Pengajian Keenam,
Assalamu’alaikum War. Wab.
“Arrahmanirrohiem” : “Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang”; (Al-Fatihah : 3),
Ayat ketiga Surat Al-Fatihah, yang sudah menjadi
tradisi ucapan sehari-hari baik dalam basmalah maupun dalam bentuk ucapan lainnya. Namun tidak
banyak yang benar-benar mengambil hikmah dari hakekat lafadz Al-Rahman dan
Al-Rahiem selain hanya sebagai ucapan yang baik saja (lafadz hasanah).
Menurut Tafsir Jalalain, dalam ayat ini Allah SWT
mengingatkan pada hamba-Nya bahwa sifat ketuhanan-Nya bukan berdasarkan
kekerasan dan kedzaliman, namun berdasarkan kasih-sayang.
Ayat ketiga Al-Fatihah tentu bertalian erat dengan
makna basmalah (lafadz “bismillahirrochmanirrochiem”) yang menurut pendapat
Imam Syafi’i dan para ahli qiro’at Mekah dan Kufah ditempatkan sebagai ayat
pertama Al-Fatihah.
Tafsir Jalalain, membuka surah Al-Fatihah dengan
“Basmalah”, maksudnya untuk mengajarkan, agar segala sesuatu perbuatan baik
dimulai dengan menyebut basmalah, sebagai suatu pernyataan bahwa perbuatan ini
dilakukan karena Allah dengan memohon pertolongan dan berkat kepada-Nya.
Dalam Pengajian
Keenam ini kita mencoba membedahnya dengan pendekatan psikologis dan ekologis.
Hirarki kebutuhan manusia.
Manusia memiliki naluri-naluri dasar yang menjadi dasar kebutuhan yang harus
dipenuhi menurut hirarki tertentu. Kebutuhan primitif muncul pada saat neonatus
lahir, dan terus meningkat kepada kebutuhan yang lebih tinggi sejalan dengan
proses pematangan individu, Abraham Maslow (1908-1970) merumuskannya
dalam empat kategori .
Kategori pertama disebutnya Defisiensi rendah,
merupakan kebutuhan faali yang menjadi dasar kehidupan seperti zat asam, sinar
matahari, udara, makanan dan minuman.
Kategori kedua disebut Defisiensi, yaitu kebutuhan
rasa aman, rasa cinta dan harga diri.
Kategori ketiga disebut Being, merupakan kebutuhan
aktualisasi diri yang menyangkut imajinasi dan kreativitas.
Kategori keempat disebut Being tinggi, merupakan
kebutuhan estetik, suatu kebutuhan untuk memberikan pengabdian kepada
kemanusiaan dan kehidupan.
Dari empat kategori hirarki kebutuhan manusia
tersebut, maka dasar eksistensinya adalah Defisiensi rendah. Tanpa zat asam,
sinar matahari, udara, makanan dan minuman manusia tidak bisa hidup. Sebagian
kebutuhan dasar itu seperti sinar matahari, zat asam dan udara tidak dapat
diadakan secara massal oleh manusia sendiri dalam arti untuk memenuhi kebutuhan
seluruh manusia dan seluruh kehidupan di bumi yang pada umumnya juga memiliki
kebutuhan dasar sejenis. Melainkan semua itu telah tersedia oleh alam dalam
tatanan ekosistem yang membentuk habitat manusia, flora dan fauna. Semua itu
timbul dari energi ekologis yang bersifat konstan dan ekstra organis. Suatu kemurahan
yang melimpah dari sumber energi semesta alam yang terbentuk dari aksi energi
kosmik sejak awal Big-Bang (Pengajian Kelima).
Yin-Yang.
Chuang Tzu
penulis Tao Te Ching (Jalan dan Kekuatannya) yang termasyhur yang hidup
pada abad ke-4 SM menyebut energi kosmik itu dengan istilah Yang yang
diartikan sebagai energi Langit. Pasangannya adalah Yin yang diartikan
sebagai energi bumi. Yin-Yang menurut Tao Te Ching adalah sumber
dinamika kehidupan kosmik.
Pencarian Chuang Tzu penerus Lao Tzu yang masyhur itu
adalah representasi pemikiran besar para filsuf di zaman kegelapan itu untuk
menemukan hakekat rahasia kosmik sebagai bagian dari hakekat rahasia kehidupan.
1000 tahun kemudian Rasulullah SAW menjawab pencarian yang agung itu melalui
ayat kedua Al-Fatihah, bahwa hakekat dari rahasia energi kosmik itu adalah Al-Rahman
Zat Yang Maha Pengasih yang merupakan sublimasi energi kosmik dan transenden.
Maka terjawablah
kebuntuan Tao Te Ching (Taoisme) dalam upaya menemukan sumber energi kosmik melalui polaritas
dinamik Yin-Yang yang terhenti di langit agnostik . Al-Rahman adalah sumber
transenden yang memancarkan energi kosmik yang berfungsi memenuhi kebutuhan
dasar hidup, khususnya kehidupan manusia di bumi, melalui mekanisme ekosistem
dan plasma nutfah yang membentuk habitat yang azasi yang oleh Maslow yang hidup
14 abad setelah Rasulullah disebutnya sebagai Defisiensi rendah atau kebutuhan
faali, yang mencerminkan pengakuan akan makna dasar hakekat Al-Rahman.
Namun demikian seperti dikatakan Maslow, hidup tidak
berhenti pada fase pemenuhan kebutuhan primitif. Terdapat naluri-naluri dasar
manusia untuk melakukan transferabilitas dari fase primitif kepada bentuk
kebudayaan yang lebih tinggi dan lebih tinggi lagi. Maslow mengidentifikasi
dengan istilah Defisiensi, Being dan Being tinggi.
Transferabilitas yang mencerminkan sublimasi budaya
manusia itu menurut CG Jung bersumber dari energi intra organis dalam
berinteraksi dengan lingkungan. Artinya merupakan segala upaya manusia untuk
beremansipasi hingga tingkat tertinggi yang dapat dicapai oleh das Ich atau ego
menurut pandangan Freud. Abraham Maslow menyebutnya dengan kebutuhan
aktualisasi diri dan kebutuhan estetik. Chuang Tzu pada abad ke-4 SM
menyebutnya dengan Yin.
Rasulullah SAW mengajarkan dengan istilah Al-Rahiem
Zat Yang Maha Penyayang (QS I:3), yang mengandung unsur-unsur transenden dan
logika, sebagai penyempurnaan pikiran-pikiran agnostik seperti Tao Te Ching dan
Buddhism. Al-Rahiem melibatkan totalitas organisme dan fungsi transenden dalam
proses individuasi diri untuk mencapai emansipasi tertinggi dalam lingkup
causalitas, ruang, waktu, logika dan metafora. Didalamnya terdapat aspek-aspek,
spirit, nature, nurture, kognisi, kodrati dan keberuntungan atau takdir.
Faktor-faktor misteri takdir tidak sepenuhnya terkontrol oleh das Ich sebagai
eksekutif kepribadian dalam dinamika perubahan-perubahan obyek substitusinya.
Faktanya terdapat otoritas diluar logika, ruang dan waktu yang ikut menentukan
hasil akhir suatu aktivitas. Terkadang melampaui, terkadang berkurang atau tak
tercapai menurut harapan-harapan logik. Atau tercapai suatu keadaan baru diluar
rencana semula.
Niat.
Yang menjadi pedoman dalam berfungsinya prinsip
Al-Rahiem adalah niat, rencana dan proses yang membentuk motivasi, kreativitas
dan aktivitas. Jika ketiga aspek itu terpenuhi, maka terbentuklah manifes
emansipasi sebagai akibatnya. Seperti Sabda Rasulullah SAW : “Innamal ‘a’malu
binniyat, wainnama likullimri’in ma nawa; Faman kanat hijrotuhu ilallahi wa
rosulih, fa hijrotuhu ilallahi wa rosulih; wa man kanat hijrotuhu lidunya
yushibuha awimro’atin yankihuha, fa hijrotuhu ila ma hajaro ilaih”
(Buchory-Muslim) : “Sah atau tidaknya amal tergantung niat, dan bagi setiap
orang tergantung pada niatnya
masing-masing. Maka barangsiapa
berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya ia akan sampai kepada tujuannya;
dan barangsiapa berhijrah karena semata kepentingan nafsu duniawi atau
perempuan yang diinginkannya, maka ia akan sampai pada tujuannya pula.”
Inilah rahasia Rahiemiyat, yang merupakan ability
trait yang berisi struktur nilai yang membangun motivasi, kreativitas dan
aktivitas. Struktur nilai ialah seluruh proses psikologis dan kognitif dari
basis kesadaran maupun ketidaksadaran menyeluruh individu maupun kolektif, yang
bersumber dari semua stimulus dalam proses kanalisasi sejak usia 3 tahun hingga
dewasa.
Jika struktur nilai yang hidup adalah ajaran Tauhid,
maka motivasi atau niat yang lahir akan membentuk Gestalt yang menuntun
seluruh perbuatan duniawi berdasarkan pada prinsip-prinsip ketauhidan sebagai
representasi Ruhaniyat yang kokoh di dalam psyche. Maka dapat
disimpulkan bahwa Rahiemiyat adalah manifes yang terbentuk dari emansipasi
manusia dan apresiasi ilahiyat yang menghasilkan sublimasi, yaitu transfer
progresif dari proses-proses yang lebih primitif , instinktif dan rendah
diferensiasinya kepada proses-proses yang lebih bersifat kultural, spiritual
dan tinggi diferensiasinya yang menjadi sumber perubahan dan kemajuan peradaban
manusia.
Maka sesungguhnya Rahmaniyat dan Rahiemiyat, adalah
interaksi dinamik dari realitas fisiologis dan psikologis manusia untuk
mencapai emansipasi tertinggi dalam rangka memahami tuhannya dan dirinya. Untuk
mencapai diferensiasi tertinggi, yaitu Fiddunya hasanah wa fil Akhirati hasanah
sebagai bentuk sublimasi peradaban Tauhid. Sekian,
Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi Sabilih.
Wassalamu’alaikum War. Wab.
Jakarta, 23 Juli 2003,
Pengasuh,
KH. AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front Persatuan Nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar