Pengajian
Kesembilan
Assalamu’alaikum
War. Wab.
“Maliki
yaumiddien” : “Yang menguasai ‘hari pembalasan’”; (Al-Fatihah : 4).
Pada dua
pengajian sebelumnya kita telah membahas ayat keempat Al-Fatihah, yaitu “Maliki
Yaumiddien” yang berarti ‘Yang menguasai’ atau ‘Penguasa’ atau ‘Raja Hari
Kemudian atau Hari Akhirat atau Hari Pembalasan’ yang merupakan tujuan tertinggi kehiduan
sesudah mati. Kita masih akan terus mendalami hakekat Yaum Al-Dien dengan
berbagai pendekatan.
Tafsir Ibnu
Katsir menerangkan bahwa Allah SWT adalah Pemilik seluruh hari dunia dan
akhirat, karena sebelumnya telah diinformasikan bahwa Dia adalah
Rabb-al-Alemien yang meliputi dunia dan akhirat. Stressing pada ‘hari akhirat’
karena disana tidak ada lagi independensi akal dan pikiran manusia, semuanya
dependen dalam kekuasaan mutlak Allah Azza wa Jalla.
Tafsir
Jalalin mengemukakan bahwa lafadz “Ad-Dien” memiliki banyak mana a.l. :
1 Perhitungan,
2 Pembalasan,
3 Patuh,
4 Menundukkan,
5 Syari’at,
6 Agama,
Dan yang
selaras dalam pengertian ayat didepan adalah ‘hari pembalasan’.
Dialog
dengan kematian.
Kisah ini
dinukil dari Katha Upanisad I, salah satu kitab suci Hindu. Kisah ini
diperkirakan berasal dari zaman 2000 tahun yang silam, yaitu zaman Maharesi Tiruvaluvar
yang sudah kita bahas pada Pengajian Kedelapan.
Al-kisah Naciketas
seorang pemuda yang saleh dan cerdas setelah menyucikan diri dengan jalan
berpuasa selama tiga hari tiga malam, bermeditasi sepenuh hatinya, bertanya
kepada Yama, penguasa kematian menurut istilah Hindu, atau Malakul-Maut menurut istilah Islam. Pertanyaannya adalah :
“Apakah setelah mati seseorang itu “ada” atau “tidak ada”? Yama menjawab : “Dia
yang telah dibebaskan dari batasan-batasan nama dan bentuk, yang telah menjadi
satu dengan segalanya, tidak dapat dikatakan ada (exist) dalam pengertian
biasa.
Tidak ada
lagi kesadaran yang secara khusus membatasi keberadaannya. Tetapi ia juga tidak
dapat dikatakan tidak ada (non-exist) dalam pengertian biasa, karena ia telah
memperoleh keberadaan yang sesungguhnya. Seseorang yang telah mengetahui
kegembiraan moksha (kehidupan abadi) tidak akan tertarik terhadap nafsu-nafsu
duniawi. Artinya seorang yang telah dapat merasakan kebahagiaan abadi tidak
akan menemukan kebahagiaan dalam kenikmatan duniawi”.
Filsuf abad
modern Sigmund Freud (1856-1939) hanya mengatakan bahwa kehidupan adalah
perjalanan menuju kematian, yaitu kembali kepada konstansi an-organis (periksa
Pengajian Ketujuh dan Kedepalan). Pakar fisika pascamodernitas H.H. Price, 2002 (Presiden England
Society for Physical Research) bahkan mengatakan bahwa in abstracto
(teori) kehidupan sesudah mati adalah “omong kosong”, kecuali dapat diwujudkan
sebuah konsep tentang “Dunia Lain” dalam bentuknya yang kongkret. Jadi in
concreto (kenyataan) kehidupan sesudah mati harus dapat dibuktikan. Jika
tidak, hanya omong kosong. Deskripsi Maharesi Tiruvaluvar dan khotbah agung
Al-Masih di Galilea 2000 tahun yang
silam serta pernyataan suci Rasulullah SAW tentang Maliki Yaumuddien 500 tahun
sesudahnya, jika tidak dapat dibuktikan secara in concreto, dalam pandangan
H.H. Price hanya omong kosong. Inilah
orotitas empirik dan kesombongan ilmu pengetahuan dari peradaban materialisme.
Pengalaman
dekat kematian.
Filsuf abad
Yunani yang termasyhur Plato (427-347 SM) dalam buku kesepuluh The
Republic menulis tentang mitos Er, putra Armenius dari Pomphylian,
seorang perwira Yunani. Er terbunuh di medan perang bersama banyak
prajurit Yunani. Sepuluh hari kemudian
petugas pencari mayat menemukan mayat Er masih utuh diantara mayat para
prajurit yang sudah membusuk. Pada hari keduabelas jenazah para prajurit
termasuk Er siap di kremasi. Tiba-tiba tubuh Er bangkit, dia hidup kembali.
Rupanya ia mati suri. Lalu Er menuturkan
pengalamannya selama masa kematiannya.
Pertama-tama
ruh-nya keluar dari tubuhnya dan berkumpul dengan ruh-ruh yang lain. Mereka
bergerak kesuatu tempat dimana terdapat dua lorong di bumi dan dua lorong
diatasnya yang agaknya menghubungkan bumi dengan dunia setelah kematian.
Kemudian mahluk suci mengadili para ruh atas semua perbuatan mereka di bumi.
Cukup
sepintas para mahluk suci sudah mengetahui semua perilaku ruh selama di bumi. Yang berbuat baik naik ke surga
melalui lorong kanan, sedangkan yang berbuat buruk turun ke neraka malalui
lorong kiri. Er tidak diadili, melinkan disuruh pulang ke dunia fisik dan
memberitahu manusia tentang apa yang dilihatnya di dunia sesudah mati itu. Er
tidak dapat mengingat bagaimana ia kembali ketubuhnya. Er tersadar ketika sudah
berada diatas api kremasi. Ia cepat melompat turun dan hidup kembali.
Kisah 24 abad
yang silam itu ternyata dialami pula oleh Shirley Tangelli dari Denver,
Colorado AS 1983. Shirley menderita radang paru-paru (pneumonia) akut dimana
dokter sudah tidak sanggup lagi mengobatinya dan keluarganya sudah putus
asa. Shirley mengalami trans kematian;
ia tiba-tiba merasa aneh, tetapi tidak takut.
Ia merasakan ruh meninggal tubuh-nya, melintasi terowongan kereta api
yang gelap. Dikejauhan ia melihat cahaya, ia mendatangi cahaya itu dan melihat
tanggul kereta api kehijauan, di setiap sisi-sisi jalan yang juga hijau.
Ditepi-tepi jalan ditutupi bunga lili dan bunga-bunga harum yang sangat indah.
Diujung
jalan, Shirley begitu gembira, karena melihat neneknya Angie Waldrum yang sudah
meninggal. tujuh tahun yang lalu. Shirley merasa semua rasa sakit dan
penderitaan hilang, merasa bebas sama sekali dari semua rasa tidak enak, rasa
sakit dan semua penderitaan. Shirley merasa berjalan melayang menghampiri
neneknya yang merentangkan tangan menyambutnya dengan kerinduan ingin
berpelukan. Sebuah suara tak terlihat tiba-tiba menghentak : “Jangan pergi
dulu, kamu belum siap”. Shirley bingung,
tapi nenek tetap tersenyum dan merentangkan tangan menyambutnya. Suara
misterius itu menghentak kembali :”Jangan pergi kepadanya, Ini belum waktumu”.
Akhirnya Shirley tahu harus kembali.
Sejurus
dengan itu perasaan sakit mulai datang kembali. Shirley kembali ke dalam
kegelapan, melewati bunga lili itu yang kini ujung-ujung daunnya tampak
mengkerut kecoklatan, sekarat. Shirley mulai merasakan kakinya sakit, tidak
seperti waktu berangkat tanpa rasa sakit apapun, seperti melayang. Shirley
kembali keterowongan dan kembali ke badan wadagnya. Shirley hidup kembali, dan
mengetahui bahwa ia akan sembuh total dalam kehidupan yang begitu indah dan
menyenangkan. Shirley merindukan kematian, karena ia tahu kehidupan sesudah
mati begitu indah.
Kisah serupa
Er dizaman Plato dan Shirley dizaman
mutakhir, dan banyak kisah serupa itu
yang kita dengar dari lingkungan kita yang menggambarkan adanya near death
experience (pengalaman dekat kematian). Kisah-kisah itu dapat dianggap
sebagai in-concreto yang dituntut H.H. Price, sebagai bukti permulaan tentang
adanya kehidupan sesudah mati.
Bukti yang
lebih jelas.
Mitologi Er
dari abad Yunani 2400 tahun yang lalu dan near death experience lainnya
merupakan fenomena transcendental yang berfungsi sebagai bentuk persiapan
psikologis manusia untuk menerima fakta transcendental yang lebih besar.
Dalam masa
900 tahun sesudah Plato menuliskan mitologi Er dalam bagian kesepuluh The
Republic, Rasululullah SAW melakukan perjalanan agung dari dunia ke
akhirat yang di sebut Isra’ Mi’raj, yaitu perjalanan dari Masjidil Haram
di Mekkah ke Masjidil Aqsha di Palestina lalu naik ke Sidratul Muntaha menemui
Malik Yaum Al-Dien, atau Pemilik
Kerajaan Sorga menurut Al-Masih, yaitu Allah Azza wa Jalla, untuk menerima
perintah-Nya, sebagaimana diungkapkan dalam Surah Al-Isra ayat 1 : “Subhanalladzi
asro bi’abdihi lailan minal-masjidil haromi ilal-masjidil aqsho, alladzi
barokna haulahu linuriyahu min ayatinaa,
innahuu huwassmii’ul-bashier (QS 17:1)”; “Maha Suci Allah, yang telah
memperjalankan hamba-Nya di malam hari, dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha
yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian
dari tanda-tanda kebesaran Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha
Melihat”.
Itulah in
concreto terbesar yang dituntut H.H. Price, yang dilihat permukaannya oleh Er
2400 tahun yang lalu dan oleh Shirley di zaman ini, yang dipertanyakan oleh
Naciketas 2000 tahun yang lalu, dan diisyaratkan keberadaannya oleh Maharsi
Tiruvaluvar, yang dipertegas oleh Isa Al-Masih, dan yang diperjelas bentuknya
oleh Rasulullah SAW dengan firman-Nya : “Maliki Yaumiddien”, yang kini semakin
kita pahami maknanya secara hakiki. Sekian.
Birrahmatillahi
Wabi’aunihi fi Sabilih.
Wassalamu’alaikum
War. Wab.
Jakarta, 13
Agustus 2004,
Pengasuh,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar