Pengajian
Keenambelas.
Assalamu’alaikum
War. Wab.
“Ihdienashshirotol-Mustaqiem”
: “Tunjukkanlah kami jalan yang lurus” ; (Al-Fathah : 6).
Pembahasan
subyektif hikmah ayat ke-6 Al-Fatehah masih kita lanjutkan secara eklektik,
untuk mencari resultante dengan sejarah bangsa kita, terutama menyangkut proses
sublimasi-psikologis dari zaman ke zaman, hingga taraf kebudayaan dan peradaban
Manusia Indonesia sekarang. Sesuai prinsip Psikologi Evolusioner (Symons,
1991) seperti diungkapkan dalam Pengajian Kesebelas, 27/8/04 :”Mekanisme
psikologis manusia memiliki dasar genetik dimasa silam. Mekanisme psikologis
pada masa sekarang terbentuk melalui proses selama berabad, beribu bahkan
berjuta tahun yang silam”. Maka bentuk
dan mekanisme psikologis Manusia Indonesia sekarang, memiliki akar pada masa
Hindu, Buddha dan sebelumnya, yaitu
periode Paganisme.
Tafsir
Jalalain mengartikan ayat ini sebagai permohonan “taufik” (bimbingan) agar kita
dapat menempuh jalan hidayah yang telah dibentangkan Allah agar kita
benar-benar sampai kepada kebahagiaan duniawi dan ukhrawi.
Paganisme.
Paganisme
adalah peradaban primitif atau awal peradaban Manusia Indonesia. Diperkirakan
pada 20 abad yang lalu. Hal ini didasarkan pada temuan fosil tengkorak Manusia
Indonesia oleh Balai Arkeologi Denpasar pada situs sejarah di Desa Sembiran,
Singaraja, Bali, yang dipublikasikan oleh Made Suastik ,1 September 2004 lalu.
Pada abad ke-1 diperkirakan telah ada kerajaan purba yang rajanya menganut
agama primitif paganisme, yaitu Prabu
Dewata Cengkar yang bertahta disekitar Bogor (vide, Pengajian Keempatbelas,
17/9/04). Agama primitif
Jawa itu
mirip agama Wu di Tiongkok purba, 30 abad sebelum masehi. Paganisme Jawa
primitif itu berbentuk penyembahan kepada hantu, arwah dan jiwa semua benda
(animisme dan pantheisme). Maka terbentuklah mite-mite yang membentuk tempat
keramat dan ritualitas tertentu, yang lebih merupakan refleksi ketakutan
manusia terhadap kekuatan semesta alam dan kekuatan supra natural yang tidak
tampak.
Pengetahuan
manusia tentang kejiwaan masih sangat rendah masa ini. Manusia belum mengetahui
dan membedakan fungsi organ-organ jiwa secara kognitif, kecuali hanya sensori
motor yang sifatnya reflektif. Manusia
belum memiliki pengetahuan yang cukup dalam menseleksi dorongan-dorongan
instinktif dari ketidaksadaran.
Akibatnya
proses pencarian tuhan itu banyak menyesatkan. Ini karena di dalam jiwa manusia
terdapat organ jiwa yang disebut archeytipus (arsetip) yaitu pusat
ketidaksadaran yang berisi bayang-bayang kegelapan, merupakan pusat segala
dorongan kegelapan manusia yang dimiliki setiap orang (CG Jung, 1875-1959).
Atau inilah pusat hawa nafsu kebinatangan manusia, yang termasuk dalam rejim instinktif yang disebut das Es
atau id (Freud, 1856-1939). Dari arah inilah timbul dorongan-dorongan
instink manusia untuk memenuhi hawa nafsunya, yang memunculkan tindakan
impulsif yang primitif seperti yang dilakukan Prabu Dewata Cengkar yang memakan
daging manusia untuk kesaktian dan panjang umur, agar kekuasaannya menjadi kuat
dan langgeng. Peradaban paganisme yang berintikan pada mite-mite arsetip itu
diperkirakan berlangsung sejak abad ke-1 hingga awal abad ke-8.
Pada abad
ke-1 sesungguhnya sudah terjadi upaya penghinduan Jawa. Antara lain ditandai
dengan dibunuhnya Raja Pasundan purba Dewata Cengkar oleh seorang bangsawan
Hindustan Aji Saka yang merupakan orang pertama yang mengajarkan kebudayaan
Hindu kepada masyarakat Pasundan-Jawa.
Huruf
tradisional Sunda-Jawa Hanacaraka yang berbentuk huruf Pallawa
berasal dari peradaban Hindustan yang diajarakan Aji Saka kepada masyarakat
Pasundan-Jawa. Namun mainstream spiritualisme masyarakat Sunda-Jawa tetap
paganisme. Masalah ini kita angkat kembali karena adanya peserta baru pengajian
yang menanyakan tentang kebudayaan sebelum Hindu pada Pengajian Kelimabelas
yang lalu.
Baru pada
awal abad ke-8, ketika Dinasti Sanjaya berhasil menguasai tanah yang luas di
Jawa Tengah dan mendirikan kerajaan Hindu Medang Mataram atau disebut juga
Medang Kamulan pada tahun 732, terjadi sublimasi budaya dari paganisme kepada
hinduisme. Namun masih kuatnya pengaruh tradisional paganisme menjadikan
sinkretisme Hinduisme-Paganisme. Mite-mite paganisme tetap hidup tetapi
diwarnai dengan spirit Hindu, seperti mitos Sangkuriang di Jawa Barat dan mitos
Dewi Nawangwulan di Jawa Tengah yang mengajarkan moral Hindu.
Para penguasa
Hindu mengukuhkan kekuasaan dengan budaya kasta. Struktur sosial yang membentuk
fungsi sosial berdasarkan klas-klas sosial, seperti kasta Brahmana bagi kaum
pendeta, kasta Ksatria bagi kaum penguasa, kasta Sudra bagi rakyat umum dan
kasta Paria bagi rakyat miskin serta sebutan-sebutan lainnya. Semua wajib
memenuhi Dharma (kewajiban) dan Karma (takdir) menurut derajat kasta-nya
masing-masing. Tentang spirit Hindu ini sudah pernah kita bahas pada Pengajian
Kesembilan, 13/8/04.
Kekuasaan
Hindu bertahan hingga awal abad 13. Setelah Ken Arok Sri Rajasa dari Singosari
memimpin Nusantara terjadi perubahan dan reformasi dibidang keagamaan. Ken Arok
membuka jalan bagi berkembangnya agama Buddha. Dan karena masih kuatnya
pengaruh Hindu selama 5 abad sebelumnya, maka yang terjadi adalah sinkretisme
Hindu-Buddha atau agama Shiwa-Buddha yang masih juga mengandung unsur-unsur
paganisme, yang terus berkembang hingga zaman Majapahit.
Islam.
Sesungguhnya
Islam sudah berkembang di Nusantara, khususnya di Jawa sejak akhir abad ke-8
(vide, Pengajian Kelimabelas, 24/11/04). Tetapi momentum membesarnya Islam
sebagai agama masyarakat luas baru terjadi pada masa kebesaran Mahapatih
Gajahmada sekitar 1350-1364. Banyak negeri-negeri adat yang ditaklukkan
Gajahmada diangkat raja-raja Muslim bahkan keturunan Arab, seperti raja
Pontianak yang muslim dan keturunan Arab, sementara mayoritas masyarakat
tradisionalnya adalah Dayak yang paganis. Sepeninggal Gajahmada, Majapahit
terjerumus dalam kekalutan politik, perang saudara dan pemberontakan (vide,
Pengajian Keempatbelas dan Kelimabelas).
Waktu itu
kaum Muslimin sudah berkembang luas dipesisir utara Jawa dengan pusat Bintoro
Demak. Kekalutan sosial politik di Majapahit memberikan peluang bagi Islam
untuk masuk dalam sanubari masyarakat dan menantang diskriminasi kasta yang
dianggap sebagai sumber ketidakadilan di bumi Majapahit. Struktur kasta yang
memberikan hak eksklusif atas kekuasaan dan kekayaan hanya kepada kaum
Dharmaputera (bangsawan) justru merupakan sumber kemelut yang tidak
habis-habisnya yang dipicu dari perlombaan kekuasaan para bangsawan yang hanya
peduli kepada dirinya sendiri saja.
Islam muncul
membebaskan jiwa rakyat Majapahit yang tertekan dengan menolak struktur kasta,
dan mengajarkan kepada rakyat Nusantara bahwa kebahagiaan adalah hak semua
orang, dan syaratnya hanyalah kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama, :
“hablun minallah, wa hablun minannaas”. “Semua orang sama dihadapan Allah. Dan
yang paling mulia adalah yang paling bertaqwa”.
Egaliteranisme,
kerakyatan dan transcendental adalah ciri gerakan Islam dikala itu. Meskipun
Buddha juga mereduksi kasta, tetapi tidak tuntas, karena sinkretisme
Shiwa-Buddha justru melembagakan kompromi kekastaan diantara Hindu dan Buddha.
Praktek-nya banyak bikhu Buddha dari kalangan bangsawan tinggi. Akibatnya
reformasi sosial Buddhisme seperti ajaran Sidharta Gautama tidak berjalan di
Nusantara. Sinkretisme Shiwa-Buddha mengimplementasikan kolaborasi penguasa
Hindu-Buddha dalam mempertahankan eksistensi klas ksatria atau klas penguasa.
Kemenangan
Sultan Fatah dari Bintoro Demak terhadap Prabu Uddhara Brawijaya VII
pemberontak dari Kraton Keling Kediri yang mengusai mahkota Majapahit, pada
tahun 1518 sekaligus mengakhiri mitos kekuasaan Shiwa-Buddha, dan hancurnya
sistem kasta. Sunan Kalijogo dan Walisongo dari Bintoro Demak bergerak cepat
dengan melancarkan reformasi sosial-budaya dalam masyarakat Nusantara dengan
menetapkan kesamaan hak setiap orang atas kehidupan, matapencahariaan dan
keagamaan. Meskipun tidak sama dengan mekanisme demokrasi modern, tetapi
Bintoro Demak telah memperkenalkan Islam sebagai spirit kerakyatan yang
transcendent.
Menurut Islam
setiap orang dituntut tanggung-jawab atas perbuatannya masing-masing, baik
didunia maupun diakherat. Hal ini menjadikan setiap warganegara memiliki hak
terhadap negara dan hak menuntut tanggung-jawab pemerintahan, disamping
kewajiban-kewajiban individu dan kolektif. Keseimbangan, kesetaraan dan ketaqwaan
membangkitkan kekuatan intrinsik, berupa spirit yang membentuk energi psikis
yang mendorong terciptanya sublimasi psikologis, yaitu transfer progresif dari
budaya Shiwa-Buddha yang lumpuh, regresif dan rendah diferensiasinya kepada
budaya Islam yang dinamik, progresif dan tinggi diferensiasinya.
Dari sistem
sosial yang vertikal kepada sistem sosial yang horizontal. Sublimasi ini juga
mengubah disposisi rigiditas hinduisme yang polytheistis kepada disposisi
psikologis Islam yang monotheistis.
Konstitusi
psikologis manusia Indonesia mengalami perubahan yang menentukan pada fase ini,
dari mainstream mitologis-paganis kepada mainstream transcendental rukhaniyat.
Dari sifat-sifat agnostic kepada
ketauhidan. Inilah zaman baru bagi Manusia Indonesia, dari posisi inilah
terbentuk konstitusi psikologis yang baru yang membentuk the basic of
Collevtive Unconscious (basis ketidaksadaran kolektif) yang mempengaruhi
bentuk psyche Manusia Indonesia pada zaman selanjutnya, dan membentuk disposition
of rigidity (watak asli) Manusia Indonesia yang mengandung unsur-unsur
Tahuhid yang tercermin dalam struktur kepribadian dasar (basic personality
structure).“Faman yakfur biththoghuuti wa yu’min billahi faqodistamsaka
bil’urwatil wutsqoo”: ”Barangsiapa mengingkari thoghut, dan beriman kepada
Allah, maka ia benar-benar telah berpegang teguh pada tali yang kuat” (QS
II:256). Inilah kunci pemahaman Ihdienashshirothol-Mustaqiem.
Sekian,
Birrachmatillahi Wabi’aunihi fi Sabilih,
Wassalamu’alaikum
War. Wab.
Jakarta, 1
Oktober 2004
Pengasuh,
KH
AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front Persatuan
Nasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar