7.7.17

Pengajian Kelimabelas, Jakarta, 24 September 2004

 Pengajian Kelimabelas, Jakarta, 24 September 2004




Assalamu’alaikum War. Wab.
“Ihdinash-shiroothol-mustaqiem(a)” : “Tunjukilah kami ke jalan yang lurus” ; (Al-Baqoroh : 6).
Seperti telah disinggung pada Pengajian Keempatbelas bahwa pembahasan hakekat ayat ke-6 Surat Al-Fatiehah ini bersifat subyektif, dengan pendekatan eklektik, terutama dalam mencari hikmah dalam kaitannya dengan perjuangan kaum muslimin dan bangsa Indonesia, untuk menemukan benang merah Shirothol-Mustaqiem bagi perjalanan bangsa kedepan. Kita lanjutkan pembahasan bagian ke II.
Tafsir Ibnu Katsir memberikan makna ‘jalan lurus’ sebagai “tawassul” dengan sifat-sifat yang tinggi dan amal saleh. Merupakan jalan terdekat untuk mencapai kondisi yang diridhoi Allah sesuai dengan apa yang diperintahkan-Nya melalui Rasul-Nya.

Histori.
Sejak abad ke-8, terutama pada masa kekuasaan Khalifah Abbasiyah ke-V Harun Al-Rasyid (786-809), telah terjalin hubungan dagang antara kota Baghdad dengan kota-kota pesisir Jawa Tengah dan Jawa Timur. Waktu itu sudah ada kapal-kapal dagang dari Jawa Tengah dan Jawa Timur yang berlayar hingga Teluk Persia, dan diantara mereka kemudian memeluk agama Islam. Ketika pada tahun 1258 kota Baghdad digempur oleh pasukan Tar-tar, Mongol, jalur perdagangan bebas timur dan barat beralih melintasi Gujarat, tak terkecuali kapal-kapal dagang dari Nusantara. Penguasa kota Gujarat adalah Sultan Nasiruddin (1246-1266), seorang raja Muslim yang bertahta di Delhi. Ini membuktikan bahwa hubungan Nusantara dengan dunia Islam telah berlangsung lama, yaitu sejak abad ke-8.
Ketika Maharaja Singasari Sri Kertanegara yang beragama Shiwa-Buddha berkuasa di Nusantara, di Samudera Pasai-Aceh Utara, telah bertahta seorang raja Muslim yang bergelar Sultan Malik al-Shalih (wafat th. 1297). Pada th. 1350 penerus Malik al-Shalih, Sultan Zainal-Abidin mengakui kekuasaan Majapahit dibawah pemerintahan Mahapatih Gajahmada. Artinya bahwa pada masa itu di Majapahit telah terdapat negara-negara bagian yang mayoritas penduduknya beragama Islam, seperti Samudra Pasai kemudian menyusul Bintoro Demak. Agama Islam yang berkembang di Pasai berasal dari Gujarat yang sudah diwarnai dengan budaya Persia dan India.
Pada th. 1396 seorang perwira pengikut Gajahmada, bernama Prameswara bersama balatentaranya meninggalkan medan “Perang Paregreg” yaitu perang saudara antara Majapahit melawan Wirabumi. Prameswara dengan armadanya mendarat di Tumasik atau Singapura, mereka terlibat pertempuran dengan Kerajaan Siam untuk memperebutkan Tumasik. Prameswara kemudian meninggalkan Tumasik dan mendarat di Malaka atau Malaysia sekarang. Laksamana Prameswara kemudian bertahta di Malaka dengan gelar Sultan Iskandarsyah (1396-1414), dan menjadi raja pancer, atau cikal-bakal sultan-sultan Melayu-Muslim. Ternyata perwira pengikut Gajahmada itu seorang Muslim. Dinastinya terus menguasai Selat Malaka hingga datangnya bangsa Protugis. Ketika Prabu Kertawijaya Brawijaya I berkuasa, wilayah Aceh dan Simenanjung Malaka telah menjadi kerajaan Islam  makmur yang merdeka.
Sejarah membuktikan bahwa berkembangnya Islam melalui jalur perdagangan laut, sehingga pemeluk Islam pertama adalah dari kalangan rakyat jelata, para pedagang, awak kapal,  pekerja pelabuhan yang kemudian menebar ke kota-kota pesisir utara seperti Tuban, Gresik, Jepara dan Demak. Hal ini antara lain berkat kebijakan Prabu Erlangga Maharaja Kediri (1019-1041) yang membuka wilayah-wilayah tersebut untuk mengembangkan hubungan dagang dengan manca negara. Pada puncak kejayaan Majapahit dibawah Mahapatih Gajahmada pada th. 1350-1364, agama Islam telah berkembang luas di bumi Nusantara dengan pusat wilayah pesantren Glagahwangi yang kemudian berkembang menjadi kadipaten Bintoro Demak. Bahkan terdapat dugaan bahwa Mahapatih Gajahmada yang asal-usulnya misterius itu sesungguhnya seorang Muslim, yang bersyahadat melalui Laksamana Kublai Khan Mongol yang menyerbu Kraton Kediri awal abad 13 dan menjatuhkan Raja Hindu Jayakatwang. Bukti bahwa perwira pengawal Gajahmada,  Prameswara yang ternyata adalah seorang Muslim lebih mendekatkan kemungkinan muslim-nya Mahapatih Gajahmada.
Dalam Pengajian Keempatbelas kita telah mengungkapkan tindakan Raden
 Fatah pada th. 1518 dari Bintoro Demak yang berhasil menyelamatkan negara  Nusantara Majapahit dari kekacauan dan pemberontakan Raja Hindu dari Keling Kediri Prabu Uddhara, serta mempersatukan kembali negara Majapahit dibawah trah yang benar dan ciri kepemimpinan nasionalistis religius yang ditegakkan para pemimpin Muslim Bintoro Demak (R. Atmodarminto, Babad Demak, 2000). Perkembangan di Baghdad, Gujarat, Pasai dan Malaka adalah kait berkait, dan merupakan proses orkestrasi yang mengantar bangkitnya kepemimpinan muslim Bintoro Demak di bumi Nusantara dengan warna warna yang khas, pembebasan kasta, egaliter dan kerakyatan. Semangat nasionalistis religius berkembang kuat dikalangan rakyat, meninggalkan semangat kasta yang kembali bercokol dikalangan penguasa Majapahit  sepeninggal Gajahmada dan terus diekspoitir hingga masa akhir.

Psikologi.
Kekacauan yang terjadi terus menerus sejak wafatnya Mahapatih Gajahmada pada th. 1364, secara psikologis telah banyak menimbulkan kecemasan realistis dikalangan rakyat. Dan karena keadaannya tidak mereda dan tidak tertanggulangi oleh das Ich maka menjadi traumatis (Sigmund Freud 1856-1939). Trauma menciptakan mekanisme pertahanan dalam jiwa yang menghambat kreativitas, seperti represi, rasionalisasi, identifikasi, introjeksi, regresi, proyeksi, pembentukan reaksi, pemindahan dan kompartementalisasi (Utami Munandar, 1999). Kemunduran mental kreatif tercermin dalam kemunduran kehidupan sosial di Majapahit disegala bidang, membuat negara lemah dan rakyat semakin terabaikan dan menderita.
Disamping 9 bentuk mekanisme pertahanan yang menghambat kreativitas tsb, terdapat satu atau dua bentuk mekanisme pertahanan yang menurut Freud justru menjadi sumber kreativitas tinggi, yaitu sublimasi dan kompensasi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Hj. Siti Maslaha Miftach, Mpsi 2003-2004 pada masyarakat Tionghoa Hokkian Glodok, sublimasi terjadi terutama oleh faktor intrinsik yaitu spirit yang hidup dalam jiwa manusia. Pada masa akhir Majapahit sinkretisme Shiwa-Buddha tidak lagi mampu menghidupkan spirit yang dapat membangkitkan energi psikis yang dapat membentuk sikap mental dan perilaku yang progresif, sehingga setelah berlarut-larut kekacauan negara tetap tidak terjadi tindakan sublimatif untuk mengeluarkan negara dari situasi kacau kepada norma-norma ketertiban dan harapan masa depan yang lebih baik. Atau dengan kata lain telah terjadi kematian spirit. Pada situasi seperti itulah bertiup angin segar pembaruan dari norma-norma dan nilai-nilai Islam yang egaliter, non-kasta, kerakyatan sekaligus transcendent, yang mencerminkan kekayaan dan kekuatan spiritual baru. Semangat reformasi Islam yang bertiup kencang dikalangan masyarakat bawah ternyata mampu menciptakan dorongan psikis dikalangan rakyat Majapahit untuk keluar dari kondisi yang kacau, tanpa harapan dengan diferensiasi yang rendah dan proses-proses kejiwaan yang lebih primitif, kepada situasi baru yang lebih spiritual, kultural dengan diferensiasi yang lebih tinggi dan proses-proses kejiwaan yang progresif (CG.Jung 1875-1959). Ini ditandai dengan bangkitnya kepemimpinan muslim Bintoro Demak dengan Raden Fatah dan Walisongo-nya, memulihkan ketertiban dan kesatuan Majapahit serta membawa rakyat Majapahit kepada keyakinan baru dan harapan masa depan baru, “minadzzulumati ilannuur”. Inilah transferabilitas progresif yang membawa rakyat Majapahit keluar dari kegelapan kepada cahaya yang benderang; Keluar dari kemusyrikan Shiwa-Buddha kepada Iman Tauhid Islam.
Inilah momentum awal Tauhid Islam menjadi sumber nilai-nilai baru di bumi Nusantara, yang menghidupkan jiwa rakyat dan mendorongnya beremansipasi ke puncak-puncaknya yang tertinggi, menciptakan dinamika disegala bidang, menggairahkan perniagaan, memajukan perekonomian rakyat disemua sektor, sehingga pada masa Bintoro Demak, negara Nusantara dalam keadaan makmur sejahtera. Inilah yang dimaksud sebagai sublimasi oleh dua pemikir besar abad 20 Sigmund Freud dan Carl Gustav Jung, yaitu transferabilitas progresif dari keadaan dengan diferensiasi rendah kepada suatu keadaan baru dengan diferensiasi yang lebih tinggi, terutama diukur dari aspek spiritual dan kultural.
Keadaan itu mengingatkan kita kepada sebuah hadiest Nabi SAW :
“Kuntu rodiefan-nabiya SAW ‘ala himaarin, faqola li : Ya Mu’adz atadrie maa haqqollohi ‘alal-’ibadie, wa maa haqqol-’ibaadi ‘alallohi ? Qultu, Allohu wa Rosuluhu ‘a’lam. Qola : Haqqullohi ‘alal’-ibadi, an-ya’buduuhu, wa laa yusyrikuu bihi syai’a. Wa haqqul ibadi ‘alallohi an-la yu’adzdziba, man la yusyriku bihi syai’a “, : “Aku pernah dibonceng Nabi SAW diatas seekor keledai. Lalau beliau berkata kepadaku : Hai Muadz, tahukah kamu apa hak Allah yang wajib dipenuhi oleh hamba-Nya, dan apa hak hamba yang wajib dipenuhi Allah ? Aku menjawab : Allah dan Rosul-Nya lebih mengetahui. Beliaupun bersabda : Hak Allah yang wajib dipenuhi oleh para hamba-Nya, ialah supaya mereka beribadah hanya kepada Allah saja, dan tidak berbuat syirik sedikitpun kepada-Nya; sedangkan hak para hamba yang pasti dipenuhi Allah ialah : Membebaskan dari segala adzab bagi hamba yang tidak berbuat syirik sedikitpun kepada-Nya.” (HR. Bukhori dan Muslim).
Jadi jelas-lah hakekat Ihdienashshirotol-Mustaqiem (QS I:6) adalah satu sublimasi budaya religius dari kemusyrikan penyembahan berhala kepada ketauhidan penyembahan Allah Yang Maha Esa. Dari polytheisme kepada monotheisme, dari agnostisisme kepada transcendental, dari kegelapan kepada pencerahan, minadzzulumati ilan-nuur. Kini bangsa kita kembali musyrik dengan budaya hedonisme dan diambang kehancuran. Untuk menyelamatkan, harus kembali ke jalan yang lurus, yaitu jalan tauhid yang pernah ditempuh para pemimpin muslim Bintoro Demak dalam menyelamatkan negara Nusantara Majapahit pada awal abad 16, dengan spirit nasionalistis relegius dan kasih sesama yang luhur, seperti terangkum dalam sesanti : “Suro diro joyoning-rat, lebur dening pangastuti”: “Segala angkara murka hancur oleh kasih sayang”.
Artinya segala upaya penyelamatan bangsa bukanlah didasarkan atas ambisi kekuasaan pribadi maupun kelompok, namun lebih didasarkan kepada kasih sayang kita kepada seluruh warga bangsa. Sekian.
Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi Sabilih,
Wassalamu’alaikum War. Wab.
Jakarta, 24 September 2004.
Pengasuh,

 

HAJI AGUS MIFTACH

Ketua Umum Front Persatuan Nasional.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar