Pengajian
Kesebelas.
Assalamu’alaikum
War. Wab.
“Iyyaaka
na’budu wa-iyyaaka nasta’ien” : “Hanya kepada Engkaulah kami beribadah dan
hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan”; (Al-Fatihah :5).
“Iyyaaka”
dalam ayat ini diulang dua kali, menurut Tafsir Jalalain untuk menegaskan bahwa
ibadat dan istianah itu masing-masing hanya dihadapkan kepada Allah Ta’aala
semata. Saya berpendapat dengan melalui mekanisme munajat yang transcendental,
melahirkan gestalt Al-Ghoib yang mendominasi seluruh rongga pemikiran kita,
sehingga seakan kita berbicara langsung kepada Allah SWT. Ini ditandai dengan
penggunaan “kaf” mukhattab pada ‘iyyaaka’, yang menurut Tafsir Ibnu Katsir
menggambarkan kedekatan hamba kepada Allah yang disebutnya sebagai orang kedua.
Pencarian
dan penemuan hakekat tuhan.
Filsuf Yunani
Anximandros (610-540 SM) mengatakan bahwa arkhe (awal-mula)
adalah to aperion (yang tak terbatas) diluar sifat-sifat bendawi yang
dikenal manusia. Pernyataan Anaximandros tentang azas to aperion sebenarnya
telah memasuki dimensi transcendental. Pengertian “yang tak terbatas
diluar sifat-sifat bendawi yang dikenal manusia”, artinya diluar logika dan
diluar batas-batas ruang dan waktu serta diluar hukum-hukum fisika. Oleh karena
itu pengertian arkhe dalam to aperion lebih bermakna yang menciptakan awal atau
yang tidak berawal, dengan sendirinya tidak pula berakhir.
Apa yang
dilakukan Anaximandros mengingatkan kita pada apa yang dilakukan Ibrahim a.s.
ketika melakukan perenungan dan pencarian tuhan diantara benda-benda langit
seperti bulan, bintang dan matahari yang tidak memuaskan Ibrahim karena
sifat-sifat keterbatasannya. Akhirnya Ibrahim menyatakan bahwa tuhan adalah
diatas semua yang terbatas itu, yaitu Rabb al Alamien, pemelihara semesta alam,
artinya pemelihara semua yang terbatas, karena semesta alam bersifat terbatas.
Pemelihara
Semesta Alam yang bersifat mutlak berada diluar hukum-hukum semesta alam itu
sendiri yang bersifat relatif. Pemelihara Semesta Alam adalah bersifat Tak
Terbatas, Maha Besar dan Maha Meliputi Segala-galanya, Berkuasa atas segala
sesuatu; “Innallha ‘ala kulli syai’ien qodier” (QS 2:20).
Sesungguhnya
inilah pencarian Tuhan, karena tidak ada yang setara dengan konsep to
aperion-nya Anximandros dan Rabb al Alamien-nya Ibrahim a.s. kecuali Dia
itu adalah Allah Azza wa Jalla.
Pencarian
Ibrahim a.s. atau Abraham menurut versi Taurat yang disebut juga oleh umat
Kristen dengan Kitab Perjanjian Lama yang terjadi jauh sebelum masa
Anaximandros berdasarkan informasi kitabiyah (Kitab-kitab Suci Yahudi, Kristen
dan Islam); dan pencarian Anaximandros yang terjadi 25 abad yang lampau atau 11
abad sebelum bangkitnya Rasulullah SAW, memberikan disposisi psikologis yang
berharga bagi ummat manusia untuk menerima realitas transcendent yang lebih
besar yang dibawa Musa a.s. pada akhir abad ke 5 SM, kemudian Isa a.s pada abad
ke 1 Masehi dan terakhir Nabi Besar Muhammad SAW pada abad ke-6 Masehi.
Kita
berterima kasih kepada generasi Ibrahim dan Anaximandros, kita berterima kasih
kepada generasi Musa dan Isa, dan kita bersyukur dengan generasi Muhamaad SAW
yang telah membawa dunia kepada suatu perubahan-perubahan besar kearah kemajuan
berpikir dan beribadah.
Disposisi
psiokologis yang mereka berikan telah menggerakkan revolusi peribadatan secara
mendasar pada abad ke 6, dari peribadatan dengan sifat-sifat takhayul yang
irrasional dengan budaya polytheism
(aneka ragam tuhan berhala); serta peribadatan dengan sifat-sifat agnostic
(inderawi) dengan budaya kontemplasi spiritual yang buntu, kepada peribadatan dengan sifat-sifat
transcendent-monotheistis atau ketauhidan, yaitu Zat Yang Esa yang merupakan
sumber energi tunggal yang sempurna, dengan personalitas ketuhanan yang jelas,
ialah Allah. Kini kita bisa menghayati dan menyatakan dengan
lebih pasti “Iyyaka na’budu, wa iyyaka nasta’ien” (QS 1:5) : “Hanya
kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon
pertolongan”.
Perjuangan
batin.
Menurut Symons
(1991) seorang pemikir abad 20, berdasarkan perspektif psikologi evolusioner,
mekanisme psikologis manusia memiliki dasar genetik dimasa silam. Artinya
mekanisme psikologis pada masa sekarang terbentuk melalui perkembangan selama
berjuta tahun yang lampau. Seluruh proses itu membentuk apa yang disebut Kretschmer
(1921) juga seorang pemikir abad 20 sebagai Konstitusi, yaitu totalitas segala
sifat-sifat manusia yang beralaskan keturunan, baik sifat-sifat jasmaniah
maupun sifat kejiwaan, yang merupakan faktor endogen yang tidak mudah dirubah
oleh pengaruh dari luar.
Pernyataan
para pemikir abad modern menjelaskan,
bahwa masih tetap hidupnya nilai-nilai takhayul dalam struktur
psikologis manusia modern dewasa ini merupakan faktor endogen dari disposisi
psikologis dalam proses selama beribu-ribu bahkan berjuta tahun yang lalu.
Tidak heran jika dalam kejiwaan manusia sekarang masih tersisa kepercayaan
tentang takhayul. Abad-abad agnostic dizaman Khong Hu Chu dan Sidharta Gautama
(abad ke 5 SM) dengan azas-azas harmonisme dan kontemplasi memang tidak berhasil
menghilangkan disposisi ketakhayulan dari struktur nilai yang mendominasi
konstitusi.
Revolusi
monotheistis-trancendental atau revolusi tauhid yang dikibarkan oleh Nabi Besar
Muhammad SAW agaknya hanya berhasil membersihkan jiwa manusia dari ketakhayulan
pada masa awal kebangkitan Islam, yaitu pada periode shohabat, tabi’ien dan
tabi’ut-tabi’ien, pada abad pertama hijriyah. Setelah itu pengaruh takhayul dan
budaya polytehisme kembali hidup dalam jiwa kebanyakan manusia. Dan
kondisi itu terus mewaris sebagai faktor endogen dalam kejiwaan manusia modern
sekarang.
Maka Jihad
Akbar, perang besar menegakkan tauhid tidak bersifat ekstra organis melainkan
intra organis, terjadi dalam batin manusia sendiri (Periksa Pengajian Kedua).
Dalam ketidaksadaran kolektif manusia masih terdapat nilai-nilai budaya
takhayul yang endogen dan masih mempengaruhi proses mental dan perilaku
manusia. Pemahaman “Iyyaka na’budu, wa iyyaka nasta’ien” harus
mengandung pengertian membersihkan batin dari nilai-nilai takhayul.
Harus
dilakukan regresi selektif untuk memijakkan psyche pada nilai-nilai
Tauhid dalam konstitusi, dan harus dilakukan progresi melalui proses kognitif
agar ego larut dalam pengetahuan Tauhid yang memenuhi Schemata, sehingga
seluruh proses mental dan perilaku kita bermakna Tauhid. Hanya Allah-lah Tuhan
yang kita sembah dan hanya kepada Allah-lah kita mohon pertolongan. Artinya
tidak akan meminta pertolongan ke makam-makam, ke gunung-gunung, ke goa-goa
atau tempat-tempat keramat yang
merupakan hakekat penyembahan berhala dalam budaya animisme dan pantheisme, yang
berarti mundur lagi ke zaman Agama Wu 5000 tahun yang lalu.
“Wa’budullaha wala tusriku bihi syai’a” (QS 4
(An-Nisa’) : 36) : Sembahlah Allah saja dan jangan sekutukan dengan apapun.
Jika proses
batin ini dapat dilakukan maka energi psikis das Ueber Ich (periksa
Pengajian Pertama) akan dipenuhi oleh struktur nilai Tauhid. Proses ini akan
berlanjut dengan optimasi transcendent-function sehingga Ruh akan
memimpin jiwa dan pikiran kepada proses mental dan perilaku sebagai perwujudan
kasih kepada Allah Tuhan Yang Esa dan kasih kepada sesama, seperti yang
digemakan oleh Isa Al-Masih atau Yesus Juruselamat di Gallilea 2000 tahun yang
lalu, atau “hablun minallah , wa hablun minannaas” dalam pinrip Islam
(periksa Pengajian Kedelapan), sebagai jalan untuk mencapai sorga yang
tertinggi yakni keridhoan Allah Ta’alaa.
Demikian
pembahasan bagian ke II hakekat Iyyaka na’budu, wa iyyaka nasta’ien, ayat
kelima surat Al-Fatihah yang kita baca setiap hari. Jumat depan akan kita
lanjutkan dengan pembahasan bagian ke III.
Sekian.
Birrahmatillahi
Wabi’aunihi fi Sabilih.
Wassalamu’alaikum
War. Wab.
Jakarta, 27
Agustus 2004,
Pengasuh,
KH AGUS
MIFTACH.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar