7.7.17

Pengajian Keenambelas.-TWU

Pengajian Keenambelas.

Assalamu’alaikum War. Wab.
“Ihdienashshirotol-Mustaqiem” : “Tunjukkanlah kami jalan yang lurus” ; (Al-Fathah : 6).

Pembahasan subyektif hikmah ayat ke-6 Al-Fatehah masih kita lanjutkan secara eklektik, untuk mencari resultante dengan sejarah bangsa kita, terutama menyangkut proses sublimasi-psikologis dari zaman ke zaman, hingga taraf kebudayaan dan peradaban Manusia Indonesia sekarang. Sesuai prinsip Psikologi Evolusioner (Symons, 1991) seperti diungkapkan dalam Pengajian Kesebelas, 27/8/04 :”Mekanisme psikologis manusia memiliki dasar genetik dimasa silam. Mekanisme psikologis pada masa sekarang terbentuk melalui proses selama berabad, beribu bahkan berjuta tahun yang silam”. Maka  bentuk dan mekanisme psikologis Manusia Indonesia sekarang, memiliki akar pada masa Hindu,  Buddha dan sebelumnya, yaitu periode Paganisme.

Tafsir Jalalain mengartikan ayat ini sebagai permohonan “taufik” (bimbingan) agar kita dapat menempuh jalan hidayah yang telah dibentangkan Allah agar kita benar-benar sampai kepada kebahagiaan duniawi dan ukhrawi.

Paganisme.

Paganisme adalah peradaban primitif atau awal peradaban Manusia Indonesia. Diperkirakan pada 20 abad yang lalu. Hal ini didasarkan pada temuan fosil tengkorak Manusia Indonesia oleh Balai Arkeologi Denpasar pada situs sejarah di Desa Sembiran, Singaraja, Bali, yang dipublikasikan oleh Made Suastik ,1 September 2004 lalu. Pada abad ke-1 diperkirakan telah ada kerajaan purba yang rajanya menganut agama primitif  paganisme, yaitu Prabu Dewata Cengkar yang bertahta disekitar Bogor (vide, Pengajian Keempatbelas, 17/9/04). Agama primitif

Jawa itu mirip agama Wu di Tiongkok purba, 30 abad sebelum masehi. Paganisme Jawa primitif itu berbentuk penyembahan kepada hantu, arwah dan jiwa semua benda (animisme dan pantheisme). Maka terbentuklah mite-mite yang membentuk tempat keramat dan ritualitas tertentu, yang lebih merupakan refleksi ketakutan manusia terhadap kekuatan semesta alam dan kekuatan supra natural yang tidak tampak.

Pengetahuan manusia tentang kejiwaan masih sangat rendah masa ini. Manusia belum mengetahui dan membedakan fungsi organ-organ jiwa secara kognitif, kecuali hanya sensori motor yang sifatnya reflektif.  Manusia belum memiliki pengetahuan yang cukup dalam menseleksi dorongan-dorongan instinktif dari ketidaksadaran.

Akibatnya proses pencarian tuhan itu banyak menyesatkan. Ini karena di dalam jiwa manusia terdapat organ jiwa yang disebut archeytipus (arsetip) yaitu pusat ketidaksadaran yang berisi bayang-bayang kegelapan, merupakan pusat segala dorongan kegelapan manusia yang dimiliki setiap orang (CG Jung, 1875-1959). Atau inilah pusat hawa nafsu kebinatangan manusia, yang termasuk dalam  rejim instinktif yang disebut das Es atau id (Freud, 1856-1939). Dari arah inilah timbul dorongan-dorongan instink manusia untuk memenuhi hawa nafsunya, yang memunculkan tindakan impulsif yang primitif seperti yang dilakukan Prabu Dewata Cengkar yang memakan daging manusia untuk kesaktian dan panjang umur, agar kekuasaannya menjadi kuat dan langgeng. Peradaban paganisme yang berintikan pada mite-mite arsetip itu diperkirakan berlangsung sejak abad ke-1 hingga awal abad ke-8.

Pada abad ke-1 sesungguhnya sudah terjadi upaya penghinduan Jawa. Antara lain ditandai dengan dibunuhnya Raja Pasundan purba Dewata Cengkar oleh seorang bangsawan Hindustan Aji Saka yang merupakan orang pertama yang mengajarkan kebudayaan Hindu kepada masyarakat Pasundan-Jawa.

Huruf tradisional Sunda-Jawa Hanacaraka yang berbentuk huruf Pallawa berasal dari peradaban Hindustan yang diajarakan Aji Saka kepada masyarakat Pasundan-Jawa. Namun mainstream spiritualisme masyarakat Sunda-Jawa tetap paganisme. Masalah ini kita angkat kembali karena adanya peserta baru pengajian yang menanyakan tentang kebudayaan sebelum Hindu pada Pengajian Kelimabelas yang lalu.

Baru pada awal abad ke-8, ketika Dinasti Sanjaya berhasil menguasai tanah yang luas di Jawa Tengah dan mendirikan kerajaan Hindu Medang Mataram atau disebut juga Medang Kamulan pada tahun 732, terjadi sublimasi budaya dari paganisme kepada hinduisme. Namun masih kuatnya pengaruh tradisional paganisme menjadikan sinkretisme Hinduisme-Paganisme. Mite-mite paganisme tetap hidup tetapi diwarnai dengan spirit Hindu, seperti mitos Sangkuriang di Jawa Barat dan mitos Dewi Nawangwulan di Jawa Tengah yang mengajarkan moral Hindu.

Para penguasa Hindu mengukuhkan kekuasaan dengan budaya kasta. Struktur sosial yang membentuk fungsi sosial berdasarkan klas-klas sosial, seperti kasta Brahmana bagi kaum pendeta, kasta Ksatria bagi kaum penguasa, kasta Sudra bagi rakyat umum dan kasta Paria bagi rakyat miskin serta sebutan-sebutan lainnya. Semua wajib memenuhi Dharma (kewajiban) dan Karma (takdir) menurut derajat kasta-nya masing-masing. Tentang spirit Hindu ini sudah pernah kita bahas pada Pengajian Kesembilan, 13/8/04.

Kekuasaan Hindu bertahan hingga awal abad 13. Setelah Ken Arok Sri Rajasa dari Singosari memimpin Nusantara terjadi perubahan dan reformasi dibidang keagamaan. Ken Arok membuka jalan bagi berkembangnya agama Buddha. Dan karena masih kuatnya pengaruh Hindu selama 5 abad sebelumnya, maka yang terjadi adalah sinkretisme Hindu-Buddha atau agama Shiwa-Buddha yang masih juga mengandung unsur-unsur paganisme, yang terus berkembang hingga zaman Majapahit.

Islam.

Sesungguhnya Islam sudah berkembang di Nusantara, khususnya di Jawa sejak akhir abad ke-8 (vide, Pengajian Kelimabelas, 24/11/04). Tetapi momentum membesarnya Islam sebagai agama masyarakat luas baru terjadi pada masa kebesaran Mahapatih Gajahmada sekitar 1350-1364. Banyak negeri-negeri adat yang ditaklukkan Gajahmada diangkat raja-raja Muslim bahkan keturunan Arab, seperti raja Pontianak yang muslim dan keturunan Arab, sementara mayoritas masyarakat tradisionalnya adalah Dayak yang paganis. Sepeninggal Gajahmada, Majapahit terjerumus dalam kekalutan politik, perang saudara dan pemberontakan (vide, Pengajian Keempatbelas dan Kelimabelas).

Waktu itu kaum Muslimin sudah berkembang luas dipesisir utara Jawa dengan pusat Bintoro Demak. Kekalutan sosial politik di Majapahit memberikan peluang bagi Islam untuk masuk dalam sanubari masyarakat dan menantang diskriminasi kasta yang dianggap sebagai sumber ketidakadilan di bumi Majapahit. Struktur kasta yang memberikan hak eksklusif atas kekuasaan dan kekayaan hanya kepada kaum Dharmaputera (bangsawan) justru merupakan sumber kemelut yang tidak habis-habisnya yang dipicu dari perlombaan kekuasaan para bangsawan yang hanya peduli kepada dirinya sendiri saja.

Islam muncul membebaskan jiwa rakyat Majapahit yang tertekan dengan menolak struktur kasta, dan mengajarkan kepada rakyat Nusantara bahwa kebahagiaan adalah hak semua orang, dan syaratnya hanyalah kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama, : “hablun minallah, wa hablun minannaas”. “Semua orang sama dihadapan Allah. Dan yang paling mulia adalah yang paling bertaqwa”.

Egaliteranisme, kerakyatan dan transcendental adalah ciri gerakan Islam dikala itu. Meskipun Buddha juga mereduksi kasta, tetapi tidak tuntas, karena sinkretisme Shiwa-Buddha justru melembagakan kompromi kekastaan diantara Hindu dan Buddha. Praktek-nya banyak bikhu Buddha dari kalangan bangsawan tinggi. Akibatnya reformasi sosial Buddhisme seperti ajaran Sidharta Gautama tidak berjalan di Nusantara. Sinkretisme Shiwa-Buddha mengimplementasikan kolaborasi penguasa Hindu-Buddha dalam mempertahankan eksistensi klas ksatria atau klas penguasa.

Kemenangan Sultan Fatah dari Bintoro Demak terhadap Prabu Uddhara Brawijaya VII pemberontak dari Kraton Keling Kediri yang mengusai mahkota Majapahit, pada tahun 1518 sekaligus mengakhiri mitos kekuasaan Shiwa-Buddha, dan hancurnya sistem kasta. Sunan Kalijogo dan Walisongo dari Bintoro Demak bergerak cepat dengan melancarkan reformasi sosial-budaya dalam masyarakat Nusantara dengan menetapkan kesamaan hak setiap orang atas kehidupan, matapencahariaan dan keagamaan. Meskipun tidak sama dengan mekanisme demokrasi modern, tetapi Bintoro Demak telah memperkenalkan Islam sebagai spirit kerakyatan yang transcendent.

Menurut Islam setiap orang dituntut tanggung-jawab atas perbuatannya masing-masing, baik didunia maupun diakherat. Hal ini menjadikan setiap warganegara memiliki hak terhadap negara dan hak menuntut tanggung-jawab pemerintahan, disamping kewajiban-kewajiban individu dan kolektif. Keseimbangan, kesetaraan dan ketaqwaan membangkitkan kekuatan intrinsik, berupa spirit yang membentuk energi psikis yang mendorong terciptanya sublimasi psikologis, yaitu transfer progresif dari budaya Shiwa-Buddha yang lumpuh, regresif dan rendah diferensiasinya kepada budaya Islam yang dinamik, progresif dan tinggi diferensiasinya.

Dari sistem sosial yang vertikal kepada sistem sosial yang horizontal. Sublimasi ini juga mengubah disposisi rigiditas hinduisme yang polytheistis kepada disposisi psikologis Islam yang monotheistis.

Konstitusi psikologis manusia Indonesia mengalami perubahan yang menentukan pada fase ini, dari mainstream mitologis-paganis kepada mainstream transcendental rukhaniyat. Dari sifat-sifat agnostic kepada  ketauhidan. Inilah zaman baru bagi Manusia Indonesia, dari posisi inilah terbentuk konstitusi psikologis yang baru yang membentuk the basic of Collevtive Unconscious (basis ketidaksadaran kolektif) yang mempengaruhi bentuk psyche Manusia Indonesia pada zaman selanjutnya, dan membentuk disposition of rigidity (watak asli) Manusia Indonesia yang mengandung unsur-unsur Tahuhid yang tercermin dalam struktur kepribadian dasar (basic personality structure).“Faman yakfur biththoghuuti wa yu’min billahi faqodistamsaka bil’urwatil wutsqoo”: ”Barangsiapa mengingkari thoghut, dan beriman kepada Allah, maka ia benar-benar telah berpegang teguh pada tali yang kuat” (QS II:256). Inilah kunci pemahaman Ihdienashshirothol-Mustaqiem.

Sekian, Birrachmatillahi Wabi’aunihi fi Sabilih,
Wassalamu’alaikum War. Wab.

Jakarta, 1 Oktober 2004
Pengasuh,

KH AGUS MIFTACH

Ketua Umum Front Persatuan Nasional




Tidak ada komentar:

Posting Komentar