7.7.17

Pengajian Ketigabelas, 10 September 2004

Pengajian Ketigabelas, 10 September 2004

Assalamu’alaikum War. Wab.

“Iyyaaka na’budu, wa –iyyaaka nasta’ien” : “Hanya kepada Engkaulah kami beribadah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan” ; (Al-Fatihah : 5), sudah kita bahas dalam tiga bagian terdahulu. Dan akan kita lanjutan secara eklektik dan utuh.
Sebagian ‘ulama’ salaf mengatakan bahwa Al-Fatihah merupakan rahasia Al-Qur’an, dan rahasia Al-Qur’an ialah ayat ini (Tafsir Ibnu Katsir).

Religi Tionghoa

Pada bagian ke III kita telah menyinggung pantheon tertinggi dalam system religi Tionghoa Tradisional, yaitu Kwan Im Pousat atau Dewi Kwan Im (Dewi Welas Asih) yang lahir pada abad ke-3 SM, atau dua abad setelah Khong Hu Chu. Dewi Kwan Im yang memiliki nama asli Miao San puteri ketiga Kerajaan Miao Chuang di Tiongkok Selatan, adalah simbol masuknya unsur Buddhisme dalam tradisi Konfusian yang mendominasi China sejak 2500 tahun yang lampau.

Dua pilar sebelumnya adalah Konfusianisme dan Taoisme atau Tao-Konfusian. Dengan masuknya unsur Buddhisme, maka tradisi Konfusian memiliki tiga pilar utama, yaitu Konfusianisme, Taoisme dan Buddhisme yang dalam religi Tionghoa disebut Sam Kauw (tiga agama tradisional). Dalam tradisi Siauw Lim Si di Tiongkok, dan Sangha di kawasan Indocina termasuk Sangha di Indonesia, Dewi Kwan Im , sebagaimana telah kita ungkapkan pada Pengajian Keduabelas (Bagian ke III), diakui dalam hierarkhi religi Buddhis sebagai Bodisatva. Maka dalam religi Tionghoa, Dewi Kwan Im adalah Buddha China dengan karakteristik Sinologis.

Berbeda dengan sifat-sifat ajaran Sidharta Gautama di India, yang merupakan reformasi besar terhadap Hinduisme dan Sramanisme, maka makna Dewi Kwan Im dalam religi Tionghoa merupakan sifat religius yang
 selaras, mengalir bersama tradisi Khong Hu Chu dan Tao yang mendominasi psikologis ras Tionghoa. Ini tampak dengan bersandingnya Kim-sin (patung) Dewi Kwan Im dengan Kim-sin Kwan Kong (Dewa
 Kejujuran) yang merupakan simbol kepahlawanan Bangsa Han (ras asli Tionghoa) hampir di semua Klenteng di Tiongkok dan pusat-pusat kebudayaan Tionghoa di seluruh dunia, tidak terkecuali Klenteng-klenteng
 di Indonesia.

Kwan Kong adalah nama asli-nya, seorang Panglima Besar Kerajaan Han pada abad ke-3 yang terkenal dengan kejujuran dan kepahlawanan serta budi pekertinya yang luhur. Namanya muncul sebagai tokoh militer yang mencerminkan jiwa Jang dan Jen yaitu kerendahan hati dan keluhuran budi dalam zaman kemelut Sam-Kok (kemelut tiga negara)  yang sangat terkenal itu. Kwan Kong adalah simbol moralitas-Konfusian
 dan kearifan Taoism yang kemudian menjadi pantheon yang dipuja dalam system religi Tionghoa. Kim-sin Kwan Kong ada disetiap Klenteng Tionghoa di Tiongkok dan diseluruh dunia termasuk di Indonesia.

Tokoh ketiga dalam hierarkhi religi China adalah Cai-Sin atau Malaikat Harta merupakan simbol dari dunia luar kehidupan yang mempengaruhi kehidupan. Cai Sin berasal dari kepercayaan takhayul agama Wu yang mengalami sejumlah penyesuaian, sehingga memperoleh bentuk semi-transendent.

Cai-Sin dipercaya turun dari langit pada hari-hari tertentu, terutama hari kelima Im-lek, yang membuat libur Im-lek hanya 4 hari, karena pada hari ke-5 Im-lek, toko-toko dan unit-unit usaha Tionghoa semua harus buka untuk menyambut datangnya Cai-Sin. Berbeda dengan Kwan Im dan Kwan Kong yang ada dalam realitas kehidupan manusia,  Cai-Sin tidak ada dalam realitas. Ia merupakan bagian dari mitos-tradisional yang hidup dikalangan masyarakat Tionghoa sebagai sisa-sisa mitos Tiongkok purba dari zaman Kaisar Hok Hi 30 abad sebelum Masehi.

Penyesuaian monotheistis.

Munculnya agama-agama samawi didunia, terutama Kristen pada abad ke-1dan Islam pada abad ke-6, menimbulkan pengaruh dalam religi Tiongkok. Banyak diantara masyarakat Tiongkok yang memeluk agama Islam, antara lain yang terbanyak di propinsi Yunan dan Buthan. Jumlah pemeluk Islam pada masa ini di daratan Tiongkok diperkirakan mencapai 200 juta, atau dapat dikatakan pada jajaran yang terbesar di dunia bersama Indonesia.

Bahkan pada abad ke ke-14 beberapa Kaisar Ming dan beberapa panglima besar dinasti Ming beragama Islam, diantaranya Laksamana Cheng-Ho yang terkenal sebagai penyebar agama Islam pertama di Nusantara,  khususnya di Pulau Jawa. Realitas itu-lah yang kemudian mempengaruhi religi penyembahan berhala didaratan Tiongkok.

Yang pertama kali menyadari masalah penyesuaian religi ini ialah kalangan Pemuka Tao. Mereka berhasil mendapatkan persetujuan Kaisar Ming untuk merevisi religi Tiongkok dengan menambahkan unsur monotheis yang disebut Giok Hong Siong Te, yang bermakna Maha Dewa Yang Paling Berkuasa di Seluruh Alam, yang dianggap sebagai personalitas tuhan yang menjadi ciri agama samawi.

Lalu kalangan Khong Hu Chu yang lebih agnostic juga menyesuaikan religi dengan menambahkan personalitas Tuhan yang disebut Thian atau Thian Te Kong yang berarti Tuhan Langit dan Bumi. Jadi sesungguhnya aspek ketuhanan dicangkokkan saja kedalam suatu tatanan falsafah sosial yang sudah mapan, yang bersifat agnostic dengan tujuan mengukuhkan sorga di bumi. Pada dasarnya religi China tidak mengenal personalitas tuhan.

Pada Pengajian Keduabelas sudah kita bahas sifat religi China dimana tuhan bersifat impersonal, mengalir bersama kolektivisme semesta alam, yang hakekatnya dicapai dengan mengembangkan Harmonisme kehiduan dan Harmonisme kosmik yang menjadi inti ajaran Khong Hu Chu (Konfusian).Penyesuaian religi monotheistis tidak mengubah tradisi agnostic menjadi transcendent. Artinya bagi masyarakat tradisional Tionghoa, tetap tidak begitu dikenal adanya alam akherat sebagaimana yang dipahami agama Islam, Kristen dan Yahudi. Mereka tetap tidak memasukkan dogma Hari Kiamat dan Alam Akherat.

Pengertian kehidupan sesudah mati bagi religi tradisional Tiongkok tetap berhimpit dengan realitas kehidupan agnostic di bumi, merupakan subsistem yang menjadi unsur penyeimbang yang berpusat pada kehidupan manusia dibumi. Penyesuaian religi adalah dalam rangka keseimbangan  sosial dan psikologis di daratan Tiongkok, untuk membentuk Harmonisme baru, yaitu ekualibirium baru dengan para penganut Muslim yang saat ini mencapai 17 %. Juga keseimbangan dengan kalangan Kristen yang menjadi agama mayoritas di Eropa yang penting artinya dalam perkembangan dunia sejak masa itu. Harus diingat bahwa Tao-Konfusian memiliki tradisi Mei-fazi dan Tai-chi yang bersifat penyesuaian diri tak terbatas, dengan semua variabel yang dianggap berguna bagi pencapaian Harmonisme kehidupan.

Religi Eropa.
Pada Pengajian Keduabelas kita telah membahas religi Eropa yang berakar pada peradaban Yunani Miletos. Pada bagian ke III kita telah membahas pandangan Anaximandros (abad ke 6 SM) dan Pytagoras (abad ke 5 SM), yang mendandai kebangkitan  akal pikiran mengungguli mite-mite peradaban takhayul.Pandangan ini akan kita lengkapi dengan pandangan Xenophanes (570-480 SM). Xenophanes menyatakan bahwa yang “ilahi” itulah satu-satunya hakekat “yang ada”, yang merangkum segala sesuatu. “Yang ada” menurut pengertian Xenophanes berkaitan dengan pandangan etis yang luhur.

Xenophanes menentang pandangan “yang ilahi” sama dengan manusia yang dilahirkan, yang berpakaian dll. Menurut Xenophanes “yang ilahi” tiada awalnya, kekal, esa dan universal. Meskipun tidak digolongkan dalam ajaran monotheis, tetapi pandangan Xenophanes merupakan dasar-dasar  monotheis  dalam religi Eropa yang berkembang pesat pada peradaban Kristen 4 abad kemudian, yang berbentuk perpaduan aspek-aspek transendenal, agnostisisme dan katalisator keduanya, yang membentuk tiga unsur ilahi yang utuh dalam teologi Trinitas; Satu dalam Tiga, dan Tiga dalam Satu. Tuhan Allah yang transcendent, Tuhan Yesus yang agnostic dan Roh Kudus sebagai katalisator kedua unsur ilahi tsb.

Satu penemuan St. Paul seorang terpelajar besar dari Universitas Alexandria yang merupakan penerus peradaban Yunani Miletos. Tidak diragukan St. Paul adalah seorang genius yang berhasil membentuk
 religi Eropa Kristen yang merupakan mainstream dalam peradaban Eropa dan ras Barat pada umumnya hingga perubahan Barat modern dengan dominasi peran Amerika Serikat dizaman Cybertec sekarang ini.

Religi Islam
Religi Islam berakar pada religi Yahudi dan Nasrani (Kristen) pada basis locus-clasicus. Terdapat united of history, united of books dan  united of God. Dilihat dari perbedaan dasarnya, maka Islam bersifat reformasi sekaligus refundamentalisasi monotheisme yang total transcendental, dengan Allah sebagai satu-satunya ilah yang absolut yang menjadi pusat peribadatan dan takdir kehidupan dalam pengertian agnostic dan transcendental. Allah adalah personalitas tuhan yang absolut dan tidak perlu hadir secara agnostic dalam logika indera manusia.

Dengan prinsip iman, Islam menggabungkan langsung prinsip agnostic dan transcendental dalam kebulatan yang utuh. Mereka yang Islam adalah yang percaya kepada hal-ihwal transcendent dan agnostisisme secara utuh, seperti biosphere dalam pandangan pemikir abad 20 Andras Angyal. Komposisi yang utuh  dari aspek transcendent, aspek agnostic dan realitas materiil tercermin dalam firman Allah :“Alladzina yu’minuuna bil-ghoibi, wayukimunassholata, wamimma rozaqnaahum yunfiquun” (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghoib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka” (QS II:3).Maka pernyataan Rasulullah SAW yang diabadikan dalam Al-Qur’an: “Iyyaka na’budu, wa-iyyaka nasta’ien”: Hanya kepada Engkau-lah kami menyembah, dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan (Al-Fatihah : 5) , adalah dalam pengertian biosphere yang utuh. Inilah essensi tauchid dalam ayat ini. Sekian.

Birrachmatillahi Wabi’aunihi fi Sabilih,
Wassalamu’alaikum War. Wab.

Jakarta, 10 September 2004,
Pengasuh,

KH AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front Persatuan Nasional










Tidak ada komentar:

Posting Komentar