Pengajian Kesepuluh
Assalamu’alaikum War. Wab.
“Iyyaka na’budu wa-iyyaka nasta’ien(u)” : “Hanya kepada
Engkaulah kami beribadan dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan”;
(Al-Fatihah : 5).
Tafsir Ibnu Katsir
menerangkan, penggalan pertama “hanya kepada Engkaulah kami beribadah”,
merupakan penyucian dari kemusyrikan. Dan penggalan yang kedua “hanya kepada
Engkaulah kami memohon pertolongan”, merupakan penyucian dari segala upaya dan
kekuatan manusia, kemudian berserah diri kepada Allah Azza wa Jalla.
30 abad sebelum masehi adalah awal
peradaban agama berdasarkan fakta sejarah, seperti sudah pernah kita bahas
dalam Pengajian Ketiga. Tentang Nabi Adam a.s yang diperkirakan berada pada
abad ke-40 SM kita tidak memiliki sumber empirik, kecuali hanya berdasarkan
iman agama-agama samawi (Islam, Kristen dan Yahudi), maka kita tidak
membahasnya, melainkan mempercayainya sebagai arkhe (awal mula)
penyembahan kepada Allah, awal-mula pernyataan “Iyyaka na’budu wa iyyaka
nasta’ien” yang bermakna “Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu
kami mohon pertolongan” (QS I:5), menjadi stimulus yang mengisi cognitive
dan schemata manusia. Namun
berdasarkan data-data kesejarahan yang ditulis para ahli kita akan mulai dari
tahun 2953 SM sebagai arkhe (awal mula) peradaban agama, yaitu Agama Wu,
merupakan spiritualisme yang membentuk struktur nilai yang hidup
ditengah-tengah masyarakat dan mempengaruhi seluruh perilaku (periksa Pengajian
Ketiga). Agama Wu adalah awal mula pencarian energi supra-natural di luar diri
manusia yang berujung dengan penyembahan kepada hantu atau makhluk halus, yang
waktu itu disangka Raja Hok Hi di Tiongkok sebagai tuhan. Dari sinilah
awal mula kepercayaan tentang makhluk halus yang membentuk peradaban takhayul
dan menjadi landasan terbentuknya teologi agama-agama purba yang berkembang
menjadi agama-agama penyembah berhala. Selama ribuan tahun manusia berkembang
dalam peradaban ini yang didominasi dengan mite-mite atau
dongeng-dongeng yang menempatkan manusia dibawah kekuasaan semesta alam.
Kebangkitan akal pikiran.
600 tahun sebelum masehi, Lao-tzu
di Lou-yang,Tiongkok memulai penyelidikannya atas alam dengan dasar akal
pikirannya. Arkhe atau awal mula semesta alam bukan ditiup dewa-dewa
dalam dongeng, melainkan berasal dari Hsuan yaitu keheningan yang
hakiki. Dalam masa yang hampir sama di Yunani,
Thales dari Miletos (625-545 SM) menyatakan bahwa asas
pertama yang menjadi asal mula segala sesuatu ialah air, berdasarkan
fakta air merupakan inti kehidupan. Thales adalah orang pertama yang
meramalkan gerhana matahari yang terjadi pada th. 585 SM. Pikiran Lao tzu
dianggap lebih dalam dibanding pikiran Thales. Tetapi filsuf Yunani yang
muncul kemudian Anaximandros (610-540 SM) melangkah lebih maju dengan
menyatakan bahwa asas pertama ialah to aperion (yang tak terbatas)
diluar sifat-sifat bendawi yang dikenal manusia. Inilah awal mula kebangkitan
akal pikiran manusia. Inilah periode kemenangan akal atas mite-mite dan
dongeng-dongeng takhayul. Tanpa periode ini bahkan tidak mungkin manusia dapat
mengembangkan fungsi transenden sebagai organ jiwa (CG. Jung, 1875-1959)
yang menjadi jalan bagi manusia untuk memahami keberadaan Allah Ta’alaa.
Di zaman cybertechnology
sekarang ini, para ilmuwan NSA mengatakan bahwa semesta alam tercipta dari
kabut partikel nirjasad yang berputar membentuk poros selama bermilyar tahun,
sehingga terjadilah mutasi yang membentuk materi dalam suatu ledakan dahsyat
yang di sebut Big Bang yang melahirkan semesta alam, sebuah peradaban
kosmik (Periksa Pengajian Kelima).
Akal pikiran dan psikologis manusia
yang terdiri milyaran sel dan energi psikis yang memiliki spektrum seluas
semesta alam itu lebih menakjubkan lagi; dan terjadilah sublimasi budaya dan
peradaban manusia dalam pengertian psikoanalitik, yaitu transfer progresif dari
kondisi psikologis yang lebih rendah diferensiasinya, yaitu dibawah semesta
alam dimana perubahan-perubahan bergantung kepada semesta alam, kepada kondisi
psikologis yang lebih tinggi diferensiasinya, yaitu diatas semesta alam dimana
perubahan-perubahan bergantung kepada akal pikiran manusia. Dari posisi inilah
manusia mengembangkan fungsi transenden yang merupakan organ jiwa yang
beroperasi dalam wilayah Conscious, Preconscious dan Unconscious
(Kesadaran, Prasadar dan Ketidaksadaran) yang mampu membawa imaginasi
menjangkau hakekat transcendental seperti dilakukan Anaximandros
dengan prinsip to-aperion nya itu dimana segala sesuatu bersumber dari
Yang Tak Terbatas diluar sifat-sifat bendawi (agnostic). Artinya bahwa Yang Tak
Terbatas berkuasa atas segala sesuatu yang terbatas, karena yang terbatas semua bersumber dari Yang Tak Terbatas. 1100
tahun setelah era Anaximandros, seorang Rasul Allah di pedalaman
jazirah Arab, Muhammad SAW menyatakan
bahwa asas Yang Tak Terbatas adalah Allah, dan Allah berkuasa
atas segala sesuatu, “Innallaha ala kulli syai’in Qodier” (QS II:20).
Peribadatan.
Setelah melintasi peradaban takhayul dengan animisme,
dinamisme dan pantheisme, manusia mendewakan akal pikiran dengan berbagai
agnostisisme untuk memecahkan rahasia semesta alam dan menguasainya untuk
kepentingan manusia, maka lahirlah ilmu pengetahuan, seperti ilmu pasti, ilmu
alam, ilmu perbintangan, ilmu hayat, ilmu kedokteran dan ilmu politik. Tetapi
dengan semua ilmu itu manusia tidak mampu menghentikan apalagi menguasai
kematian. Manusia tetap tidak berdaya terhadap usia tua dan kematian serta
tidak mengetahui hal-ihwal sesudah mati dengan pembuktian empirik. Inilah
saatnya manusia kembali kepada dalil Anaximandros bahwa segala sesuatu
bersumber dari Yang Tak Terbatas. Untuk memahami-Nya manusia harus
mengembangkan organ jiwa yang disebut Jung sebagai transcendent
function, yang membuat manusia memiliki kemampuan untuk memahami
kasih-sayang dan aspek-aspek nirjasadi seperti perasaan keimanan serta sepektrum
transcendental, yakni kehidupan akherat dalam konsep agama-agama samawi.
Maka pada masa kemajuan akal pikiran, budaya peribadatan mengalami
sublimasi-psikologis, yaitu transferabilitas-progresif dari takhayul ke
agnostisisme dan seterusnya ke nilai-nilai transcendental yang bersifat
nirjasadi, terutama berkaitan dengan rahasia kehidupan sesudah mati yang tidak
dapat dipecahkan oleh ilmu pengetahuan
inderawi. Ketidakberdayaan akal pikiran manusia dalam mengontrol kehidupan
sesudah mati, menjadikan dependensi manusia terhadap aspek transcendental.
Dari arah inilah dimulai peribadatan kepada Allah Azza wa Jalla, dan pengertian
yang mendalam atas ayat kelima surat Al-Fatihah: “Iyyaka na’budu, wa iyyaka
nasta’ien”, yang artinya : “Hanya kepada Engkau-lah kami menyembah, dan
hanya kepada Engkau-lah kami mohon pertolongan”. Resultante dan stressing point
ayat ini lebih terarah kepada pertolongan di hari akhirat dimana manusia tidak
memiliki otoritas dan independensi apapun. Manusia dengan keperkasaan akal pikirannya
tidak begitu memerlukan makna pertolongan itu dalam arti agnosticism,
tetapi lebih berarti transcendental dimana manusia kehilangan otoritas
dan independensi-nya. Itulah hakekat “Iyyaka na’budu, wa iyyaka nasta’ien”,
ayat kelima surat Al-Fatihah, pada Pengajian Kesepuluh bagian ke I ini. Kita
akan melanjutkan pembahasan pada bagian ke II Jum’at depan. Sekian.
Birrahmatillahi Wabi’aunihi Fi
Sabilih, Wassalamu’alaikum War. Wab.
Jakarta, 20 Agustus 2004.
Pengasuh,
H. AGUS MIFTACH.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar