Pengajian Kelimabelas, Jakarta, 24 September 2004
Assalamu’alaikum War. Wab.
“Ihdinash-shiroothol-mustaqiem(a)” : “Tunjukilah kami ke
jalan yang lurus” ; (Al-Baqoroh : 6).
Seperti telah disinggung pada
Pengajian Keempatbelas bahwa pembahasan hakekat ayat ke-6 Surat Al-Fatiehah ini
bersifat subyektif, dengan pendekatan eklektik, terutama dalam mencari hikmah
dalam kaitannya dengan perjuangan kaum muslimin dan bangsa Indonesia, untuk
menemukan benang merah Shirothol-Mustaqiem bagi perjalanan bangsa kedepan. Kita
lanjutkan pembahasan bagian ke II.
Tafsir Ibnu Katsir memberikan makna
‘jalan lurus’ sebagai “tawassul” dengan sifat-sifat yang tinggi dan amal saleh.
Merupakan jalan terdekat untuk mencapai kondisi yang diridhoi Allah sesuai
dengan apa yang diperintahkan-Nya melalui Rasul-Nya.
Histori.
Sejak abad ke-8, terutama pada masa
kekuasaan Khalifah Abbasiyah ke-V Harun Al-Rasyid (786-809), telah terjalin
hubungan dagang antara kota Baghdad dengan kota-kota pesisir Jawa Tengah dan
Jawa Timur. Waktu itu sudah ada kapal-kapal dagang dari Jawa Tengah dan Jawa
Timur yang berlayar hingga Teluk Persia, dan diantara mereka kemudian memeluk
agama Islam. Ketika pada tahun 1258 kota Baghdad digempur oleh pasukan Tar-tar,
Mongol, jalur perdagangan bebas timur dan barat beralih melintasi Gujarat, tak
terkecuali kapal-kapal dagang dari Nusantara. Penguasa kota Gujarat adalah
Sultan Nasiruddin (1246-1266), seorang raja Muslim yang bertahta di Delhi. Ini
membuktikan bahwa hubungan Nusantara dengan dunia Islam telah berlangsung lama,
yaitu sejak abad ke-8.
Ketika Maharaja Singasari Sri
Kertanegara yang beragama Shiwa-Buddha berkuasa di Nusantara, di Samudera
Pasai-Aceh Utara, telah bertahta seorang raja Muslim yang bergelar Sultan Malik
al-Shalih (wafat th. 1297). Pada th. 1350 penerus Malik al-Shalih, Sultan
Zainal-Abidin mengakui kekuasaan Majapahit dibawah pemerintahan Mahapatih
Gajahmada. Artinya bahwa pada masa itu di Majapahit telah terdapat
negara-negara bagian yang mayoritas penduduknya beragama Islam, seperti Samudra
Pasai kemudian menyusul Bintoro Demak. Agama Islam yang berkembang di Pasai
berasal dari Gujarat yang sudah diwarnai dengan budaya Persia dan India.
Pada th. 1396 seorang perwira pengikut
Gajahmada, bernama Prameswara bersama balatentaranya meninggalkan medan
“Perang Paregreg” yaitu perang saudara antara Majapahit melawan Wirabumi.
Prameswara dengan armadanya mendarat di Tumasik atau Singapura, mereka terlibat
pertempuran dengan Kerajaan Siam untuk memperebutkan Tumasik. Prameswara
kemudian meninggalkan Tumasik dan mendarat di Malaka atau Malaysia sekarang.
Laksamana Prameswara kemudian bertahta di Malaka dengan gelar Sultan
Iskandarsyah (1396-1414), dan menjadi raja pancer, atau cikal-bakal
sultan-sultan Melayu-Muslim. Ternyata perwira pengikut Gajahmada itu seorang
Muslim. Dinastinya terus menguasai Selat Malaka hingga datangnya bangsa
Protugis. Ketika Prabu Kertawijaya Brawijaya I berkuasa, wilayah Aceh dan
Simenanjung Malaka telah menjadi kerajaan Islam
makmur yang merdeka.
Sejarah membuktikan bahwa
berkembangnya Islam melalui jalur perdagangan laut, sehingga pemeluk Islam
pertama adalah dari kalangan rakyat jelata, para pedagang, awak kapal, pekerja pelabuhan yang kemudian menebar ke
kota-kota pesisir utara seperti Tuban, Gresik, Jepara dan Demak. Hal ini antara
lain berkat kebijakan Prabu Erlangga Maharaja Kediri (1019-1041) yang membuka
wilayah-wilayah tersebut untuk mengembangkan hubungan dagang dengan manca
negara. Pada puncak kejayaan Majapahit dibawah Mahapatih Gajahmada pada th.
1350-1364, agama Islam telah berkembang luas di bumi Nusantara dengan pusat
wilayah pesantren Glagahwangi yang kemudian berkembang menjadi kadipaten
Bintoro Demak. Bahkan terdapat dugaan bahwa Mahapatih Gajahmada yang
asal-usulnya misterius itu sesungguhnya seorang Muslim, yang bersyahadat
melalui Laksamana Kublai Khan Mongol yang menyerbu Kraton Kediri awal abad 13
dan menjatuhkan Raja Hindu Jayakatwang. Bukti bahwa perwira pengawal
Gajahmada, Prameswara yang ternyata
adalah seorang Muslim lebih mendekatkan kemungkinan muslim-nya Mahapatih
Gajahmada.
Dalam
Pengajian Keempatbelas kita telah mengungkapkan tindakan Raden
Fatah pada th. 1518 dari Bintoro Demak yang
berhasil menyelamatkan negara Nusantara
Majapahit dari kekacauan dan pemberontakan Raja Hindu dari Keling Kediri Prabu
Uddhara, serta mempersatukan kembali negara Majapahit dibawah trah yang benar
dan ciri kepemimpinan nasionalistis religius yang ditegakkan para pemimpin
Muslim Bintoro Demak (R. Atmodarminto, Babad Demak, 2000). Perkembangan di
Baghdad, Gujarat, Pasai dan Malaka adalah kait berkait, dan merupakan proses
orkestrasi yang mengantar bangkitnya kepemimpinan muslim Bintoro Demak di bumi
Nusantara dengan warna warna yang khas, pembebasan kasta, egaliter dan
kerakyatan. Semangat nasionalistis religius berkembang kuat dikalangan rakyat,
meninggalkan semangat kasta yang kembali bercokol dikalangan penguasa
Majapahit sepeninggal Gajahmada dan
terus diekspoitir hingga masa akhir.
Psikologi.
Kekacauan yang terjadi terus menerus
sejak wafatnya Mahapatih Gajahmada pada th. 1364, secara psikologis telah
banyak menimbulkan kecemasan realistis dikalangan rakyat. Dan karena keadaannya
tidak mereda dan tidak tertanggulangi oleh das Ich maka menjadi
traumatis (Sigmund Freud 1856-1939). Trauma menciptakan mekanisme pertahanan
dalam jiwa yang menghambat kreativitas, seperti represi, rasionalisasi,
identifikasi, introjeksi, regresi, proyeksi, pembentukan reaksi, pemindahan dan
kompartementalisasi (Utami Munandar, 1999). Kemunduran mental kreatif tercermin
dalam kemunduran kehidupan sosial di Majapahit disegala bidang, membuat negara
lemah dan rakyat semakin terabaikan dan menderita.
Disamping 9 bentuk mekanisme
pertahanan yang menghambat kreativitas tsb, terdapat satu atau dua bentuk
mekanisme pertahanan yang menurut Freud justru menjadi sumber kreativitas
tinggi, yaitu sublimasi dan kompensasi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Hj.
Siti Maslaha Miftach, Mpsi 2003-2004 pada masyarakat Tionghoa Hokkian
Glodok, sublimasi terjadi terutama oleh faktor intrinsik yaitu spirit yang
hidup dalam jiwa manusia. Pada masa akhir Majapahit sinkretisme Shiwa-Buddha
tidak lagi mampu menghidupkan spirit yang dapat membangkitkan energi psikis
yang dapat membentuk sikap mental dan perilaku yang progresif, sehingga setelah
berlarut-larut kekacauan negara tetap tidak terjadi tindakan sublimatif untuk
mengeluarkan negara dari situasi kacau kepada norma-norma ketertiban dan
harapan masa depan yang lebih baik. Atau dengan kata lain telah terjadi
kematian spirit. Pada situasi seperti itulah bertiup angin segar pembaruan dari
norma-norma dan nilai-nilai Islam yang egaliter, non-kasta, kerakyatan
sekaligus transcendent, yang mencerminkan kekayaan dan kekuatan
spiritual baru. Semangat reformasi Islam yang bertiup kencang dikalangan
masyarakat bawah ternyata mampu menciptakan dorongan psikis dikalangan rakyat
Majapahit untuk keluar dari kondisi yang kacau, tanpa harapan dengan
diferensiasi yang rendah dan proses-proses kejiwaan yang lebih primitif, kepada
situasi baru yang lebih spiritual, kultural dengan diferensiasi yang lebih
tinggi dan proses-proses kejiwaan yang progresif (CG.Jung 1875-1959). Ini
ditandai dengan bangkitnya kepemimpinan muslim Bintoro Demak dengan Raden Fatah
dan Walisongo-nya, memulihkan ketertiban dan kesatuan Majapahit serta membawa
rakyat Majapahit kepada keyakinan baru dan harapan masa depan baru, “minadzzulumati
ilannuur”. Inilah transferabilitas progresif yang membawa rakyat
Majapahit keluar dari kegelapan kepada cahaya yang benderang; Keluar dari
kemusyrikan Shiwa-Buddha kepada Iman Tauhid Islam.
Inilah momentum awal Tauhid Islam
menjadi sumber nilai-nilai baru di bumi Nusantara, yang menghidupkan jiwa
rakyat dan mendorongnya beremansipasi ke puncak-puncaknya yang tertinggi,
menciptakan dinamika disegala bidang, menggairahkan perniagaan, memajukan
perekonomian rakyat disemua sektor, sehingga pada masa Bintoro Demak, negara
Nusantara dalam keadaan makmur sejahtera. Inilah yang dimaksud sebagai
sublimasi oleh dua pemikir besar abad 20 Sigmund Freud dan Carl Gustav Jung,
yaitu transferabilitas progresif dari keadaan dengan diferensiasi rendah kepada
suatu keadaan baru dengan diferensiasi yang lebih tinggi, terutama diukur dari
aspek spiritual dan kultural.
Keadaan itu mengingatkan kita kepada
sebuah hadiest Nabi SAW :
“Kuntu rodiefan-nabiya SAW ‘ala himaarin, faqola li : Ya
Mu’adz atadrie maa haqqollohi ‘alal-’ibadie, wa maa haqqol-’ibaadi ‘alallohi ?
Qultu, Allohu wa Rosuluhu ‘a’lam. Qola : Haqqullohi ‘alal’-ibadi,
an-ya’buduuhu, wa laa yusyrikuu bihi syai’a. Wa haqqul ibadi ‘alallohi an-la
yu’adzdziba, man la yusyriku bihi syai’a “, : “Aku pernah dibonceng Nabi SAW
diatas seekor keledai. Lalau beliau berkata kepadaku : Hai Muadz, tahukah kamu
apa hak Allah yang wajib dipenuhi oleh hamba-Nya, dan apa hak hamba yang wajib
dipenuhi Allah ? Aku menjawab : Allah dan Rosul-Nya lebih mengetahui. Beliaupun
bersabda : Hak Allah yang wajib dipenuhi oleh para hamba-Nya, ialah supaya
mereka beribadah hanya kepada Allah saja, dan tidak berbuat syirik sedikitpun
kepada-Nya; sedangkan hak para hamba yang pasti dipenuhi Allah ialah :
Membebaskan dari segala adzab bagi hamba yang tidak berbuat syirik sedikitpun
kepada-Nya.” (HR. Bukhori dan Muslim).
Jadi jelas-lah hakekat Ihdienashshirotol-Mustaqiem
(QS I:6) adalah satu sublimasi budaya religius dari kemusyrikan penyembahan
berhala kepada ketauhidan penyembahan Allah Yang Maha Esa. Dari polytheisme
kepada monotheisme, dari agnostisisme kepada transcendental, dari kegelapan
kepada pencerahan, minadzzulumati ilan-nuur. Kini bangsa kita kembali musyrik
dengan budaya hedonisme dan diambang kehancuran. Untuk menyelamatkan, harus
kembali ke jalan yang lurus, yaitu jalan tauhid yang pernah ditempuh para
pemimpin muslim Bintoro Demak dalam menyelamatkan negara Nusantara Majapahit
pada awal abad 16, dengan spirit nasionalistis relegius dan kasih sesama yang
luhur, seperti terangkum dalam sesanti : “Suro diro joyoning-rat, lebur
dening pangastuti”: “Segala angkara murka hancur oleh kasih sayang”.
Artinya segala upaya penyelamatan
bangsa bukanlah didasarkan atas ambisi kekuasaan pribadi maupun kelompok, namun
lebih didasarkan kepada kasih sayang kita kepada seluruh warga bangsa. Sekian.
Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi
Sabilih,
Wassalamu’alaikum War. Wab.
Jakarta, 24 September 2004.
Pengasuh,
HAJI AGUS MIFTACH
Ketua Umum
Front Persatuan Nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar