Pengajian Keduapuluh Tiga,
“Alladziena
yu’minuuna bilghoibi, wa yuqiemuunassholaata wa mimmaa rozaqnahum yunfiequun “.
Jkt, 24 desember 2004,
(Bagian
ke I)
Assalamu’alaikum War. Wab.
“Alladziena yu’minuuna bilghoibi, wa
yuqiemuunassholaata wa mimma rozaqnaahum yunfiquun” : “mereka yang beriman
kepada yang Ghoib, yang mendirikan sholat dan menafkahkan sebagian rizki yang
Kami anugerahkan kepada mereka”, (Al-Baqoroh : 3). Kita membahas hikmah
ayat ini secara eklektik dengan berbagai sudut pandang secara komprehensif.
Ketidaksadaran Kolektif
“Qooluu aji’tanaa litalfitanaa ‘ammaa
wajadnaa alaihi abaa anaa watakuuna lakumalkibri yaa u fil-ardhi; wamaa nahnu
lakumaa bimu’minien” : “Mereka berkata : Apakah kamu datang kepada kami untuk
memalingkan kami dari apa yang kami dapati
nenek moyang kami mengerjakannya; dan supaya kamu berdua mempunyai
kekuasaan di muka bumi; kami tidak akan mempercayai kamu berdua”. (Yunus : 78).
Pernyataan rejim
Fir’aun tersebut, menggambarkan suatu kondisi psikologis yang didominasi ketidaksadaran
kolektif, yang bersumber dari proses evolusi selama ribuan tahun sebelumnya,
yang telah membentuk struktur nilai budaya yang inheren dalam konstitusi jiwa
bangsa Mesir waktu itu, berbentuk budaya dan agama Sungai Nil dengan berbagai
mitos yang membentuk religiusitas berupa penyembahan kepada berhala dewa-dewa
Nil. Dan akhirnya penyembahan kepada Fir’aun itu sendiri sebagai personifikasi
tuhan Nil. Disposisi psikologis tersebut memenuhi struktur nilai dalam
ketidaksadaran kolektif dan membentuk psyche orang-orang Mesir yang khas itu,
yang percaya bahwa tuhan bersemayam didalam Sungai Nil dan telah memberikan
nafas kesuburan bersama aliran Sungai Nil yang membasahi delta dan menciptakan
habitat kesuburan agragris.
Seperti telah
diterangkan dalam Pengajian Keduapuluh Dua bahwa telah terjadi percampuran
budaya antara etnis Yahudi dan pribumi Mesir yang membentuk subkultur budaya
sinkretisme yang musyrik, yaitu percampuran peribadatan monotheis kepada Allah
dengan peribadatan politheis kepada dewa-dewa Nil, dikalangan Bani Israil dan
pribumi Mesir. Ditinjau dari sisi teologis ini merupakan penyimpangan dan
kesesatan, tetapi ditinjau dari proses evolusi psikologis ini merupakan
progresi kepada tahap yang lebih tinggi. Dalam proses 500 tahun sejak kerasulan
Yusuf a.s, maka pada 300 tahun terakhir, subkultur budaya kemusyrikan memenuhi
struktur nilai ketidaksadaran kolektif Yahudi dan pribumi Mesir membentuk psyche yaitu totalitas kesadaran dan
ketidaksaran yang mempengaruhi sikap mental dan perilaku kedua etnis.
Ketidaksadaran
kolektif adalah faktor psikologis yang dominan, seperti dasar gunung es yang
maha luas. Sedangkan kesadaran hanyalah puncaknya yang kecil saja. Inilah
beratnya tantangan yang dihadapi Musa a.s. dan pembantunanya Harun a.s.
Mengubah mekanisme psikologis dari tradisi dan kebiasaan yang sudah berakar
selama ribuan tahun beserta subkultur kemusyrikan yang tumbuh subur 3 abad
terakhir. Hal yang paling sukar dalam proses kognitif adalah stimuls yang
disebut Al-Ghoib, Allah yang tidak
kasat mata. Ini sangat sukar masuk dalam schemata, karena tidak
dikenal oleh totalitas kesadaran dan ketidaksadaran dari proses evolusi
sebelumnya. Jalan pintas dari tahap akomodasi kognitif ini ialah “IMAN”, yang
bermakna percaya. Tetapi proses ini sangat sukar, karena proses kognitif
membutuhkan obyek fisik sebagai stimulus. Al-Ghoib merupakan obyek
non-fisik yang sukar ditangkap schemata, karena tidak ada dalam file-index schemata Bangsa Mesir dan
sebagian kalangan Yahudi ketika itu. Inilah sebabnya iman Fir’aun dan Yahudi
sulit dicapai. Jika didasarkan pada proses kognitif agaknya tidak mungkin
terbentuk refundamentalisasi iman Bani Israil seperti dimasa Ya’qub a.s.
(Israil) dan Yusuf a.s., karena telah terjadi perubahan konstitusi jiwa yang
lebih didominasi struktur nilai agnostisitas yang melemahkan struktur nilai
transcendental dari era Yusuf 5 abad
sebelumnya. Selama kurang lebih 3 abad belakangan ini mereka sudah terbiasa
dengan peribadatan terhadap tuhan berhala yang tampak secara inderawi. Itulah
sebabnya ketika 70 orang perwakilan suku Yahudi dibawa naik ke bukit oleh Musa
a.s untuk bertobat setelah peristiwa Lembu Samiri (vide, Pengajian Keduapuluh Dua), mereka sulit
menerima cara Musa bersembahyang. Ditengah-tengah awan yang turun meliputi
bukit Musa sholat dan berdoa kepada
Allah Yang Ghoib, yang tidak tampak indera, tidak tampak sebagai obyek stimulus
yang dapat di akseptasi oleh schemata. Maka mereka berkata : “Kami tidak akan beriman kepadamu, sebelum
kami bisa melihat Allah dengan jelas “. (Al-A’raf : 155). Mereka dibinasakan
Allah, namun berkat doa Musa a.s mereka dihidupkan kembali.
Proses iman kepada
Yang Ghoib, harus ditempuh melalui proses “transcendent-function” suatu organ jiwa
yang membuat manusia mengenal cinta-kasih. Bukan sekedar proses kognitif namun
psiko-kognitif dimana didalamnya terdapat fungsi transenden yang membuat
manusia mampu memahami keberadaan Yang Ghoib, karena sesungguhnya cinta kasih
adalah akar keghoiban. Dan ini memerlukan proses pembentukan habit dan custom yang tidak dapat terbentuk tiba-tiba, tetapi melalui suatu
proses kanalisasi yang memerlukan waktu. Kecuali mereka yang memiliki daya
optimasi fungsi transenden yang sangat tinggi, seperti yang dimiliki para nabi
dan orang-orang istimewa yang menjadi Assabiqunal Awwalun seperti Harun dan
para Ulama Yahudi yang jumlahnya hanya beberapa gelintir.
Sublimasi.
kemusyrikan adalah
produk percampuran budaya monotheis dan budaya polytheis. Merupakan suatu tahap
didepan fase penyembahan berhala. Kemusyrikan adalah sub-kultur, unsur-unsurnya
memiliki akar yang mutlak berbeda, oleh karena itu kemusyrikan mengandung
sejumlah kontroversi benturan nilai-nilai yang tidak akan membentuk
transferabilitas progresif. Kerasulan Musa a.s. ialah untuk mendorong proses
perubahan kearah sublimasi dalam pengertian psikoanalisis, sehingga terjadi
transferabilitas progresif kearah diferensiasi nilai yang lebih tinggi, yaitu
Tauhid. Beriman tauhid artinya percaya kepada Yang Ghoib. Pengertian Yang Ghoib
ialah transcendental diatas ruang dan waktu, diatas alam semesta. Ini sangat
berbeda dengan agama ardhi yang berada dibawah alam semesta. Yang Ghoib adalah
Zat Esa yang menciptakan ruang, waktu, dan memiliki alam akherat.
Musa sebenarnya
tidak sendirian didunia. Meski berselang agak lama, sekitar abad ke 5 SM, di
Yunani bergema ajaran filsuf Xenophenes,
dimana
menurutnya yang ilahi ialah satu-satunya hakekat yang ada, yang merangkum
segala sesuatu, tiada awalnya, kekal, esa dan universal. Pandangan Xenophenes meskipun tidak
digolongkan langsung dalam monotheis, jelas mengandung dasar-dasar monotheisme
yang transenden, yang merupakan sumber energi perubahan budaya di Eropa. (vide, Pengajian Ketigabelas).
Energi perubahan
yang dipancarkan oleh kerasulan Musa a.s jelas lebih kuat, karena transferabilitas
progresif yang dijalankan Musa menyangkut mikro sistem yang jelas sasaran dan
batas-batasnya, sehingga dapat diwujudkan dalam realitas perubahan sosial.
Seperti telah diterangkan pada Pengajian Keduapuluh Satu dan Keduapuluh Dua,
melalui proses kanalisasi pada generasi kedua eksodus Musa berhasil membentuk
konstitusi jiwa Tauhid Bani Israel, yang dapat dianggap sebagai produk
sublimasi. Mereka inilah yang diperkenankan memasuki Yerussalem atau Kana’an
Negeri Yang Dijanjikan.
“Wanuriedu annamunna ‘alalladzienastudh’ifuu
fil-ardhi, wanaj’alahum aimmatan-wwanaj’alahumulwaritsien” : “Dan Kami hendak
memberi karunia kepada orang-orang (Bani Israil) yang tertindas di bumi (Mesir)
itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin
dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi)”.(Al-Qoshosh : 5). Sekian. Wassalamu’alaikum War. Wab.
Pengasuh,
HAJI AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front
Persatuan Nasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar