7.7.17

Pengajian Kesembilan-TWU

Pengajian Kesembilan

Assalamu’alaikum War. Wab.

“Maliki yaumiddien” : “Yang menguasai ‘hari pembalasan’”; (Al-Fatihah : 4).

Pada dua pengajian sebelumnya kita telah membahas ayat keempat Al-Fatihah, yaitu “Maliki Yaumiddien” yang berarti ‘Yang menguasai’ atau ‘Penguasa’ atau ‘Raja Hari Kemudian atau Hari Akhirat atau Hari Pembalasan’  yang merupakan tujuan tertinggi kehiduan sesudah mati. Kita masih akan terus mendalami hakekat Yaum Al-Dien dengan berbagai pendekatan.

Tafsir Ibnu Katsir menerangkan bahwa Allah SWT adalah Pemilik seluruh hari dunia dan akhirat, karena sebelumnya telah diinformasikan bahwa Dia adalah Rabb-al-Alemien yang meliputi dunia dan akhirat. Stressing pada ‘hari akhirat’ karena disana tidak ada lagi independensi akal dan pikiran manusia, semuanya dependen dalam kekuasaan mutlak Allah Azza wa Jalla.

Tafsir Jalalin mengemukakan bahwa lafadz “Ad-Dien” memiliki banyak mana a.l. :
1      Perhitungan,
2      Pembalasan,
3      Patuh,
4      Menundukkan,
5      Syari’at,
6      Agama,
Dan yang selaras dalam pengertian ayat didepan adalah ‘hari pembalasan’.

Dialog dengan kematian.

Kisah ini dinukil dari Katha Upanisad I, salah satu kitab suci Hindu. Kisah ini diperkirakan berasal dari zaman 2000 tahun yang silam, yaitu zaman Maharesi Tiruvaluvar yang sudah kita bahas pada Pengajian Kedelapan.

Al-kisah Naciketas seorang pemuda yang saleh dan cerdas setelah menyucikan diri dengan jalan berpuasa selama tiga hari tiga malam, bermeditasi sepenuh hatinya, bertanya kepada Yama, penguasa kematian menurut istilah Hindu, atau Malakul-Maut  menurut istilah Islam. Pertanyaannya adalah : “Apakah setelah mati seseorang itu “ada” atau “tidak ada”? Yama menjawab : “Dia yang telah dibebaskan dari batasan-batasan nama dan bentuk, yang telah menjadi satu dengan segalanya, tidak dapat dikatakan ada (exist) dalam pengertian biasa.

Tidak ada lagi kesadaran yang secara khusus membatasi keberadaannya. Tetapi ia juga tidak dapat dikatakan tidak ada (non-exist) dalam pengertian biasa, karena ia telah memperoleh keberadaan yang sesungguhnya. Seseorang yang telah mengetahui kegembiraan moksha (kehidupan abadi) tidak akan tertarik terhadap nafsu-nafsu duniawi. Artinya seorang yang telah dapat merasakan kebahagiaan abadi tidak akan menemukan kebahagiaan dalam kenikmatan duniawi”.

Filsuf abad modern Sigmund Freud (1856-1939) hanya mengatakan bahwa kehidupan adalah perjalanan menuju kematian, yaitu kembali kepada konstansi an-organis (periksa Pengajian Ketujuh dan Kedepalan). Pakar fisika pascamodernitas  H.H. Price, 2002 (Presiden England Society for Physical Research) bahkan mengatakan bahwa in abstracto (teori) kehidupan sesudah mati adalah “omong kosong”, kecuali dapat diwujudkan sebuah konsep tentang “Dunia Lain” dalam bentuknya yang kongkret. Jadi in concreto (kenyataan) kehidupan sesudah mati harus dapat dibuktikan. Jika tidak, hanya omong kosong. Deskripsi Maharesi Tiruvaluvar dan khotbah agung Al-Masih di Galilea  2000 tahun yang silam serta pernyataan suci Rasulullah SAW tentang Maliki Yaumuddien 500 tahun sesudahnya, jika tidak dapat dibuktikan secara in concreto, dalam pandangan H.H. Price  hanya omong kosong. Inilah orotitas empirik dan kesombongan ilmu pengetahuan dari peradaban materialisme.

Pengalaman dekat kematian.

Filsuf abad Yunani yang termasyhur Plato (427-347 SM) dalam buku kesepuluh The Republic menulis tentang mitos Er, putra Armenius dari Pomphylian, seorang perwira Yunani. Er terbunuh di medan perang bersama banyak prajurit  Yunani. Sepuluh hari kemudian petugas pencari mayat menemukan mayat Er masih utuh diantara mayat para prajurit yang sudah membusuk. Pada hari keduabelas jenazah para prajurit termasuk Er siap di kremasi. Tiba-tiba tubuh Er bangkit, dia hidup kembali. Rupanya ia  mati suri. Lalu Er menuturkan pengalamannya selama masa kematiannya.

Pertama-tama ruh-nya keluar dari tubuhnya dan berkumpul dengan ruh-ruh yang lain. Mereka bergerak kesuatu tempat dimana terdapat dua lorong di bumi dan dua lorong diatasnya yang agaknya menghubungkan bumi dengan dunia setelah kematian. Kemudian mahluk suci mengadili para ruh atas semua perbuatan mereka di bumi.

Cukup sepintas para mahluk suci sudah mengetahui semua perilaku ruh selama  di bumi. Yang berbuat baik naik ke surga melalui lorong kanan, sedangkan yang berbuat buruk turun ke neraka malalui lorong kiri. Er tidak diadili, melinkan disuruh pulang ke dunia fisik dan memberitahu manusia tentang apa yang dilihatnya di dunia sesudah mati itu. Er tidak dapat mengingat bagaimana ia kembali ketubuhnya. Er tersadar ketika sudah berada diatas api kremasi. Ia cepat melompat turun dan hidup kembali.

Kisah 24 abad yang silam itu ternyata dialami pula oleh Shirley Tangelli dari Denver, Colorado AS 1983. Shirley menderita radang paru-paru (pneumonia) akut dimana dokter sudah tidak sanggup lagi mengobatinya dan keluarganya sudah putus asa.  Shirley mengalami trans kematian; ia tiba-tiba merasa aneh, tetapi tidak takut.  Ia merasakan ruh meninggal tubuh-nya, melintasi terowongan kereta api yang gelap. Dikejauhan ia melihat cahaya, ia mendatangi cahaya itu dan melihat tanggul kereta api kehijauan, di setiap sisi-sisi jalan yang juga hijau. Ditepi-tepi jalan ditutupi bunga lili dan bunga-bunga harum yang sangat indah.

Diujung jalan, Shirley begitu gembira, karena melihat neneknya Angie Waldrum yang sudah meninggal. tujuh tahun yang lalu. Shirley merasa semua rasa sakit dan penderitaan hilang, merasa bebas sama sekali dari semua rasa tidak enak, rasa sakit dan semua penderitaan. Shirley merasa berjalan melayang menghampiri neneknya yang merentangkan tangan menyambutnya dengan kerinduan ingin berpelukan. Sebuah suara tak terlihat tiba-tiba menghentak : “Jangan pergi dulu, kamu belum siap”.  Shirley bingung, tapi nenek tetap tersenyum dan merentangkan tangan menyambutnya. Suara misterius itu menghentak kembali :”Jangan pergi kepadanya, Ini belum waktumu”. Akhirnya Shirley tahu harus kembali.

Sejurus dengan itu perasaan sakit mulai datang kembali. Shirley kembali ke dalam kegelapan, melewati bunga lili itu yang kini ujung-ujung daunnya tampak mengkerut kecoklatan, sekarat. Shirley mulai merasakan kakinya sakit, tidak seperti waktu berangkat tanpa rasa sakit apapun, seperti melayang. Shirley kembali keterowongan dan kembali ke badan wadagnya. Shirley hidup kembali, dan mengetahui bahwa ia akan sembuh total dalam kehidupan yang begitu indah dan menyenangkan. Shirley merindukan kematian, karena ia tahu kehidupan sesudah mati begitu indah.

Kisah serupa Er dizaman Plato dan Shirley  dizaman mutakhir,  dan banyak kisah serupa itu yang kita dengar dari lingkungan kita yang menggambarkan adanya near death experience (pengalaman dekat kematian). Kisah-kisah itu dapat dianggap sebagai in-concreto yang dituntut H.H. Price, sebagai bukti permulaan tentang adanya kehidupan sesudah mati.

Bukti yang lebih jelas.

Mitologi Er dari abad Yunani 2400 tahun yang lalu dan near death experience lainnya merupakan fenomena transcendental yang berfungsi sebagai bentuk persiapan psikologis manusia untuk menerima fakta transcendental yang lebih besar.

Dalam masa 900 tahun sesudah Plato menuliskan mitologi Er dalam bagian kesepuluh The Republic, Rasululullah SAW melakukan perjalanan agung dari dunia ke akhirat yang di sebut Isra’ Mi’raj, yaitu perjalanan dari Masjidil Haram di Mekkah ke Masjidil Aqsha di Palestina lalu naik ke Sidratul Muntaha menemui Malik  Yaum Al-Dien, atau Pemilik Kerajaan Sorga menurut Al-Masih, yaitu Allah Azza wa Jalla, untuk menerima perintah-Nya, sebagaimana diungkapkan dalam Surah Al-Isra ayat 1 : “Subhanalladzi asro bi’abdihi lailan minal-masjidil haromi ilal-masjidil aqsho, alladzi barokna  haulahu linuriyahu min ayatinaa, innahuu huwassmii’ul-bashier (QS 17:1)”; “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya di malam hari, dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda kebesaran Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat”.

Itulah in concreto terbesar yang dituntut H.H. Price, yang dilihat permukaannya oleh Er 2400 tahun yang lalu dan oleh Shirley di zaman ini, yang dipertanyakan oleh Naciketas 2000 tahun yang lalu, dan diisyaratkan keberadaannya oleh Maharsi Tiruvaluvar, yang dipertegas oleh Isa Al-Masih, dan yang diperjelas bentuknya oleh Rasulullah SAW dengan firman-Nya : “Maliki Yaumiddien”, yang kini semakin kita pahami maknanya secara hakiki. Sekian.

Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi Sabilih.
Wassalamu’alaikum War. Wab.

Jakarta, 13 Agustus 2004,
Pengasuh,

 

KH. AGUS MIFTACH


Ketua Umum Front Persatuan Nasional

Tidak ada komentar:

Posting Komentar