Pengajian
Ketigabelas, 10 September 2004
Assalamu’alaikum
War. Wab.
“Iyyaaka
na’budu, wa –iyyaaka nasta’ien” : “Hanya kepada Engkaulah
kami beribadah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan” ;
(Al-Fatihah : 5), sudah kita bahas dalam tiga bagian terdahulu. Dan akan
kita lanjutan secara eklektik dan utuh.
Sebagian
‘ulama’ salaf mengatakan bahwa Al-Fatihah merupakan rahasia Al-Qur’an, dan
rahasia Al-Qur’an ialah ayat ini (Tafsir Ibnu Katsir).
Religi
Tionghoa
Pada
bagian ke III kita telah menyinggung pantheon tertinggi dalam system religi
Tionghoa Tradisional, yaitu Kwan Im Pousat atau Dewi Kwan Im (Dewi Welas
Asih) yang lahir pada abad ke-3 SM, atau dua abad setelah Khong Hu Chu. Dewi
Kwan Im yang memiliki nama asli Miao San puteri ketiga Kerajaan Miao Chuang di
Tiongkok Selatan, adalah simbol masuknya unsur Buddhisme dalam tradisi
Konfusian yang mendominasi China sejak 2500 tahun yang lampau.
Dua
pilar sebelumnya adalah Konfusianisme dan Taoisme atau Tao-Konfusian. Dengan
masuknya unsur Buddhisme, maka tradisi Konfusian memiliki tiga pilar utama,
yaitu Konfusianisme, Taoisme dan Buddhisme yang dalam religi Tionghoa disebut Sam
Kauw (tiga agama tradisional). Dalam tradisi Siauw Lim Si di
Tiongkok, dan Sangha di kawasan Indocina termasuk Sangha di Indonesia,
Dewi Kwan Im , sebagaimana telah kita ungkapkan pada Pengajian Keduabelas
(Bagian ke III), diakui dalam hierarkhi religi Buddhis sebagai Bodisatva. Maka
dalam religi Tionghoa, Dewi Kwan Im adalah Buddha China dengan karakteristik
Sinologis.
Berbeda dengan sifat-sifat
ajaran Sidharta Gautama di India, yang merupakan reformasi besar
terhadap Hinduisme dan Sramanisme, maka makna Dewi Kwan Im dalam
religi Tionghoa merupakan sifat religius yang
selaras, mengalir bersama tradisi Khong Hu Chu
dan Tao yang mendominasi psikologis ras Tionghoa. Ini tampak dengan
bersandingnya Kim-sin (patung) Dewi Kwan Im dengan Kim-sin Kwan Kong (Dewa
Kejujuran) yang merupakan simbol kepahlawanan
Bangsa Han (ras asli Tionghoa) hampir di semua Klenteng di Tiongkok dan
pusat-pusat kebudayaan Tionghoa di seluruh dunia, tidak terkecuali
Klenteng-klenteng
di Indonesia.
Kwan Kong adalah nama
asli-nya, seorang Panglima Besar Kerajaan Han pada abad ke-3 yang terkenal
dengan kejujuran dan kepahlawanan serta budi pekertinya yang luhur. Namanya
muncul sebagai tokoh militer yang mencerminkan jiwa Jang dan Jen
yaitu kerendahan hati dan keluhuran budi dalam zaman kemelut Sam-Kok (kemelut
tiga negara) yang sangat terkenal itu.
Kwan Kong adalah simbol moralitas-Konfusian
dan
kearifan Taoism yang kemudian menjadi pantheon yang dipuja dalam system religi
Tionghoa. Kim-sin Kwan Kong ada disetiap Klenteng Tionghoa di Tiongkok dan
diseluruh dunia termasuk di Indonesia.
Tokoh ketiga dalam hierarkhi
religi China adalah Cai-Sin atau Malaikat Harta merupakan simbol dari
dunia luar kehidupan yang mempengaruhi kehidupan. Cai Sin berasal dari
kepercayaan takhayul agama Wu yang mengalami sejumlah penyesuaian, sehingga
memperoleh bentuk semi-transendent.
Cai-Sin dipercaya turun dari
langit pada hari-hari tertentu, terutama hari kelima Im-lek, yang
membuat libur Im-lek hanya 4 hari, karena pada hari ke-5 Im-lek, toko-toko dan
unit-unit usaha Tionghoa semua harus buka untuk menyambut datangnya Cai-Sin.
Berbeda dengan Kwan Im dan Kwan Kong yang ada dalam realitas kehidupan
manusia, Cai-Sin tidak ada dalam
realitas. Ia merupakan bagian dari mitos-tradisional yang hidup dikalangan
masyarakat Tionghoa sebagai sisa-sisa mitos Tiongkok purba dari zaman Kaisar
Hok Hi 30 abad sebelum Masehi.
Penyesuaian monotheistis.
Munculnya agama-agama samawi
didunia, terutama Kristen pada abad ke-1dan Islam pada abad ke-6, menimbulkan
pengaruh dalam religi Tiongkok. Banyak diantara masyarakat Tiongkok yang
memeluk agama Islam, antara lain yang terbanyak di propinsi Yunan dan Buthan.
Jumlah pemeluk Islam pada masa ini di daratan Tiongkok diperkirakan mencapai
200 juta, atau dapat dikatakan pada jajaran yang terbesar di dunia bersama
Indonesia.
Bahkan pada abad ke ke-14
beberapa Kaisar Ming dan beberapa panglima besar dinasti Ming beragama Islam,
diantaranya Laksamana Cheng-Ho yang terkenal sebagai penyebar agama
Islam pertama di Nusantara, khususnya di
Pulau Jawa. Realitas itu-lah yang kemudian mempengaruhi religi penyembahan
berhala didaratan Tiongkok.
Yang pertama kali menyadari
masalah penyesuaian religi ini ialah kalangan Pemuka Tao. Mereka berhasil
mendapatkan persetujuan Kaisar Ming untuk merevisi religi Tiongkok dengan
menambahkan unsur monotheis yang disebut Giok Hong Siong Te, yang
bermakna Maha Dewa Yang Paling Berkuasa di Seluruh Alam, yang dianggap sebagai
personalitas tuhan yang menjadi ciri agama samawi.
Lalu kalangan Khong Hu Chu
yang lebih agnostic juga menyesuaikan religi dengan menambahkan personalitas
Tuhan yang disebut Thian atau Thian Te Kong yang berarti Tuhan
Langit dan Bumi. Jadi sesungguhnya aspek ketuhanan dicangkokkan saja kedalam
suatu tatanan falsafah sosial yang sudah mapan, yang bersifat agnostic dengan
tujuan mengukuhkan sorga di bumi. Pada dasarnya religi China tidak mengenal
personalitas tuhan.
Pada Pengajian Keduabelas
sudah kita bahas sifat religi China dimana tuhan bersifat impersonal, mengalir
bersama kolektivisme semesta alam, yang hakekatnya dicapai dengan mengembangkan
Harmonisme kehiduan dan Harmonisme kosmik yang menjadi inti ajaran Khong Hu Chu
(Konfusian).Penyesuaian religi monotheistis tidak mengubah tradisi agnostic
menjadi transcendent. Artinya bagi masyarakat tradisional Tionghoa, tetap tidak
begitu dikenal adanya alam akherat sebagaimana yang dipahami agama Islam,
Kristen dan Yahudi. Mereka tetap tidak memasukkan dogma Hari Kiamat dan Alam
Akherat.
Pengertian kehidupan sesudah
mati bagi religi tradisional Tiongkok tetap berhimpit dengan realitas kehidupan
agnostic di bumi, merupakan subsistem yang menjadi unsur penyeimbang yang berpusat
pada kehidupan manusia dibumi. Penyesuaian religi adalah dalam rangka
keseimbangan sosial dan psikologis di
daratan Tiongkok, untuk membentuk Harmonisme baru, yaitu ekualibirium baru
dengan para penganut Muslim yang saat ini mencapai 17 %. Juga keseimbangan
dengan kalangan Kristen yang menjadi agama mayoritas di Eropa yang penting
artinya dalam perkembangan dunia sejak masa itu. Harus diingat bahwa
Tao-Konfusian memiliki tradisi Mei-fazi dan Tai-chi yang bersifat
penyesuaian diri tak terbatas, dengan semua variabel yang dianggap berguna bagi
pencapaian Harmonisme kehidupan.
Religi Eropa.
Pada Pengajian Keduabelas
kita telah membahas religi Eropa yang berakar pada peradaban Yunani Miletos.
Pada bagian ke III kita telah membahas pandangan Anaximandros (abad ke 6
SM) dan Pytagoras (abad ke 5 SM), yang mendandai kebangkitan akal pikiran mengungguli mite-mite peradaban
takhayul.Pandangan ini akan kita lengkapi dengan pandangan Xenophanes (570-480
SM). Xenophanes menyatakan bahwa yang “ilahi” itulah satu-satunya hakekat “yang
ada”, yang merangkum segala sesuatu. “Yang ada” menurut pengertian Xenophanes
berkaitan dengan pandangan etis yang luhur.
Xenophanes menentang
pandangan “yang ilahi” sama dengan manusia yang dilahirkan, yang berpakaian
dll. Menurut Xenophanes “yang ilahi” tiada awalnya, kekal, esa dan universal.
Meskipun tidak digolongkan dalam ajaran monotheis, tetapi pandangan Xenophanes
merupakan dasar-dasar monotheis dalam religi Eropa yang berkembang pesat pada
peradaban Kristen 4 abad kemudian, yang berbentuk perpaduan aspek-aspek
transendenal, agnostisisme dan katalisator keduanya, yang membentuk tiga unsur
ilahi yang utuh dalam teologi Trinitas; Satu dalam Tiga, dan Tiga dalam Satu.
Tuhan Allah yang transcendent, Tuhan Yesus yang agnostic dan Roh Kudus sebagai
katalisator kedua unsur ilahi tsb.
Satu penemuan St. Paul seorang
terpelajar besar dari Universitas Alexandria yang merupakan penerus peradaban
Yunani Miletos. Tidak diragukan St. Paul adalah seorang genius yang
berhasil membentuk
religi Eropa Kristen yang merupakan mainstream
dalam peradaban Eropa dan ras Barat pada umumnya hingga perubahan Barat modern
dengan dominasi peran Amerika Serikat dizaman Cybertec sekarang ini.
Religi Islam
Religi Islam berakar pada
religi Yahudi dan Nasrani (Kristen) pada basis locus-clasicus. Terdapat
united of history, united of books dan
united of God. Dilihat dari perbedaan dasarnya, maka Islam bersifat
reformasi sekaligus refundamentalisasi monotheisme yang total transcendental,
dengan Allah sebagai satu-satunya ilah yang absolut yang menjadi pusat
peribadatan dan takdir kehidupan dalam pengertian agnostic dan transcendental.
Allah adalah personalitas tuhan yang absolut dan tidak perlu hadir secara
agnostic dalam logika indera manusia.
Dengan prinsip iman, Islam
menggabungkan langsung prinsip agnostic dan transcendental dalam kebulatan yang
utuh. Mereka yang Islam adalah yang percaya kepada hal-ihwal transcendent dan
agnostisisme secara utuh, seperti biosphere dalam pandangan pemikir abad
20 Andras Angyal. Komposisi yang utuh
dari aspek transcendent, aspek agnostic dan realitas materiil tercermin
dalam firman Allah :“Alladzina yu’minuuna bil-ghoibi, wayukimunassholata,
wamimma rozaqnaahum yunfiquun” (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghoib,
yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan
kepada mereka” (QS II:3).Maka pernyataan Rasulullah SAW yang diabadikan
dalam Al-Qur’an: “Iyyaka na’budu, wa-iyyaka nasta’ien”: Hanya kepada
Engkau-lah kami menyembah, dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan
(Al-Fatihah : 5) , adalah dalam pengertian biosphere yang utuh. Inilah
essensi tauchid dalam ayat ini. Sekian.
Birrachmatillahi Wabi’aunihi
fi Sabilih,
Wassalamu’alaikum War. Wab.
Jakarta, 10 September 2004,
Pengasuh,
KH AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front Persatuan
Nasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar