7.7.17

Pengajian Keempat belas.-TWU

 Pengajian Keempat belas.




Assalamu’alaikum War. Wab.

“Ihdinasshirotol-Mustaqiem” : “Tunjukilah kami Jalan yang Lurus” ; (Al-Baqoroh : 6). Kita membahas hekakat ayat ini dengan metode eklektik, dengan subyektivisme Indonesia, untuk mengambil hikmah pada perjalanan bangsa dewasa ini dan kedepan.
Tafsir Jalalain berpendapat bahwa “jalan yang lurus” tak lain adalah agama Allah  yang akan membawa manusia kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. Sementara Tafsir Ibnu Katsir lebih menekankan dengan Dinul Islam yang sahih, tanpa tambahan dan pengurangan, agama yang bersih dari bid’ah dan khurafat.

Histori.
Pada th. 732  di Jawa Tengah berdiri kerajaan Hindu Mataram Medang dibawah Dinasti Sanjaya. Dalam perkembangannya pusat kekuasaan bergeser ke Kediri, Jawa Timur. Kaisar Hindu yang terbesar dan terakhir adalah Sri Kertajaya. Selama 5 abad  (732-1222) Jawa dan sekitarnya berada dibawah pengaruh kuat Hindu yang membentuk religi dan budaya. Tetapi sesungguhnya masyarakat Jawa purba sudah memiliki kebudayaan asli, yaitu penyembahan arwah dan hantu atau paganisme, seperti yang dianut Raja Pasundan Purba Dewata Cengkar yang bertahta di sekitar Bogor abad ke-1. Agama purba Jawa ini memiliki kemiripan dengan Agama Wu abad ke-30 SM di Tiongkok yang diduga memang dianut kebanyakan umat manusia dizaman purbakala.
Dinasti Sanjaya berasal dari Hindustan (India) yang berhasil mendirikan kerajaan di Jawa. Maka terdapat kasta Hindu dan kasta pribumi. Oleh perjalanan waktu terjadi pembauran, tetapi tetap ada sekat dalam hierarki kasta itu.
Th. 1222 Ken Arok atau Sri Rajasa dari Tumpel menggempur Kediri, dan mengakhiri peradaban Hindu Mataram Medang. Dalam era kekuasaan Sri Rajasa, pengaruh Hindu mulai surut disusul masuknya Buddha yang dirasa lebih toleran dalam hal kasta. Mulai dari Ken Arok inilah berkembang kepercayaan Shiwa-Buddha, yaitu sinkretisme Hindu-Buddha. Ken Arok memindahkan pusat kekuasaan ke Singosari. Pada akhir abad ke 13 Singosari dng kaisar terakhirnya Sri Kertanegara runtuh digempur oleh Prabu Jayakatwang dari Kediri. Tetapi peradaban Shiwa-Buddha terus berkembang. Raden Wijaya keturunan Ken Arok yang menjadi menantu Kertanegara setelah takluk kepada Jayakatwang diberi tanah perdikan Tarik yang kemudian berkembang menjadi Majapahit. Ketika Kraton Kediri hancur oleh Laksamana Mongol Kublai Khan dari Tiongkok, terjadi kekosongan kekuasaan. Raden Wijaya kemudian dinobatkan menjadi Raja Majapahit dengan gelar Prabu Kertarajasa Jayawardana (1294-1309) dengan tiga pengikutnya yang terkenal yang berasal dari rakyat jelata yaitu Nambi, Sora dan Ronggolawe. Prabu Kertarajasa dan Permaisurinya Dyah Rajapatni beragama Buddhha. Dalam masa kekuasaannya agama Buddha mengalami kemajuan besar terutama dikalangan rakyat dan para pejabat yang bukan keturunan bangsawan, karena Buddha tidak begitu mempersoalkan kasta. Ketika Sri Kertarajasa wafat pada tahun 1309, ia digantikan puteranya dari garwa paminggir (bukan permaisuri) yang bergelar Prabu Jayanagara yang  masih berusia 15 tahun. Pada masa pemerintahan Jayanagara perselisihan agama menghebat. Mahapatih Kerajaan yang pemimpin Hindu memimpin para Dharmaputera (para pejabat bangsawan) untuk menyingkirkan para pejabat  dari rakyat jelata yang dipimpin Nambi, Sora dan Ronggolawe yang Buddhis, yang berakhir dengan perang besar di Tuban dan Lumajang. Meskipun Nambi, Sora dan Ronggolawe berhasil ditumpas, tetapi Majapahit kehabisan energi, melemah. Akibatnya banyak daerah yang melepaskan diri. Pada masa itu Majapahit dibagi menjadi tiga kraton yang dipimpin masing-masing putera Prabu Kertarajasa, yaitu :
-          Kraton Kahuripan dengan raja puteri Tribuana Tunggadewi,
-          Kraton Daha dengan raja puteri Wijayadewi, dan
-          Kraton Kediri dengan maharaja Prabu Jayanagara sbg kerajaan pusat.
Pada awal abad 14 terjadi pemberontakan para Dharmaputera dipimpin Kuti. Mahapatih Kediri justru dibunuh para Dharmaputera-nya sendiri. Ekses dari kemelut ini ialah tewasnya Prabu Jayanagara oleh tabib Tanca pengikut Kuti yang marah karena isyu Raja menzinahi istrinya. Pada masa kekalutan inilah muncul perwira bhayangkara Gajah Mada yang dengan kecerdasan dan siasatnya berhasil menyelamatkan negara dari kehancuran. Tidak jelas asal-usulnya , termasuk apakah Gajah Mada seorang Buddhis ? Yang pasti bukan Hindu. Ada yang menduga Gajah Mada seorang Muslim, mengingat pandangannya yang merakyat dan egaliter, yang menjadi ciri-ciri kelompok Muslim yang mulai tumbuh di masa itu, yang berbeda dengan pandangan kalangan Hindu dengan budaya kasta-nya.
Maharaja Puteri Tribuwana Tunggadewi menggantikan Jayanegara dan tetap bertahta di Kahuripan. Atas jasa-jasanya dan kemampuannya yang tinggi dalam menyelamatkan negara, Gajah Mada diwisuda menjadi Mahapatih Mangkubumi menggantikan Arya Tadah yang sengaja mengundurkan diri. Sebelum memangku jabatannya Mahapatih Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa : “Selamanya tidak akan memakan “palapa” sebelum berhasil mempersatukan, memakmurkan dan meluhurkan  Nusantara dalam kesatuan negara Majapahit”.
Gajah Mada membuktikan sumpahnya mempersatukan kepulauan Nusantara, bahkan kekuasaan Majapahit meluas hingga Singapura, Malaysia, Kamboja, Filipina dan Thailand. Th. 1350 Kaisar Puteri Tribuana Tunggadewi digantikan oleh puteranya Prabu Rajasanagara atau Hayam Wuruk. Saat itu adalah puncak kejayaan Majapahit dibawah kepemimpinan Mahapatih Gajah Mada yang disebut zaman kerta atau windu kencana. Pada th. 1364 Mahapatih Gajah Mada wafat, menggoncangkan bumi Majapahit. Tapi Prabu Rajasanagara bertindak tangkas dengan membentuk pemerintahan kolektif yang terdiri enam kementerian (kanayakan) untuk menggantikan fungsi Gajah Mada. Pada th.1389 Kaisar Hayam Wuruk wafat, digantikan menantunya Prabu Wikramawardana suami Dyah Kusumawardani, yang ditentang puteranya dari garwa paminggir Prabu Wirabumi yang bertahta di wilayah Timur. Tahun 1401 pecah “Perang Paregreg” yang artinya perang saudara antara Majapahit melawan Wirabumi, berlangsung selama 6 tahun. Diakhiri dengan gugurnya Prabu Wirabumi th.1407. Prabu Wikramwardana wafat pada th. 1429. Dewi Suhita puterinya dari garwa paminggir naik tahta dan wafat pada tahun 1447. Digantikan adiknya Kertawijaya yang bergelar Brawijaya I (1447-1451). Lalu berturut-turut memerintah Majapahit, Rajasawardana Brawijaya II (1451-1453), Purnawisesa Brawijaya III (1456-1466), Pandansalas Brawijaya IV (1466-1468), dan Kertabumi Brawijaya V (1468-1478), disebut Brawijaya Pamungkas (keturunan Raden Wijaya yang terakhir). Pemberontak dari Keling  Kediri keturunan Jayakatwang yang berhasil mengalahkan Majapahit Girindrawardana memakai pula gelar Brawijaya  VI (1478-1498). Penggantinya Prabu Uddhara yg membunuh Girindrawardana, memakai pula gelar Brawijaya VII (1478-1518). Sesungguhnya semenjak Perang Paregreg kedudukan Majapahit semakin melemah. Banyak negara-negara seberang lautan yang melepaskan diri.
Th. 1513 Sultan Fatah atau Raden Fatah dari Bintoro Demak menyerbu Majapahit. Setelah berperang selama 5 tahun, pada th. 1518 Raden Fatah berhasil menaklukkan Majapahit dibawah raja pemberontak Prabu Uddhara Barawijaya VII. Majapahit kembali kepada trah-nya dan dipersatukan dibawah kepemimpinan Islam yang terus berpengaruh hingga perubahan Indonesia modern awal abad 20. Itulah jalan yang sudah ditempuh nenek moyang kita.

Psikologi.
Carl Gustav Jung (1875-1959) seorang pakar psikoanalitik berpendapat, bahwa evolusi manusia memberikan cetak biru bukan hanya pada fisik atau disposisi fisiologis, melainkan pada jiwa atau disposisi psikologis. Menurut Jung basis kepribadian manusia dibentuk oleh ketidaksadaran kolektif, yang berisi gudang ingatan laten yang diwariskan oleh leluhur berisi pengalaman-pengalaman umum yang terus-menerus dari generasi ke-generasi. Bukan berupa memori atau fikiran spesifik, melainkan merupakan predisposisi (kecenderungan bertindak) atau potensi pemikiran. Predisposisi ini menyangkut pengalaman menghadapi bahaya, reproduksi, menyayangi anak dan kepercayaan kepada Tuhan. Menurut Jung ketidaksadaran kolektif (transpersonal unconscious) merupakan perut dan dasar gunung es yang maha luas, sedangkan kesadaran hanyalah puncaknya yang kecil saja. Meskipun proses belajar memiliki pengaruh kuat, tetapi ketidaksadaran kolektif merupakan faktor dominan pembentuk basic personality structure (struktur kepribadian dasar). Bahkan unsur-unsur endogen yang berbasis pada keturunan berada dalam lingkup ini. Maka dapat ditelusuri bahwa proses mental dan perilaku manusia Indonesia dewasa ini memiliki akar pada proses sejarah yang merupakan isi transpersonal unsconscious tersebut dengan semua predisposisi-nya. Dengan melihat fakta ini, maka dapat  dimengerti unsur-unsur budaya takhayul paganisme, sinkretisme Shiwa-Buddha disamping budaya Tauhid yang berkembang dizaman Bintoro Demak dengan Walisongo-nya, bercampur dalam religi Muslim Indonesia. Hal itu menjadi kekayaan batin, sekaligus kekurangan.
Firman Allah : “Walaqod ba’atsna fi kulli ummatin rosuulan, ani’budullaha, wajtanibutthoghut” : Dan sesungguhnya kami mengutus rosul pada setiap umat (untuk menyerukan) :”Beribadahlah kepada Allah” saja, dan jauhilah thoghut”, (Q: An-Nahl:36).
Dengan demikian jelas bagi Kaum Muslimin, tidak dapat mewarisi religi Mataram Medang, Singosari dan Majapahit. Namun dapat memetik hikmah sejarah dan budaya bangsa tersebut sebagai pengetahuan, karena didalamnya terdapat nilai-nilai reformasi, moralitas, perjuangan, pengabdian dan kepahlawanan seperti yang ditunjukkan Mahapatih Gajah Mada. Selebihnya kebangkitan Bintoro Demak dengan Sultan Fatah dan para Wali dengan kekuatan Tauhid “Suro Diro Joyoningrat lebur dining Pangastuti”, yang berhasil menyelamatkan negara Nusantara Majapahit, hendaknya menjadi disposisi psikologis Muslim Indonesia. Panjangnya era Hindu dan Shiwa-Buddha betapapun memberikan pula warisan budaya spiritual, seperti tampak dalam sinkretisme Islam dengan budaya pra-Islam. Hal ini-lah yang menjadikan Tauhid Kaum Muslimin Indonesia, kurang jernih, sehingga tidak berhasil membangkitkan energi sebagaimana yang pernah dibangkitkan oleh para pemimpin Bintoro Demak diawal abad 16 yang melahirkan semangat nasionalistis relegius. Inilah makna “Ihdienasshirotol-Mustaqiem” dalam perjalanan bangsa Indonesia.  Sekian.
Birrachmatillahi Wabi’aunihi fi Sabilih,
Wassalamu’alaikum War. Wab.
Jakarta, 17 September 2004,
Pengasuh,


HAJI AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front  Persatuan Nasional


Tidak ada komentar:

Posting Komentar