7.7.17

Pengajian Keduapuluh Tiga,-TWU


Pengajian Keduapuluh Tiga,
“Alladziena yu’minuuna bilghoibi, wa yuqiemuunassholaata wa mimmaa rozaqnahum yunfiequun “. Jkt, 24 desember 2004,
(Bagian ke I)

Assalamu’alaikum War. Wab.
“Alladziena yu’minuuna bilghoibi, wa yuqiemuunassholaata wa mimma rozaqnaahum yunfiquun” : “mereka yang beriman kepada yang Ghoib, yang mendirikan sholat dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka”, (Al-Baqoroh : 3). Kita membahas hikmah ayat ini secara eklektik dengan berbagai sudut pandang secara komprehensif.

Ketidaksadaran Kolektif

“Qooluu aji’tanaa litalfitanaa ‘ammaa wajadnaa alaihi abaa anaa watakuuna lakumalkibri yaa u fil-ardhi; wamaa nahnu lakumaa bimu’minien” : “Mereka berkata : Apakah kamu datang kepada kami untuk memalingkan kami dari apa yang kami dapati  nenek moyang kami mengerjakannya; dan supaya kamu berdua mempunyai kekuasaan di muka bumi; kami tidak akan mempercayai kamu berdua”. (Yunus : 78).
Pernyataan rejim Fir’aun tersebut, menggambarkan suatu kondisi psikologis yang didominasi ketidaksadaran kolektif, yang bersumber dari proses evolusi selama ribuan tahun sebelumnya, yang telah membentuk struktur nilai budaya yang inheren dalam konstitusi jiwa bangsa Mesir waktu itu, berbentuk budaya dan agama Sungai Nil dengan berbagai mitos yang membentuk religiusitas berupa penyembahan kepada berhala dewa-dewa Nil. Dan akhirnya penyembahan kepada Fir’aun itu sendiri sebagai personifikasi tuhan Nil. Disposisi psikologis tersebut memenuhi struktur nilai dalam ketidaksadaran kolektif dan membentuk psyche orang-orang Mesir yang khas itu, yang percaya bahwa tuhan bersemayam didalam Sungai Nil dan telah memberikan nafas kesuburan bersama aliran Sungai Nil yang membasahi delta dan menciptakan habitat kesuburan agragris.
Seperti telah diterangkan dalam Pengajian Keduapuluh Dua bahwa telah terjadi percampuran budaya antara etnis Yahudi dan pribumi Mesir yang membentuk subkultur budaya sinkretisme yang musyrik, yaitu percampuran peribadatan monotheis kepada Allah dengan peribadatan politheis kepada dewa-dewa Nil, dikalangan Bani Israil dan pribumi Mesir. Ditinjau dari sisi teologis ini merupakan penyimpangan dan kesesatan, tetapi ditinjau dari proses evolusi psikologis ini merupakan progresi kepada tahap yang lebih tinggi. Dalam proses 500 tahun sejak kerasulan Yusuf a.s, maka pada 300 tahun terakhir, subkultur budaya kemusyrikan memenuhi struktur nilai ketidaksadaran kolektif Yahudi dan pribumi Mesir membentuk psyche yaitu totalitas kesadaran dan ketidaksaran yang mempengaruhi sikap mental dan perilaku kedua etnis.
Ketidaksadaran kolektif adalah faktor psikologis yang dominan, seperti dasar gunung es yang maha luas. Sedangkan kesadaran hanyalah puncaknya yang kecil saja. Inilah beratnya tantangan yang dihadapi Musa a.s. dan pembantunanya Harun a.s. Mengubah mekanisme psikologis dari tradisi dan kebiasaan yang sudah berakar selama ribuan tahun beserta subkultur kemusyrikan yang tumbuh subur 3 abad terakhir. Hal yang paling sukar dalam proses kognitif adalah stimuls yang disebut Al-Ghoib, Allah yang tidak kasat mata. Ini sangat sukar masuk dalam schemata, karena tidak dikenal oleh totalitas kesadaran dan ketidaksadaran dari proses evolusi sebelumnya. Jalan pintas dari tahap akomodasi kognitif ini ialah “IMAN”, yang bermakna percaya. Tetapi proses ini sangat sukar, karena proses kognitif membutuhkan obyek fisik sebagai stimulus. Al-Ghoib merupakan obyek non-fisik yang sukar ditangkap schemata, karena tidak ada dalam file-index schemata Bangsa Mesir dan sebagian kalangan Yahudi ketika itu. Inilah sebabnya iman Fir’aun dan Yahudi sulit dicapai. Jika didasarkan pada proses kognitif agaknya tidak mungkin terbentuk refundamentalisasi iman Bani Israil seperti dimasa Ya’qub a.s. (Israil) dan Yusuf a.s., karena telah terjadi perubahan konstitusi jiwa yang lebih didominasi struktur nilai agnostisitas yang melemahkan struktur nilai transcendental dari era Yusuf  5 abad sebelumnya. Selama kurang lebih 3 abad belakangan ini mereka sudah terbiasa dengan peribadatan terhadap tuhan berhala yang tampak secara inderawi. Itulah sebabnya ketika 70 orang perwakilan suku Yahudi dibawa naik ke bukit oleh Musa a.s untuk bertobat setelah peristiwa Lembu Samiri (vide,  Pengajian Keduapuluh Dua), mereka sulit menerima cara Musa bersembahyang. Ditengah-tengah awan yang turun meliputi bukit  Musa sholat dan berdoa kepada Allah Yang Ghoib, yang tidak tampak indera, tidak tampak sebagai obyek stimulus yang dapat di akseptasi oleh schemata. Maka mereka berkata  : “Kami tidak akan beriman kepadamu, sebelum kami bisa melihat Allah dengan jelas “. (Al-A’raf : 155). Mereka dibinasakan Allah, namun berkat doa Musa a.s mereka dihidupkan kembali.
Proses iman kepada Yang Ghoib, harus ditempuh melalui proses “transcendent-function” suatu organ jiwa yang membuat manusia mengenal cinta-kasih. Bukan sekedar proses kognitif namun psiko-kognitif dimana didalamnya terdapat fungsi transenden yang membuat manusia mampu memahami keberadaan Yang Ghoib, karena sesungguhnya cinta kasih adalah akar keghoiban. Dan ini memerlukan proses pembentukan habit dan custom yang tidak dapat terbentuk tiba-tiba, tetapi melalui suatu proses kanalisasi yang memerlukan waktu. Kecuali mereka yang memiliki daya optimasi fungsi transenden yang sangat tinggi, seperti yang dimiliki para nabi dan orang-orang istimewa yang menjadi Assabiqunal Awwalun seperti Harun dan para Ulama Yahudi yang jumlahnya hanya beberapa gelintir.
Sublimasi.
kemusyrikan adalah produk percampuran budaya monotheis dan budaya polytheis. Merupakan suatu tahap didepan fase penyembahan berhala. Kemusyrikan adalah sub-kultur, unsur-unsurnya memiliki akar yang mutlak berbeda, oleh karena itu kemusyrikan mengandung sejumlah kontroversi benturan nilai-nilai yang tidak akan membentuk transferabilitas progresif. Kerasulan Musa a.s. ialah untuk mendorong proses perubahan kearah sublimasi dalam pengertian psikoanalisis, sehingga terjadi transferabilitas progresif kearah diferensiasi nilai yang lebih tinggi, yaitu Tauhid. Beriman tauhid artinya percaya kepada Yang Ghoib. Pengertian Yang Ghoib ialah transcendental diatas ruang dan waktu, diatas alam semesta. Ini sangat berbeda dengan agama ardhi yang berada dibawah alam semesta. Yang Ghoib adalah Zat Esa yang menciptakan ruang, waktu, dan memiliki alam akherat.
Musa sebenarnya tidak sendirian didunia. Meski berselang agak lama, sekitar abad ke 5 SM, di Yunani bergema ajaran filsuf Xenophenes, dimana menurutnya yang ilahi ialah satu-satunya hakekat yang ada, yang merangkum segala sesuatu, tiada awalnya, kekal, esa dan universal. Pandangan Xenophenes meskipun tidak digolongkan langsung dalam monotheis, jelas mengandung dasar-dasar monotheisme yang transenden, yang merupakan sumber energi perubahan budaya di Eropa. (vide, Pengajian Ketigabelas).
Energi perubahan yang dipancarkan oleh kerasulan Musa a.s jelas lebih kuat, karena transferabilitas progresif yang dijalankan Musa menyangkut mikro sistem yang jelas sasaran dan batas-batasnya, sehingga dapat diwujudkan dalam realitas perubahan sosial. Seperti telah diterangkan pada Pengajian Keduapuluh Satu dan Keduapuluh Dua, melalui proses kanalisasi pada generasi kedua eksodus Musa berhasil membentuk konstitusi jiwa Tauhid Bani Israel, yang dapat dianggap sebagai produk sublimasi. Mereka inilah yang diperkenankan memasuki Yerussalem atau Kana’an Negeri Yang Dijanjikan. 
“Wanuriedu annamunna ‘alalladzienastudh’ifuu fil-ardhi, wanaj’alahum aimmatan-wwanaj’alahumulwaritsien” : “Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang (Bani Israil) yang tertindas di bumi (Mesir) itu  dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi)”.(Al-Qoshosh : 5).  Sekian. Wassalamu’alaikum War. Wab.
Pengasuh,

HAJI AGUS MIFTACH

Ketua Umum Front Persatuan Nasional

Tidak ada komentar:

Posting Komentar