7.7.17

Pengajian Kesepuluh -TWU

 

 Pengajian Kesepuluh





Assalamu’alaikum War. Wab.
“Iyyaka na’budu wa-iyyaka nasta’ien(u)” : “Hanya kepada Engkaulah kami beribadan dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan”; (Al-Fatihah : 5).
Tafsir Ibnu Katsir menerangkan, penggalan pertama “hanya kepada Engkaulah kami beribadah”, merupakan penyucian dari kemusyrikan. Dan penggalan yang kedua “hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan”, merupakan penyucian dari segala upaya dan kekuatan manusia, kemudian berserah diri kepada Allah Azza wa Jalla.

30 abad sebelum masehi adalah awal peradaban agama berdasarkan fakta sejarah, seperti sudah pernah kita bahas dalam Pengajian Ketiga. Tentang Nabi Adam a.s yang diperkirakan berada pada abad ke-40 SM kita tidak memiliki sumber empirik, kecuali hanya berdasarkan iman agama-agama samawi (Islam, Kristen dan Yahudi), maka kita tidak membahasnya, melainkan mempercayainya sebagai arkhe (awal mula) penyembahan kepada Allah, awal-mula pernyataan “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’ien” yang bermakna “Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami mohon pertolongan” (QS I:5), menjadi stimulus yang mengisi cognitive dan schemata manusia.  Namun berdasarkan data-data kesejarahan yang ditulis para ahli kita akan mulai dari tahun 2953 SM sebagai arkhe (awal mula) peradaban agama, yaitu Agama Wu, merupakan spiritualisme yang membentuk struktur nilai yang hidup ditengah-tengah masyarakat dan mempengaruhi seluruh perilaku (periksa Pengajian Ketiga). Agama Wu adalah awal mula pencarian energi supra-natural di luar diri manusia yang berujung dengan penyembahan kepada hantu atau makhluk halus, yang waktu itu disangka Raja Hok Hi di Tiongkok sebagai tuhan. Dari sinilah awal mula kepercayaan tentang makhluk halus yang membentuk peradaban takhayul dan menjadi landasan terbentuknya teologi agama-agama purba yang berkembang menjadi agama-agama penyembah berhala. Selama ribuan tahun manusia berkembang dalam peradaban ini yang didominasi dengan mite-mite atau dongeng-dongeng yang menempatkan manusia dibawah kekuasaan semesta alam.

Kebangkitan akal pikiran.

600 tahun sebelum masehi, Lao-tzu di Lou-yang,Tiongkok memulai penyelidikannya atas alam dengan dasar akal pikirannya. Arkhe atau awal mula semesta alam bukan ditiup dewa-dewa dalam dongeng, melainkan berasal dari Hsuan yaitu keheningan yang hakiki. Dalam masa yang hampir sama di Yunani, Thales dari Miletos (625-545 SM) menyatakan bahwa asas pertama yang menjadi asal mula segala sesuatu ialah air, berdasarkan fakta air merupakan inti kehidupan. Thales adalah orang pertama yang meramalkan gerhana matahari yang terjadi pada th. 585 SM. Pikiran Lao tzu dianggap lebih dalam dibanding pikiran Thales. Tetapi filsuf Yunani yang muncul kemudian Anaximandros (610-540 SM) melangkah lebih maju dengan menyatakan bahwa asas pertama ialah to aperion (yang tak terbatas) diluar sifat-sifat bendawi yang dikenal manusia. Inilah awal mula kebangkitan akal pikiran manusia. Inilah periode kemenangan akal atas mite-mite dan dongeng-dongeng takhayul. Tanpa periode ini bahkan tidak mungkin manusia dapat mengembangkan fungsi transenden sebagai organ jiwa (CG. Jung, 1875-1959) yang menjadi jalan bagi manusia untuk memahami keberadaan  Allah Ta’alaa.
Di zaman cybertechnology sekarang ini, para ilmuwan NSA mengatakan bahwa semesta alam tercipta dari kabut partikel nirjasad yang berputar membentuk poros selama bermilyar tahun, sehingga terjadilah mutasi yang membentuk materi dalam suatu ledakan dahsyat yang di sebut Big Bang yang melahirkan semesta alam, sebuah peradaban kosmik (Periksa Pengajian Kelima).
Akal pikiran dan psikologis manusia yang terdiri milyaran sel dan energi psikis yang memiliki spektrum seluas semesta alam itu lebih menakjubkan lagi; dan terjadilah sublimasi budaya dan peradaban manusia dalam pengertian psikoanalitik, yaitu transfer progresif dari kondisi psikologis yang lebih rendah diferensiasinya, yaitu dibawah semesta alam dimana perubahan-perubahan bergantung kepada semesta alam, kepada kondisi psikologis yang lebih tinggi diferensiasinya, yaitu diatas semesta alam dimana perubahan-perubahan bergantung kepada akal pikiran manusia. Dari posisi inilah manusia mengembangkan fungsi transenden yang merupakan organ jiwa yang beroperasi dalam wilayah Conscious, Preconscious dan Unconscious (Kesadaran, Prasadar dan Ketidaksadaran) yang mampu membawa imaginasi menjangkau hakekat transcendental seperti dilakukan Anaximandros dengan prinsip to-aperion nya itu dimana segala sesuatu bersumber dari Yang Tak Terbatas diluar sifat-sifat bendawi (agnostic). Artinya bahwa Yang Tak Terbatas berkuasa atas segala sesuatu yang terbatas, karena yang terbatas  semua bersumber dari Yang Tak Terbatas. 1100 tahun setelah era Anaximandros, seorang Rasul Allah di pedalaman jazirah Arab, Muhammad SAW menyatakan  bahwa asas Yang Tak Terbatas adalah Allah, dan Allah berkuasa atas segala sesuatu, “Innallaha ala kulli syai’in Qodier” (QS II:20).

Peribadatan.

Setelah melintasi peradaban takhayul dengan animisme, dinamisme dan pantheisme, manusia mendewakan akal pikiran dengan berbagai agnostisisme untuk memecahkan rahasia semesta alam dan menguasainya untuk kepentingan manusia, maka lahirlah ilmu pengetahuan, seperti ilmu pasti, ilmu alam, ilmu perbintangan, ilmu hayat, ilmu kedokteran dan ilmu politik. Tetapi dengan semua ilmu itu manusia tidak mampu menghentikan apalagi menguasai kematian. Manusia tetap tidak berdaya terhadap usia tua dan kematian serta tidak mengetahui hal-ihwal sesudah mati dengan pembuktian empirik. Inilah saatnya manusia kembali kepada dalil Anaximandros bahwa segala sesuatu bersumber dari Yang Tak Terbatas. Untuk memahami-Nya manusia harus mengembangkan organ jiwa yang disebut Jung sebagai transcendent function, yang membuat manusia memiliki kemampuan untuk memahami kasih-sayang dan aspek-aspek nirjasadi seperti perasaan keimanan serta sepektrum transcendental, yakni kehidupan akherat dalam konsep agama-agama samawi. Maka pada masa kemajuan akal pikiran, budaya peribadatan mengalami sublimasi-psikologis, yaitu transferabilitas-progresif dari takhayul ke agnostisisme dan seterusnya ke nilai-nilai transcendental yang bersifat nirjasadi, terutama berkaitan dengan rahasia kehidupan sesudah mati yang tidak dapat  dipecahkan oleh ilmu pengetahuan inderawi. Ketidakberdayaan akal pikiran manusia dalam mengontrol kehidupan sesudah mati, menjadikan dependensi manusia terhadap aspek transcendental. Dari arah inilah dimulai peribadatan kepada Allah Azza wa Jalla, dan pengertian yang mendalam atas ayat kelima surat Al-Fatihah: “Iyyaka na’budu, wa iyyaka nasta’ien”, yang artinya : “Hanya kepada Engkau-lah kami menyembah, dan hanya kepada Engkau-lah kami mohon pertolongan”. Resultante dan stressing point ayat ini lebih terarah kepada pertolongan di hari akhirat dimana manusia tidak memiliki otoritas dan independensi apapun. Manusia dengan keperkasaan akal pikirannya tidak begitu memerlukan makna pertolongan itu dalam arti agnosticism, tetapi lebih berarti transcendental dimana manusia kehilangan otoritas dan independensi-nya. Itulah hakekat “Iyyaka na’budu, wa iyyaka nasta’ien”, ayat kelima surat Al-Fatihah, pada Pengajian Kesepuluh bagian ke I ini. Kita akan melanjutkan pembahasan pada bagian ke II Jum’at depan. Sekian.
Birrahmatillahi Wabi’aunihi Fi Sabilih, Wassalamu’alaikum War. Wab.
Jakarta, 20 Agustus 2004.
Pengasuh,


H. AGUS MIFTACH.

Ketua Umum Front Persatuan Nasional

Tidak ada komentar:

Posting Komentar