Pengajian Keempat belas.
Assalamu’alaikum War. Wab.
“Ihdinasshirotol-Mustaqiem” :
“Tunjukilah kami Jalan yang Lurus” ; (Al-Baqoroh : 6). Kita membahas
hekakat ayat ini dengan metode eklektik, dengan subyektivisme Indonesia, untuk
mengambil hikmah pada perjalanan bangsa dewasa ini dan kedepan.
Tafsir Jalalain
berpendapat bahwa “jalan yang lurus” tak lain adalah agama Allah yang akan membawa manusia kepada kebahagiaan
dunia dan akhirat. Sementara Tafsir Ibnu Katsir lebih menekankan dengan Dinul
Islam yang sahih, tanpa tambahan dan pengurangan, agama yang bersih dari bid’ah
dan khurafat.
Histori.
Pada th. 732 di Jawa Tengah berdiri kerajaan Hindu Mataram Medang dibawah Dinasti Sanjaya. Dalam
perkembangannya pusat kekuasaan bergeser ke Kediri, Jawa Timur. Kaisar Hindu
yang terbesar dan terakhir adalah Sri
Kertajaya. Selama 5 abad (732-1222) Jawa dan
sekitarnya berada dibawah pengaruh kuat Hindu yang membentuk religi dan budaya.
Tetapi sesungguhnya masyarakat Jawa purba sudah memiliki kebudayaan asli, yaitu
penyembahan arwah dan hantu atau paganisme, seperti yang
dianut Raja Pasundan Purba Dewata
Cengkar yang
bertahta di sekitar Bogor abad ke-1. Agama purba Jawa ini memiliki kemiripan
dengan Agama Wu abad ke-30 SM di
Tiongkok yang diduga memang dianut kebanyakan umat manusia dizaman purbakala.
Dinasti Sanjaya
berasal dari Hindustan (India) yang
berhasil mendirikan kerajaan di Jawa. Maka terdapat kasta Hindu dan kasta
pribumi. Oleh perjalanan waktu terjadi pembauran, tetapi tetap ada sekat dalam
hierarki kasta itu.
Th. 1222 Ken Arok atau Sri Rajasa dari Tumpel menggempur Kediri, dan mengakhiri peradaban
Hindu Mataram Medang. Dalam era kekuasaan Sri Rajasa, pengaruh Hindu mulai
surut disusul masuknya Buddha yang dirasa lebih toleran dalam hal kasta. Mulai dari
Ken Arok inilah berkembang kepercayaan Shiwa-Buddha, yaitu sinkretisme
Hindu-Buddha. Ken Arok memindahkan pusat kekuasaan ke Singosari. Pada akhir
abad ke 13 Singosari dng kaisar terakhirnya Sri Kertanegara runtuh digempur oleh Prabu Jayakatwang dari Kediri. Tetapi peradaban Shiwa-Buddha terus
berkembang. Raden Wijaya keturunan Ken Arok
yang menjadi menantu Kertanegara setelah takluk kepada Jayakatwang diberi tanah
perdikan Tarik yang kemudian
berkembang menjadi Majapahit. Ketika Kraton
Kediri hancur oleh Laksamana Mongol Kublai
Khan dari
Tiongkok, terjadi kekosongan kekuasaan. Raden Wijaya kemudian dinobatkan
menjadi Raja Majapahit dengan gelar Prabu
Kertarajasa Jayawardana (1294-1309) dengan tiga pengikutnya yang terkenal yang
berasal dari rakyat jelata yaitu Nambi,
Sora
dan Ronggolawe. Prabu Kertarajasa
dan Permaisurinya Dyah
Rajapatni
beragama Buddhha. Dalam masa kekuasaannya agama Buddha mengalami kemajuan besar
terutama dikalangan rakyat dan para pejabat yang bukan keturunan bangsawan,
karena Buddha tidak begitu mempersoalkan kasta. Ketika Sri Kertarajasa wafat
pada tahun 1309, ia digantikan puteranya dari garwa paminggir (bukan permaisuri) yang bergelar Prabu Jayanagara yang masih berusia 15 tahun. Pada masa
pemerintahan Jayanagara perselisihan agama menghebat. Mahapatih Kerajaan yang
pemimpin Hindu memimpin para Dharmaputera (para pejabat
bangsawan) untuk menyingkirkan para pejabat
dari rakyat jelata yang dipimpin Nambi, Sora dan Ronggolawe yang
Buddhis, yang berakhir dengan perang besar di Tuban dan Lumajang. Meskipun
Nambi, Sora dan Ronggolawe berhasil ditumpas, tetapi Majapahit kehabisan
energi, melemah. Akibatnya banyak daerah yang melepaskan diri. Pada masa itu
Majapahit dibagi menjadi tiga kraton yang dipimpin masing-masing putera Prabu
Kertarajasa, yaitu :
-
Kraton Kahuripan dengan raja puteri Tribuana Tunggadewi,
-
Kraton Daha dengan raja puteri Wijayadewi, dan
-
Kraton Kediri dengan maharaja Prabu Jayanagara sbg kerajaan pusat.
Pada awal abad 14
terjadi pemberontakan para Dharmaputera dipimpin Kuti. Mahapatih Kediri justru dibunuh para Dharmaputera-nya
sendiri. Ekses dari kemelut ini ialah tewasnya Prabu Jayanagara oleh tabib Tanca pengikut Kuti yang marah karena isyu
Raja menzinahi istrinya. Pada masa kekalutan inilah muncul perwira bhayangkara Gajah Mada yang dengan
kecerdasan dan siasatnya berhasil menyelamatkan negara dari kehancuran. Tidak
jelas asal-usulnya , termasuk apakah Gajah Mada seorang Buddhis ? Yang pasti
bukan Hindu. Ada yang menduga Gajah Mada seorang Muslim, mengingat pandangannya
yang merakyat dan egaliter, yang menjadi ciri-ciri kelompok Muslim yang mulai
tumbuh di masa itu, yang berbeda dengan pandangan kalangan Hindu dengan budaya
kasta-nya.
Maharaja Puteri Tribuwana Tunggadewi menggantikan
Jayanegara dan tetap bertahta di Kahuripan. Atas jasa-jasanya dan kemampuannya
yang tinggi dalam menyelamatkan negara, Gajah Mada diwisuda menjadi Mahapatih Mangkubumi menggantikan Arya Tadah yang sengaja
mengundurkan diri. Sebelum memangku jabatannya Mahapatih Gajah Mada mengucapkan
Sumpah Palapa : “Selamanya tidak akan memakan “palapa”
sebelum berhasil mempersatukan, memakmurkan dan meluhurkan Nusantara dalam kesatuan negara Majapahit”.
Gajah Mada
membuktikan sumpahnya mempersatukan kepulauan Nusantara, bahkan kekuasaan
Majapahit meluas hingga Singapura, Malaysia, Kamboja, Filipina dan Thailand.
Th. 1350 Kaisar Puteri Tribuana Tunggadewi digantikan oleh puteranya Prabu Rajasanagara atau Hayam Wuruk. Saat itu adalah
puncak kejayaan Majapahit dibawah kepemimpinan Mahapatih Gajah Mada yang disebut
zaman kerta atau windu kencana. Pada th. 1364
Mahapatih Gajah Mada wafat, menggoncangkan bumi Majapahit. Tapi Prabu
Rajasanagara bertindak tangkas dengan membentuk pemerintahan kolektif yang
terdiri enam kementerian (kanayakan) untuk menggantikan fungsi Gajah Mada. Pada
th.1389 Kaisar Hayam Wuruk wafat, digantikan menantunya Prabu Wikramawardana suami Dyah Kusumawardani, yang ditentang
puteranya dari garwa paminggir Prabu
Wirabumi
yang bertahta di wilayah Timur. Tahun 1401 pecah “Perang Paregreg” yang artinya perang saudara antara Majapahit melawan
Wirabumi, berlangsung selama 6 tahun. Diakhiri dengan gugurnya Prabu Wirabumi
th.1407. Prabu Wikramwardana wafat pada th. 1429. Dewi Suhita puterinya dari garwa
paminggir naik tahta dan wafat pada tahun 1447. Digantikan adiknya Kertawijaya yang bergelar Brawijaya I (1447-1451). Lalu
berturut-turut memerintah Majapahit, Rajasawardana
Brawijaya II (1451-1453), Purnawisesa
Brawijaya III (1456-1466), Pandansalas
Brawijaya IV (1466-1468), dan Kertabumi
Brawijaya V (1468-1478), disebut Brawijaya Pamungkas (keturunan Raden Wijaya yang
terakhir). Pemberontak dari Keling
Kediri keturunan Jayakatwang yang berhasil mengalahkan Majapahit Girindrawardana memakai pula gelar Brawijaya VI (1478-1498). Penggantinya Prabu Uddhara yg membunuh Girindrawardana, memakai pula gelar Brawijaya VII (1478-1518).
Sesungguhnya semenjak Perang Paregreg kedudukan Majapahit semakin melemah.
Banyak negara-negara seberang lautan yang melepaskan diri.
Th. 1513 Sultan Fatah atau Raden Fatah dari Bintoro Demak
menyerbu Majapahit. Setelah berperang selama 5 tahun, pada th. 1518 Raden Fatah
berhasil menaklukkan Majapahit dibawah raja pemberontak Prabu Uddhara
Barawijaya VII. Majapahit kembali kepada trah-nya dan dipersatukan dibawah
kepemimpinan Islam yang terus berpengaruh hingga perubahan Indonesia modern
awal abad 20. Itulah jalan yang sudah ditempuh nenek moyang kita.
Psikologi.
Carl Gustav Jung (1875-1959) seorang
pakar psikoanalitik berpendapat, bahwa evolusi manusia memberikan cetak biru bukan
hanya pada fisik atau disposisi fisiologis, melainkan pada jiwa atau disposisi
psikologis. Menurut Jung basis kepribadian manusia dibentuk oleh ketidaksadaran
kolektif, yang berisi gudang ingatan laten yang diwariskan oleh leluhur berisi
pengalaman-pengalaman umum yang terus-menerus dari generasi ke-generasi. Bukan
berupa memori atau fikiran spesifik, melainkan merupakan predisposisi
(kecenderungan bertindak) atau potensi pemikiran. Predisposisi ini menyangkut
pengalaman menghadapi bahaya, reproduksi, menyayangi anak dan kepercayaan
kepada Tuhan. Menurut Jung ketidaksadaran kolektif (transpersonal unconscious) merupakan perut dan
dasar gunung es yang maha luas, sedangkan kesadaran hanyalah puncaknya yang
kecil saja. Meskipun proses belajar memiliki pengaruh kuat, tetapi
ketidaksadaran kolektif merupakan faktor dominan pembentuk basic personality structure (struktur
kepribadian dasar). Bahkan unsur-unsur endogen yang berbasis pada keturunan
berada dalam lingkup ini. Maka dapat ditelusuri bahwa proses mental dan
perilaku manusia Indonesia dewasa ini memiliki akar pada proses sejarah yang
merupakan isi transpersonal
unsconscious tersebut dengan semua predisposisi-nya. Dengan melihat fakta ini, maka
dapat dimengerti unsur-unsur budaya
takhayul paganisme, sinkretisme Shiwa-Buddha disamping budaya Tauhid yang
berkembang dizaman Bintoro Demak dengan Walisongo-nya, bercampur dalam religi
Muslim Indonesia. Hal itu menjadi kekayaan batin, sekaligus kekurangan.
Firman Allah : “Walaqod ba’atsna fi kulli ummatin
rosuulan, ani’budullaha, wajtanibutthoghut” : Dan sesungguhnya kami mengutus
rosul pada setiap umat (untuk menyerukan) :”Beribadahlah kepada Allah” saja,
dan jauhilah thoghut”, (Q: An-Nahl:36).
Dengan demikian
jelas bagi Kaum Muslimin, tidak dapat mewarisi religi Mataram Medang, Singosari
dan Majapahit. Namun dapat memetik hikmah sejarah dan budaya bangsa tersebut
sebagai pengetahuan, karena didalamnya terdapat nilai-nilai reformasi,
moralitas, perjuangan, pengabdian dan kepahlawanan seperti yang ditunjukkan Mahapatih
Gajah Mada. Selebihnya kebangkitan Bintoro Demak dengan Sultan Fatah dan para
Wali dengan kekuatan Tauhid “Suro
Diro Joyoningrat lebur dining Pangastuti”, yang berhasil menyelamatkan negara Nusantara Majapahit,
hendaknya menjadi disposisi psikologis Muslim Indonesia. Panjangnya era Hindu
dan Shiwa-Buddha betapapun memberikan pula warisan budaya spiritual, seperti
tampak dalam sinkretisme Islam dengan budaya pra-Islam. Hal ini-lah yang
menjadikan Tauhid Kaum Muslimin Indonesia, kurang jernih, sehingga tidak
berhasil membangkitkan energi sebagaimana yang pernah dibangkitkan oleh para
pemimpin Bintoro Demak diawal abad 16 yang melahirkan semangat nasionalistis
relegius. Inilah makna “Ihdienasshirotol-Mustaqiem” dalam perjalanan bangsa
Indonesia. Sekian.
Birrachmatillahi
Wabi’aunihi fi Sabilih,
Wassalamu’alaikum
War. Wab.
Jakarta, 17
September 2004,
Pengasuh,
HAJI AGUS MIFTACH
Ketua Umum
Front Persatuan Nasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar