7.7.17

Pengajian Kesebelas.-TWU


Pengajian Kesebelas.
Assalamu’alaikum War. Wab.

“Iyyaaka na’budu wa-iyyaaka nasta’ien” : “Hanya kepada Engkaulah kami beribadah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan”; (Al-Fatihah :5).

“Iyyaaka” dalam ayat ini diulang dua kali, menurut Tafsir Jalalain untuk menegaskan bahwa ibadat dan istianah itu masing-masing hanya dihadapkan kepada Allah Ta’aala semata. Saya berpendapat dengan melalui mekanisme munajat yang transcendental, melahirkan gestalt Al-Ghoib yang mendominasi seluruh rongga pemikiran kita, sehingga seakan kita berbicara langsung kepada Allah SWT. Ini ditandai dengan penggunaan “kaf” mukhattab pada ‘iyyaaka’, yang menurut Tafsir Ibnu Katsir menggambarkan kedekatan hamba kepada Allah yang disebutnya sebagai orang kedua.

Pencarian dan penemuan hakekat tuhan.

Filsuf Yunani Anximandros (610-540 SM) mengatakan bahwa arkhe (awal-mula) adalah to aperion (yang tak terbatas) diluar sifat-sifat bendawi yang dikenal manusia. Pernyataan Anaximandros tentang azas to aperion sebenarnya telah memasuki dimensi transcendental. Pengertian “yang tak terbatas diluar sifat-sifat bendawi yang dikenal manusia”, artinya diluar logika dan diluar batas-batas ruang dan waktu serta diluar hukum-hukum fisika. Oleh karena itu pengertian arkhe dalam to aperion lebih bermakna yang menciptakan awal atau yang tidak berawal, dengan sendirinya tidak pula berakhir.

Apa yang dilakukan Anaximandros mengingatkan kita pada apa yang dilakukan Ibrahim a.s. ketika melakukan perenungan dan pencarian tuhan diantara benda-benda langit seperti bulan, bintang dan matahari yang tidak memuaskan Ibrahim karena sifat-sifat keterbatasannya. Akhirnya Ibrahim menyatakan bahwa tuhan adalah diatas semua yang terbatas itu, yaitu Rabb al Alamien, pemelihara semesta alam, artinya pemelihara semua yang terbatas, karena semesta alam bersifat terbatas.

Pemelihara Semesta Alam yang bersifat mutlak berada diluar hukum-hukum semesta alam itu sendiri yang bersifat relatif. Pemelihara Semesta Alam adalah bersifat Tak Terbatas, Maha Besar dan Maha Meliputi Segala-galanya, Berkuasa atas segala sesuatu; “Innallha ‘ala kulli syai’ien qodier” (QS 2:20).

Sesungguhnya inilah pencarian Tuhan, karena tidak ada yang setara dengan konsep to aperion-nya Anximandros dan Rabb al Alamien-nya Ibrahim a.s. kecuali Dia itu adalah Allah Azza wa Jalla.
     
Pencarian Ibrahim a.s. atau Abraham menurut versi Taurat yang disebut juga oleh umat Kristen dengan Kitab Perjanjian Lama yang terjadi jauh sebelum masa Anaximandros berdasarkan informasi kitabiyah (Kitab-kitab Suci Yahudi, Kristen dan Islam); dan pencarian Anaximandros yang terjadi 25 abad yang lampau atau 11 abad sebelum bangkitnya Rasulullah SAW, memberikan disposisi psikologis yang berharga bagi ummat manusia untuk menerima realitas transcendent yang lebih besar yang dibawa Musa a.s. pada akhir abad ke 5 SM, kemudian Isa a.s pada abad ke 1 Masehi dan terakhir Nabi Besar Muhammad SAW pada abad ke-6 Masehi.

Kita berterima kasih kepada generasi Ibrahim dan Anaximandros, kita berterima kasih kepada generasi Musa dan Isa, dan kita bersyukur dengan generasi Muhamaad SAW yang telah membawa dunia kepada suatu perubahan-perubahan besar kearah kemajuan berpikir dan beribadah.

Disposisi psiokologis yang mereka berikan telah menggerakkan revolusi peribadatan secara mendasar pada abad ke 6, dari peribadatan dengan sifat-sifat takhayul yang irrasional  dengan budaya polytheism (aneka ragam tuhan berhala); serta peribadatan dengan sifat-sifat agnostic (inderawi) dengan budaya kontemplasi spiritual yang buntu, kepada  peribadatan dengan sifat-sifat transcendent-monotheistis atau ketauhidan, yaitu Zat Yang Esa yang merupakan sumber energi tunggal yang sempurna, dengan personalitas ketuhanan yang jelas, ialah Allah. Kini kita bisa menghayati dan menyatakan dengan lebih pasti “Iyyaka na’budu, wa iyyaka nasta’ien” (QS 1:5) : “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan”.

Perjuangan batin.

Menurut Symons (1991) seorang pemikir abad 20, berdasarkan perspektif psikologi evolusioner, mekanisme psikologis manusia memiliki dasar genetik dimasa silam. Artinya mekanisme psikologis pada masa sekarang terbentuk melalui perkembangan selama berjuta tahun yang lampau. Seluruh proses itu membentuk apa yang disebut Kretschmer (1921) juga seorang pemikir abad 20 sebagai Konstitusi, yaitu totalitas segala sifat-sifat manusia yang beralaskan keturunan, baik sifat-sifat jasmaniah maupun sifat kejiwaan, yang merupakan faktor endogen yang tidak mudah dirubah oleh pengaruh dari luar.

Pernyataan para pemikir abad modern menjelaskan,  bahwa masih tetap hidupnya nilai-nilai takhayul dalam struktur psikologis manusia modern dewasa ini merupakan faktor endogen dari disposisi psikologis dalam proses selama beribu-ribu bahkan berjuta tahun yang lalu. Tidak heran jika dalam kejiwaan manusia sekarang masih tersisa kepercayaan tentang takhayul. Abad-abad agnostic dizaman Khong Hu Chu dan Sidharta Gautama (abad ke 5 SM) dengan azas-azas harmonisme dan kontemplasi memang tidak berhasil menghilangkan disposisi ketakhayulan dari struktur nilai yang mendominasi konstitusi.

Revolusi monotheistis-trancendental atau revolusi tauhid yang dikibarkan oleh Nabi Besar Muhammad SAW agaknya hanya berhasil membersihkan jiwa manusia dari ketakhayulan pada masa awal kebangkitan Islam, yaitu pada periode shohabat, tabi’ien dan tabi’ut-tabi’ien, pada abad pertama hijriyah. Setelah itu pengaruh takhayul dan budaya polytehisme kembali hidup dalam jiwa kebanyakan manusia. Dan kondisi itu terus mewaris sebagai faktor endogen dalam kejiwaan manusia modern sekarang.

Maka Jihad Akbar, perang besar menegakkan tauhid tidak bersifat ekstra organis melainkan intra organis, terjadi dalam batin manusia sendiri (Periksa Pengajian Kedua). Dalam ketidaksadaran kolektif manusia masih terdapat nilai-nilai budaya takhayul yang endogen dan masih mempengaruhi proses mental dan perilaku manusia. Pemahaman “Iyyaka na’budu, wa iyyaka nasta’ien” harus mengandung pengertian membersihkan batin dari nilai-nilai takhayul.

Harus dilakukan regresi selektif untuk memijakkan psyche pada nilai-nilai Tauhid dalam konstitusi, dan harus dilakukan progresi melalui proses kognitif agar ego larut dalam pengetahuan Tauhid yang memenuhi Schemata, sehingga seluruh proses mental dan perilaku kita bermakna Tauhid. Hanya Allah-lah Tuhan yang kita sembah dan hanya kepada Allah-lah kita mohon pertolongan. Artinya tidak akan meminta pertolongan ke makam-makam, ke gunung-gunung, ke goa-goa atau tempat-tempat  keramat yang merupakan hakekat penyembahan berhala dalam budaya animisme dan pantheisme, yang berarti mundur lagi ke zaman Agama Wu 5000 tahun yang lalu.

 “Wa’budullaha wala tusriku bihi syai’a” (QS 4 (An-Nisa’) : 36) : Sembahlah Allah saja dan jangan sekutukan dengan apapun.

Jika proses batin ini dapat dilakukan maka energi psikis das Ueber Ich (periksa Pengajian Pertama) akan dipenuhi oleh struktur nilai Tauhid. Proses ini akan berlanjut dengan optimasi transcendent-function sehingga Ruh akan memimpin jiwa dan pikiran kepada proses mental dan perilaku sebagai perwujudan kasih kepada Allah Tuhan Yang Esa dan kasih kepada sesama, seperti yang digemakan oleh Isa Al-Masih atau Yesus Juruselamat di Gallilea 2000 tahun yang lalu, atau “hablun minallah , wa hablun minannaas” dalam pinrip Islam (periksa Pengajian Kedelapan), sebagai jalan untuk mencapai sorga yang tertinggi yakni keridhoan Allah Ta’alaa.

Demikian pembahasan bagian ke II hakekat Iyyaka na’budu, wa iyyaka nasta’ien, ayat kelima surat Al-Fatihah yang kita baca setiap hari. Jumat depan akan kita lanjutkan dengan pembahasan bagian ke III.  Sekian.

Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi Sabilih.
Wassalamu’alaikum War. Wab.

Jakarta, 27 Agustus 2004,
Pengasuh,



KH AGUS MIFTACH.

Ketua Umum Front Persatuan Nasional




Tidak ada komentar:

Posting Komentar