7.7.17

Pengajian Ketujuh.-TWU

Pengajian Ketujuh.

Assalamu’alaikum War. Wab.

“Maliki Yaumiddien” merupakan ayat keempat Al-Fatihah, yang bermakna “Penguasa Hari Akhirat”. Tentang Yaum al-Dien sesungguhnya sudah pernah kita bahas pada Pengajian Kelima dengan pendekatan kosmologis. Sekarang kita dalami lagi dengan pendekatan historiografis-teologis.

Tafsir Jalalin memaknai “Maliki Yaumiddien” : “Yang menguasai Hari Pembalasan”.  Menurut Tafsir Ibnu Katsir, ‘Hari Pembalasan’ adalah hari perhitungan bagi makhluk, yakni Hari Kiamat. Mereka dibalas menurut amal perbuatannya masing-masing, baik atau buruk akan mendapatkan balasan yang setimpal dan adil, kecuali bagi mereka yang diampuni karena Allah juga Dzat Yang Maha Pengampun.

 

Pertanyaan Malunkyaputta dan Yan Hui.


Bikkhu Malunkyaputta bertanya kepada Sakyamuni Buddha tentang semesta alam. Apakah semesta alam terbatas atau tak terbatas ? Abadi atau tidak ? Sakyamuni Buddha tidak menjawab langsung masalah itu, melainkan ia membatasi penjelasannya pada fakta-fakta essensial dari kehidupan seperti kelahiran, usia tua, kerusakan, kematian, kesedihan, kesakitan, ratap tangis dan penghentian dari semua penderitaan itu. Bahkan menurut Sakyamuni Buddha pertanyaan Malunkyaputta tidak menolongnya untuk mencapai pelepasan, kedamaian, kesadaran yang dalam dan mencapai Nirvana.

Dialog itu terjadi sekitar 500 tahun sebelum masehi. Pada kurun waktu yang hampir sama Yan Hui bertanya kepada Sang Filsuf Khonghuchu tentang kematian. Khonghucu hanya menjawab :”Soal kematian hanya Thian yang tahu”. Pada abad 20, menjawab pertanyaan tentang kematian, Sigmund Freud filsuf abad modern hanya menjawab:”Kehidupan adalah perjalanan menuju kematian, kembali kepada konstansi an-organis”.

Pertanyaan Malunkyaputta di puri Saviti Jevatana dan Yan Hui di Qufu 2500 tahun yang lalu, masih terus bergema hingga masa pascamodernitas abad 21 sekarang ini. Jawaban Sakyamuni Buddha, Khonghuchu dan Sigmund Freud tidak utuh dan tentu tidak memuaskan. Generasi Malunkyaputta dan Yan Hui 25 abad yang silam hingga generasi Howard (periksa Pengajian Kelima) dizaman aerospace dan cybervision ini tetap mencari jawaban yang sesungguhnya dari pertanyaan kosmik itu.

11 abad dari masa Malunkyaputta dan Yan Hui, seorang bangsawan Quraisy dari lembah Bakkah atau Makkah al Mukaromah bernama Muhammad SAW menyatakan diri sebagai Utusan Allah dan menjawab pertanyaan 11 abad yang lalu itu, dengan penegasan penegasan yang dapat diartikan sebagai personalitas ketuhanan dan otoritas kehidupan sesudah mati yang merupakan sublimasi kehidupan Ruh setelah Big Bang kedua (periksa Pengajian Kelima) yang disebutnya secara eksplisit sebagai “Hari Kiamat”.

Setelah kematian maka semua ruh manusia hidup dalam “Yaum al-Dien” atau Hari Akhirat, yang bersifat nirjasad, suci dan transcendent. Jika dalam “Al-Rahman dan Al-Rahiem” (Pengajian Keenam) Allah lebih menitikberatkan pada fungsi agnostic dan logic, maka pada “Malik Yaum al-Dien” Allah menyatakan totalitas transcendental  sebagai pencapaian akhir manusia yang kembali pada pemurnian zat-nya yaitu Ruh yang tercipta abadi sebagai bagian dari Sumber Segala Ruh yang dalam Al-Qur’anul Kariem dipersonalitaskan sebagai Allah dengan segala otoritas dan kasih sayangnya yang agnostic dan transcendent.

Konsep Teologis,

Maka terjawablah sudah pertanyaan Malunkyaputta dan Yan Hui bahwa semesta alam bersifat terbatas dan fana karena ia berada dalam hukum-hukum agnostic yang terikat ruang dan waktu serta sebab dan akibat. Semesta alam berada dalam lingkup alfa dan omega, berawal dan berakhir. Secara tegas Rasululullah SAW mengajarkan kepada manusia bahwa akhir dari semesta alam adalah “Hari Kiamat”, merupakan konsep transcendent  dari teologi Tauhid. Secara inderawi Hari Kiamat dapat disiasati sebagai destruksi kosmik, karena adanya mutasi kosmik dan perubahan orbit yang dapat menciptakan Big Bang kedua, yaitu ledakan dahsyat yang mengakhiri peradaban material semesta alam, untuk kembali kepada peradaban nirjasad, yang dalam konsep transcendent disebut Yaum al-Dien atau Hari Akhirat.

Ini sekaligus menyempurnakan jawaban Freud. Kematian bukan hanya kembali kepada konstansi an-organis, tetapi lebih hakiki kembali kepada struktur nilai nirjasadi dengan pemurnian dan pemulyaan zat inti yaitu Ruhaniyat.

Nirvana Buddha, bukan konsep transenden, karena sesungguhnya Nirvana yang arti harfiahnya adalah kekosongan yang hakiki, adalah kondisi psikologis seseorang yang berhasil mencapai individuasi dan ekualitas  melalui latihan dan meditasi, sehingga energi psikis mengalir seimbang, memusat pada ego, sehingga ego mampu mengontrol semua organ-organ jiwa dengan baik, dan mampu mencapai ekuilibrium atau keseimbangan kognitif yang memberikan kewaspadaan dan kearifan dalam memahami impuls instinktif, seperti fantasi, seksualitas dan sensasi perasaan yang menjadi sumber penderitaan. Selanjutnya membawa kesadaran pada proses kontemplasi, yakni Moderasi atau Jalan Tengah dengan Akal Sehat yang menuntun kehidupan kearah perilaku humanitas.

Inilah yang diistilahkan Buddha “Inti Kebenaran Universal”.  Kondisi itu sama dengan Taoisme (ajaran Lao Tzu) yang mengakhiri proses kontemplasi dengan kekosongan abadi, yaitu kondisi keseimbangan psyche yang memberikan kemampuan kognitif dalam memahami kolektivisme unsur-unsur alamiah kehidupan. Khonghucu melangkah lebih empirik dengan menempatkan harmonisme, yaitu serba keserasian dan keseimbangan aspektivitas kehidupan dalam dimensi sosial dan kosmik sebagai puncak pencapaian.

Apa yang dikatakan Sigmund Freud bahwa kehidupan adalah perjalanan untuk mati, yaitu kembali kepada konstansi an-organis, adalah representasi rasionalitas dan logika pada garis batas ruang dan waktu. Bagaimanakah proses setelah kematian ? Apakah transferabilitas nilai-nilai kehidupan pada dimensi sesudah kematian ? Baik Freud, Buddha, Khonghucu maupun Lao Tzu tidak pernah menjelaskannya. Bukan berarti mereka salah dan sesat. Semuanya adalah tahapan-tahapan perjalanan peradaban, jiwa dan ruh manusia untuk mencapai puncak transcendental, yaitu Maliki yaumiddien.

Buddha,  Khonghucu, Lao Tzu dan Sigmund Freud dengan falsafah agnostitisme-nya telah memberikan sumbangan yang besar dalam peradaban manusia, dan telah mengeluarkan manusia dari takhayul kepada agnostisitas dan realitas, dan pada akhirnya mempersiapkan manusia untuk menerima teologi Tauhid yang transcendent. Ciri-ciri konsep Tauhid adalah personalitas Tuhan Yang Tunggal, Hari Kiamat, Hari Akhirat, yaitu kehidupan sesudah mati seperti alam sorga dan neraka, dalam sistem ”Yaum al-Dien”.

Reinkarnasi.

Konsep Yaum al-Dien sekaligus mengakhiri spekulasi reinkarnasi, yang telah dianut manusia sejak Agama Wu 3000 tahun sebelum masehi (periksa Pengajian Ketiga) dan masih tampak hingga masa sekarang dalam tradisi Khonghucu, Tao dan Hindu. Reinkarnasi menempatkan manusia sebagai subyek keabadian yang semu.

Reinkarnasi yang merupakan mitos kelahiran kembali dihari depan di bumi ini, telah menjadikan kehidupan sesudah mati tetap sebagai bagian dari kefanaan dunia. Artinya manusia tidak memiliki kehidupan Ruhaniyat yang transcendent dan abadi. Bahkan Buddha mengatakan: “Untuk mencapai Nirvana orang harus dapat memutuskan tali reinkarnasi”.

Pernyatan Buddha menunjukkan kesadaran awal sisi transcendental dari kehidupan spiritual. Mitos Reinkarnasi yang menjadi ciri-ciri agama bumi dan agama-agama penyembah berhala, merupakan proses spiritual yang terjebak dalam relativitas ruang dan waktu. Dalam hal ini aspek das Es yang bersifat pleasure prinsiple menjadi faktor dominan, dan membentuk struktur nilai absurd yang menguasai das Ich (periksa Pengajian Pertama).

Manusia yang memiliki naluri transcendent dalam dirinya, tidak akan puas berhenti pada mitos reinkarnasi yang hanya akan bermutasi pada kematian yang paling akhir, dan binasa dalam konstansi an-organis seperti dikatakan Freud. Melainkan terus mencari tiada henti dan memunculkan pertanyaan-pertanyaan kosmik Malunkyaputta dan Yan Hui, hingga munculnya jawaban Al-Qur’an tentang konsep Yaum al-Dien. Sekian,

Birrahmatillahi Wabiaunihi Fi Sabilih, Wassalamu’alaikum War. Wab.

Jakarta, 30 Juli 2004,
Pengasuh,

KH. AGUS MIFTACH

Ketua Umum Front Persatuan Nasional.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar