7.7.17

Pengajian Keduapuluh Dua

 Pengajian Keduapuluh Dua
Dzalikal-kitabuu la roeba fieh, hudan-lil-muttaqien,
(Bagian ke IV),

Assalamu’alaikum War. Wab.
“Dzalikal-kitabuu la reoba fieh, hudan-lil-muttaqien”:”Inilah Kitab (Qur’an) yang tiada keraguan didalamnya, petunjuk bagi mereka yang bertaqwa “, (Al-Baqoroh : 2).
Ini adalah bagian ke IV eklektik dari pembahasan hikmah ayat tersebut, yang kita kaitkan dengan perjalanan sejarah dan perubahan sosial yang didasarkan pada Firman.

Dari Palestina ke Mesir.
Perintis Hijrah Bani Israil dari Palestina ke Mesir adalah putra-putra Ya’qub a.s atau yang disebut juga Israil. Pertama kali kedatangan mereka adalah untuk alasan ekonomi, yaitu membeli bahan pangan secara barter, dengan harta benda yang mereka miliki. Melalui jalan tragedi yang menjadi Sirru Rububiyah (Rahasia-rahasia Ketuhanan) Yusuf salah seorang putra Ya’qub berhasil masuk dalam lingkaran kekuasaan di Mesir. Selanjutnya kita menyaksikan skenario Allah Ta’ala dalam suatu proses yang akhirnya menempatkan Yusuf a.s dalam pusat kekuasaan di Mesir, sebagai Raja Muda wakil Fir’aun. Yusuflah yang memindahkan keluarganya dari Palestina ke Mesir. Ke 12 putra Ya’qub termasuk Yusuf adalah cikal bakal 12 suku besar Yahudi. Allah-lah yang menggiring Bani Israil berhijrah dari Palestina ke Mesir. Alasan pertama kepindahan itu adalah ekonomi dimana Mesir merupakan delta Sungai Nil yang sangat subur, jauh lebih subur dibanding dengan Palestina yang menggurun dengan vegetasi yang didominasi buah Tin, yang menjadi nama negeri itu : “Fillistin (Palestina) yang bermakna didalamnya banyak terdapat buah Tin”. Alasan yang lebih mendasar ialah dalam rangka memperkenalkan kepada umat manusia budaya peribadatan Tauhid yang monotheistis, dengan jangkauan keabadian transcendental Alam Akherat yang waktu itu belum banyak dikenal umat manusia, khususnya di Mesir yang merupakan pusat peradaban dunia pada waktu itu. Yahudi adalah bangsa yang pertama-tama dipilih oleh Allah untuk menjalankan peribadatan Tauhid. Bangsa Yahudi dalam arti ras berpangkal dari Ya’qub (Israil) dengan keduabelas puteranya yang menjadi nenek moyang ras Bani Israil (Yahudi).. Masa Kerasulan Yusuf a.s di Mesir diperkirakan berlangsung pada kurun 5 abad sebelum kerasulan Musa a.s (vide, Pengajian Ketujuhbelas), atau sekitar abad ke-20 SM. Dalam masa 5 abad keluarga Ya’qub a.s tumbuh menjadi Bani Israil yang besar, merupakan etnik kedua di Mesir yang mendominasi lapis ekonomi menengah, meliputi perdagangan, jasa, pendidikan umum (non-agama) dan tenaga terampil diberbagai sektor, yang akhirnya memaksa Fir’aun menjalankan politik rasial, untuk melindungi kepentingan pribumi Mesir (vide, Pengajian Keduapuluh Satu).
Dengan demikian maka pertumbuhan Bani Israil sebagai suatu ras justru terjadi di Mesir dalam pertumbuhan populasi dan budaya selama kurang lebih 500 tahun. Dalam kurun 5 abad itu telah terjadi perkembangan budaya dan percampuran budaya antara Yahudi dengan Mesir, yaitu percampuran budaya agama samawi yang monotheis (tauhid) dengan agama Nil yang polytheis (musyrik). Terdapat pengaruh budaya Yahudi yang transenden dalam budaya Mesir purba, dan sebaliknya terdapat pengaruh budaya Mesir yang mitologis kedalam budaya Yahudi. Percampuran budaya ini menimbulkan ketidakjelasan misi samawi yang diemban Bani Israil sebagai bangsa pertama yang dipilih Allah untuk menjalankan peribadatan Tauhid. Percampuran budaya itu dikhawatirkan akan dapat menimbulkan sublimasi sekuler berupa budaya nasionalisme Mesir. Itu berarti penyimpangan dari misi kerasulan Yusuf a.s di Mesir  5 abad sebelumnya (sekitar abad ke 20 SM), yang bertujuan bagi penegakan Tauhid di muka bumi.

Dari Mesir ke Palestina.

Mesir pada sekitar abad ke-15 SM diwarnai dengan ketegangan etnis antara pribumi dengan ras Yahudi, yang setiap saat dapat pecah bentrokan rasial bahkan perang etnis. Suasana eksplosif itu dipicu oleh politik apartheid yang dijalankan Fir’aun dengan alasan untuk melindungi kepentingan mayoritas pribumi (vide, Pengajian Keduapuluh Satu). Untuk meneguhkan otoritasnya bahkan Fir’aun mentahbiskan dirinya sebagai Tuhan. Sebagian warga Yahudi yang tidak tahan terhadap tekanan penguasa bahkan ikut menyembah Fir’aun dan berhala-berhala mitologis Mesir, diantaranya yang terkenal ialah Al-Baqoroh-Sapi Betina Dewa Kemakmuran dan Kesuburan yang menjadi lambang kehidupan delta Nil yang subur itu. Dalam suasana itulah Allah Ta’ala mengutus Nabi Musa a.s untuk melakukan berbagai solusi sosial dan spiritual diantara konflik etnis Yahudi dan pribumi Arab Mesir (vide, Pengajian Keduapuluh Satu), yang berakhir dengan ekosudus Bani Israil dari Mesir kembali ketanah leluhur di Yerussalem (Palestina) atau yang disebut dalam Kitab Perjanjian Lama dengan Negeri Kana’an Yang Dijanjikan. Seperti telah diungkapkan dalam Pengajian keduapuluh Satu, eksodus dari Mesir ke Palestina bukan sekedar perjalanan dalam makna duniawi, namun  merupakan perjalan rohani untuk membentuk proses sublimasi psikologis dari budaya berhalaisme kepada budaya Tauhid. Namun seperti telah diuraikan terdahulu  bahwa sublimasi budaya tidak terjadi pada generasi pertama, dan baru terjadi pada generasi kedua yang lahir diperjalanan eksodus yang sengaja diperlama oleh Musa a.s untuk mencapai proses kanalisasi Tauhid pada generasi baru.
Pada proses hijrah kembali ke Yerussalem di Palestina ini, tepatnya ketika tiba di ujung Utara Laut Merah di kaki bukit Sinai, Musa menerima Wahyu Allah melengkapi Wahyu yang sudah diterima sebelumnya (vide, Pengajian Keduapuluh), yang dalam risalah Yahudi terkenal sebagai “10 Perintah Allah” atau “The Ten Commandment”, yang berisi pokok-pokok Syariat Taurat (Al-A’rof : 142-145).

Regresi.
Regresi adalah suatu bentuk mekanisme pertahanan dalam term-psikoanalisis yang menggambarkan suatu proses psikologis yang gagal mencapai kemajuan atau progresi, akibat diferensiasi Self yang rendah, sehingga kembali kepada nilai-nilai lama atau regresi. Itulah yang terjadi pada Bani Israil generasi eksodus pertama (Al-A’rof : 148). Progresi dan regresi adalah gerak psikologis maju-mundur yang menggambarkan kualitas-kualitas kejiwaan.
Sebagaimana telah diterangkan dalam pengajian terdahulu bahwa proses akulturasi diantara budaya Yahudi dan budaya Mesir telah melahirkan sub-kultur penyembahan berhala dikalangan orang-orang Yahudi, dan sebaliknya pengenalan Allah dikalangan para penyembah berhala Mesir. Itulah sebabnya dikalangan para ahli sihir Mesir yang merupakan ilmuwan tinggi pada zaman itu, tidak sulit terjadi transferabilitas progresif dari spirit penyembahan berhala kepada spirit Tauhid seperti diterangkan dalam As-Syu’ara’ : 46-48, karena memang mereka sudah pernah mengetahui sebelumnya ketika mereka mempelajari spiritual budaya Yahudi (vide, Pengajian Kesembilanbelas).
Penindasan apartheid rejim Fir’aun terhadap Bani Israil, secara psikologis bermakna environment interference (interferensi lingkungan), yang bersifat ekstra organis, yang dengan sendirinya mendapatkan reaksi intra organis, baik yang bersifat kontradiksi maupun adaptasi. Ajaran Tauhid dari masa Yusuf a.s yang sudah jauh berlalu pada masa sekitar 500 tahun sebelumnya agaknya tidak lagi kokoh dalam konstitusi jiwa Yahudi. Itulah sebabnya dalam menghadapi interferensi lingkungan mereka tidak mampu melakukan regresi bermotif kepada Tauhidiyah untuk melahirkan perlawanan dan pembentukan energi sublimasi sesudahnya, melainkan melakukan adaptasi dengan menerima struktur nilai berhalaisme dalam konstitusi-jiwa yang melahirkan sub-kultur sinkretisme, yaitu tidak meninggalkan iman kepada Allah namun menjalankan penyembahan berhala. Inilah kemusyrikan yang sebenarnya, yang merupakan sub-kultur yang berkembang luas di Mesir pada waktu itu.

Al-Baqoroh (Sapi Betina).
Belum jauh mereka meninggalkan Mesir ketika tiba dikaki bukit Sinai, disaat Musa a.s menaiki bukit Sinai (Thursina) untuk menerima Kitab Taurat dari Allah Ta’ala (Al-A’raf : 142-145), Bani Israil yang masih pada taraf akomodasi kognitif yang labil terhadap ajaran Musa, merasa kehilangan pegangan ketika Musa tidak ditengah-tengah mereka.  Mereka tidak berhasil menemukan ekuilibrium dalam struktur nilai ajaran Tauhid Musa, dan ketika menghadapi tantangan psikologis, mereka regresi kembali ke nilai-nilai lama, sinkretisme budaya kemusyrikan ketika di Mesir. Dibawah pimpinan Samiri mereka mengumpulkan emas dan membangun patung Sapi Betina (Al-Baqoroh), salah satu berhala lambang kemakmuran Mesir. Meskipun mereka telah menyaksikan mukjizat-mukjizat dari Allah yang dahsyat, tapi stimulus itu belum berhasil membentuk ekuilibirium dalam psyche Bani Israil. Itulah sebabnya, ketika mereka merasa tidak yakin terhadap masa depan baru, mereka regresi kepada nilai-nilai lama. Peribadatan kepada Al-Baqoroh adalah pertanda kemunduran psyche Bani Israil, sekaligus menandai kegagalan sublimasi psikologis dari budaya berhalaisme kepada budaya Tauhid pada generasi pertama eksodus (Al-A’raf : 148) .
Sekian, kita lanjutkan pada pengajian yang akan datang.
Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi Sabilih,
Wassalamu’alaikum War. Wab.
Jakarta, 17 Desember 2004,.
Pengasuh,

HAJI AGUS MIFTACH.
Ketua Umum Front Persatuan Nasional




Tidak ada komentar:

Posting Komentar