7.7.17

Pengajian Keduabelas.-TWU

Pengajian Keduabelas.

Assalamu’alaikum War. Wab.

“Iyyaaka na’budu, wa-iyyaaka nasta’ien(u)” : “Hanya kepada Engkaulan kami beribadah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan” ; (Al-Fatihah : 5).

Hakekat  ayat ke-5 surat Al-Fatihan “Iyyaka na’budu, wa iyyaka nasta’ien”, sudah kita bahas dalam dua bagian terdahulu, dan akan kita lanjutkan dengan pembahasan bagian ke III ini dengan versi pendekatan eklektik seperti yang selama ini kita lakukan dalam forum pengajian kita, sejak pengajian pertama hingga pengajian keduabelas ini.

Tafsir Ibnu Katsir menerangkan : “Iyyaaka na’budu” didahulukan, karena ibadah merupakan tujuan; sedangkan “iyyaaka nasta’ien(u)” dibelakangkan, karena permintaan tolong merupakan sarana untuk mencapai ibadah.

Religi Tiongkok


Istilah religi Tiongkok ini ditujukan kepada bentuk-bentuk peribadatan tradisional yang dianut masyarakat Tiongkok yang membentuk kebudayaan masyarakat Tionghoa selama ribuan tahun yang silam dan masih terus berpengaruh hingga masa sekarang. Seperti sudah sering disinggung bahwa bentuk peribadatan yang paling kuno atau peribadatan Tiongkok purba adalah penyembahan kepada hantu yang merupakan akar peradaban takhayul.

Agama Wu yang menjadi basis agama purba itu sejak abad ke-30 SM, mengalami reformasi pada abad ke-6 SM, oleh gerakan Taoisme dari ajaran  Lao Tzu yang masyhur, yang memunculkan dimensi agnostic dalam spiritual Tiongkok, dan mencapai puncaknya pada reformasi Khong Hu Chu akhir abad ke-5 SM yang berhasil memberikan landasan Harmonisme dalam spiritualisme Tionghoa yang masih berpengaruh hingga China modern.

Masuknya Buddhisme pada abad ke-3 SM ke daratan Tiongkok, tidak dengan jalan perubahan dan perbedaan, namun mengikuti alur tradisi Konfusianisme, berdampak memperkuat eksistensi religiusitas tradisional Tionghoa. Perpaduan nilai-nilai agnostisisme Taoisme, Konfusianisme dan Buddhisme, menjadi sublimasi nilai kekayaan batin China yang disebut Sam Kauw (tiga agama tradisional) yang mewarnai kehidupan religi Klenteng-klenteng  China di daratan Tiongkok dan seluruh dunia, tak terkecuali di Indonesia.

Personalitas Sam Kauw adalah figur suci Kwan Im Pouwsat atau Dewi Welas Asih yang diposisikan sebagai unsur ketuhanan. Menurut Bikhu Aryopusalo (2003) Dewi Kwan Im dalam tradisi Budhhis disebut Bodisatva, yaitu yang telah mencapai pencerahan tertinggi atau dapat dianggap telah mendekati derajat ketuhanan. Dalam pengertian itu maka patung Dewi Kwan Im hampir di semua Klenteng, terutama Klenteng-klentang di Indonesia dan di Indocina pada umumnya, merupakan unsur ilahi tertinggi diatas semua pantheon, dan paling banyak mendapatkan peribadatan. Max Weber menyebut peribadatan tradisional Tiongkok ini sebagai penyembahan berhala (Ralph Schroeder, Kanisius, 2002).

Namun dibanding dengan peribadatan berhala dalam tradisi Mesir purba dan Eropa purba, dengan dewa-dewa yang berbentuk dan bersifat destruktif, maka  nilai peribadatan Tiongkok lebih mengandung unsur ketuhanan. Dewi Kwan Im merupakan lambang kasih ilahiat menurut kepercayaan Tiongkok, yang menerangi dunia dengan pancaran kasih. Sebagai manusia Dewi Kwan Im bernama Miao San, puteri ketiga dari Kerajaan Miao Chuang, Tiongkok Selatan, yang diperkirakan hidup pada abad ke 3 SM (Marcus AS, 2002).

Putri Miao San oleh fitnah politik terbuang dari istana sejak bayi, dipelihara dikalangan rakyat desa oleh pengasuhnya yang berhasil melarikannya dari upaya pembunuhan di istana. Putri Miao San memiliki talenta spiritual yang sangat tinggi, dan melalui proses kesederhanaan hidup, ketulusan dan meditasi berhasil memperoleh pencerahan dan menjadi Pouwsat, kemudian disebut Kwan Im Pouwsat, merupakan rasul atau derivat 

Sang Buddha atau  Sakyamuni Buddha, orang suci India yang dianggap telah mencapai inti kebenaran universal dan memiliki sifat-sifat ilahi. Religi Dewi Kwan Im mengawali tradisi Buddhis-Konfusian sejak 2300 tahun yang lalu. Kekuatan Dewi Kwan Im (Dewi Welas Asih) bukan terletak pada mahakuasanya seperti dewa-dewa Mesir dan Yunani purba yang bercorak tiran, melainkan terletak pada kasih sayang-nya kepada dunia. Dewa-dewa Mesir dan Yunani purba pada umumnya bernuansa takhayul dengan asal-usul yang bersifat mitos.

Berbeda dengan Dewi Kwan Im yang asal-usulnya jelas sebagai manusia yang luhur budi, dan karena cita rasa kasihnya yang tinggi kepada sesama berhasil moksha dan mencapai derajat dewa (Bodisatva). Itulah unsur ilahi yang paling banyak diberikan peribadatan oleh orang Tionghoa diseluruh dunia yang jumlahnya diperkirakan mencapai 1, 3 milyar jiwa, dalam tradisi Khong Hu Chu dan Sam Kauw. Tidak terdapat bentuk transcendental dalam peribadatan Tiongkok ini. Pengaruh kuat Taoisme dan Konfusianisme justru menampakkan bentuk kuat agnostisisme (inderawi) dengan tujuan mengukuhkan sorga di bumi.

Religi Eropa.

Religi Eropa berakar di zaman Yunani Miletos menggantikan religi Yunani purba yang didominasi mitos. Anaximandros dengan azas to aperion-nya di abad ke 6 SM, memberikan pengaruh besar dalam mengakhiri peradaban takhayul dengan mite-mitenya. Setelah Anaximandros yang mencoba menguak rahasia semesta alam, pada abad ke 5 SM muncul Pythagoras (580-500 SM) yang mencoba menguak rahasia jiwa manusia sendiri.

Menurut Pythagoras jiwa berdiri sendiri, tidak berjasad dan tidak dapat mati. Jiwa terbelenggu didalam tubuh, karena hukuman. Dengan jalan katharsis (penyucian) jiwa dapat terbebas dari belenggu tubuhnya, dan memperoleh kebahagian dalam kehidupan sesudah mati. Jika proses katharsis tidak dilakukan atau hasilnya kurang, jiwa seseorang akan berpindah pada kehidupan lain, bahkan bisa ketubuh binatang dan tumbuh-tumbuhan. Ini mirip dengan kepercayaan reinkarnasi Tiongkok. Katharsis dilakukan dengan sejumlah pantangan-pantangan terhadap makanan tertentu, seperti daging, kacang dll.

Pandangan Anaximandros dan Pythagoras telah memberikan azas-azas awal yang mengeluarkan Eropa dari budaya takhayul kepada budaya agnostic. Sekaligus memberikan azas-azas awal bagi sifat-sifat transcendent  dalam religi Eropa. Sifat-sifat to aperion yang tak terbatas serta katharsis  untuk kebahagiaan kehidupan sesudah mati merupakan ciri-ciri transcendent dalam religi Kristen 500 tahun kemudian.

Abad Yunani adalah fase transisi dari peradaban takhayul kepada peradaban agnostic, sekaligus merupakan tahap persiapan yang strategis bagi munculnya peradaban transcendental Kristen yang 25 abad kemudian memenuhi seluruh benua Eropa, Amerika, sebagian Afrika dan sebagian Asia dengan jumlah pemeluk tidak kurang dari 2 milyar manusia.

Ciri-ciri agnostic abad Yunani masih terasa pengaruhnya dalam religi Kristen yang transcendent. Bahkan teologi Trinitas itu sendiri masih merupakan kompromi antara pandangan agnostic dan keyakinan transcendent. Trinitas mencerminkan konsorsium ilahiat yang bersifat kolegial antara Tuhan Allah yang transcendent  yang hanya ada dalam iman dan Tuhan Yesus yang agnostic yang ada secara inderawi, dan Roh Kudus sebagai katalisator diantara keduanya.

Seperti Dewi Kwan Im di Tiongkok yang merupakan perlambang kasih sesama, maka Yesus dari Nazareth menurut keyakinan Kristen merupakan perwujudan kasih Allah kepada manusia, yang bahkan telah berkenan mengorbankan putranya yang tunggal untuk menebus dosa manusia, yang tidak akan mampu menebus dosanya sendiri dihadapan Allah. Kalangan Islam memiliki pandangan yang berbeda dalam hal ini, terutama menyangkut posisi keilahian Yesus yang dalam Islam disebut Nabi Isa Al-Masih a.s.

Meskipun sama-sama bersendikan kasih, antara religi Tiongkok dengan religi Eropa Kristen memiliki perbedaan cukup mendasar. Religi Tiongkok bertujuan untuk mengukuhkan sorga di bumi, sedangkan religi Eropa Kristen bertujuan untuk mencapai sorga Allah di alam akherat (transcendental).

Hakekat.

Dalam religi Tiongkok tuhan bersifat impersonal, tidak hadir secara nyata melainkan mengalir bersama kolektivisme semesta alam. Maka prasyarat untuk mencapai hakekatnya menurut Khong Hu Chu ialah dengan menciptakan Harmoni. Pandangan Khong Hu Chu memiliki nafas yang serupa dengan pandangan Pythagoras dengan asas katharsis dan harmoni bilangan  seperti penggabungan bilangan ganjil dan genap menjadi kesatuan yang utuh.

Khong Hu Chu dan Pythagoras percaya bahwa hakekat kebenaran berada dalam harmoni semua unsur kosmik dengan menempatkan manusia sebagai pusat aktivitas. Sigmund Freud bahkan menyebut semesta alam dengan istilah konstansi an-organis, sedangkan manusia adalah dinamika organisme. Lao Tzu berpendapat bahwa kehidupan merupakan polaritas dinamik Yin dan Yang. Titik keseimbangannya merupakan kontemplasi harmonisme yang akan menghasilkan Ch’i, yaitu energi untuk mencapai hakekat kebenaran yang disebutnya sebagai Jalan Tao. Inilah tahap agnostisisme yang didasarkan pada kemampuan inderawi untuk memahami dan mencari jalan kepada sumber tertinggi.

Itulah sebabnya maka pada fase peradaban agnostic, tuhan bersifat impersonal, karena dengan dasar agnostisisme manusia memang terbatas pada hukum-hukum logika, ruang dan waktu. Sedangkan Tuhan berada diluar dimensi logika, ruang dan waktu, namun meliputi semuanya. Betapapun hebatnya falsafah sosial Khong Hu Chu dan ilmu pasti Pythagoras, hanyalah sebatas logika, ruang dan waktu. Sedangkan hakekat Allah melampaui segala yang terbatas dan meliputi segalanya di dalam dan di luar logika, ruang dan waktu.

Peribadatan kepada Allah sebagai personalitas Tuhan monotheis dimulai dari peradaban Yahudi yang mendasarkan perubahan-perubahan bukan kepada kekuasaan semesta alam, melainkan berdasarkan firman Allah. Meskipun terdapat perbedaaan organisasi, prinsip ini merupakan benang merah dalam teologi Kristen dan mengalami revolusi pemurnian tauhidiyah dalam teologi Islam dengan lebih mempertegas prinsip monotheis atau Tauhid.

Dalam pandangan Islam Allah dalam menjalankan fungsi ilahi-Nya, tidak membutuhkan persekutuan kolegial dengan unsur-unsur duniawi apapun, baik yang bersifat material maupun agnostic. Allah adalah absolut dengan Zat Yang Esa. Qul huwAllahu Ahad, dan hanya kepada Allah-lah kita menyembah dan mohon pertolongan dalam kehidupan dunia dan kehidupan akherat, “Iyyaka na’budu, wa-iyyaka nasta’ien”. Sekian bagian ke III.

Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi Sabilih.
Wassalamu’alaikum War. Wab.

Jakarta, 3 September 2004,

Pengasuh,

 

KH AGUS MIFTACH

Ketua Umum Front Persatuan Nasional


















Tidak ada komentar:

Posting Komentar