7.7.17

Pengajian Keenam,-TWU

Pengajian Keenam,

Assalamu’alaikum War. Wab.

“Arrahmanirrohiem” : “Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”; (Al-Fatihah : 3),

Ayat ketiga Surat Al-Fatihah, yang sudah menjadi tradisi ucapan sehari-hari baik dalam basmalah maupun  dalam bentuk ucapan lainnya. Namun tidak banyak yang benar-benar mengambil hikmah dari hakekat lafadz Al-Rahman dan Al-Rahiem selain hanya sebagai ucapan yang baik saja (lafadz hasanah).

Menurut Tafsir Jalalain, dalam ayat ini Allah SWT mengingatkan pada hamba-Nya bahwa sifat ketuhanan-Nya bukan berdasarkan kekerasan dan kedzaliman, namun berdasarkan kasih-sayang.

Ayat ketiga Al-Fatihah tentu bertalian erat dengan makna basmalah (lafadz “bismillahirrochmanirrochiem”) yang menurut pendapat Imam Syafi’i dan para ahli qiro’at Mekah dan Kufah ditempatkan sebagai ayat pertama Al-Fatihah.

Tafsir Jalalain, membuka surah Al-Fatihah dengan “Basmalah”, maksudnya untuk mengajarkan, agar segala sesuatu perbuatan baik dimulai dengan menyebut basmalah, sebagai suatu pernyataan bahwa perbuatan ini dilakukan karena Allah dengan memohon pertolongan dan berkat kepada-Nya.

 Dalam Pengajian Keenam ini kita mencoba membedahnya dengan pendekatan psikologis dan ekologis.

Hirarki kebutuhan manusia.

Manusia memiliki naluri-naluri dasar  yang menjadi dasar kebutuhan yang harus dipenuhi menurut hirarki tertentu. Kebutuhan primitif muncul pada saat neonatus lahir, dan terus meningkat kepada kebutuhan yang lebih tinggi sejalan dengan proses pematangan individu, Abraham Maslow (1908-1970) merumuskannya dalam empat kategori .

Kategori pertama disebutnya Defisiensi rendah, merupakan kebutuhan faali yang menjadi dasar kehidupan seperti zat asam, sinar matahari, udara, makanan dan minuman.

Kategori kedua disebut Defisiensi, yaitu kebutuhan rasa aman, rasa cinta dan harga diri.

Kategori ketiga disebut Being, merupakan kebutuhan aktualisasi diri yang menyangkut imajinasi dan kreativitas.

Kategori keempat disebut Being tinggi, merupakan kebutuhan estetik, suatu kebutuhan untuk memberikan pengabdian kepada kemanusiaan dan kehidupan.

Dari empat kategori hirarki kebutuhan manusia tersebut, maka dasar eksistensinya adalah Defisiensi rendah. Tanpa zat asam, sinar matahari, udara, makanan dan minuman manusia tidak bisa hidup. Sebagian kebutuhan dasar itu seperti sinar matahari, zat asam dan udara tidak dapat diadakan secara massal oleh manusia sendiri dalam arti untuk memenuhi kebutuhan seluruh manusia dan seluruh kehidupan di bumi yang pada umumnya juga memiliki kebutuhan dasar sejenis. Melainkan semua itu telah tersedia oleh alam dalam tatanan ekosistem yang membentuk habitat manusia, flora dan fauna. Semua itu timbul dari energi ekologis yang bersifat konstan dan ekstra organis. Suatu kemurahan yang melimpah dari sumber energi semesta alam yang terbentuk dari aksi energi kosmik sejak awal Big-Bang (Pengajian Kelima).

Yin-Yang.

Chuang Tzu penulis Tao Te Ching (Jalan dan Kekuatannya) yang termasyhur yang hidup pada abad ke-4 SM menyebut energi kosmik itu dengan istilah Yang yang diartikan sebagai energi Langit. Pasangannya adalah Yin yang diartikan sebagai energi bumi. Yin-Yang menurut Tao Te Ching adalah sumber dinamika kehidupan kosmik.

Pencarian Chuang Tzu penerus Lao Tzu yang masyhur itu adalah representasi pemikiran besar para filsuf di zaman kegelapan itu untuk menemukan hakekat rahasia kosmik sebagai bagian dari hakekat rahasia kehidupan. 1000 tahun kemudian Rasulullah SAW menjawab pencarian yang agung itu melalui ayat kedua Al-Fatihah, bahwa hakekat dari rahasia energi kosmik itu adalah Al-Rahman Zat Yang Maha Pengasih yang merupakan sublimasi energi kosmik dan transenden.

Maka terjawablah  kebuntuan Tao Te Ching (Taoisme) dalam upaya menemukan  sumber energi kosmik melalui polaritas dinamik Yin-Yang yang terhenti di langit agnostik . Al-Rahman adalah sumber transenden yang memancarkan energi kosmik yang berfungsi memenuhi kebutuhan dasar hidup, khususnya kehidupan manusia di bumi, melalui mekanisme ekosistem dan plasma nutfah yang membentuk habitat yang azasi yang oleh Maslow yang hidup 14 abad setelah Rasulullah disebutnya sebagai Defisiensi rendah atau kebutuhan faali, yang mencerminkan pengakuan akan makna dasar hakekat Al-Rahman. 

Namun demikian seperti dikatakan Maslow, hidup tidak berhenti pada fase pemenuhan kebutuhan primitif. Terdapat naluri-naluri dasar manusia untuk melakukan transferabilitas dari fase primitif kepada bentuk kebudayaan yang lebih tinggi dan lebih tinggi lagi. Maslow mengidentifikasi dengan istilah Defisiensi, Being dan Being tinggi.

Transferabilitas yang mencerminkan sublimasi budaya manusia itu menurut CG Jung bersumber dari energi intra organis dalam berinteraksi dengan lingkungan. Artinya merupakan segala upaya manusia untuk beremansipasi hingga tingkat tertinggi yang dapat dicapai oleh das Ich atau ego menurut pandangan Freud. Abraham Maslow menyebutnya dengan kebutuhan aktualisasi diri dan kebutuhan estetik. Chuang Tzu pada abad ke-4 SM menyebutnya dengan Yin.

Rasulullah SAW mengajarkan dengan istilah Al-Rahiem Zat Yang Maha Penyayang (QS I:3), yang mengandung unsur-unsur transenden dan logika, sebagai penyempurnaan pikiran-pikiran agnostik seperti Tao Te Ching dan Buddhism. Al-Rahiem melibatkan totalitas organisme dan fungsi transenden dalam proses individuasi diri untuk mencapai emansipasi tertinggi dalam lingkup causalitas, ruang, waktu, logika dan metafora. Didalamnya terdapat aspek-aspek, spirit, nature, nurture, kognisi, kodrati dan keberuntungan atau takdir. Faktor-faktor misteri takdir tidak sepenuhnya terkontrol oleh das Ich sebagai eksekutif kepribadian dalam dinamika perubahan-perubahan obyek substitusinya. Faktanya terdapat otoritas diluar logika, ruang dan waktu yang ikut menentukan hasil akhir suatu aktivitas. Terkadang melampaui, terkadang berkurang atau tak tercapai menurut harapan-harapan logik. Atau tercapai suatu keadaan baru diluar rencana semula.

Niat.

Yang menjadi pedoman dalam berfungsinya prinsip Al-Rahiem adalah niat, rencana dan proses yang membentuk motivasi, kreativitas dan aktivitas. Jika ketiga aspek itu terpenuhi, maka terbentuklah manifes emansipasi sebagai akibatnya. Seperti Sabda Rasulullah SAW : “Innamal ‘a’malu binniyat, wainnama likullimri’in ma nawa; Faman kanat hijrotuhu ilallahi wa rosulih, fa hijrotuhu ilallahi wa rosulih; wa man kanat hijrotuhu lidunya yushibuha awimro’atin yankihuha, fa hijrotuhu ila ma hajaro ilaih” (Buchory-Muslim) : “Sah atau tidaknya amal tergantung niat, dan bagi setiap orang tergantung pada  niatnya masing-masing. Maka barangsiapa  berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya ia akan sampai kepada tujuannya; dan barangsiapa berhijrah karena semata kepentingan nafsu duniawi atau perempuan yang diinginkannya, maka ia akan sampai pada tujuannya pula.”

Inilah rahasia Rahiemiyat, yang merupakan ability trait yang berisi struktur nilai yang membangun motivasi, kreativitas dan aktivitas. Struktur nilai ialah seluruh proses psikologis dan kognitif dari basis kesadaran maupun ketidaksadaran menyeluruh individu maupun kolektif, yang bersumber dari semua stimulus dalam proses kanalisasi sejak usia 3 tahun hingga dewasa.

Jika struktur nilai yang hidup adalah ajaran Tauhid, maka motivasi atau niat yang lahir akan membentuk Gestalt yang menuntun seluruh perbuatan duniawi berdasarkan pada prinsip-prinsip ketauhidan sebagai representasi Ruhaniyat yang kokoh di dalam psyche. Maka dapat disimpulkan bahwa Rahiemiyat adalah manifes yang terbentuk dari emansipasi manusia dan apresiasi ilahiyat yang menghasilkan sublimasi, yaitu transfer progresif dari proses-proses yang lebih primitif , instinktif dan rendah diferensiasinya kepada proses-proses yang lebih bersifat kultural, spiritual dan tinggi diferensiasinya yang menjadi sumber perubahan dan kemajuan peradaban manusia.

Maka sesungguhnya Rahmaniyat dan Rahiemiyat, adalah interaksi dinamik dari realitas fisiologis dan psikologis manusia untuk mencapai emansipasi tertinggi dalam rangka memahami tuhannya dan dirinya. Untuk mencapai diferensiasi tertinggi, yaitu Fiddunya hasanah wa fil Akhirati hasanah sebagai bentuk sublimasi peradaban Tauhid. Sekian,

Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi Sabilih.
Wassalamu’alaikum War. Wab.
Jakarta, 23 Juli 2003,

Pengasuh,



KH. AGUS MIFTACH

Ketua Umum Front Persatuan Nasional.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar