Pengajian Ketujuh.
Assalamu’alaikum War. Wab.
“Maliki Yaumiddien” merupakan ayat keempat Al-Fatihah, yang bermakna “Penguasa Hari
Akhirat”. Tentang Yaum al-Dien sesungguhnya sudah pernah kita bahas pada
Pengajian Kelima dengan pendekatan kosmologis. Sekarang kita dalami lagi dengan
pendekatan historiografis-teologis.
Tafsir Jalalin memaknai “Maliki Yaumiddien” : “Yang
menguasai Hari Pembalasan”. Menurut
Tafsir Ibnu Katsir, ‘Hari Pembalasan’ adalah hari perhitungan bagi makhluk,
yakni Hari Kiamat. Mereka dibalas menurut amal perbuatannya masing-masing, baik
atau buruk akan mendapatkan balasan yang setimpal dan adil, kecuali bagi mereka
yang diampuni karena Allah juga Dzat Yang Maha Pengampun.
Pertanyaan Malunkyaputta dan Yan Hui.
Bikkhu Malunkyaputta bertanya kepada Sakyamuni Buddha tentang semesta alam. Apakah
semesta alam terbatas atau tak terbatas ? Abadi atau tidak ? Sakyamuni Buddha
tidak menjawab langsung masalah itu, melainkan ia membatasi penjelasannya pada
fakta-fakta essensial dari kehidupan seperti kelahiran, usia tua, kerusakan,
kematian, kesedihan, kesakitan, ratap tangis dan penghentian dari semua
penderitaan itu. Bahkan menurut Sakyamuni Buddha pertanyaan Malunkyaputta tidak
menolongnya untuk mencapai pelepasan, kedamaian, kesadaran yang dalam dan
mencapai Nirvana.
Dialog itu terjadi sekitar 500 tahun sebelum masehi.
Pada kurun waktu yang hampir sama Yan Hui bertanya kepada Sang Filsuf Khonghuchu
tentang kematian. Khonghucu hanya menjawab :”Soal kematian hanya Thian yang
tahu”. Pada abad 20, menjawab pertanyaan tentang kematian, Sigmund Freud
filsuf abad modern hanya menjawab:”Kehidupan adalah perjalanan menuju kematian,
kembali kepada konstansi an-organis”.
Pertanyaan Malunkyaputta
di puri Saviti Jevatana dan Yan Hui di Qufu 2500 tahun
yang lalu, masih terus bergema hingga masa pascamodernitas abad 21 sekarang
ini. Jawaban Sakyamuni Buddha, Khonghuchu dan Sigmund Freud tidak utuh dan
tentu tidak memuaskan. Generasi Malunkyaputta dan Yan Hui 25 abad yang silam
hingga generasi Howard (periksa Pengajian Kelima) dizaman aerospace dan
cybervision ini tetap mencari jawaban yang sesungguhnya dari pertanyaan kosmik
itu.
11 abad dari masa Malunkyaputta dan Yan Hui, seorang
bangsawan Quraisy dari lembah Bakkah atau Makkah al Mukaromah bernama Muhammad
SAW menyatakan diri sebagai Utusan Allah dan menjawab pertanyaan 11 abad
yang lalu itu, dengan penegasan penegasan yang dapat diartikan sebagai
personalitas ketuhanan dan otoritas kehidupan sesudah mati yang merupakan
sublimasi kehidupan Ruh setelah Big Bang kedua (periksa Pengajian Kelima) yang
disebutnya secara eksplisit sebagai “Hari Kiamat”.
Setelah kematian maka semua ruh manusia hidup dalam
“Yaum al-Dien” atau Hari Akhirat, yang bersifat nirjasad, suci dan
transcendent. Jika dalam “Al-Rahman dan Al-Rahiem” (Pengajian Keenam) Allah
lebih menitikberatkan pada fungsi agnostic dan logic, maka pada “Malik Yaum
al-Dien” Allah menyatakan totalitas transcendental sebagai pencapaian akhir manusia yang kembali
pada pemurnian zat-nya yaitu Ruh yang tercipta abadi sebagai bagian dari Sumber
Segala Ruh yang dalam Al-Qur’anul Kariem dipersonalitaskan sebagai Allah dengan
segala otoritas dan kasih sayangnya yang agnostic dan transcendent.
Konsep Teologis,
Maka terjawablah sudah pertanyaan Malunkyaputta dan
Yan Hui bahwa semesta alam bersifat terbatas dan fana karena ia berada dalam
hukum-hukum agnostic yang terikat ruang dan waktu serta sebab dan akibat.
Semesta alam berada dalam lingkup alfa dan omega, berawal dan berakhir. Secara
tegas Rasululullah SAW mengajarkan kepada manusia bahwa akhir dari semesta alam
adalah “Hari Kiamat”, merupakan konsep transcendent dari teologi Tauhid. Secara inderawi Hari
Kiamat dapat disiasati sebagai destruksi kosmik, karena adanya mutasi kosmik
dan perubahan orbit yang dapat menciptakan Big Bang kedua, yaitu ledakan
dahsyat yang mengakhiri peradaban material semesta alam, untuk kembali kepada
peradaban nirjasad, yang dalam konsep transcendent disebut Yaum al-Dien atau
Hari Akhirat.
Ini sekaligus menyempurnakan jawaban Freud. Kematian
bukan hanya kembali kepada konstansi an-organis, tetapi lebih hakiki kembali
kepada struktur nilai nirjasadi dengan pemurnian dan pemulyaan zat inti yaitu
Ruhaniyat.
Nirvana Buddha, bukan konsep transenden, karena
sesungguhnya Nirvana yang arti harfiahnya adalah kekosongan yang hakiki, adalah
kondisi psikologis seseorang yang berhasil mencapai individuasi dan
ekualitas melalui latihan dan meditasi,
sehingga energi psikis mengalir seimbang, memusat pada ego, sehingga ego mampu
mengontrol semua organ-organ jiwa dengan baik, dan mampu mencapai ekuilibrium
atau keseimbangan kognitif yang memberikan kewaspadaan dan kearifan dalam
memahami impuls instinktif, seperti fantasi, seksualitas dan sensasi perasaan
yang menjadi sumber penderitaan. Selanjutnya membawa kesadaran pada proses
kontemplasi, yakni Moderasi atau Jalan Tengah dengan Akal Sehat yang menuntun
kehidupan kearah perilaku humanitas.
Inilah yang diistilahkan Buddha “Inti Kebenaran
Universal”. Kondisi itu sama dengan
Taoisme (ajaran Lao Tzu) yang mengakhiri proses kontemplasi dengan kekosongan
abadi, yaitu kondisi keseimbangan psyche yang memberikan kemampuan
kognitif dalam memahami kolektivisme unsur-unsur alamiah kehidupan. Khonghucu
melangkah lebih empirik dengan menempatkan harmonisme, yaitu serba keserasian
dan keseimbangan aspektivitas kehidupan dalam dimensi sosial dan kosmik sebagai
puncak pencapaian.
Apa yang dikatakan Sigmund Freud bahwa kehidupan
adalah perjalanan untuk mati, yaitu kembali kepada konstansi an-organis, adalah
representasi rasionalitas dan logika pada garis batas ruang dan waktu.
Bagaimanakah proses setelah kematian ? Apakah transferabilitas nilai-nilai
kehidupan pada dimensi sesudah kematian ? Baik Freud, Buddha, Khonghucu maupun
Lao Tzu tidak pernah menjelaskannya. Bukan berarti mereka salah dan sesat.
Semuanya adalah tahapan-tahapan perjalanan peradaban, jiwa dan ruh manusia
untuk mencapai puncak transcendental, yaitu Maliki yaumiddien.
Buddha,
Khonghucu, Lao Tzu dan Sigmund Freud dengan falsafah agnostitisme-nya
telah memberikan sumbangan yang besar dalam peradaban manusia, dan telah
mengeluarkan manusia dari takhayul kepada agnostisitas dan realitas, dan pada
akhirnya mempersiapkan manusia untuk menerima teologi Tauhid yang transcendent.
Ciri-ciri konsep Tauhid adalah personalitas Tuhan Yang Tunggal, Hari Kiamat,
Hari Akhirat, yaitu kehidupan sesudah mati seperti alam sorga dan neraka, dalam
sistem ”Yaum al-Dien”.
Reinkarnasi.
Konsep Yaum al-Dien sekaligus mengakhiri spekulasi
reinkarnasi, yang telah dianut manusia sejak Agama Wu 3000 tahun sebelum masehi
(periksa Pengajian Ketiga) dan masih tampak hingga masa sekarang dalam tradisi
Khonghucu, Tao dan Hindu. Reinkarnasi menempatkan manusia sebagai subyek
keabadian yang semu.
Reinkarnasi yang merupakan mitos kelahiran kembali
dihari depan di bumi ini, telah menjadikan kehidupan sesudah mati tetap sebagai
bagian dari kefanaan dunia. Artinya manusia tidak memiliki kehidupan Ruhaniyat
yang transcendent dan abadi. Bahkan Buddha mengatakan: “Untuk mencapai Nirvana
orang harus dapat memutuskan tali reinkarnasi”.
Pernyatan Buddha menunjukkan kesadaran awal sisi
transcendental dari kehidupan spiritual. Mitos Reinkarnasi yang menjadi
ciri-ciri agama bumi dan agama-agama penyembah berhala, merupakan proses
spiritual yang terjebak dalam relativitas ruang dan waktu. Dalam hal ini aspek
das Es yang bersifat pleasure prinsiple menjadi faktor dominan, dan membentuk
struktur nilai absurd yang menguasai das Ich (periksa Pengajian Pertama).
Manusia yang memiliki naluri transcendent dalam
dirinya, tidak akan puas berhenti pada mitos reinkarnasi yang hanya akan
bermutasi pada kematian yang paling akhir, dan binasa dalam konstansi
an-organis seperti dikatakan Freud. Melainkan terus mencari tiada henti dan
memunculkan pertanyaan-pertanyaan kosmik Malunkyaputta dan Yan Hui, hingga
munculnya jawaban Al-Qur’an tentang konsep Yaum al-Dien. Sekian,
Birrahmatillahi Wabiaunihi Fi Sabilih,
Wassalamu’alaikum War. Wab.
Jakarta, 30 Juli 2004,
Pengasuh,
KH. AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front Persatuan
Nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar