Pengajian Kelima,
Jkt. 16/7/005.
Assalamu’alaikum War. Wab.
“Alhamdulillahi
Robbil ‘Alamien” : “Segala puji bagi Allah Tuhan Semesta Alam”; (Al-Fatihah :
2).
Lafadz ayat ini merupakan kalimat berita, sebagai ungkapan
pujian kepada Allah, maksudnya hanya Allah-lah Zat yang memiliki semua pujian
dari semua hamba-Nya, yaitu seluruh makhluk-Nya di semesta alam, seperti
manusia, malaikat, hewan, jin dsb. Hanya Allah-lah Zat yang harus mereka puji.
Menurut Tatsir Jalalain lafadz “Allah”
merupakan nama bagi Zat yang berhak disembah sebagai Tuhan Semesta Alam.
Lafadz “‘al-‘aalamien” merupakan bentuk jamak dari lafadz
“’aalam’” berasal dari “’alaamah” yang berarti tanda untuk
mengingatkan eksistensianya sebagai makhluk yang diciptakan Allah Ta’ala.
Pada Pengajian Keempat kita membahas Hamdalah
dengan pendekatan Gestalt. Pada pada Pengajian Kelima sekarang ini kita akan
melanjutkan pembahasan Hamdalah dengan pendekatan kosmik.
“Alhamdulillahi Rabb Al-Alamien, merupakan
struktur tiga unsur diri, Allah dan semesta alam dalam satu unitas. Dengan
pendekatan Gestalt kita telah menemukan identifikasi diri dan Allah. Kali ini
kita akan membahas keberadaan semesta alam, sebagai struktur yang ketiga dalam
tatanan Hamdalah.
Big Bang,
600 tahun sebelum masehi filsuf besar Tiongkok
Lao Tzu mengatakan tentang Hsuan, yaitu kegelapan dan keheningan sebelum
Big Bang. Apakah yang ada dalam kekosongan yang hening itu ? Apa isinya ? Kuat
diduga Hsuan berisikan partikel nirjasad yang telah bermilyar tahun membentuk
keheningan yang hakiki.
Partikel nirjasad itu terus berinteraksi
sehingga mencapai kualitas tertinggi dan terjadilah mutasi fisiologis dimana
terbentuk jasad semesta alam yang terlahir melalui peristiwa kosmik yang
disebut “Big Bang”, suatu ledakan dahsyat yang melahirkan fisik semesta alam,
maka tergelarlah galaxy dan konstelasi kosmik. Big Bang adalah awal semesta
alam. Partikel nirjasad memusat pada Apec yang terbentuk bersama Big Bang
sebagai poros semesta alam, dan menjadi Ruh semesta.
Semesta alam terikat hukum ekosistem dengan
asas kolektivisme alamiah dengan sifat
inderawi dan kodrati dalam tatanan kosmik. Lao Tzu menyebutnya dengan istilah Hsian
Sheng, dimana eksistensi faktor-faktor alamiah bangkit bersama ruang, waktu
dan logika. Semuanya terbuka dalam ekosistem, tidak ada yang terisolasi.
Semuanya berfungsi dalam kebersamaan yang hakiki.
Semua benda, semua makhluk, semua yang mati
dan yang hidup memiliki titik keseimbangannya yang menjadi pusat energinya. Lao
Tzu menyebutnya Ch’i. Manakah sumber energi semesta alam ?. Para ahli
fisika mungkin akan menyebutnya Apec. Tetapi para filsuf, memiliki pandangan
yang lebih dalam. Sidharta Gautama menyebutnya dengan istilah qong,
sedangkan Lao Tzu menyebutnya Bunda Agung. Rasulullah SAW menyebutnya dengan
Rabb Al-Alamien, dan memujinya dengan Alhamdulillahi Rabbil Alamien (QS: I:2)
Rabb Al-Alamien (Pemelihara Semesta Alam) mengandung makna memelihara
keseimbangan semua energi kosmik. Tanpa itu semesta alam akan binasa.
Yaum
al-Dien.
Kebesaran
semesta alam yang tak bertepi namun tertib dalam ekosistem kosmik memberikan
indikator adanya sumber energi yang maha tinggi yang menjadi pusat konstelasi
kosmik itu, yang menciptakan interpendensi alfa dan omega, ruang dan waktu,
logika dan agnostik. Dimanakah sumber energi maha tinggi itu ? Ch’i yang
terbesar ? Dalam hukum kosmik atau diluarnya ?
Howard
dkk dari NSA tentu berpendapat dalam kosmik, yaitu di Apec yang berputar pada
porosnya seribu tahun sekali putar, yang dianggap sebagai poros semesta alam.
Howard pernah dikagetkan dengan munculnya Nebula, ibu bintang-bintang di galaxy
Andromeda yang besarnya 2000 x matahari, dan berfungsi menyedot bintang-bintang
yang rusak dan mati serta melahirkan bintang-bintang baru. Keseluruhan Nebula
berbentuk sel otak raksasa yang memancar terang kehijauan di langit Andromeda.
Howard
menduga Nebula merupakan obyek dan intelijensia yang terbesar di semesta.
Betapa hebat dan tinggi kecerdasannya. Tapi Howard kemudian menyadari Nebula
bukanlah Tuhan. Ada sumber energi yang lebih besar, lebih agung, lebih suci
dengan intelijensia yang jauh lebih tinggi berlipat-lipat ganda dari Nebula
yang disebut Ellohim yang diduga berpusat di Apec.
Tetapi
Nabi Muhammad, SAW dan Nabi Isa AS mengajarkan kepada kita bahwa sumber energi
itu berasal dari luar konstelasi kosmik, dengan firman :”Maliki Yaumiddien
(Penguasa Hari Kemudian)” QS I:4. Rasulullah SAW maupun Nabi Isa AS memberikan
makna Yaumiddien adalah Hari Akherat yang kekal, yang bersifat nirjasad, suci
dan abadi, yang baru tercapai setelah kematian. Akhirat adalah kehidupan
sesudah mati, sifatnya Ruhaniyat, dan berada diluar hukum ruang dan waktu,
artinya diluar konstelasi kosmik. Maka sumber energi yang maha tinggi berada diluar konstelasi kosmik, bukan
di Andromeda atau di Apec, tetapi di Yaum al-Dien, suatu kehidupan nirjasadi
dalam hukum-hukum transenden yang kekal dan terdiri zat-zat yang murni atau
maha suci.
Yaum
al-Dien tidak dapat didekati dengan logika ruang dan waktu, juga tidak dengan
filsafat agnostisisme, juga tidak dengan kuantum alfa dan omega, tetapi bisa
didekati dengan fungsi transenden dan proses individuasi dengan metode Gestalt
sebagaimana telah diungkapkan dalam Pengajian ketiga dan keempat.
Schizophrenia,
Namun
demikian tidak semua orang dapat membentuk Gestalt Hamdalah. Banyak diantara
manusia yang jiwanya menderita Schizophrenia, meskipun ia hidup diantara
tanda-tanda Yaum al-Dien yang begitu banyak, ia tidak melihatnya, bersifat
autis, menutup diri. Al-Qur’an mengdentifikasi sebagai :”Innalladziena kafaruu
sawaaun alaihim, aandzartahum am-lam tundzirhum laa yu’minuun” (Sesungguhnya
orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak,
mereka tetap tidak beriman).
Mereka
tidak mampu membangun proses cerebral terhadap tanda-tanda yang dilihat Lao
Tzu, Sidharta Gautama dan Howard, dan tentu saja tidak akan memahami ajaran
Tauhid Rasulullah SAW yang berciri keseimbangan agnostik dan transenden. Namun
demikian banyak pula diantara manusia yang berjiwa Cyclothym, yang menurut Kraeplin
memiliki ciri-ciri mudah mengadakan kontak dengan lingkungan sekitar, mudah
bergaul, mudah menyesuaikan diri, mudah turut merasakan perasaan orang lain dan
jiwanya terbuka. Tipe ini lebih bersifat cerebral, sehingga lebih mampu melihat
indicator transendetal. Inilah kunci pemahaman Tauhid.
Keseimbangan
Pada
akhirnya proses psikologis menjadi kunci asimilasi. Karena sifat Tauhid yang
agnostic dan transcendent, maka akseptasinya membutuhkan keseimbangan das Es,
das Ich dan das Ueber Ich untuk menghasilkan totalitas psyche dan kognisi yang
seimbang dan memusat pada pada das Ich.
Maka
Tauhid tumbuh dalam kesadaran dan ketidasadaran, baik individu maupun kolektif,
membentuk latar belakang organisme yang utuh. Sehingga terbentuklah Gestalt
yang akan membawa proses individuasi dan fungsi transenden kearah hakekat
energi kehidupan ini. Maka kita akan mengucapkan dengan mengerti dan yakin
“Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamien”.
Birrahmatillahi
Wabi’aunihi fi Sabilih., Wassalamu’alaikum War. Wab.
Pengasuh,
H.
AGUS MIFTACH
Ketua
Umum Front Persatuan Nasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar