat Musa a.s menaiki bukit Sinai (Thursina)
untuk menerima Kitab Taurat dari Allah Ta’ala (Al-A’raf : 142-145), Bani Israil
yang masih pada taraf akomodasi kognitif yang labil terhadap ajaran Musa,
merasa kehilangan pegangan ketika Musa tidak ditengah-tengah mereka. Mereka tidak berhasil menemukan ekuilibrium
dalam struktur nilai ajaran Tauhid Musa, dan ketika menghadapi tantangan
psikologis, mereka regresi kembali ke nilai-nilai lama, sinkretisme budaya
kemusyrikan ketika di Mesir. Dibawah pimpinan Samiri mereka mengumpulkan emas
dan membangun patung Sapi Betina (Al-Baqoroh), salah satu berhala lambang
kemakmuran Mesir. Meskipun mereka telah menyaksikan mukjizat-mukjizat dari
Allah yang dahsyat, tapi stimulus itu belum berhasil membentuk ekuilibirium
dalam psyche Bani Israil. Itulah sebabnya, ketika mereka merasa tidak
yakin terhadap masa depan baru, mereka regresi kepada nilai-nilai lama. Peribadatan
kepada Al-Baqoroh adalah pertanda kemunduran psyche Bani Israil,
sekaligus menandai kegagalan sublimasi psikologis dari budaya berhalaisme
kepada budaya Tauhid pada generasi pertama eksodus (Al-A’raf : 148) .
Sekian, kita lanjutkan pada pengajian
yang akan datang.
Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi
Sabilih,
Wassalamu’alaikum War. Wab.
Jakarta, 17 Desember 2004,.
Pengasuh,
HAJI AGUS MIFTACH.
Ketua
Umum Front Persatuan Nasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar